Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22236 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prapto Yuwono
Bogor: Akademika, 2001
340.5 PRA h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Soekiman
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000
306 DJO k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Masripah
"Skripsi ini membahas mengenai Bale Kambang yang terdapat pada keraton Kerajaan Islam di Pulau Jawa yang dibangun pada abad XVI-XVIII, ditinjau dari sisi bentuk Bale Kambang, baik kolam Bale Kambang maupun bangunan Bale Kambangnya. Data yang dikumpulkan melalui penjajagan data dan observasi yang dilakukan secara langsung maupun melalui literatur, kemudian diolah menggunakan analisis morfologi (analisis bentuk) dan hasil analisis tersebut diinterpretasikan dengan menggunakan metode perbandingan. Analisis menghasilkan bentuk-bentuk Bale Kambang pada keraton kerajaan Islam di Pulau Jawa. Pada tahap interpretasi menghasilkan unsur-unsur Bale Kambang yang sering muncul pada keraton kerajaan Islam di Pulau Jawa yang meliputi unsur utama yaitu air dan bangunan Bale Kambangnya, serta unsur fisik dari kolam dan bangunan Bale Kambang. Selain itu dengan membandingkannya dengan Bale Kambang pada masa Hindu-Buddha di Indonesia menghasilkan adanya kesinambungan bentuk Bale Kambang Hindu-Buddha ke kebudayaan Islam di Pulau Jawa.

This thesis is about Bale Kambang that exist in the Islam Kingdom in Java Island that was build in XVI-XVIII century, observed from the form of the Bale Kambang, the pond of Bale Kambang and also the construction of Bale Kambang it self. The data that collected by data investigation and observation that has done directly or by literature, and then processed by using morphology analysis (form analysis) and the result of that analysis interpreted with using comparison method. The analysis make Bale Kambang forms in Islam Kingdom in Java Island. The interpretation stage makes Bale Kambang elements that often appear in the Islam kingdom in Java Island that consist of main element that is water and the construction of Bale Kambang, and also physic element from the pond and the construction of Bale Kambang. Besides that by comparing it with Bale Kambang in Hindu-Buddha era in Indonesia make the continuity of Bale Kambang Hindu-Buddha construction to the Islam culture in Java Island."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11552
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Arman
"Abstrak
Naskah ini membahas tentang perdagangan lada Jambi yang meliputi wilayah produksi, produksi, transportasi, pemasaran dari hulu ke hilir dan aktor-aktor yang terlibat dari keseluruhan perdagangan. Jalur perdagangan dibagi dua, Pertama, dari daerah produksi di hulu dibawa ke hilir (Pelabuhan Jambi). Kedua, dari hulu melalui jalur alternatif ke Muaro Tebo menuju Selat Malaka melalui Indragiri dan Kuala Tungkal. Adapun pelaku perdagangan melibatkan produsen utama lada di Jambi. Produsen lada, petani Minangkabau yang tinggal di sepanjang Sungai Batanghari, dan pedagang adalah Portugis, Cina, Belanda, dan Inggris, maupun sultan dan bangsawan Jambi. Masa kejayaan perdagangan lada Jambi tidak bertahan lama karena petani lada beralih menanam komoditas lain, seperti padi dan kapas terlebih ketika harga lada anjlok di pasaran dunia.
"
Kalimantan Barat: Balai Besar dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta, 2018
900 HAN 1:2 (2018) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Prapto Yuwono
"Hukum Jawa dalam konteks masyarakat Jawa abad ke-18 memiliki ciri-ciri: (1) hukum yang lahir akibat adanya perjanjian Giyanti (1755), yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua; Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, (2) hukum yang berisi norma-norma, aturan-aturan, dan undang-undang yang menyangkut kepentingan kedua kerajaan (bilateral) mengenai kemasyarakatan, pengawasan keamanan, perpajakan, hubungan birokrasi, pertanahan, peradilan. dan sebagainya, (3) hukum yang dalam perkembangan selanjutnya diberlakukan juga untuk wilayah Mangkunegaran (perjanjian Salatiga, 1757) dan Pakualaman (tahun 1812). Hukum Jawa tersebut adalah (1) Nawala Pradata Dalem (Surat Peradilan Raja), (2) Angger Sadasa (Undang-Undang Sepuluh), (3) Angger Agerrg (Undang-Undang Tertinggi), (4) Angger Redi (Undang-Undang Pekerja Gunung) dan (5) Angger Arubiru (Undang-Undang Gangguan Ketentraman).
Pemberlakuan hukum Jawa seperti itu tampaknya tidak mempertimbangan eksistensi dan perkembangan masing-masing kerajaan. Dengan kata lain, secara hipotesis, tidak terjadi perubahan struktur masyarakat Jawa pada waktu itu, meskipun dalam kenyataan, perjanjian Giyanti telah memecah belah kekuasaan Mataram. Pada sisi lain ditunjukkan bahwa pemberlakuan hukum jawa secara hipotesis adalah untuk pengendalian sosial bersama. sebagai akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Jawa di kerajaan masing-masing.
Kedua permasalahan tersebut menarik untuk dibahas, terutama melalui pemahaman struktur hukum Jawa yang dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu di mana hukum itu diberlakukan. Pemahaman seperti itu akan menjawab tentang bagaimanakah sistem hukum Jawa yang berlaku pada waktu itu. Membicarakan sistem hukum berarti juga membicarakan dinamika struktur hukum yang bersangkutan dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga lain di luar yang dianggap ikut menentukan dinamika struktur hukum yang dimaksud. Dengan latar belakang itu maka ditetapkanlah tujuan penelitian adalah (1) menganalisis struktur hukum Jawa sebagai upaya memahami fungsi unsur-unsurnya, (2) memahami sistem hukum Jawa dalam kaitannya dengan konteks sosial budaya masyarakat Jawa pada waktu itu, dan (3) merumuskan secara jelas postulat-postulat hukum Jawa atau anggapan-anggapan dasar mengenai hukum yang dianut masyarakat Jawa pada waktu itu.
Berkenaan dengan permasalahan dan tujuan penelitian itu dan dikaitkan dengan "karakter" hukum Jawa, maka pendekatan yang dipergunakan adalah antropologi hukum dan sejarah. Pendekatan antropologi hukum dipergunakan untuk mencari gambaran bagaimana hukum mempertahankan pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, bagaimana masyarakat merumuskan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum, sehubungan dengan cita-cita mengenai apa yang baik dan buruk menurut anggapan dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pendekatan sejarah dipergunakan untuk mencari gambaran bagaimana proses perubahan pola dan aspek-aspek hukum Jawa dalam kurun waktu sejak penyusunan hukum Jawa (1755) sampai pada suatu batas hipotesis saat hukum Jawa kehilangan fungsinya lagi karena hegemoni politik kolonial Belanda (1830).
Setelah dilakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa (1) Hukum Jawa merupakan sistem yang berfungsi untuk pengendalian sosial bersama, masyarakat Jawa yang sedang mengalami perubahan akibat perjanjian Giyanti (1755), (2) Berfungsinya sistem hukum Jawa tersebut sangat didukung oleh berfungsinya unsur-unsur hukum yakni otoritas, maksud untuk diberlakukan secara universal, obligatio dan sanksi, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Jawa pada waktu itu, dan (3) Sistem hukum Jawa yang diberlakukan pada waktu itu, dikatakan berhasil dan relevan karena terbukti dapat memberikan kontribusi ikut melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa dengan mempertahankan nilai-nilai, pranata-pranata, lembaga-lembaga dan pandangan-pandangan hidup Jawa hingga bertahan sampai saat ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
"Labu rope labu walla adalah ungkapan dalam bahasa Wolio (bahasa kaum penguasa di kerajaan Butun) yang berarti "berlabuh haluan, berlabuh buritan". Ungkapan ini diangkat dari historiografi tradisional berbentuk kabanti, berjudul Ajonga Inda Malusa (harfiah berarti Takaian yang tidak Luntur) karya Haji Abdul Gani, yang diperkirakan ditulis pertengahan abad ke-19.
Penyebutan nama Butun didasarkan atas pertimbangan yang berkaitan dengan asal-usulnya. Bahwa nama ilu telah lebih dahulu ada dikenal (pada rnasanya) daripada nama yang sekarang, Buton. Penduduk setempat menerima penycbulan atas pulau yang mereka diami, dari para pelaut di Kepulauan Nusantara yang sering menyinggahi di pulau itu. Banyaknya pohon Butu (Barringtania Asiatica, lihat Anceaux 1987:25) di sana, yang membuat para pelaut menyebut Butun sebagai penanda untuk pulau nu_ Penyebutan nama Butun untuk pulau itu sudah ada sebelum orang Majapahit menorehkan nama Butun di dalam Negarakartagallna (1365) dalam kerangka daerah "pembayar upeti". Sesudah masa itu, ketika telah berdiri kesultanan, penamaan Butun tetap digunakan. Dalam surat-surat perjanjian dengan VOC, sultan menyebut Butuni untuk wilayah kekuasaannya. orang Bugis/Makasar menyebut Butun dengan Butung. Nada sengau "ng" terdengar dari mulut mereka jika sebuah kata berakhir dengan konsonan. Sejajar dengan itu, orang Portugis menyebut Butun dengan Bulgur:. Orang Belandalah yang menyebut Buton, sebagai yang kita kenal sampai sckarang.
"
1999
D439
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryandini Novita
"ABSTRAK
Penelitin ini membahas tentang perkembangan, tata kota dan hubungan antar bangunan di Betavia pada abad 17 dan 18. Dari pembahasan tersebut kemudian hasilnya akan dibandingkan dengan kota Amsterdam pada masa yang sama pula. Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui tata kota Batavia pada abad 17 dan 18 dan seberapa jauh persamaan tata kota dan arsitektur Batavia dengan Amsterdam, serta inventarisasi peta-peta kuno Batavia.
Hasil dari penelitian ini diketahui pada awalnya pembangunan fisik Betavia dimulai di sissi timur sungai Ciliwung, sampai tahun 1629 kota Batavia terbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam tembok kota dan diluar tembok kota. Mulai tahun 1632 barulahlah terlihat kota Betavia berkembang ke sisi barat sungai Ciliwung sampai akhirnya kota terbagi menjadi tiga bagian, yaitu kota bagian timur (oosterstad) di sisi timur sungai Ciliwung; kota bagian depan (voorstad) di sebelah selatan kota bagian timur; dan kota bagian barat (westerstad) di sisi barat sungai Ciliwung.. Dari pengamatan terhadap perkembangan kotanya terlihat bahwa Batavia merupakan kota yang direncanakan. Berdasarkan fungsi-fungsinya, Batavia dapat dibagi menjadi empat kawasan; kawasan pusat kota, kawasan pemukiman, kawasan niaga, dan kawasan militer...

"
1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Somad
"Perkataan nisan berasal atau maesan jika dilihat dari segi-segi etimologi telah diuraikan oleh beberapa ahli. L.Ch. Damais berpendapat bahwa nisan/ maesan berasal dari kata mahisa yang artinya Kerbau, pada jaman pra Hindu terdapat tradisi untuk memasak atau menegakkan batu semacam menhir dengan disertai upacara pemotongan Kerbau. Bentuk nisan beraneka ragam demikian pula dengan ragam hiasnya mulai dari yang sederhana hingga nisan yang memiliki hiasan yang raya. Penelitian tentang nisan telah banyak dilakukan diantaranya oleh Hasan Muarif Ambary (1984) meneliti tipologi nisan di Indonesia, dan Halina Budi Santosa (1976) yang meneliti nisan Banten. Penelitian ini didasari anggapan bahwa artefak merupakan refleksi dari ide dan gagasan manusia dalam bentuk materi dan juga merupakan refleksi dari tingkah laku yang berpola yang diterima dan disepakati oleh masyarakat. Permasalahan yang ingin diketahui adalah mengenai bentuk dan perkembangan dan persebaran nisan di sekitar masjid tua di Jakarta abad XVII-XVIII M. Hasil yang diperoleh adalah bentuk -bentuk pilar dan papan persegi, bentuk - bentuk nisan ini tidak terlepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam nisan seperti bentuk dasar (A), bentuk badan (B), bentuk kepala (C), bentuk puncak kepala (D), bentuk kaki (E), sayap (F), dan ragam bias (F) diperoleh tipe sebanyak 20 tipe nisan utama, dan 31 tipe dengan variannya. Sedangkan hasil metode seriasi tipe III, IV, VI,VII, dan XIII, merupakan nisan yang menunjukan perkembangan popularitas , ini terlihat pada penggunaan, dan persebaran antar situs di Jakarta berdasar kronologisnya. Sedang untuk popularitas suatu tipe pada suatu situs, tertinggi ada pada tipe III pada masjid Kebon Jeruk (1786 M) dan tipe XIII (1761 M) yang mencapai tingkat 100%"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S11998
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanto Zuhdi
"ABSTRAK
"Kesultanan Butun memperlihatkan poly ""ketidakstabilan yang tetap"". Corak ini disebabkan oleh faktor ancaman balk yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Keberadaan Butun di tengah kekuatan-kekuatan besar--Gown, Ternate, dan VOC--mengakibatkan dirinya memilih secara bergantian antara sekutu dan seteru. Oleh karena ancaman Gowa, Butun bersekutu dengan VOC, pihak yang juga berlawanan kepentingan dengan Gowa. Dalam menghadapi Gowa itu pula, Butun, VOC, dan Ternate secara bersama-sama menggalang kekuatan mereka. Bahkan untuk menghadapi Gowa itu pula Butun bersekutu dengan Bone, kerajaan yang berusaha lepas dari tekanan Gowa. Dalam hubungan Butun dengan Gowa tampaknya lebih merupakan soal perluasan kekuasaan dan ekonomi. Bagi Gowa, Butun hares dikuasai atau setidaknya dipengaruhi agar dapat memudahkan orang Makasar berlayar ke Kepulauan Maluku. Beberapa kali pasukan Gowa menyerang Butun dan mengambil ""upeti"" serta merhmpas penduduknya. Bagi Butun, Gowa adalah ancaman yang datang dari arah haluan (rope). Tidak sebagaimana terhadap Gowa, dalam hubungannya dengan Ternate, Butun menempatkan dirinya secara politik dan kultural berada di bawah Ternate. Meskipun selalu ada upaya Butun untuk berdiri sejajar dengan Ternate tetapi setiap kali hal itu dilakukan setiap kali itu pula is hares mengakui hegemoni kultural Ternate. Hal itu berkaitan dengan latar belakang mitos ""dunia Maluku"" dan masuknya Islam ke Butun dari Ternate. Meskipun demikian dalam kenyataan politik, Butun mencoba beberapa kali menantang Ternate untuk mempertahankan daerahnya dari aneksasi dan perampasan warganya oleh Ternate. Bagi Butun, Ternate merupakan ancaman yang datang dari arah buritan (u.unuu). Berakhirnya dua ancaman di atas, VOC merupakan bentuk ancaman yang lain dan mempunyai karakteristik tersendiri. Pola hubungan Butun dengan VOC terlihat dalam kontrak tahun 1613 yang menunjukkan bentuk aliansi militer. Pola hubungan berikutnya tercermin dalam kontrak tahun 1667 yang memperlihatkan peneguhan kekuasaan tunggal sultan Butun terutama untuk menghadapi perebutan kekuasaan""
1999
D1823
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati Marwoto Johan
"Archaeological sites are the traces of people ?s lives in the past. The remaining traces are texts, simply waiting to be read. This article tries to interpret the housing patterns in the sites of palaces in Cirebon using the concepts of boundedness, the sacred, the profane, and the pollution."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>