Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 537 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Likhachov, A.G.
Moscow : Foreign language Publ. House, T.t.
618.921 LIK d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono Abdoerrachman
Jakarta: UI-Press, 1998
PGB 0138
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Dolowitz, David A.
New York: McGraw-Hill, 1964
618.921 DOL b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Kusuma
"Latar belakang dan tujuan: Mikrotia adalah malformasi kongenital yang seringkali disertai atresia auris dan kelainan telinga tengah. Kelainan ini dikoreksi dengan kanaloplasti dan timpanoplasti. Titik dan arah pengeboran kanaloplasti merupakan hal yang penting. Saat ini belum terdapat panduan yang objektif dalam menentukan arah pengeboran. Volume telinga tengah, berperan penting dalam penentuan keluaran hasil pembedahan, namun saat ini belum pernah dikaitkan dengan sudut α dan β. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan sudut α dan β dengan volume telinga tengah tmikrotia dan telinga normal menggunakan HRCT temporal.
Metode: Menggunakan desain potong lintang. Subjek penelitian merupakan data sekunder HRCT tulang temporal, kemudian dilakukan pengukuran sudut α dan β dan volume telinga tengah.
Hasil: Subjek penelitian berjumlah 34 sampel. Terdapat perbedaan bermakna sudut α dan sudut β telinga mikrotia dibandingkan telinga normal, dengan nilai p<0.001. Rerata volume telinga tengah mikrotia 0.36 cc, normal 0.67 cc. Tidak didapatkan korelasi volume telinga tengah dengan sudut α dan β, pada mikrotia maupun telinga normal. Nilai cut-off sudut α sebesar 15.40, sensitivitas 85.3% dan spesifisitas 82.4%. nilai cut-off sudut β sebesar 270, sensitivitas 73.5% dan spesifisitas 76.5%.
Kesimpulan: Perbedaan posisi osikular dengan nilai cut-off yang didapat untuk sudut α dan β dapat menjadi acuan dasar pada operasi kanaloplasti.

Background and Objectives: Microtia is a congenital malformation with associated auricle atresia and middle ear abnormality, which is treated by canaloplasty and tympanoplasty. Drilling starting point and the direction in canaloplasty operation are no doubt very important things. Nowadays, guideline for determining the drilling direction has not been yet established. Middle ear volume which is one of important variable in determining operation outcome, has not been associated with α and β angle. This study intended to evaluate α and β angle and its relationship with middle ear volume using (HRCT) temporal bone.
Method: Cross-sectional design were used. Data from previous HRCT examination were used to measured α and β angle and middle ear volume.
Results: From 34 subjects, there were significant differences of α and β angle in microtic ear compared to normal ear, with p < 0.001. Middle ear volume average for microtic ear and normal ear were 0.36 cc and 0.67 cc, respectively. No significant correlation between middle ear volume and α and β angle. Cut-off value for α angle is 15.40 with sensitivity 85.3% and specificity 82.4%. Cut-off value for β angle is 270 with sensitivity 73.5% and specificity 76.5%.
Conclusion: Differences in ossicular position with obtained cut-off value for α and β angle could become a base guidance in canaloplasty operation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Iwan Kusuma
"Latar Belakang: Angka POST pascainsersi LMA masih tetap tinggi. Pemberian lidokain secara inhalasi akan memberikan efek analgetik dan mengurangi respon inflamasi terutama pada saluran napas dan dapat menjadi alternatif baru untuk menurunkan kekerapan POST pascainsersi LMA. Sebagai kelompok kontrol digunakan deksametason intravena.
Tujuan : Membandingkan kekerapan POST pascainsersi LMA pada pemberian inhalasi lidokain 1,5 mg/kgbb dengan deksametason 10 mg intravena sebelum pemasangan LMA.
Metode : Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar tunggal. Seratus dua puluh delapan pasien yang akan menjalani operasi mata dengan anestesia umum dan insersi LMA dibagi kedalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok inhalasi lidokain dan kelompok deksametason intravena. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun, ASA 1 atau 2, mallampati class I atau II, tidak terdapat nyeri tenggorokan sebelum operasi, posisi operasi terlentang, Bersedia menjadi peserta penelitian dan menandatangani informed consent. Inhalasi lidokain atau deksametason intravena diberikan 10 menit sebelum insersi LMA. Insersi LMA dengan cara baku, dan penilaian POST dilakukan 2 jam pascaoperasi. Data yang terkumpul akan diverifikasi dan diolah menggunakan program SPSS dengan uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan.
Hasil : Uji analisis komparatif kategorik 2 kelompok tidak berpasangan dengan chi-square, kelompok inhalasi lidokain didapatkan 10,9 pasien mengalami POST pasca insersi LMA sedangkan pada kelompok deksametason intravena didapatkan 9,4 pasien mengalami POST p>0,05 . Skala nyeri kelompok inhalasi lidokain dengan nilai median 0 0-1 dan deksametason intravena dengan nilai median 0 0-3 juga tidak berbeda bermakna. Penelitian ini tidak mendapatkan adanya efek samping pada kedua kelompok.
Simpulan : Pemberian inhalasi lidokain sebanding dengan pemberian deksametason 10 mg intravena dalam mengurangi kekerapan POST pascainsersi LMA"
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noorzabandari Kusumawardani
"Latar belakang: Nyeri tenggorok pascaoperasi merupakan salah satu komplikasi yang terjadi setelah intubasi endotrakeal. Pencegahannya dapat menggunakan magnesium sulfat. Magnesium sulfat dapat menghambat pelepasan tromboksan A2, substansi P, dan glutamat, serta antagonis reseptor NMDA. Penelitian ini untuk membandingkan teknik pemberian magnesium sulfat melalui inhalasi dan kumur untuk mencegah kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda terhadap pasien dewasa yang menjalani pembiusan umum dengan intubasi endotrakeal di RSCM pada bulan Oktober sampai November 2018. Sebanyak 108 pasien dialokasikan menjadi kelompok inhalasi (inhalasi magnesium sulfat 225 mg) dan kelompok kumur (kumur magnesium sulfat 20 mg/kg). Kejadian nyeri tenggorok dinilai hingga 6 jam pascaoperasi. Analisis data menggunakan uji bivariat dengan Chi-Square.
Hasil: Kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi pada kelompok inhalasi magnesium sulfat sebesar 14 (25,9%) dan kelompok kumur magnesium sulfat sebesar 5 (9,3%) dengan perbedaan bermakna (p 0,023). Tidak ada efek samping berupa iritasi, mual, hipotensi, depresi nafas, dan desaturasi. Hipermagnesium terjadi pada 1 (1,8%) pada kelompok kumur magnesium sulfat, namun secara klinis tidak terjadi intoksikasi magnesium.
Simpulan: Inhalasi dan kumur magnesium sulfat dapat mencegah kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi. Inhalasi magnesium sulfat tidak lebih baik dari kumur magnesium sulfat dalam mencegah kejadian nyeri tenggorok pascaoperasi.

Background: Postoperative sore throat (POST) is one of the most common complications after endotracheal intubation. Magnesium sulphate can be used to prevent POST. Magnesium sulphate inhibits release of thromboxan A2, substance P, and glutamate, and also as NMDA receptor antagonist. This study is to compare between nebulized and gargle magnesium sulphate to prevent POST.
Method: A randomized double-blinded clinical trial study involving adult patients who underwent general anesthesia with endotracheal intubation at RSCM during October to November 2018. A total of 108 patients allocated to nebulized group (nebulized magnesium sulphate 225 mg) and gargle group (gargle magnesium sulphate 20 mg/kg). POST measured until 6 hours postoperative. Data were analyzed using bivariate analysis test with Chi-Square.
Results: Incidence of POST in nebulized group was 14 (25,9%) and gargle group was 5 (9,3%) with significant difference (p 0,023). No adverse events such as irritation, nausea, hypotension, respiratory depression, and desaturation. Hypermagnesium at 1 (1,8%) at gargle group, but clinically there was no magnesium intoxication.
Conclusion: Nebulized and gargle magnesium sulphate prevent POST. Nebulized magnesium sulphate was not better than gargle magnesium sulphate to prevent POST.
"
[Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jakarta]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reihan Hadiansyah
"Pendahuluan. Angka kejadian POST dilaporkan dapat mencapai 60%. LMA masih memiliki kejadian POST hingga 26.3%. Berkumur dengan benzydamine hydrochloride terbukti efektif mengurangi POST, namun distribusinya di Indonesia belum merata. Kumur magnesium sulfat dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi POST, harga dan distribusinya lebih merata. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas kumur magnesium sulfat dengan benzydamine hydrochloride dalam mengurangi POST pascapemasangan LMA. Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Sebanyak 164 subjek penelitian diambil secara consecutive sampling. Subjek penelitian mendapatkan botol penelitian yang berisikan obat kumur yang sudah dirandomisasi, dilanjutkan dengan prosedur anestesi. Setelah selesai operasi, pasien akan dinilai : kejadian nyeri tenggorok, derajat nyeri tenggorok, efek samping, odinofagia dan disfagia pada jam ke 2, 6, 24 dan 48 pascaoperasi. Hasil. Berdasarkan hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok; pada kejadian nyeri tenggorok pasca-LMA di jam ke 2, 6 dan 24 dengan nilai P > 0.05 dan perbandingan derajat nyeri pasca-LMA kedua kelompok dengan nilai P > 0.05. Kejadian odinofagia kedua kelompok rendah dan hampir serupa. Tidak didapatkan efek samping dan kejadian disfagia pada penelitian ini. Simpulan. Kumur magnesium sulfat memiliki efektifitas yang tidak lebih buruk dibandingkan dengan kumur benzydamine hydrochloride dalam mengurangi kejadian nyeri tenggorok pascapemasangan LMA

Introduction. The reported incidence of POST can reach 60%. LMA still has a POST incidence of up to 26.3%. Gargling with benzydamine hydrochloride has been proven to be effective in reducing POST, but its distribution in Indonesia is not evenly distributed. Magnesium sulfate gargle can be used as an alternative to reduce POST; its price and distribution are more even. This study aims to compare the effectiveness of magnesium sulfate gargle with benzydamine hydrochloride in reducing POST after LMA insertion. Method. This study was a single-blind, randomized clinical trial. A total of 164 research subjects were selected by consecutive sampling. Research subjects received research bottles containing randomized mouthwash, followed by an anesthesia procedure. After completion of the operation, the patient will be assessed for the incidence of throat pain, the degree of throat pain, side effects, odynophagia, and dysphagia at 2, 6, 24, and 48 hours after surgery. Results. Based on the research results, there were no significant differences between the two groups on the incidence of post-LMA throat pain at 2, 6, and 24 hours with a P value > 0.05 and a comparison of the degree of post-LMA pain between the two groups with a P value > 0.05. The incidence of odynophagia in both groups was low and almost similar. There were no side effects or incidences of dysphagia in this study. Conclusion. Magnesium sulfate gargle has no worse effectiveness than benzydamine hydrochloride gargle in reducing POST after LMA insertion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Vania Valentine Handoko
"Latar belakang: Atresia aural kongenital dengan mikrotia merupakan gangguan perkembangan daun telinga dan sering dikaitkan dengan malformasi saluran pendengaran eksternal serta telinga tengah. Pembedahan pada atresia aural kongenital dianggap sebagai salah satu yang paling sulit dan membutuhkan penilaian pencalonan yang tepat untuk menentukan operasi. Sistem penilaian Jahrsdoerfer berdasarkan pemeriksaan tomografi komputer (CT scan) masih sering digunakan untuk menentukan kandidat yang tepat untuk operasi namun dirasa terdapat celah dan ketidakcocokan pada skor ini sehingga diperlukan pengukuran lebih detail untuk keperluan kandidasi pembedahan yang lebih baik.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap pasien mikrotia dengan atresia aural kongenital unilateral di RSUPN Cipto Mangunkusumo menggunakan CT scan. Parameter yang diukur meliputi volume mastoid, volume ruang telinga tengah, diameter tingkap bundar, diameter tingkap lonjong, diameter medial liang telinga, orientasi nervus fasialis, dimensi kompleks maleus inkus, koneksi inkus stapes serta kelengkapan struktur stapes.
Hasil: Rerata volume telinga tengah, jarak serta sudut orientasi nervus fasialis, diameter medial liang telinga, dimensi kompleks maleus inkus, volume mastoid, diameter tingkap bundar dan diameter tingkap longkong secara signifikan (p<0,05) berukuran lebih kecil pada telinga mikrotia dibandingkan sisi kontralateral.
Kesimpulan: Berdasarkan beberapa parameter telinga tengah mikrotia unilateral yang dilakukan pengukuran dengan CT scan diperoleh seluruh parameter telinga tengah sisi mikrotia memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan kontralateral.

Introduction: Congenital aural atresia with microtia is a developmental disorder of the auricle and is often associated with malformations of the external auditory canal as well as the middle ear. Surgery in congenital aural atresia is considered to be one of the most difficult and requires proper candidature assessment to determine surgery. The Jahrsdoerfer scoring system based on computed tomography (CT) scans is still often used to determine appropriate candidates for surgery, but there are gaps and discrepancies in this score. Detailed measurements requiered for better surgical candidacy.
Methods: This study is a cross-sectional study of microtia patients with unilateral ear canal atresia at Cipto Mangunkusumo Hospital using CT scan. Parameters measured included mastoid volume, middle ear space volume, round window diameter, oval window diameter, medial diameter of the ear canal, orientation of the fascial nerve, dimensions of the malleus incus complex, incus stapes connection and completeness of the stapes structure.
Results: The mean middle ear volume, distance and angle of orientation of the fascial nerve, medial diameter of the ear canal, dimensions of the malleus incus complex, mastoid volume, round window diameter and oval  window diameter were significantly (p<0.05) smaller in the microtia ear than the contralateral side.
Conclusion: Based on several parameters of the middle ear of unilateral microtia measured by CT scan, all parameters of the middle ear of the microtia side have a smaller size than the contralateral.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Sofian Sopandi
"

Latar Belakang: Morfologi telinga bervariasi antarindividu bergantung pada berbagai faktor, di antaranya faktor geografis dan etnik. Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa tidak memiliki data mengenai protrusi normal telinga. Studi ini bertujuan untuk menyediakan data dasar anthropometri protrusi normal telinga pada mahasiswa fakultas kedokteran subras Melayu.

Metode: Penulis melakukan sebuah studi potong lintang pada mahasiswa fakultas kedokteran Rumah Sakit Hasan Sadikin. Dengan subjek duduk tegak, penulis mengukur jarak antara mastoid dan heliks pada level superaurale dan tragal. Penulis menggambarkan karakteristik protrusi telinga menggunakan statistic deskriptif.

Hasil: Kami melibatkan 409 mahasiswa fakultas kedokteran yang terdiri dari 105 laki-laki dan 304 perempuan. Dari 326 subjek Melayu, 307 merupakan keturunan Deutero Melayu, sementara 19 Proto Melayu. Protrusi superaurale rerata untuk subras Deutero Melayu adalah 16,7 mm (SD = 2,9) untuk telinga kiri dan 16,6 mm (SD = 2,9) untuk telinga kanan. Protrusi tragal adalah 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kiri dan 21,7 mm (SD = 3,5) untuk telinga kanan. Protrusi superaurale rerata untuk subras Proto Melayu adalah 15,8 mm (SD = 2,6) untuk telinga kiri dan 15,5 mm (SD = 3,6) untuk telinga kanan. Protrusi rerata level tragal adalah 20,1 mm (SD = 2,4) untuk telinga kiri dan 20,4 mm (SD = 3,3) untuk telinga kanan. Sebanyak 36 subjek merupakan subras campuran, dengan protrusi superaurale rerata 17 mm (SD = 3,4) untuk telinga kiri dan 16,9 mm (SD = 3,2) untuk telinga kanan. Protrusi tragal rerata kiri dan kanan kelompok ini adalah 22,7 mm (SD = 3,6) dan 22,9 mm (SD = 4).  Sisa 47 subjek berasal dari subras lain, yaitu Cina, India, dan Arab, dengan protrusi superaurale rerata kiri 14,7 mm (SD = 2,8) dan kanan 14,1 mm (SD = 2,9). Protrusi tragal rerata kelompok ini adalah 20,2 mm (SD = 3,6) untuk telinga kiri dan 20,6 mm (SD = 3,9) untuk telinga kanan.

Diskusi dan Kesimpulan: Hasil studi penulis menunjukkan hasil serupa dengan studi Purkait pada dewasa India. Meskipun demikian, protrusi tragal rerata studi ini melebihi kriteria klasik telinga prominen Adamson dan Wright yaitu 20 mm. Studi ini memberikan data anthropometri dasar untuk protrusi telinga populasi Indonesia, khususnya subras Melayu.

 


Background: Ear morphology varies between individuals depending on many factors, the geographical and ethnic factors among others. While Indonesia is inhabited by diverse ethnic groups, data regarding normal ear protrusion is not available. This study aims to provide a baseline data on normal ear protrusion anthropometry among medical students of Malay subraces.

Methods: We conducted a cross-sectional study on Rumah Sakit Hasan Sadikin medical students. With the subject sitting upright, the distance between mastoid and the helix on superaurale and tragal level is measured. We depicted ear protrusion characteristics using descriptive statistics.

Result: We enrolled 409 medical students. There were 105 male and 304 female. From 326 Malay subjects, a total of 307 subjects were from Deutero Malay descent, while 19 were Proto Malay. The mean superaurale protrusion for Deutero Malay subrace was 16.7 mm (SD = 2.9) for the left ear and 16.6 mm (SD = 2.9) for the right ear. The tragal protrusion was 21.7 mm (SD = 3.5) for the left ear and 21.7 mm (SD = 3.5) for the right ear. The mean superaurale protrusion for Proto Malay subrace was 15.8 mm (SD = 2.6) for the left ear and 15.5 mm (SD = 3.6) for the right ear. Mean protrusion on the tragal level was 20.1 mm (SD = 2.4) for the left ear and 20.4 mm (SD = 3.3) for the right ear. Thirty six subjects were mixed subrace, whose mean superaurale protrusion was 17 mm (SD = 3.4) for the left ear and 16.9 mm (SD = 3.2) for the right. Their mean left and right tragal protrusion was 22.7 mm (SD = 3.6) and 22.9 mm (SD = 4).  The remaining 47 subjects belonged to other subraces, i.e. Chinese, Indian, and Arabic, with the left mean superaurale protrusion 14.7 mm (SD = 2.8) and the right 14.1 mm (SD = 2.9). Their mean tragal protrusion was 20.2 mm (SD = 3.6) for the left ear and 20.6 mm (SD = 3.9) for the right.

Discussion and Conclusion: Our results showed comparable values to Purkaits similar study on Indian adults. However, our mean tragal protrusion exceeds Adamson and Wrights classic criteria of protruding ear, which is 20 mm. This study provided a baseline anthropometric data on ear protrusion of Indonesian population, especially Malay subraces.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Kurnia
"Latar belakang: Nyeri tenggorok pascaoperasi (POST) merupakan salah satu komplikasi yang sering muncul pada anestesia umum dengan teknik intubasi. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas tablet hisap amylmetacresol-dibenal dengan profilaksis deksametason intravena sebelum pemasangan pipa endotrakeal untuk mengurangi kekerapan POST.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinis prospektif yang diacak dan tersamar ganda pada 121 pasien yang menjalani operasi dalam anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal.Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara acak; Grup A 61 orang dan grup B 60 orang. Sebelum induksi, pasien dalam grup A diberikan tablet hisap amylmetacresol-dibenal dan suntikan NaCl 0,9% 2 ml dan grup B diberikan Deksametason 10 mg intravena dan tablet hisap plasebo. Nyeri tenggorok pascaoperasi dievaluasi dengan Numerical Rating Scale (NRS) 3 kali; setelah operasi saat Alderette skor 10, 2 jam pascaoperasi dan 24 jam pascaoperasi. Kekerapan dan derajat nyeri tenggorok pascaoperasi dicatat dan dianalisis dengan uji chi-kuadrat.
Hasil. Tidak didapatkan perbedaan kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi bermakna pada kedua kelompok sesaat setelah operasi berakhir (18% pada kelompok A dan 16,7% pada kelompok B, p = 0,843), jam ke-2 (16,4% pada kelompok A dan 25% pada kelompok B, p = 0,242),dan jam ke-24 pascaoperasi. Derajat nyeri tenggorok pascaoperasi tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Simpulan. Tablet hisap amylmetacresol-dibenal sebelum pemasangan pipa endotrakeal memiliki efektivitas yang sama dengan profilaksis deksametason intravena dalam mengurangi kekerapan nyeri tenggorok pascaoperasi.

Background. POST is one of the complications that often arise in the general anesthesia with intubation techniques. The purpose of this study was to compare the effectiveness of amylmetacresol - dibenal lozenges with prophylactic intravenous dexamethasone before intubation to reduce the incidence of POST.
Methods. This study is a prospective randomized clinical trials and double-blind trial in 121 patients undergo surgery under general anesthesia using endotracheal tube. Patient divided into two groups at random ; Group A 61 and group B of 60 people. Before induction, patients in group A was given amylmetacresol - dibenal lozenges and injection of 2 ml of 0.9% NaCl and group B was given intravenous dexamethasone 10 mg and placebo lozenges . POST was evaluated by the Numerical Rating Scale ( NRS ) 3 times ; after surgery when Alderette score of 10 , 2 hours postoperatively and 24 hours postoperatively . The frequency and degree of POST were recorded and analyzed with Chi-Square test.
Results. There were no differences in the incidence of POST significant in both groups after surgery when Alderette score of 10 ( 18 % in group A and 16.7 % in group B , p = 0.843 ) , h 2 ( 16.4 % in group A and 25 % in group B , p = 0.242 ), and the 24th hour postoperatively . The degree of POST was not significantly different between the two groups.
Conclusion. Amylmetacresol - dibenal lozenges before intubation tube has the same effectiveness of prophylactic intravenous dexamethasone in reducing the incidence of POST."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>