Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133382 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjipta Lesmana
Jakarta: Erwin - Rika Press, 2005
323.44 TJI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Estheralda
"Komunikasi dan informasi merupakan kebutuhan yang fundamental sifatnya bagi manusia dalam kehidupan modern dewasa ini. Melalui informasi manusia memperoleh pengetahuan, pendidikan maupun hiburan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari informasi yang merupakan produk dari dunia pers. Dalam penyajian suatu informasi bagi dunia pers seringkali terjadi suatu penulisan atau pemuatan berita yang dirasakan merugikan pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan huKum khususnya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sering sulit untuk dibuktikan bahwa telah terjadi penghinaan tersebut. Hal. ini disebabkan dalam KUH Perdata "sendiri tidak terdapat definisi yang jelas dari penghinaan tersebut. Sehingga para sarjana seperti Wirjono Prodjodikoro misalnya mengatakan bahwa ยท titik berat dari soal penghinaan berada dalam lapangan dunia perasaan yang bersifat sekonyong-konyong dan biasanya tidak memberikan kesempatan berpikir secara tenang dan tenteram apakah sebetulnya isi dari perkataan orang yang dikatakan menghina itu. Tetapi hal yang nyata ialah bahwa pada waktu kata-kata itu diucapkan, sudah ada kesan dari ucapan itu dan mungkin perasaan seseorang sudah tertusuk waktu itu, padahal ia belum sempat berpikir tentang apakah maksud sebenarnya dari ucapan itu. Pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan batasan-batasan tertentu dalam praktek di pengadilan. Dalam dunia pers sendiri telah ditentukan batasan-batasan bagi wartawan dalam menyajikan suatu berita yaitu Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers, untuk menghindari penulisan yang bersifat menghina dan/atau mencemarkan nama baik. Dalam praktek di pengadilan, pemberitaan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan umum tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan menurut pasal 1376 KUH Perdata. Contohnya adalah berita-berita mengenai KKN yang perlu diketahui masyarakat seperti informasi mengenai dugaan KKN yang dilakukan pejabat negara, kolusi dengan pihak swasta dan konglomerat dan nepotisme dengan keluarga pejabat negara adalah berita yang masuk dalam pengertian kepentingan umum. Dalam pemberitaan mengenai kepentingan umum tidak ternyata adanya maksud untuk menghina sehingga bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dalam hal penghinaan dan/atau pencernaran nama baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelisiana
"Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah berkembang pesat dan digunakan secara masif di seluruh dunia. Mesin kecerdasan buatan atau AI pada masa ini mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan manusia. Saat ini, sudah hadir generative AI dengan bentuk chatbot yang mampu menjawab pertanyaan dalam bentuk prompt dari manusia sebagai pengguna. Namun, tentunya perkembangan pesat kecerdasan buatan ini tidak bersifat sempurna. Dalam beberapa situasi, terjadi kesalahan dalam perkembangan kecerdasan buatan dan hal tersebut justru berpotensi untuk merugikan manusia, contohnya terjadinya pencemaran nama baik dalam chatbot seperti yang terjadi pada tahun 2023 di Amerika Serikat. Situasi tersebut pastinya akan menimbulkan beberapa macam ketidakpastian, salah satunya adalah pihak yang akan bertanggungjawab dalam hal terjadinya kesalahan hasil dari mesin kecerdasan buatan. Perumusan penulisan akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan generative AI di Indonesia dan Amerika Serikat sampai dengan tanggung jawab terhadap performa AI yang dianggap mencemarkan nama baik. Penulisan penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum doktrinal yang disusun lebih lanjut dengan pendekatan analisis yuridis normatif, yaitu dengan berfokus kepada kaidah-kaidah norma hukum dan penerapannya.

Today, technology has developed rapidly and is used massively throughout the world. Today's artificial intelligence or AI machines are able to fulfil various human needs. Currently, generative AI is available in the form of chatbot which is able to answer questions in the form of prompts from humans as users. However, of course, the rapid development of artificial intelligence is not perfect. In several situations, errors occur in the development of artificial intelligence and has the potential to harm humans, for example defamation in chatbots as happened in 2023 in the United States. Such situation will inevitably create several kinds of uncertainty, one of which is determining who will be held responsible when errors arise as the results of artificial intelligence systems. The formulation of this paper will discuss the standing of generative AI in Indonesia and the United States, including responsibility for AI performance that is considered defamatory. The writing of this study is reviewed with doctrinal research method, developed with a normative juridical analysis approach, focusing on legal norms and the application of legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelisiana
"Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi telah berkembang pesat dan digunakan secara masif di seluruh dunia. Mesin kecerdasan buatan atau AI pada masa ini mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan manusia. Saat ini, sudah hadir generative AI dengan bentuk chatbot yang mampu menjawab pertanyaan dalam bentuk prompt dari manusia sebagai pengguna. Namun, tentunya perkembangan pesat kecerdasan buatan ini tidak bersifat sempurna. Dalam beberapa situasi, terjadi kesalahan dalam perkembangan kecerdasan buatan dan hal tersebut justru berpotensi untuk merugikan manusia, contohnya terjadinya pencemaran nama baik dalam chatbot seperti yang terjadi pada tahun 2023 di Amerika Serikat. Situasi tersebut pastinya akan menimbulkan beberapa macam ketidakpastian, salah satunya adalah pihak yang akan bertanggungjawab dalam hal terjadinya kesalahan hasil dari mesin kecerdasan buatan. Perumusan penulisan akan membahas lebih lanjut mengenai kedudukan generative AI di Indonesia dan Amerika Serikat sampai dengan tanggung jawab terhadap performa AI yang dianggap mencemarkan nama baik. Penulisan penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum doktrinal yang disusun lebih lanjut dengan pendekatan analisis yuridis normatif, yaitu dengan berfokus kepada kaidah-kaidah norma hukum dan penerapannya.

Today, technology has developed rapidly and is used massively throughout the world. Today's artificial intelligence or AI machines are able to fulfil various human needs. Currently, generative AI is available in the form of chatbot which is able to answer questions in the form of prompts from humans as users. However, of course, the rapid development of artificial intelligence is not perfect. In several situations, errors occur in the development of artificial intelligence and has the potential to harm humans, for example defamation in chatbots as happened in 2023 in the United States. Such situation will inevitably create several kinds of uncertainty, one of which is determining who will be held responsible when errors arise as the results of artificial intelligence systems. The formulation of this paper will discuss the standing of generative AI in Indonesia and the United States, including responsibility for AI performance that is considered defamatory. The writing of this study is reviewed with doctrinal research method, developed with a normative juridical analysis approach, focusing on legal norms and the application of legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S21692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, J.C.T.
Bandung: Binacipta, 1980
323.44 SIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Diamanty Meiliana, auhtor
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis secara normatif pelaksanaan Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2002 tentang Pers dan membandingkannya dengan The Sixth
Amandement of United States of America sebagai dasar adanya pembatasan
peliputan di ruang sidang di Amerika Serikat. Peliputan ruang sidang yang
disiarkan secara langsung (live) merupakan fenomena baru yang makin marak
terjadi di ruang sidang di Indonesia dan sedikit demi sedikit telah menyampingkan
kekuasaan kehakiman dalam ruang sidang. Dalam penelitian ini, teori yang
dipakai adalah teori tentang negara hukum, teori tentang pers, dan teori tentang
kekuasaan kehakiman. Metode analisis dengan membandingkan undang-undang
lalu kemudian membandingkan tata cara peliputan di ruang sidang antara
Indonesia dan Amerika Serikat. Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem
peradilan Indonesia belum mengatur secara tegas tentang tata cara peliputan di
ruang sidang sebagaimana halnya di Amerika Serikat padahal keduanya adalah
sama-sama negara demokrasi.

ABSTRACT
This study analyzed the normative implementation of Law No. 48 of 2009
of Judicial Power toward Law No. 40 of 2002 of the Press and comparing it to
The Sixth Amandement of the United States of America as a basis for reporting
restrictions in the courtroom in the United States. Coverage in the courtroom
which broadcast live is a new phenomenon that is increasingly rampant in the
courtroom in Indonesia and has set aside the judicial power in the courtroom. In
this study, the theory used is the theory of the state law, the theory of the press,
and the theory of judicial power. Methods of analysis by comparing the laws and
then compare the coverage in the courtroom between Indonesia and the United
States. The research proves that the Indonesian justice system has not been set
explicitly about reporting procedures in the courtroom as well as in the United
States even though both are equally democratic state."
Salemba: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
La Ode Zalaluddin Kapege
"Penelitian ini membahas tentang kemerdekaan pers pasca reformasi bebas dan bertanggung jawab dengan menggunakan metode analisis normatif baik dengan pendekatan perundang-undangan dan perbadingan hukum. Bebas dimaksud yaitu pers bebas melakukan aktifitas jurnalistiknya sesuai dengan kaidah UU Pers, UU Penyiaran dan kode etik jurnalistik. Tanggung jawab yaitu kewenangan pemerintah mengawasi kemerdekaan pers salah satunya hak atas privasi. Lahirnya UU ITE salah satu kebijakan untuk melindungi hak atas privasi. Namun kehadirannya justru menghambat kebebasan pers dalam menyampaikan informasi khususnya terhadap aktifitas pejabat publik dan informasi publik yang menyimpang dan melanggar hukum. Dalam pasal 26 ayat (3) penghapusan informasi tidak relevan di pengadilan, pasal 27 ayat (3) sanksi pidana terhadap setiap orang dengan sengaja mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses informasi memuat tentang pencemaran nama baik, dan pasal 40 ayat (2b) kewenangan pemerintah dan penyelenggara sistem elektronik melakukan pencabutan akses informasi dan/atau dokumen elektronik memuat unsur melanggar hukum. Ketiga pasal tersebut memuat tentang pencemaran nama baik. Akibatnya pers yang mempunyai kewenangan menyiarkan informasi yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dengan mengacu pada pasal 5 ayat (3) dan pasal 2 dan 9 kode etik jurnalistik akan sangat rentan terkena UU ITE. Walau demikian pers juga harus mempunyai batasan yang tidak diskriminatif dalam menyampaikan informasi pribadi agar informasi tersebut tidak disampaikan secara sensasional dan hanya mengharapkan keuntungan. Olehnya itu penulis memberikan saran memperjelas kedudukan UU Pers sebagai lex spesialis dan memperkuat kewenangan Dewan Pers melakukan pencabutan informasi melanggar hak atas privasi yang bersifat sensasional dan hanya mencari keuntungan.

This research discusses the freedom of the press after free and responsible reform using normative analysis methods with both a statutory and comparative legal approach. Free means that the press is free to carry out its journalistic activities in accordance with the rules of the Press Law, the Broadcasting Law and the journalistic code of ethics. Responsibility, namely the government's authority to oversee press freedom, one of which is the right to privacy. The enactment of the ITE Law is a policy to protect the right to privacy. However, its presence actually hinders press freedom in conveying information, especially on the activities of public officials and public information that deviate and violate the law. In article 26 paragraph (3) the elimination of irrelevant information in court, article 27 paragraph (3) criminal sanctions against everyone deliberately distributing, transmitting and making accessible information containing defamation, and article 40 paragraph (2b) government authority and the electronic system operator shall revoke access to information and / or electronic documents containing elements of violating the law. The three articles contain defamation. As a result, the press which has the authority to broadcast information related to defamation with reference to article 5 paragraph (3) and articles 2 and 9 of the journalistic code of ethics will be very vulnerable to being exposed to the ITE Law. However, the press must also have non-discriminatory limits in conveying personal information so that the information is not conveyed sensationally and only hopes for profit. Therefore, the authors provide suggestions to clarify the position of the Press Law as a lex specialist and strengthen the authority of the Press Council to revoke information that violates the right to privacy which is sensational in nature and only seeks profit"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alika Putri Fachira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep pencemaran nama baik dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dengan melakukan perbandingan antara peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dan Australia. Definisi pencemaran nama baik tidak secara spesifik dijelaskan dalam KUHPerdata Indonesia. KUHPerdata hanya mengatur tentang upaya hukum pencemaran nama baik yang dicantumkan dalam Pasal 1372-1380. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan melawan hukum ini juga tidak seragam, ada yang menyebutnya sebagai pencemaran nama baik, sementara dalam beberapa sumber yang lain, termasuk KUHPerdata, menyebutnya sebagai penghinaan. Sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut, korban memiliki hak untuk menggugat pelaku dan menuntut pertanggungjawaban untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan pemulihan nama baik serta kehormatannya. Sementara di Australia, pencemaran nama baik diatur secara spesifik dalam undang-undang yang dikenal sebagai Defamation Act 2005 dan Model Defamation Amendment Provisions 2020. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dikenal sebagai tort yang umumnya digolongkan dalam ranah hukum perdata. Walaupun Australia merupakan negara federal, tetapi undang-undang tersebut berlaku nasional karena mengikat seluruh negara bagian serta wilayah teritorinya. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan suatu perbandingan hukum terkait konsep pencemaran nama baik sebagai suatu perbuatan melawan hukum antara Indonesia dan Australia dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan berbentuk doktrinal. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi baik persamaan maupun perbedaan pengaturan terkait konsep pencemaran nama baik di kedua negara tersebut.

This paper analyzes how the concept of defamation is considered as a tort, by comparing the laws and regulations in Indonesia and Australia. The definition of defamation is not specifically explained in the Indonesian Civil Code. The Civil Code only regulates the remedy of defamation which is included in Articles 1372-1380. The term used to describe this unlawful act is also inconsistent, some refer to it as defamation, while some other sources, including the Civil Code, refer to it as an insult. Because of these actions, the victim has the right to claim the actor and prosecute for liability to obtain compensation according to the provisions in Article 1365 of the Civil Code because it is considered an unlawful act and to restore his good reputation and honor. Meanwhile in Australia, defamation is specifically regulated in a law known as the Defamation Act 2005 and the Model Defamation Amendment Provisions 2020. Defamation is a legal act known as a tort which is generally classified as a civil law. Although Australia is a federal state, the law applies nationally because it applies to all states and territories. Therefore, as an inspirational function, this research conducts a legal comparison related to the concept of defamation as an unlawful act between Indonesia and Australia by employing a doctrinal comparative approach. Through this research, both similarities and differences in the regulation of the concept of defamation in both countries can be identified."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>