Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175405 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Bambang Widarto
"Keselamatan penerbangan merupakan suatu masalah yang saat ini memerlukan perhatian dan telah menjadi issue nasional ataupun internasional. Karena moda transportasi yang memiliki karakteristik cepat tersebut makin lama makin padat dan dengan demikian kerawanan terhadap kecelakaan makin banyak. Pada akhir-akhir ini Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masalah keselamatan penerbangannya sangat memprihatinkan. Berbeda dengan kecelakaan mode transportasi di darat dan laut yang sering diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, dalam kecelakaan moda transportasi penerbangan ini sejak Indonesia merdeka sampai dengan saat ini yang sudah lima puluh tiga tahun tidak ada satupun kecelakaan pesawat udara yang diselesaikan melalui sistem peradilan pidana. Padahal, KUHP telah mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara (murni) secara lengkap dalam Pasal 359, 360 dan Pasal 479 g KUHP. Di lain pihak kecelakaan pesawat udara yang terjadi telah berpuluh bahkan beratus kali, pada tahun 1997-1998 saja tercatat 57 kali angka insiden dan kecelakaan. Adapun untuk kecelakaan pesawat udara yang fatal pada tahun 1997-1998 tercatat 12 kali. Hasil penelitian dari AAIC Indonesia pun menunjukkan faktor penyebab terbesar adalah faktor manusia (pada saat operasional pesawat udara). Hal demikian inilah yang menjadi latar belakang penulisan tesis ini. Dengan kesadaran hukum masyarakat yang makin tinggi, pelayanan dan penegakan hukum dalam kaitan keselamatan penerbangan ini sudah barang tentu harus mendapatkan perhatian.
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian gabungan, baik penelitian normatif maupun empiris. Dalam kesimpulan dikemukakan bahwa tidak semua kasus kecelakaan pesawat udara murni harus diselesaikan melalui jalur sistem peradilan pidana, namun hanya kecelakaan yang mengandung unsur dolus dan culpa, dalam hal ini culpa lata (kesembronoan). Disimpulkan pula bahwa pada prinsipnya KUHP telah mengatur secara lengkap tindak pidana yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara, baik kecelakaan pesawat udara murni dan tidak murni. Namun, masih perlu ada penyempurnaan di beberapa pasal. Kemudian, ditemui adanya suatu kendala fungsionalisasi hukum pidana dalam kecelakaan pesawat udara, antara lain sulitnya mengumpulkan barang bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP, kurangnya atau bahkan tidak adanya tenaga ahli pada Polri selaku penyidik yang membidangi masalah ini, tidak adanya akses antara Polri selaku penyidik dengan Aircraft Accident investigation Comission (Panitia Penelitian Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara) , seringkali seluruh awak pesawat dan penumpang yang ada dalam pesawat udara meninggal dunia serta sangat rumitnya teknologi penerbangan. Sulitnya mengumpulkan informasi kecelakaan dan barang bukti kecelakaan pesawat udara ini antara lain juga disebabkan tidak adanya sifat keterbukaan Panitia Peneliti Kecelakaan Pesawat Udara, baik keterbukaan memberikan resume kecelakaan yang terjadi maupun keterbukaan dalam penyampaian barang bukti. Padahal kecenderungan internasional pada akhir-akhir ini menunjukkan hampir tidak ada satu informasipun yang disembunyikan kepada masyarakat, contoh misalnya dalam kecelakaan pesawat udara Swissair 111 tujuan Genewa tanggal 2 September 1998 yang jatuh delapan kilometer dari Peggy's Cove, Nova Scotia yang menewaskan 229 orang, Bahkan, transkrip percakapan antar awak pesawat atu antara awak pesawat dengan petugas ATC pun bisa diakses melalui internet. Dengan demikian, korban dan atau keluarga korban sebagai konsumen dapat memperoleh hak untuk mengetahui segala perkembangan terbaru yang dapat diperolehnya dengan sangat cepat. Selanjutnya, disarankan perlunya penyempurnaan beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara dalam arti luas. Upaya fungsionalisasi hukum pidana dapat ditempuh dengan dua alternatif. Alternatif pertama dalam Rancangan Peraturan Pernerintah yang mengatur tentang Penelitian Kecelakaan Pesawat Udara perlu diatur kewenangan Ketua Komisi untuk dapat memberikan data penerbangan kepada Polri selaku penyidik (kecuali laporan hasil penelitiannya), selanjutnya Polri dapat memanfaatkan tenaga PPKPT dari Tim PPKPT TNI AU dan tenaga ahli Ditjen Hubud sebagai saksi ahli. Alternatif kedua dengan menyempurnakan UU Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, yaitu dengan membentuk adanya lembaga kolateral (collateral) yang berfungsi sebagai penyidik dalam tindak pidana penerbangan. Penyelidik kolateral ini terdiri dari unsur Polri, tenaga ahli dari Ditjen Hubud dan tenaga ahli dari TNI AU, yang mana sebagai koordinator adalah Poiri. Selanjutnya Aircraft Accident Investigation Comission yang ada perlu dirombak struktur, peran dan tugas serta kewajibannya Dalam hal ini perlu difikirkan adanya Komisi atau Badan keselamatan Transportasi Nasional yang diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab kepada DPR atau setidak-tidaknya kepada Presiden melalui Mensekneg. Badan ini diharapkan akan membawahi Komisi Penyelidikan Kecelakaan Angkutan Darat, Komisi Penyelidikan Angkutan Laut (Mahkamah Pelayaran), dan Komisi Penelitian Kecelakaan Pesawat Udara (Aircraft Accident Investigation Comission). Hal ini sangat diperlukan dalam upaya melindungi keselamatan seluruh mode transportasi dan independensi dari Penyelidik."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surabaya: ARKOLA, 1992
344.04 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Soebroto
Semarang: Dahara Prize, 1993
614 THO u
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Gustin Ekaputri
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kasus peredaran obat keras PCC yang beredar di Kota Kendari pada bulan September 2017, adapun tujuan dari Penelitian ini adalah memahami bagaimana peredaran obat keras ditinjau dari hukum kesehatan dan etika profesi apoteker, memahami pengaturan dan peranan BPOM dalam pengawasan peredaran obat keras di Indonesia, dan menganalisis kasus peredaran obat keras Paracetamol Caffeine Carisoprodol PCC di Kendari. Bentuk penelitian yang akan Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan studi literatur, serta pendapat dari narasumber. Kemudian tipe penelitian yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan perskriptif. Kesimpulan dari penelitian iniadalah dalam menangani kasus peredaran obat keras PCC di Kendari ini diperlukan kerjasama antara instansi pemerintah untuk menangani hal tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing instansi pemerintah. Untuk mencegah kasus serupa terulang kembali, diperlukan juga aturan hukum yang secara tegas mengatur mengenai kewenangan instansi pemerintah dalam mengatasi penyalahgunaan obat keras di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the case of distribution of PCC drugs in Kendari, September 2017. The purpose of this research is to understand how the distribution of drugs in terms of health law and pharmacist ethics, understand regulatory and supervisory role of BPOM in the drugs circulation in Indonesia and analyze cases of the circulation of Paracetamol Caffeine carisoprodol PCC drug case in Kendari. Forms of research in this study is a normative legal research, using the literature, as well as the opinion of the expert. Then the type of research which the author used in this research is descriptive and prescriptive. The conclusion in the case is cooperation between government agencies to deal with such matters is necessary. To prevent the recurrence of similar cases, it also required the rule of law which expressly governs the authority of government agencies in addressing the abuse of drugs in Indonesia."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Soebroto
"Sejak akhir tahun 1992, tepatnya sejak tanggal 17 September 1992, telah diberlakukan Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
Tulisan ini berupa tanya jawab dan disajikan secara rinci dan mudah dipahami, dimaksudkan untuk memberi manfaat dan membantu mendalami semua ketentuan yang berhubungan dengan kesehatan."
Semarang: Dahara Prize, 1993
K 614 THO u
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Marsha Maharani
"

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pasal-pasal terkait pemenuhan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual. Rangkaian regulasi tersebut secara tekstual mengalienasi hak-hak perempuan lajang atas pemenuhan HKSR mereka, karena hanya perempuan menikah saja yang berhak atas kesehatan seksual dan reproduksi. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian sosio-legal, dengan menganalisis implikasi dari pasak-pasal dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut melalui pendekatan kualitatif. Temuan dalam penelitian ini adalah: 1. Rangkaian regulasi kesehatan seksual dan reproduksi yang berlaku berpotensi menjadi justifikasi untuk menolak perempuan lajang yang ingin mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi; 2. Rangkaian regulasi yang ada berperan dalam penegakan stigma negatif yang menyelubungi pemenuhan HKSR bagi perempuan lajang; dan 3. Perlunya rangkaian regulasi yang sensitif dengan isu gender dan harusz inklusif bagi semua perempuan dan tidak hanya merujuk kepada pengalaman perempuan berstatus menikah.

 


This research aims to analyze the laws around Sexual and Reproductive Health Rights (SRHR) in Law on Health (Law No. 36/2009), Government Regulation on Reproductive Health (Government Regulation No. 61/2014) and Minister of Health Regulation on Health Services during Pre-Pregnancy, Pregnancy, Childbirth and Post-Childbirth, Contraceptive Services and Sexual Health Services (Minister of Health Regulation No. 97/2014). These laws and regulations textually alienate unmarried women and their sexual and reproductive health rights since the laws only recognizes sexual and reproductive health rights for married women. The method used to conduct this research is socio-legal method, which analyzes the implication that comes from the aforementioned laws and regulations through qualitative approach. This research finds: 1. The laws and regulations on sexual and reproductive health has the potential to justify any medical facility to reject unmarried women that wanted to access sexual and reproductive healthcare; 2. The existing set of law and regulations has a role in upholding the negative stigma surrounding SRHR for unmarried women; and 3. There is a need for a set of laws and regulations that are sensitive to gender issues and that it should be inclusive to all women and not only centered around the experience of married women.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rofiatul Muna
"Berdasarkan Hasil Ijtima Ulama MUI Tahun 2015, BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai dengan syariah Islam, karena mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Permasalahan BPJS Kesehatan yang dianggap tidak sesuai
syariah dibahas berdasarkan perspektif hukum Islam dengan menggunakan metode normatif. Berdasarkan perspektif hukum Islam memang masih terdapat beberapa hal dalam BPJS Kesehatan yang masih belum sesuai dengan syariah. Denda dalam BPJS Kesehatan bisa digolongkan sebagai riba apabila tidak dialokasikan sebagai dana sosial. Selain itu, Pengembangan aset BPJS Kesehatan dengan investasi juga belum memberikan kepastian dilakukan pada sektor yang
dihalalkan. Solusi yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan perbaikan akad melalui pembuatan suatu produk syariah. Akad dalam BPJS Kesehatan harus dimaknai sebagai akad tabarru, sehingga peserta BPJS Kesehatan harus
mempunyai niat ikhlas bahwa iuran yang akan dibayarkan digunakan untuk membantu sesama peserta yang tertimpa musibah. Selain itu, Pelaksanaan program jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan harus dilakukan berdasarkan konsep taawun (tolong-menolong) sehingga dapat menghindari unsur gharar, maisir, dan riba.

Based on the ijtima results of MUI in 2015, BPJS Kesehatan is considered inappropriate with Islamic law, because it contains elements of gharar, maisir and riba. The problems arising from BPJS Kesehatan is considered inappropriate with sharia from the perspective of Islamic Law by using normative methods. Based on the perspective of Islamic law, there are some things in BPJS Kesehatan which are still not in accordance with sharia. Fines in BPJS Kesehatan can be classified as riba, if it is not allocated as social funds. Asset development of BPJS Kesehatan with investment also does not provide the certainty on the lawful sector. The problems of BPJS Kesehatan can be solved by revising the contract from the good making of sharia product. Contract in BPJS Kesehatan must be construed as contract tabarru, so the participants of BPJS Kesehatan must have a sincere intention that the dues paid will be used to assist other participants who suffered from disasters. The implementation of the health insurance program by BPJS Kesehatan should be based on the concept of ta'awun (mutual help) so as to avoid gharar, maisir and riba.;Based on the ijtima results of MUI in 2015, BPJS Kesehatan is considered inappropriate with Islamic law, because it contains elements of gharar, maisir and riba. The problems arising from BPJS Kesehatan is considered inappropriate with sharia from the perspective of Islamic Law by using normative methods. Based on the perspective of Islamic law, there are some things in BPJS Kesehatan which are still not in accordance with sharia. Fines in BPJS Kesehatan can be classified as
riba, if it is not allocated as social funds. Asset development of BPJS Kesehatan with investment also does not provide the certainty on the lawful sector. The
problems of BPJS Kesehatan can be solved by revising the contract from the good making of sharia product. Contract in BPJS Kesehatan must be construed as contract tabarru, so the participants of BPJS Kesehatan must have a sincere
intention that the dues paid will be used to assist other participants who suffered from disasters. The implementation of the health insurance program by BPJS
Kesehatan should be based on the concept of ta'awun (mutual help) so as to avoid gharar, maisir and riba.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62538
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>