Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127408 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juajir Sumardi
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995
346.065 JUA a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yustinus Sadmoko
"Waralaba X adalah sebuah upaya untuk melaksanakan pengembangan Sekolah X melalui waralaba. Usaha ini melibatkan beberapa pihak yang mempunyai tujuan yang berbeda-beda baik yang berorientasi mencari laba maupun berorientasi nirlaba. Pihak-pihak tersebut meliputi Yayasan X, yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan, sosial dan kemanusiaan, Pendiri Yayasan X sekaligus pemegang saham PT X, yang menjadi master pewaralaba, dengan misi pendidikan dan mencari laba, serta para calon terwaralaba yang bertujuan mencari laba. Karya akhir ini bertujuan untuk mencari skema waralaba yang tepat yang dapat mengakomodasi tujuan masing-masing pihak yang terlibat di atas. Di samping itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan/meningkatkan tingkat profitabilitas waralaba sehingga sustainability dari waralaba dapat diperoleh juga menjadi tujuan dari penyusunan karya akhir ini.
Struktur industri pendidikan tingkat pra sekolah dan sekolah dasar saat ini masih over demand tetapi tingkat persaingannya akan semakin ketat di masa depan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, skema waralaba yang akan di lakukan harus difokuskan untuk memperoleh daya saing yang lebih tinggi di masa depan. Di samping investasi berkesinanibungan untuk meningkatkan mutu jasa pendidikannya, percepatan penetrasi pasar melalui pendirian sekolah di lokasi-lokasi yang dekat dengan target pasar dapat mendukung upaya peningkatan daya saing tersebut. Skema waralaba ini dibuat untuk membantu percepatan tadi tanpa membebani tuntutan dana bagi Yayasan X maupun PT X. Oleh karena itu, skema harus dibuat supaya Waralaba X ini menarik bagi para calon terwaralaba.
Sebelum menentukan format waralaba yang mampu mengakomodasi semua tujuan di atas, harus dilakukan identifikasi atas proyeksi laba (atas basis kas) operasi waralaba yang akan dialokasikan untuk memenuhi tujuan masing-masing pihak. Setelah dilakukan perhitungan dengan asumsi tertentu kondisi penyelenggaraan sekolah, hasilnya adalah sebagai berikut:
- Program Taman Bermain dan Taman Kanak-Kanak diproyeksikan akan menghasilkan laba (atas basis kas) sebesar Rp 784 juta di tahun pertama dan naik secara bertahap sampai Rp 1.211 juta di tahun kesepuluh.
- Program Sekolah Dasar diproyeksikan akan menghasilkan laba (atas basis kas) operasi sebesar Rp 994 juta di tahun pertama dan naik secara gradual sampai Rp 5.456 juta di tahun kesepuluh.
Dengan proyeksi laba operasi di atas, supaya proyek waralaba ini menarik bagi terwaralaba sehingga tingkat penetrasi pasar yang tinggi bisa diperoleh, imbal hasil bagi terwaralaba harus memenuhi dua persyaratan yaitu return atas investasi awal yang tinggi serta payback period. Dengan melakukan benchmarking dengan waralaba jasa pendidikan "LP3I", ditentukan return tersebut adalah 25% serta payback period maksimal 5 tahun . Selain itu, untuk mengakomodasi preferensi dan ketersediaan modal calon terwaralaba, perlu diberikan beberapa opsi kombinasi initial fee - ongoing fee yang fleksibel. Kombinasi yang bisa memenuhi persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
- Untuk program TB dan TK, tersedia 3 opsi kombinasi initial fee - ongoing fee untuk pewaralaba adalah Rp 600 juta dan 20,43% (dari arus kas operasi operasi), Rp 400 juta dan 27,40% serta Rp 200 juta dan 34,27%.
- Untuk program Sekolah Dasar, kombinasi initial fee - ongoing fee untuk pewaralaba adalah Rp 700 juta dengan 48,32% (dari arus kas operasi operasi), Rp 500 juta dengan 51,10% serta Rp 300 juta dengan 53,88%.
Kombinasi initial .fee ongoing fee bisa diturunkan secara bertahap oleh pewaralaba untuk meningkatkan keuntungannya setelah tingkat penetrasi pasarnya cukup tinggi. Initial fee dan ongoing fee ini selanjutnya harus dibagi antara Yayasan X di satu pihak, dengan PT X serta Pendiri. Karena Yayasan X tidak mengeluarkan biaya apapun dalam rangka skema waralaba ini, berapapun hasil yang diperolehnya nilai net present value-nya pasti positif. Selain itu, Yayasan X juga bisa memperoleh manfaat tambahan dalam pencapaian tujuan keagamaannya melalui penerapan prinsip ekonomi Islam dalam skema waralaba. Penerapan prinsip ini bisa dilakukan untuk mengakomodasi pembayaran initial fee dengan akad jual beli, pembayaran ongoing fee dengan cara bagi basil. Prinsip ini juga bisa diterapkan dalam penghitungan bagian Yayasam X melalui penggunaan tarif zakat, yaitu sebesar 2,5% sampai 10% dan laba sebelum pajak dan fee waralaba yang diperoleh waralaba (sesuai kesepakatan). Namun, Yayasan X tidak mendapat bagian dari initial fee. PT X dan pendiri mendapatkan seluruh sisanya tetapi bertanggung jawab untuk melaksanakan seluruh program pemasaran, supervisi dan kegiatan lain dalam skema waralaba ini.
Umuk mencapai tujuan meningkatkan daya saing di masa depan sehingga profitabilitas Waralaba X dapat terjaga, perlu dibuat strategi untuk meningkatkan perceived quality atas jasa Sekolah X. Perceived quality jasa ini sangat ditentukan oleh kemampuan penyedia jasa memenuhi harapan konsumen pada atribut-atribut yang dianggap penting bagi mereka dalam mengambil keputusan mengkonsumsi jasa ini. Dari hasil analisis dengan model Analytic Hierarchy Process diperoleh ranking atribut-atribut tersebut berdasarkan tingkat kepentingannya bagi konsumen yang menjadi target pasar Sekolah X sebagai berikut:
1. Prioritas pada pendidikan agama 26%
2. Letak sekolah yang dekat dengan tempat tinggal 17%
3. Kelengkapan fasilitas belajar dan bermain 16%
4. Biaya yang mnirah 15%
5. Penggunaan kurikulum dan sistem pengajaran dari negara maju 8%
6. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar 7%
7. Merk dan reputasi sekolah yang sudah terkenal 6%
8. Tersedianya jenjang pendidikan berikutnya 6%.
Dari data tersebut dapat disirnpulkan bahwa untuk meningkatkan perceived quality jasanya, selain mempertahankan posisinya sebagai sekolah yang memprioritaskan pendidikan agama, PT X juga harus berinvestasi lebih banyak pada fasilitas belajar dan bermain. Di samping itu juga diperlukan upaya untuk lebih mendekatkan diri secara fisik dengan konsumen. Kedekatan fisik pada konsumennya ini juga akan menurunkan biaya bagi konsumen untuk mengkonsumsi jasa Sekolah X yang menawarkan peluang bagi Waralaba X untuk meningkatkan keuntungannya dengan menaikkan harga jasanya tanpa menurunkan perceived quality-nya. Maka dari itu, skema waralaba di atas tepat untuk dipilih PT X dalam rangka ekspansinya.

Franchise X is the former of School X's expansion through franchising. This form of expansion will be done by various parties that have different objectives, both profit and non profit oriented. The parties are Foundation X, a religion, social and humanity oriented foundation, PT X. a profit oriented entity, Founder (of Foundation X and PT X), the master franchiser with both profit and social (education) orientation, and the candidates of franchisees with their profit orientation. The main objective of this study is to find a suitable scheme of the franchise that accommodate the above various objectives. Besides, the efforts to sustain/grow the profitability of Franchise X so that the business will be sustainable are also important things that will also be discussed.
The structure of the pre-school and elementary school industry is currently over demand, but the internal rivalry is growing higher. The industry is predicted to be more competitive in the future. To anticipate this matter, the scheme of the franchise should focus on earning higher competitive advantage in the future. Beside continuously investing on building higher quality, of its education service, speeding up the market penetration through establishing more schools that close to target market can also be useful to build the competitive advantage. Because the scheme should be developed with little fund from the franchiser (Foundation X and PT X), the scheme should also be interesting to the target franchisees.
Before developing the scheme the projected income (on cash basis) of the franchise that will be used to satisfy each objective of the parties should be calculated first. With certain assumption, the results of the projection arc as follow:
- Play Group and Kindergarten Program is projected to earn (on cash basis) Rp 784 million in the first year and growing continuously to Rp 1.211 million in the 10th year
- Elementary School Program is projected to earn (on cash basis) Rp 994 million in the first year and growing continuously to Rp 5.456 million in the 10th year.
With the above projected income, in order to make the project interesting for the candidates of franchisees so that the expected level of penetration can be reach, the return offered to them should fulfill two requirements: high return on investment and short payback period. From benchmarking with "LP3I", a franchise of a non-formal education, the return offered is 25% and the payback period is 5 year. Besides, to accommodate the various preference and capital adequacy of the candidates of the franchisees, some option of flexible combination of initial fee -- ongoing fee is also necessary to be offered. The combinations that fulfill the above two requirements are:
- For Play Group and Kindergarten Program, there arc three option of combination of initial fee - ongoing fee: Rp 600 million and 20,43% (from income on cash basis), Rp 400 million and 27,30%, and Rp 200 million and 34,27%.
- For Elementary School Program, there are three option of combination of initial fee - ongoing fee: Rp 700 million and 48,32% (from income on cash basis), Rp 500 million and 51,10%, and Rp 300 million and 53,88%.
The offered return for the franchisees can be gradually reduced to increase the profit of the franchiser after PT X can reach the expected level of penetration. The Ices should then be split to Foundation X and PT X (and Founder as the owner of PT X). Because Foundation X does not bear any expenses for this project, the net present value for the foundation will always be positive. Besides, Foundation X will also gain an achievement of its objectives in religion mission through the application of Islamic Economic principles in the scheme. The principles can be applied to accommodate the payments of initial fee through sale-purchase akad, and payment of ongoing fee through profit sharing agreement. The principles will also be applied to calculate the share of Foundation X from the ongoing fee received by PT X through the application of zakat tariff (between 2,5% to 10% from net profit (on cash basis) before franchise fee and income tax. Nevertheless, Foundation X will not get any share from initial fee. As a consequence, PT X should bear all the expenses in relation with the franchising project, including marketing, supervision and other related expenses.
To build a higher future competitive advantage so that the level of profitability of Franchise X can be sustainable, some efforts should be done to build the perceived quality of the education service of School X. The perceived quality of the service is determined by the ability of the service provider to fulfil the customers (parents)' expectation on certain attributes that they perceive to be important for choosing school for their children. The result from analysis with Analytic Hierarchy Process (AHP) model, the ranking of importance of the attributes are as follow:
1. Priority on religion subjects 26%
2. Close to home 17%
3. Completeness of education and playing facilities 16%
4. School Fees 15%
5. Application of curriculum from advanced countries 8%
6. Using English as daily language 7%
7. Brand and reputation of the school 6%
8. Presence of next level of education 6%
The conclusion that can be drawn from the above information is that to build its perceived quality, beside strengthening its positioning as a school that prioritizing education on religion, PT X should also investing more on education and playing facilities. Besides, the effort to build closer schools to target market is also important. The closer school can also be used to reduce the cost for consuming the service (for customers) that will offer a chance for Franchise X to increase its profitability by increasing the price without reducing the perceived quality. Because of those, the above scheme is suitable to be chosen by PT X for implementation if its expansion program.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Robert Agustinus
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S25856
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dian Hardiyanti
"Perjanjian franchise berperan penting dalam sistem franchise karena sistem franchise didasarkan pada suatu perjanjian sebagai pedoman pelaksanaan. Di Indonesia, mengenai franchise diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Sementara itu, di Australia, franchise diatur dalam Competition and Consumer Industry Codes ndash; Franchising Regulation 2014 Select Legislative Instrument No. 168, 2014 yang dikenal sebagai "Franchising Code of Conduct". Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, penelitian perbandingan hukum ini menunjukkan bahwa selain terdapat perbedaan dalam pengaturan hukum mengenai perjanjian franchise yang berlaku di Indonesia dan Australia, juga terdapat persamaan.

Franchise agreement has a vital role in the franchise system, because the franchise system based on an agreement as implementation guidance. In Indonesia, franchise is regulated in Government Regulation No. 42 year 2007 on Franchise and Regulation of the Minister of Trade of The Republic of Indonesia Number 53 M DAG PER 8 2012 on Franchising. Meanwhile, in Australia, franchise is regulated in Competition and Consumer Industry Codes ndash Franchising Regulation 2014 Select Legislative Instrument No. 168, 2014 also known as ldquo lsquo Franchising Code of Conduct rdquo . This research is jurisdistic normative research, this legal comparative research shows that other than the difference in the regulation about franchise in Indonesia and Australia, it also has the similarity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arghie Adriano Hanafi
"Franchise merupakan metode pendistribusian produk atau layanan yang dilakukan antara franchisor dan franchisee, di mana franchisor dan franchisee memberikan hak khusus usaha nya kepada franchisee yang didasari oleh perjanjian franchisee. Pengaturan terkait franchise di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Lalu, pengaturan terkait franchise di Belanda diatur dalam Wet Franchise yang baru saja diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2021. Penelitian ini akan membahas persamaan, perbedaan, serta manfaat membandingkan hukum franchise Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif

Franchise is a product or service distribution method carried out between the franchisor and the franchisee, in which the franchisor and franchisee grant special business rights to the franchisee offered by the franchisee agreement. Regulations related to franchising in Indonesia are regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 on Franchise and Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 on Franchise Implementation. Then, regulations regarding franchising in the Netherlands are regulated in the Wet Franchise which was enforced on January 1, 2021. This research will discuss the similarities, differences, and benefits of comparing Indonesian and Dutch franchise laws. The research method used in this research is normative juridical method.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Windo Wahidin
"

Perkembangan bisnis dengan sistem franchise semakin marak. Franchise merupakan suatu sistem pemasaran, dimana pemilik franchise (Franchiser) memberikan hak kepada pemegang franchise (franchisée) untuk memasarkan barang dan jasa franchiser dengan menggunakan merek dagang dan/atau jasa, metode, cara dan format bisnis (standar operasional prosedur) yang ditentukan oleh franehisor untuk jangka waktu teitentu dan di suatu wilayah tertentu. Untuk itu franchisée harus membayar biaya franchise, biaya royalty dan biaya-biaya lainnya kepada franehisor.

Sistem bisnis franchise mulai tumbuh pada tahun 1850 di Amerika Serikat dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Seiiring dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia sistem bisnis franchise mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dalam bentuk restoran siap saji, binatu, fotocopy, cuci cetak foto, dll. Hubungan dalam sistem franchise dibangun atas dasar hubungan perjanjian, yang dikenal dengan peijanjian franchise. Hubungan - hubungan yang terjalin tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Apabila terjadi sengketa para pihak akan mengupayakan jalur musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak tercapai, maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan.

Munculnya franchise telah menimbulkan permasalahan di bidang hukum. Untuk itu pemerintah Indonesia segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/Kep/l9V7 tentang Ketentuan Pendaftaran dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Kedua peraturan tersebut dibuat agar kedudukan franehisor dan franchisée diatur untuk meminimalisir perselisihan yang mungkin teijadi. Sampai kini di Indonesia belum terdapat perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah perdagangan dengan sistem franchise. Selama ini praktek yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan tertulis dalam bentuk francliisee didasarkan pada asas kebebasan berkontrak seperti tertuang pada pasal 1338 KUHPerdata.

"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T23033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Fitri Utami
"Waralaba adalah hak khusus (adalah karya intelektual manusia di Indonesia) bidang industri hak kekayaan intelektual (HAKI)) yang didukung oleh individu atau entitas bisnis yang menentang sistem bisnis dengan bisnis karakteristik untuk memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat digunakan dan/digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian Waralaba. Di Indonesia, pengaturan Waralaba dalam Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif penelitian yuridis. Penelitian yuridis dilakukan dengan penelitian hukum perpustakaan dan revisi Peraturan Waralaba No. 16 tahun 1997 dan Peraturan Waralaba No. 42 tahun 2007 2007 untuk melihat perkembangan pengembangan Waralaba di Indonesia. Sementara di Inggris, peraturan tentang waralaba masih menggunakan kode etik, yaitu ECF, yang hanya merupakan kode etik, tetapi penggunaannya menjadi pedoman dan menjadi a patokan untuk hakim. Kemudian tentukan Waralaba di Inggris, yang dirinci di ECF dengan kode BFA, yang merupakan Kode BFA di samping Inggris pemerintah. Selain itu, penulis juga akan menentang hukum Waralaba di Indonesiadan Inggris, untuk melihat perspektif lain yang semakin besar Dunia waralaba di era globalisasi saat ini.

Franchising is a special right (a human intellectual work in Indonesia) in the field of intellectual property rights industry (IPR) supported by individuals or business entities that oppose the business system with business characteristics to market goods and/or services that have proven successful and can be used and/used by other parties based on the Franchise agreement. In Indonesia, the regulation of Franchising in Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchising. The research method used in this study is normative juridical research. Juridical research was carried out with library law research and revision of Franchise Regulation No. 16 of 1997 and Franchise Regulation No. 42 of 2007 2007 to see the development of Franchise development in Indonesia. Meanwhile in In the UK, regulations on franchising still use a code of ethics, the ECF, which is only a code of ethics, but its use is a guideline and becomes a benchmark for judges. Then specify the Franchise in the UK, which is specified in the ECF with the BFA code, which is the BFA Code in addition to the UK government. In addition, the author will also oppose the Franchise law in Indonesia and the UK, to see other perspectives that are getting bigger The franchise world in the current era of globalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnah
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana penerapan pengaturan mengenai waralaba di Indonesia. Pelaksanaan waralaba di Indonesia selain mengacu kepada peraturan mengenai waralaba juga harus tunduk dan patuh terhadap pengaturan di bidang lain yang terkait dengan waralaba itu sendiri. Di Indonesia terdapat pengecualian waralaba terhadap pengaturan mengenai persaingan usaha, namun terhadap pengecualian tersebut, masih terdapat pembatasannya.
Dalam perjanjian waralaba yang dibuat antara PT Eatertainment International, Tbk dan PT Cahaya Hatindo masih terdapat beberapa ketentuan yang berpotensi menyebabkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu seharusnya Penerapan pengecualian pemberlakuan ketentuan Hukum Persaingan Usaha di dalam klausul perjanjian waralaba antara PT. Eatertainment Tbk dan PT. Cahaya Hatindo hendaknya harus dilakukan dengan benar agar tidak menciptakan celah bagi terjadinya praktek persaingan usaha yang tidak sehat.

The focus of this study is how the implementation of franchise rule in Indonesia. Franchises in Indonesia should be conducted based on the franchise rules and another rules related to franchise. There are exceptions to the rules of Indonesian Competition Law where franchise is included in, nevertheless there are still restriction to that exception.
In the Franchise Agreement between PT Eatertainment International, Tbk and PT Cahaya Hatindo, there are any clauses that could be potentially causing unfair business practice. The exception to the rules of Indonesian Competition Law in that clauses should be implemented in good way to conduct fair business practice between them.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pietra Sarosa
"Penelitian di Perancis menunjukkan bahwa faktor dukungan dari franchiser, faktor alasan ekonomis dari format bisnis franchise, faktor alasan pemasaran dari format bisnis franchise, dan faktor alasan pribadi dari calon franchisee merupakan faktor yang menentukan keputusan calon franchisee dalam memilih format bisnis franchise. Namun demikian, belum ada penelitian semacam ini di Indonesia yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan calon franchisee di Indonesia dalam memilih format bisnis dan merek franchise.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor-faktor penentu pada penelitian di Perancis tersebut pada responden di Indonesia untuk melihat apakah faktor yang sama juga mempengaruhi keputusan calon franchisee di Indonesia dalam memilih format bisnis franchise.
Penelitian ini terdiri dari enam model pengukuran dan lima hipotesis yang diujikan terhadap 202 responden dimana responden dalam penelitian ini adalah pengunjung International Franchise and Business Expo 2006 di Jakarta Convention Center tanggal 5-7 Mei 2006.
Metode penentuan sampel yang digunakan adalah model convenience sampling. Analisis data yang digunakan adalah metode Structural Equation Model (SEM) dengan menggunakan program LISREL 8.30. Data yang dikumpulkan ternyata hanya mendukung empat dari lima hipotesis yang dikemukakan, sementara sate hipotesis lainnya tidak diterima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa temyata faktor dukungan dari franchiser, faktor alasan ekonomis dari format bisnis franchise dan faktor alasan pribadi dari calon franchisee) menjadi faktor yang menentukan keputusan calon franchisee untuk memilih format bisnis franchise. Selain itu bahwa pemilihan format bisnis franchise juga mempengaruhi keputusan talon franchisee dalam memilih suatu merek franchise.
Temuan yang penting dalam penelitian ini adalah bahwa faktor pemasaran dari format bisnis franchise ternyata bukan menjadi faktor yang menentukan dari keputusan calon franchise dalam memilih format bisnis franchise. Hal ini tentu berbeda dengan hasil penelitian di Perancis.
Implikasi yang dapat diberikan melalui penelitian ini antara lain bahwa perlu adanya edukasi bagi calon franchisee mengenai pentingnya dukungan dari franchiser bagi keberhasilan bisnis franchise mereka dalam jangka panjang. Selain itu franchiser juga perlu lebih menekankan mengenai aspek ekonomis dan alasan pribadi untuk menarik minat para calon franchisee.
Terakhir, Pemerintah sebagai regulator bisnis franchise diharapkan juga menerapkan aturan yang lebih ketat bagi franchisor antara lain dengan mengharuskan franchisor menyediakan prospektus yang memuat data keuangan dan dukungan yang diberikan kepada franchisee-nya.

Previous research in France showed that support factor from franchiser, economic reason factor of franchise business format, marketing reason factor of franchise business, and personal reason factor from franchisee candidate were deciding factors of franchisee candidates in choosing franchise business format. Nevertheless, there had never been such research in Indonesia to study the factors influencing the decisions of franchisee candidates in Indonesia in choosing franchise brand and business format.
This research aimed to examine deciding factors of the said research in France for respondent in Indonesia to see whether same factors also influenced the decisions of franchisee candidates in Indonesia in choosing franchise business format.
This research consisted of six measurement models and five hypotheses which were tested on 202 respondents in which the resepondents of this research were visitors of International Franchise and Business Expo 2006 in Jakarta Convention Center dated 5-7 May 2006.
Sampling Method used was sampling convenience model. Data analysis used was Structural Equation Model (SEM) method which used LISREL 8.30 program. The collected data turned out to only support three out of five hypothesis quoted, whereas the other two hypothesis were not accepted.
The research result showed that the franchiser's support factor, economic reason factor of business format and personal reason factor of franchisee candidate became the deciding factors for franchisee candidate to choose franchise business format. Besides that, the fact that the choice of franchise business format also influenced franchisee candidate decision to choose certain franchise brand.
The important finding in this research was that marketing reason factor of franchise business format were not the deciding factor of franchise candidate decision to choose franchise business format. This, of course, was decent from the result of the research in France.
The implications which can be given through this research were the need of education for franchisee candidate regarding the importance of franchiser support for the success of their franchise business in the long term. Besides that, franchiser also needs to emphasize on the economic aspect and personal reason to attract the interest of franchisee candidate.
Lastly, the government as franchise business regulator was expected to implement more stringent regulations for franchiser such as necessitating franchiser to provide prospectus containing financial data and support to be given to their franchisee.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Prayudi
"Franchise merupakan suatu perjanjian antara para pihak dimana pihak pemilik Franchise disebut Franchisor sedangkan pihak pemohon disebut Franchisee. Franchise merupakan suatu bentuk usaha perdagangan yang belum lama dikenal yang paling utama dari, perjanjian ini adalah pemakaian dari nama perdagangan milik Franchisor. Dasar dari suatu perjanjian adalah kesepatan para pihak yang di dasarkan pada pasal 1320 KUHPerdata. Adanya suatu konsensus antar para pihak menjadikan perjanjian tersebut sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian merupakan dasar dari usaha Franchise yang menggunakan nama perdagangan milik pihak lain. Banyak perjanjian-perjanjian yang mirip dengan Franchise tetapi tidak dapat dikatakan Franchise. antara lain Lisensi agent dan distribusi. Lisensi mirip dengan Franchise dikarenakan hanyak dari perjanjian Franchise yang menggunakan kata lisensi dalam kontraknya sehingga sepintas lalu mirip. Perjanjian Franchise didalamnya menyangkut hal-hal sebagai berikut : a. Pemakaian nama perdagangan b. Konsultasi manajemen. hukum maupun pemasaran c. Bantuan promosi dan penataan serta pembukaan d. Pengawasan dari Franchisor mengenai mutu dan pelayanan Hal tersebut diatas mutlak ada dalam suatu perjanjian Franchise. Kedudukan Franchisor sebagai pemilik secara nyata lebih kuat dibandingkan Franchisee karena lebih banyak kewajiban bagi Franchisee. Permasalahan yang biasa timbul adalah mengenai pengawasan karena banyak. Franchisee maka dirasakan kurang sehingga akan merugikan baik Franchisee maupun Franchisor penyelesaian perselisihan ini biasanya dikaitkan ganti rugi sampai pemutusan perjanjian ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>