Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142248 dokumen yang sesuai dengan query
cover
IGGM Indra W.
"Kabupaten Klungkung merupakan salah satu kabupaten di Bali yang luas wilayahnya 315 km2 dan merupakan kabupaten yang paling kecil di antara kabupaten lainnya, namun memiliki hanyak peninggalan arkeologis yang sangal mendukung bidang lainnya terulama di bidang pariwisata. Salah satu peninggalan arkeologis yang sangat terkenal adalah Kerthagosa dan Bale kambang. Bangunan Kerthagosa dan Bale kambang pada jaman dahulu merupakan hagian dari Puri Semarapura Kerajaan Klungkung yang dibangun pada abad XVII (Warsika, 1986: 9)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S11766
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin
"Puri merupakan sebuah identitas kelompok elite yang berasal dari keluarga kerajaan dalam masyarakat Bali. Puri terbentuk sejak masa penaklukan Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit pada abad ke-14. Peran sosial yang dilakukan oleh puri masih tetap bertahan hingga masa kini, meskipun puri tidak lagi memiliki kekuasaan formal dalam pemerintahan. Secara umum, puri memiliki tiga peran sosial yang menjadi bagian utama, yaitu (1) peran kultural dalam preservasi seni, khususnya di tengah derasnya perkembangan pariwisata di Pulau Bali, (2) peran ekonomi terkait kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah naungannya, dan (3) peran politik dalam mengarahkan figur tertentu dan/atau ikut serta dalam pemerintahan lokal melalui pemilihan umum. Meskipun demikian, perubahan pespektif dari masyarakat terhadap puri pada masa kini dan perbedaan kapabilitas puri yang besar menjadikan peran puri tidak lagi sama antara satu dengan lainnya.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai peran puri dalam masyarakat Bali pada masa pasca-Orde Baru, penelitian ini dititikberatkan pada dua studi kasus di dua wilayah berbeda, yaitu Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung merupakan lokasi Puri Agung Klungkung yang merupakan puri tertua di Pulau Bali. Kabupaten Gianyar merupakan lokasi tiga puri yang menjadi obyek penelitian, yaitu Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) di Kecamatan Gianyar, serta Puri Saren Ubud dan Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) di Kecamatan Ubud. Penelitian ini dirancang untuk menganalisis peran politik puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar serta faktor yang mempengaruhi peran politik tersebut. Teori oligarki, pseudohistori, dan penjelasan mengenai relasi antarkasta dalam masyarakat Bali menjadi penting dalam menganalisis temuan-temuan yang ada dalam penelitian ini. Melalui metode kualitatif, sumber primer penelitian yang didasarkan pada wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh puri dan nonpuri diletakkan sebagai kunci utama dalam penelitian ini, selain sumber-sumber sekunder yang juga menunjang kebutuhan informasi lanjutan dalam memahami peran puri secara lebih mendalam.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Puri Klungkung memiliki kapabilitas internal dan eksternal yang lebih lemah dalam memainkan tidak hanya peran politik, namun juga peran ekonomi dan kultural jika dibandingkan dengan peran sosial Puri Gianyar dan Puri Ubud. Kalangan elite Puri Gianyar dan Puri Ubud di Kabupaten Gianyar mampu menjalin relasi yang lebih intensif dengan masyarakat, sehingga partai politik tidak pernah merekomendasikan tokoh di luar puri untuk maju dalam pemilihan umum, setidaknya sampai tahun 2012. Penelitian ini juga tidak menemukan kepentingan bisnis yang bersifat oligarkis dalam jabatan politik tokoh puri di Kabupaten Gianyar, meskipun wilayah ini merupakan wilayah pariwisata terbesar ketiga di Bali, selain Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kecenderungan bias status dari kalangan puri dan nonpuri juga menjadi temuan penting dalam penelitian ini yang menunjukkan perbedaan perspektif terjadi secara nyata dalam memandang puri dari kalangan nonpuri dan sebaliknya. Kasus pseudohistori yang ditujukan untuk memperbaiki citra puri dalam kasus Puri Agung Klungkung juga menambahkan temuan penting dalam penelitian terkait peran politik puri dan strategi untuk mendapatkan jabatan politik praktis.
Skripsi ini diharapkan mampu mengisi celah penelitian terkait politik lokal di Bali, khususnya dalam memahami peran politik puri di masa pasca-Orde Baru secara lebih kontemporer hingga mencakup tahun 2012. Berdasarkan temuan penelitian yang ada, secara keseluruhan puri masih menjadi entitas sosial penting yang memiliki kapabilitas khusus dalam memperoleh dukungan dan legitimasi dari masyarakat di kedua wilayah tersebut, meskipun berbeda secara karakter.

Puri is an elite group identity which originated from Balinese royal family. Puri was formed since the Majapahit conquest of Bedahulu Kingdom in the 14th century. The Puri‟s social role still hitherto persists, albeit puri is no longer holds formal authority in local goverment. Generally, puri has three social roles which are substantial, there are (1) cultural role in arts preservation, mainly through vigorous development of tourism in Bali Island, (2) economic role which is related to community welfare under its influence, and (3) political role in directing certain figures and/or participating in local government through elections. Nevertheless, changing perspectives on puri in Balinese community in recent days and huge capability divergences among puri themselves render puri‟s roles being different from each other.
To deepen comprehension on puri‟s roles in Balinese society in post-New Order era, this research is scrutinized in two case studies in two different locations, namely Klungkung Regency and Gianyar Regency. Klungkung Regency is home to the Puri Agung Klungkung which is the oldest puri on the island of Bali. Gianyar Regency is home to three puris which are being research objects, namely Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) in Gianyar subdistrict, along with Puri Saren Ubud and Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) in Ubud subdistrict. This research is designed to analyze political role of puri in Klungkung Regency and Gianyar Regency along with some factors affecting the so-called political role. Oligarchic theory, pseudohistorical, and elucidation of caste social relations in Balinese society become necessary to analyze the findings on this research. Through qualitative method, primary sources of this research which are based on in-depth interview with several puri and nonpuri figures provide the setting on this research, aside from secondary sources which bolster additional informations to comprehensively deepen understanding of puri.
The results of this research show that Puri Klungkung has weaker internal and external capacities in playing not solely political role, but also economic and cultural roles if collated with social roles of Puri Gianyar and Puri Ubud. Elite cohort of Puri Gianyar and Puri Ubud in Gianyar Regency is still able to maintain intensive relations with its people, hence political parties never recommend figures outside puri to join local elections, leastwise up to 2012. This research also finds no business interests in Gianyar Regency through political offices held by puri elites which seems like oligarchic, whereas this regency is the third most favorite tourist destinantion in Bali, after Badung Regency dan Denpasar City. The propensity of status bias from both puri and nonpuri elites also becomes an important finding on this research which shows different perspectives that occur apparently regarding puri through nonpuri and vice versa. Pseudohistorical cases which addressed for beautification attempts of puri‟s image in case of Puri Agung Klungkung also add important findings on political role and strategies of puri to achieve political offices.
At last, this thesis is expected to fill the gap on study of local politics in Bali, particularly in comprehension of puri‟s political role in post-New Order era contemporarily up to 2012. Based on existing research findings, overally puri is still an important social entity which has special capabilities to obtain support and legimation from its people in both locations, despite different characteristically.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46919
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
D. Sures Kumar
"Konflik antara warga Desa Adat Kemoning dengan warga Desa Adat Budaga, Kecamatan Semarapura Kabupaten Klungkung Bali, Sabtu 17 September 2011, yang diakibatkan, perbedaan dalam menyikapi keberadaan pura dan prosesi upacara di Pura Dalem, yang akhirnya menimbulkan konflik terbuka dan mengakibatkan kerugian materil dan korban jiwa, dengan meninggalkan bapak I Ketut Ariaka Warga Desa Adat Budaga dan puluhan warga kedua desa mengalami luka-luka. Sehingga, dituntut peran dari Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung, sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan masalah adat sesuai dengan peraturan daerah (Perda) Pemda Bali No.3 Tahun 2001, untuk mereduksi konflik tersebut.
Melihat Fenomena tersebut, Peneliti mencoba mengkaji, Peran Kepemimpinan Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung dalam masyarakat dan bagaimana konflik tersebut terjadi serta apa yang meyebabkannya. Yang ditelusuri dari berbagai dimensi, baik sejarah pembentukan Desa Pakraman, nilai – nilai/ajaran kehidupan orang Bali dan sejarah konflik di Bali. Untuk memahami factor-faktor yang menyebabkan konflik tersebut terjadi dan bagaimana Peran Kepemimpinan Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung dalam menyelesaikan Konflik yang terjadi antara kedua Desa Adat tersebut, terdapat beberapa masalah, yaitu 1). Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Konflik Antar Desa tersebut dapat terjadi?. 2). Bagaimana Peran Kepemimpinan Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung dalam Menyelesaikan Konflik tersebut?. Untuk membedah masalah tersebut peneliti gunakan Teori Kepemimpinan, untuk melihat bagaimana peran kepemimpinan MMDP menyelesaikan konflik dan Teori Konflik, dalam melihat penyebab konflik antar Desa ada tersebut.
Secara umum signifikansi penulisan ini untuk mengetahui dan menganalisa factor-faktor penyebab konflik di Desa kemoning dan Desa Budaga, dan untuk mengetahui bagaimana peran Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung dalam menyelesaikan Konflik. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana data – data diperoleh dengan, observasi partisipatif, wawancara mendalam (in-dept interview) serta studi kepustakaan dengan tringulasi pengolahan data. Secara ringkas temuan yang diperoleh adalah, konflik antar Warga Desa Adat Kemoning dan Wrga Desa Adat Budaga, disebabkan saling klaim status Pura Dalem, Pura Prajapati, dan status Setra (tanah kuburan), serta dipicu adanya Paruman Agung Desa Adat Kemoning dan pemasangan spanduk batas Desa (selamat datang di Wewengkon/Lingkungan Desa Budaga) oleh Desa Adat Budaga. Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung, sudah berupaya mendamaikan kedua belah pihak dengan memediasi dan melakukan musyawarah, namun hal tersebut tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perbedaan yang ada dan tidak dapat dikelola dengan baik akhirnya menimbulkan konflik terbuka, serta mengakibatkan kerugian materil dan korban jiwa, hal ini menunjukan, belum maksimalnya peran Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Klungkung, menciptakan keharmonisan sesama warga. Sehingga pemerintah Klungkung perlu mengambil alih masalah ini dan memcarikan solusi yang lebih efektif.

Conflict between Indigenous Villagers of Kemoning and Indigenous Villagers of Budaga, District Semarapura Klungkung Bali, Saturday, September 17, 2011, as a result, the difference in response to presence of the temple and ceremonial procession at Pura Dalem, open conflict which resulted in material losses and casualties, death of Mr. I Ketut Ariaka, resident of Indigenous Village of Budaga and dozens of the residents in both villages injured. So that, required role of Majelis Madya Pakraman Village Klungkung as authorized agency to finish the problem based on local regulations, local goverment of Bali No.3, 2001.
Seeing the phenomenon, researcher try to assess the role of leadership Majelis Madya Pakraman Village Klungkung in the community how the conflict occurred and what causes. Researcher browse from various dimensions, Pakraman Village establisment history, values / teachings of Balinese life and history of the conflict in Bali. There are some problem to understand factors that cause conflict happen and how the role of Majelis Madya Pakraman Village Klungkung namely 1. What are the factors that lead to conflict between the village could happen?. 2. How is the role of Leadership Majelis Madya Pakraman Village Klungkung in resolving the conflict?. Researcher in analyzing the problem using a theory of leadership to see how the role MMDP resolve conflict and conflict theory in view of the causes of conflict between villages.
In general, the significance of this research to identify and analyze the factors causing the conflict, and to find how the role of Majelis Madya Pakraman Village (MMDP) Klungkung in resolving conflicts that occur. To achieve these objectives, used qualitative methods, where datas obtained with participant observation, in-depth interviews and study of literature with tringulasi data processing. In summary, the conflict due to overlapping claims status Pura Dalem, Pura Prajapati, and status of Setra (burial ground), and triggered Paruman Agung of Indigenous Village of Kemoning and installation of banners village boundary (welcome to wewengkon / budaga village environment) by Indigenous Village of Budaga. Majelis Madya Pakraman Village Klungkung, has attempted to reconcile the two sides to mediate and to deliberate, but it is not successfully reconcile the two sides. Differences that exist and can not be managed well eventually lead to open conflict, as well as resulting in material losses and casualties, this show, not maximal the role of Majelis Madya Pakraman Village (MMDP) Klungkung, creating harmony fellow citizens. So Klungkung government need to take over this problem and find a more effective solution.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Joenoes
"Relief di teras kedua candi induk Panataran berdasarkan penelitian Stein Callenfele dikatakan sebagai relief yang mengikuti jalan cerita dari kakawina Kranayana, yang inti ceritanya adalah penculikan Rukmini oleh Krana . Selain Kranayana terdapat beberapa kakawin lain yang mempunyai inti cerita yang sama, tetapi jika dilihat dari usia kakawin tersebut kebanyakan lebih muda daripada candi induk Panataran. Stein Callenfele sewaktu akan nembandingkan carita dari relief dengan cerita dari kakawin mendapat kesulitan karena kakawin-kakawin mengenai penculikan Rukmini oleh Krana yang ada belum diterjemahkan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa Belanda. Sehingga Stein Callenfels hanya menggunakan kakawin Kranayana yang diterjemahkan dengan bantuan R. Ng. Poerbatjaraka. Berdasarkan pendapat dari Stein Callenfels mengenai relief di teras kedua candi induk Panataran, maka diadakan penelitian kembali berupa perbandingan antara relief tersebut tidak hanya dengan kakawin Kranayana, tetapi juga kakawin Hariwansa. Relief di teras kedua candi induk Panataran ini dideskripei kembali secara lebih mendetil, lalu tokah-tokoh dan adegan-adegan yang ada pada relief diidentifikasi, sehingga dapat diadakan perbandingan dengan kakawin Kranayana dan Hariwafa. Mari perbandingan tersebut diketahui bahwa meskipun terdapat beberapa adegan pada panil relief di teras kedua candi induk Panataran yang tidak dapat dite_rangkan oleh kakawin Kranayana atau Hariwansa; tetapi pada dasarnya kakawin Kranayana memang lebih sesuai alur ceritanya dengan alur cerita yang terdapat pada panil relief di teras kedua candi induk Panataran..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S11529
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Masripah
"Skripsi ini membahas mengenai Bale Kambang yang terdapat pada keraton Kerajaan Islam di Pulau Jawa yang dibangun pada abad XVI-XVIII, ditinjau dari sisi bentuk Bale Kambang, baik kolam Bale Kambang maupun bangunan Bale Kambangnya. Data yang dikumpulkan melalui penjajagan data dan observasi yang dilakukan secara langsung maupun melalui literatur, kemudian diolah menggunakan analisis morfologi (analisis bentuk) dan hasil analisis tersebut diinterpretasikan dengan menggunakan metode perbandingan. Analisis menghasilkan bentuk-bentuk Bale Kambang pada keraton kerajaan Islam di Pulau Jawa. Pada tahap interpretasi menghasilkan unsur-unsur Bale Kambang yang sering muncul pada keraton kerajaan Islam di Pulau Jawa yang meliputi unsur utama yaitu air dan bangunan Bale Kambangnya, serta unsur fisik dari kolam dan bangunan Bale Kambang. Selain itu dengan membandingkannya dengan Bale Kambang pada masa Hindu-Buddha di Indonesia menghasilkan adanya kesinambungan bentuk Bale Kambang Hindu-Buddha ke kebudayaan Islam di Pulau Jawa.

This thesis is about Bale Kambang that exist in the Islam Kingdom in Java Island that was build in XVI-XVIII century, observed from the form of the Bale Kambang, the pond of Bale Kambang and also the construction of Bale Kambang it self. The data that collected by data investigation and observation that has done directly or by literature, and then processed by using morphology analysis (form analysis) and the result of that analysis interpreted with using comparison method. The analysis make Bale Kambang forms in Islam Kingdom in Java Island. The interpretation stage makes Bale Kambang elements that often appear in the Islam kingdom in Java Island that consist of main element that is water and the construction of Bale Kambang, and also physic element from the pond and the construction of Bale Kambang. Besides that by comparing it with Bale Kambang in Hindu-Buddha era in Indonesia make the continuity of Bale Kambang Hindu-Buddha construction to the Islam culture in Java Island."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11552
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Radila Adwina
"ABSTRAK
Candi Sukuh merupakan kompleks bangunan suci berbentuk punden berundak dengan tiga teras, yang digunakan pada masa akhir Kerajaan Majapahit, yaitu abad ke-15 M. Setiap teras dihias dengan berbagai relief, baik relief hiasan maupun relief naratif. Penelitian terhadap cerita pada relief-relief naratif tersebut telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun mereka menafsirkan cerita yang berbeda-beda. Selain itu terdapat pula relief naratif yang ceritanya masih berupa dugaan peneliti sebelumnya atau belum pernah diteliti sama sekali. Relief-relief tersebut terbagi ke dalam 13 batu berelief dengan jumlah panil yang berbeda pada tiap batu. Tiap relief disusun dari komponen relief, yang dapat terdiri dari komponen tokoh, binatang, tumbuhan, bangunan, senjata, dan benda lain, yang kemudian dibandingkan dengan penelitian-penelitian relief masa Majapahit sebagai identifikasi awal. Setelah itu, masing-masing komponen disusun sehingga menghasilkan 18 adegan cerita. 18 adegan tersebut kemudian dibandingkan dengan karya sastra Jawa Kuna ataupun relief bangunan suci masa Majapahit lainnya sehingga dapat diketahui sumber cerita, dan bila memungkinkan mengetahui adegan tertentu dalam cerita yang sama dengan penggambaran relief.

ABSTRACT
Candi Sukuh is a sacred temple complex shaped like step-pyramid structure with three terraces, that was used on late period of Majapahit Kingdom, around 15th century. Every terrace is decorated with various reliefs, either ornamental relief or narrative relief. The tale of the narrative reliefs had been studied by some researchers, but they had different opinion about it. Besides that, there are allegations on the tale from those reseachers of some other narrative reliefs, and narrative reliefs that have never been studied before. There are 13 carved stones of those narrative reliefs, with one or more panels on each stone. Each relief may consist of various relief components, such as figures, animals, plants, buildings, weapons, and other things. Those components are compared with other studies of relief on Majapahit period to obtain early identifications of the relief. After that, each component is arranged to form 18 tale scenes. The scenes are compared with Ancient Javanese texts or other sacred building reliefs from Majapahit period, so that the source of the tale and, if possible, particular scene of the tale are identified.
"
2016
S65809
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radila Adwina
"ABSTRACT
Candi Sukuh merupakan kompleks bangunan suci berbentuk punden berundak dengan tiga teras, yang digunakan pada masa akhir Kerajaan Majapahit, yaitu abad ke-15 M. Setiap teras dihias dengan berbagai relief, baik relief hiasan maupun relief naratif. Penelitian terhadap cerita pada relief-relief naratif tersebut telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun mereka menafsirkan cerita yang berbeda-beda. Selain itu terdapat pula relief naratif yang ceritanya masih berupa dugaan peneliti sebelumnya atau belum pernah diteliti sama sekali. Relief-relief tersebut terbagi ke dalam 13 batu berelief dengan jumlah panil yang berbeda pada tiap batu. Tiap relief disusun dari komponen relief, yang dapat terdiri dari komponen tokoh, binatang, tumbuhan, bangunan, senjata, dan benda lain, yang kemudian dibandingkan dengan penelitian-penelitian relief masa Majapahit sebagai identifikasi awal. Setelah itu, masing-masing komponen disusun sehingga menghasilkan 18 adegan cerita. 18 adegan tersebut kemudian dibandingkan dengan karya sastra Jawa Kuna ataupun relief bangunan suci masa Majapahit lainnya sehingga dapat diketahui sumber cerita, dan bila memungkinkan mengetahui adegan tertentu dalam cerita yang sama dengan penggambaran relief.

ABSTRACT
Candi Sukuh is a sacred temple complex shaped like step pyramid structure with three terraces, that was used on late period of Majapahit Kingdom, around 15th century. Every terrace is decorated with various reliefs, either ornamental relief or narrative relief. The tale of the narrative reliefs had been studied by some researchers, but they had different opinion about it. Besides that, there are allegations on the tale from those reseachers of some other narrative reliefs, and narrative reliefs that have never been studied before. There are 13 carved stones of those narrative reliefs, with one or more panels on each stone. Each relief may consist of various relief components, such as figures, animals, plants, buildings, weapons, and other things. Those components are compared with other studies of relief on Majapahit period to obtain early identifications of the relief. After that, each component is arranged to form 18 tale scenes. The scenes are compared with Ancient Javanese texts or other sacred building reliefs from Majapahit period, so that the source of the tale and, if possible, particular scene of the tale are identified."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton S. L. Rampen
"Salah satu golongan cacing yang merupakan masalah
kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang adalah
cacing-cacing usus yang ditularkan melalui tanah. Disebut
demikian karena telur-telur atau larva-larva dari golongan
casing ini hanya akan menjadi infektif setelah suatu masa
inkubasi dalam tanah. Manusia mendapat infeksi bila menelan
telur infektif atau bila larva infektif menembus kulit.
Cacing-cacing golongan ini umum terdapat di seluruh dunia
dan mempunyai angka prevalensi yang tinggi terutama di negara
berkembang serta pada sebagian besar dunia menyebabkan
insidens tertinggi penyakit manusia. Salah satu spesies
yang termasuk dalam golongan ini adalah cacing Ascaris
lumbricoides. Cacing ini di Indonesia merupakan salah satu
cacing yang tersebar luas, kadang-kadang sampai 90% (1,2).
Prevalensi dan derajat infeksi daripada cacing ini banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan tanah, keadaan
lingkungan serta kebiasaan penduduknya. Di daerah
yang mengandung tanah liat prevalensi Ascaris lumbricoides
biasanya lebih tinggi. Di kampung-kampung di daerah Jakarta
semua anak yang telah mencapai umur dua tahun pada umumnya
telah kena infeksi A. lumbricoides."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen P & K , 1991
499.221 7 GEO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Sulaeman
"
ABSTRAK
Relief-relief yang dipahatkan pada kepurbakalaan abad 10 - 15 Masehi di Indonesia bergaya naturalis, dinamis maupun tokoh pipih adalah merupakan salah satu hiasan ornamental. Hal ini sesuai di dalam kitab Manasara, yang di dalamnya tidak mengatur ketentuan tentang jenis yang dipahatkan pada suatu bangunan suci, hanya disebutkan bahwa bangunan suci dapat diberi hiasan agar terlihat indah.
Berdasarkan latar belakang permasalahan penelitian, timbulah pertanyaan penelitian sebagai berikut, Apakah sebagai hiasan ornamental, relief cerita terlepas dan aturan-aturan yang ada dalam masyarakat pendukungnya ?
Metode yang digunakan untuk menjawab portanyaan penelitian diatas adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan pustaka yang relevan dan memanjang data di lapangan 2. Studi lapangan dan perekaman data di lapangan. 3. 1nterpretasi data. Alasan dipilihnya kepurbakalaan abad 10 - 15 masehi dalam penelitian adalah sebagai berikut : a. Jenis-jenis relief cerita yang terdapat dalam periode ini lebih beragam. B. Kepurbakalaan yang berasal dari periode ini lebih banyak dihiasi oleh relief cerita. Hasil akhir dari penelitian ini adalah, walaupun hanya sebagai hiasan ornamental, relief cerita ternyata dalam pemahatannya memiliki kecenderungan-kecendenmgan sebagai berikut, 1. Dalam hal penempatan di bangunan, relief cerita tokoh manusia selalu ditempatkan lebih utama ( di atas) dibandingkan relief cerita tokoh binatang. Seandainya relief cerita tokoh manusia dan binatang pada sebuah bangunan, ada dalam posisi yang sejajar maka proporsi ruang yang diberikan pada cerita tokoh mamusia lebih besar dibanding cerita binatang. 2. Dalam hal arah pembacaan, baik relief cerita tokoh manusia maupun binatang adalah prasawya. Hal ini dimungkinkan karena tema cerita pada masa Jawa Timur adalah ruwat. Teori lain menyebutkan kebiasaan tulis dan baca sutra Jawa Kuna diterapkan dalam pembacaan relief 3. Dalam hal jumlah adegan, relief cerita tokoh manusia lebih banyak ( 463 adegan dari 15 cerita) sedangkan relief cerita tokoh binatang hanya 61 adegan dari 11 cerita. Hal ini sangat dimungkinkan karena seniman pada masa itu telah mengenal asas tema dan tata jenjang.
"
1997
S11759
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>