Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74665 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Soediman Kartohadiprodjo
Jakarta: Pembangunan, 1962
300 SOE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Soediman Kartohadiprodjo
"Pidato yang diucapkan oleh Soekarno dalam merayakan hari ulang tahun berdirinya Perguruan Tinggi Katolik Parahyangan. Beliau mengusulkan satu ide, satu prinsip tentang hukum, yaitu keadilan.
Selain itu juga disampaikan tentang penolakan kebudayaan barat, koperasi, dan manusia dalam suatu pergaulan hidup. Manusia diciptakan tidak sebagai individu, otonom, dan bebas, terpisah dari individu lainnya melainkan sebagai makhluk yang mempunyai sifat kedwitunggalan anatara individu dan kesatuan hidupnya.
Ide lain dari Soekarno adalah bahwa Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang berkepribadian untuk membangun berdasar Pancasila."
Jakarta: Pembangunan, 1962
K 340 SOE p
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Juliati Adji
"ABSTRAK
Masalah kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan penanggulangannya, oleh karena dapat merupakan serta merupakan beban bagi penderita dan keluarganya, apalagi bila penderita adalah pencari nafkah. Prevalensi kebutaan di Indonesia berkisar 1,2 %. Penyebab kebutaan menurut survei morbiditas DepKes 1982, 0,76 % disebabkan oleh katarak.
Jumlah penderita katarak di Poliklinik Mata R.S.C.M. yang dikumpulkan penulis dari tahun 1987-1988, ada 670 penderita 8,9% dari seluruh penderita penyakit mata baru 60,7 % penderita adalah wanita. Jumlah penderita katarak pada usia angkatan kerja /produktif (20 - 60 tahun) laki-laki dan perempuan ada 41 % .Data ini diambil penulis dari data komputer Poliklinik Mata RSCM . Melihat data di atas, kiranya kita perlu memberikan perhatian terhadap penderita katarak, terlebih bila sipenderita adalah pencari nafkah dan termasuk golongan produktif.
Katarak ialah kelainan patologik pada lensa berupa kekeruhan lensa, yang dapat digolongkan ke dalam : katarak clever lopmental misalnya, katarak kongenital atau juvenil; katarak degeneratif misalnya katarak senil; katarak komplikata dan traumatika. Yang sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari adalah katarak senil. Menurut penelitian data. Framingham, 87,2 % kekeruhan lensa disebabkan oleh katarak senil. Katarak tersebut berhubungan dengan bertambahnya umur dan berkaitan dengan proses penuaan yang terjadi di dalam lensa. Secara klinis proses penuaan lensa sudah tampak pada dekade 4 yang dimanifestasikan dalam bentuk pengurangan kekuatan akomodasi lensa akibat mulai terjadinya sklerose lensa yang disebut sebagai presbiopia.
Pada umumnya katarak senil dapat digolongkan menurut lokasi kekeruhan di dalam lensa dan stadium perkembangannya. Klasifikasi menurut lokasi kekeruhan lensa : nuklear, kortikal dan subkapsular. Pada stadium yang dini bentuk bentuk tersebut dapat terlihat jelas, pada stadium lanjut terdapat campuran dari bentuk bentuk tersebut. Katarak nuklear dibagi menurut stadium dini dan lanjut. Stadium katarak subkapsular: dini, moderat dan lanjut. Stadium katarak kortikal : insipien ,imatur / intumesen, matur dan hipermatur.
Gejala dini pada katarak senil ialah penurunan tajam penglihatan, lentikular miopia, diplopia monokular dan adanya kesilauan (glare). Kesilauan ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya, serta dirasakan sebagai penurunan tajam penglihatan yang menyolok, misalnya : bila penderita sedang mengendarai mobil, bekerja di lapangan pada waktu siang hari, melihat sinar lampu mobil dari arah berlawanan di malam hari. Keluhan ini sangat menonjol pada penderita katarak subkapsular posterior. Bila dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan penderita ini di kamar periksa umumnya baik misalnya 6/10, jadi tajam penglihatan yang dilakukan di kamar periksa tidak cukup menggambarkan tajam pengelihatan yang sesungguhnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Rudy Wibowo
"Latar Belakang. Pemeriksaan penglihatan stereoskopis (3D) sering dilakukan pada penerimaan calon pekerja pada bidang tertentu, misalnya tentara, pilot, dokter bedah, operator crane, dan lain-lain. TNO Stereoscopic Vision Test (Kartu TNO) – instrumen pemeriksaan stereoskopis yang sering digunakan di Indonesia – masih memiliki kelemahan, misalnya waktu pemeriksaan yang cukup lama, sehingga perlu dicari alternatif pemeriksaan untuk skrining pekerja dalam jumlah besar. Di USA, Optec Vision Tester telah digunakan untuk menguji berbagai fungsi penglihatan, termasuk penglihatan stereoskopis. Namun di Indonesia sampai saat ini belum digunakan dan belum diketahui tingkat kesesuaiannya.
Tujuan. Mengetahui tingkat kesesuaian dan perbandingan durasi pemeriksaan antara Optec Vision Tester dengan pemeriksaan TNO Stereoscopic Vision Test.
Metode. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan analisis kesesuaian menggunakan pengujian Cohen’s Kappa. Semua subyek diperiksa dengan Kartu TNO dan Optec Vision Tester oleh dua pemeriksa yang berbeda. Hasil pemeriksaan (dalam detik busur) dan durasinya dicatat, dan diperoleh sampel sebanyak 341 subyek yang memenuhi syarat. Hasil pemeriksaan vision tester dan Kartu TNO dikatakan normal bila mencapai stereoakuitas 50 dan 60 detik busur, secara berturut-turut.
Hasil. Secara statistik, diperoleh nilai Kappa = 0,625, yang termasuk kategori “fair to good” menurut Fleiss. Median durasi pemeriksaan Kartu TNO dan vision tester secara berturut-turut adalah 96 dan 33 detik, dan berbeda bermakna secara statistik menurut Mann-Whitney U Test.
Kesimpulan. Optec Vision Tester mempunyai nilai kesesuaian tingkat sedang dan durasi pemeriksaan yang lebih singkat bila dibandingkan dengan Kartu TNO.

Background. Examination of stereoscopic vision (3D) is often performed at medical check up recruitment in certain fields, such as soldiers, pilots, surgeons, crane operators, and others. However, the TNO Stereoscopic Vision Test (TNO Test) – a widely used instrument for stereoscopic vision inspection in Indonesia – still have some weaknesses, one of them is long examination time. So, it is necessary to look for an alternative screening examination for workers in large numbers. In the USA, Optec Vision Tester has been used to test a variety of visual functions, including stereoscopic vision. But to date in Indonesia it has not been used, and the level of suitability is still unknown.
Objectives. To determine the level of suitability and the comparison of the duration between Optec Vision Tester and TNO Stereoscopic Vision Test.
Methods. The study design is cross sectional analysis of the suitability test using the Cohen’s Kappa calculation. All subjects examined by the TNO Test and Optec Vision Tester by two different examiners. Examination results (in arc seconds) and durations recorded, and obtained eligible samples of 341 subjects. Normal vision tester and TNO Test results determined when a subject could reach the stereoacuity 50 and 60 arc seconds respectively.
Results. Statistically, the Kappa value is 0,625, which is "fair to good" according to Fleiss. Median duration of TNO Test and vision tester examination respectively are 96 and 33 seconds, and statistically significant according to Mann-Whitney U Test.
Conclusion. Optec Vision Tester has a fair to good suitability level and shorter examination duration if compared to the TNO test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Mintarsih
"Dalam negara Jerman Timur dengan sistem Komunis-Sosialisnya yang digambarkan dalam Roman Flugasche ternyata telah menekan, mendominasi, membatasi dan mematikan hak individu. Kenyataan ini juga diperburuk dengan kondisi ekonomi yang buruk.
Pembatasan hak individu tercermin dalam bidang pers, hal ini disebabkan pers yang berfungsi sebagai propaganda partai. Josefa Nadler, tokoh utama dalam Roman Flugasche mendapat tekanan dari partai dan rekan-rekannya, ketika ia memutuskan untuk menyampaikan kenyataan yang sebenarnya; kota B adalah kota terkotor di Eropa Sehingga ia akhirnya terpojok, terasing dan keberadaannya tereliminasi dari sekitarnya
Keputusan Josefa untuk menyampaikan kebenaran yang berarti dengan jelas telah melanggar doktrin partai merupakan salah satu bentuk penentangannya terhadap sistem. Disamping itu Josefa juga menyampaikan laporan tersebut kepada pimpinan partai. Josefa juga melontarkan kritik terhadap stuktur kehidupan yang telah di bentuk, sehingga melahirkan kehidupan yang monoton dan tanpa makna. Josefa menggugat individu-individu yang diarahkan dan di bentuk agar menjadi individu-individu yang satu, yang berkepribadian dan berfikir sesuai dengan doktrin partai.
Di samping melalui kritik kritiknya. Josefa, yang dalam kehidupan telah disingkirkan. banyak melampiaskannya dalam mimpi, fantasi dan halusinasi yang seringkali berupa simbol-simbol dan bersifat mencerdaskan (unheimlich).
Kenyataan-kenyataan yang tergambar dalam narasi merupakan refleksi dari kehidupan Monika Maron. Seperti halnya Josefa, Maron menginginkan terdapat perubahan dalam negerinya, yang ia sebut sebagai revolusi yang romantis. Maron juga mengalami permasalahan ketika ia ingin menerbitkan karyanya yang menurut pemerintah tidak mencerminkan nilai-nilai positif tentang partai. Namum berbeda dengan Josefa, yang memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan, Maron yang pernah menjadi wartawati menemukan sastra sebagai media untuk menyampaikan penentangan-penentangannya.
Selain itu, jika Josefa gagal menerbitkan laporannya, maka Maron yang mendapatkan beberapa kemudahan dari Stasi berhasil menerbitkan karya-karyanya di Jerman Barat. Karya-karya Maron banyak diminati publik, khususnya karena unsur sukbyektifiktas yang ia tonjolkan. Subyektifitas merupakan salah satu ciri roman yang diminati dan berkembang di jerman Barat pada masa itu, yaitu tahun 1980-an. Subyektifitas dalam roman Flugasche adalah penojolan konflik keberadaan aku, yang akhirnya terasing dan tereliminasi dari sekitarnya.
Karya-karya Maron menjadi perhatian publik, karena dengan tajam dan transparan mengungkap kehidupan di Jerman Timur. Selain itu pihak Jerman Barat juga memanfaatkannya sebagai propaganda sistem kapitalis, yaitu dengan menujukkan keburukan sistem komunis-sosialisme."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davidson, Scott
Jakarta: Pustaka Utama, 1994
341.481 DAV h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Asroruddin
"Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus <6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata penyebab, dan kisaran lama kebutaan.
Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total (p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan penglihatan.

Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.
Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25 questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey 2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.
Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages, and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite score of blind was statistically significant lower than severe low vision group (p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not significantly related.
Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and onset of visual impairment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Enoch Markum
"Disertasi ini mengetengahkan masalah kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia berkenaan dengan Pembangunan Nasional. Dari pengamatan terhadap negara-negara maju dan negara-negara yang tergolong "The New Industrialized Countries" ternyata negara-negara itu tidak memiliki sumberdaya alam yang melimpah, tetapi mereka memiliki sumberdaya manusia yang kualitasnya tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemajuan suatu negara. antara lain ditentukan oleh kualitas SDM yang tinggi. Bagi Indonesia yang sedang membangun dan menghadapi persaingan yang semakin ketat sebagai konsekuensi dari era globalisasi, maka mau tidak mau harus mengandalkan pada SDM yang kualitasnya tinggi. Masalahnya adalah bagaimana kualitas SDM Indonesia itu pada kenyataannya.
Berbagai pendapat mengenai kualitas SDM Indonesia (Koentjaraningrat, 1974, 1976, dan 1979; Soeryohadiprodjo, 1982; Lubis, 1990: Swasono, 1984. 1988, dan Sukardi, 1991) pada intinya menunjukkan bahwa SDM Indonesia pada umumnya belum siap menghadapi tuntutan pembangunan yang makin majemuk dan persaingan yang semakin ketat di masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu dipersiapkan SDM Indonesia yang mampu menghadapi tuntutan pembangunan dan era globalisasi. Masalahnya adalah unsur kualitas SDM apakah yang perlu disiapkan (baca: ditingkatkan dan dikembangkan) ditinjau dari sudut psikologi. Sebelum menjawab pertanyaan itu perlu ditegaskan bahwa pengertian SDM dalam studi ini cakupan yang terbatas pada melihat manusia sebagai sumberdaya atau tenaga kerja yang erat kaitannya dengan hal-ikhwal produktivitas, efisiensi, dan efetivitas suatu performa kerja.
Landasan teoretis yang digunakan dalam studi ini adalah teori sifat (trait) Banellport karena teori ini dapat menjawab tujuan penelitian. Yaitu menemukan suatu predisposisi tingkahlaku yang perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan adanya konsistensi.
Seeara umum tujuan penelitian ini adalah menemukan sifat yang harus dimiliki oleh SDM Indonesia dan lingkungan keluarga serta sekolah yang kondusif bagi pembentukan sifat SDM Indonesia. Untuk itu dilakukan dua tahap penelitian yang masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda.
Penelitian tahap I dilakukan dengan melakukan pengkajian 68 buku mengenai riwavat hidup orang-orang berprestasi dalam berbagai bidang dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya 6 sifat dari orang yang berprestasi tinggi, yakni kerja keras, disiplin, prestatif, komitmen, mandiri, dan realistis.
Penelitian tahap II merupakan penelitian lapangan sebagai kelanjutan dari penelian tahap I yang bertujuan menguji hipotesis mengenai sejauhmana (1) individu berprestasi tinggi memiliki ke 6 sifat di atas dan (2) pengaruh'lingkungan keluarga dan sekolah terhadap pembentukan sifat individu berprestasi tinggi.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa (280 orang) yang terdiri dan mahasiswa berprestasi tinggi (149 orang) dan mahasiswa berprestasi rendah (131 orang). Instrumen pengumpulan data terdiri dari (1) ISI '95 : untuk menemukan sifat. (2) Skala Keluarga : untuk melihat latar belakang keluarga. dan (3) Skala Sekolah : untuk meliltat peran lingkungan sekolah.
Untuk menguji hipotesis dari penelitian ini, digunakan metode analisis LISREL (Liniar Structural Relations) yang pada hakikatnya terdiri dari 2 tahap yang saling terkait, yaitu : (1) menguji kebenaran model dengan melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara model teoritik dan data ini atau tidaknya model). (2) jika model dinyatakan fit selanjutnva dilakukan pengujian atas hipotesis tentang hubungan kausal antar variabel. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan :
(1) sifat yang harus dimiliki oleh SDM Indonesia sebagai penunjang pembangunan, adalah sifat kerja keras, disiplin komitmen. prestatif mandiri, dan realistis.
(2) lingkungan keluarga yang kondusif bagi pembentukan sifat individu berprestasi tinggi adalah lingkungan yang menerapkan pola asuh yang otoritatif.
(3) lingkungan sekolah yang kondusif bagi pembentukan sifat individu berprestasi tinggi adalah lingkungan sekolah yang menerapkan pola bina yang otoritatif.
(4) ada alur pembentukkan individu berprestasi tingkat 0 yakni diawali dengan pola asuh dan pola bina yang otoritatif yang keduanya akan berpengaruh terhadap pembentukkan sifat, dan pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi individu.
(5) peran ibu dan guru cukup signifikan terhadap pembentukan sifat.
(6) ibu berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya prestasi.
Dari hasil studi ini disarankan (1) ke enam sifat yang ditemukan hendaknya dijadikan rujukan dalam pengembangan SDM Indonesia, seperti dalam pendidikan dan pelatihan. buku cerita yang menonjolkan ke enam sifat. dan ekspose orang-orang yang berprestasi tinggi. (2) membuat sinergi pola asuh di rumah dan pola bina di sekolah seperti melalui perteinuan orangtua siswa dan guru secara teratur. (3) pengembangan pola asuh otoritatif d.alam berbagai bidang. (4) melakukan penelitian mengenai sifat individu yang lingkupnya lebih luas, seperti pada olahragawan, seniman, ilmuwan yang berhasil. (5) pengembangan instrumen penelitian untuk melihat sejauhmana ada konsislensi antara sifat dan tingkah laku nyata."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
D677
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Enoch Markum
"Disertasi ini mengetengahkan masalah kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia berkenaan dengan Pembangunan Nasional. Dari pengamatan terhadap negara-negara maju dan negara-negara yang tergolong "The New Industrialized Countries" ternyata negara-negara itu tidak memiliki sumberdaya alam yang melimpah, tetapi mereka memiliki sumberdaya manusia yang kualitasnya tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemajuan suatu negara. antara lain ditentukan oleh kualitas SDM yang tinggi. Bagi Indonesia yang sedang membangun dan menghadapi persaingan yang semakin ketat sebagai konsekuensi dari era globalisasi, maka mau tidak mau harus mengandalkan pada SDM yang kualitasnya tinggi. Masalahnya adalah bagaimana kualitas SDM Indonesia itu pada kenyataannya.
Berbagai pendapat mengenai kualitas SDM Indonesia (Koentjaraningrat, 1974, 1976, dan 1979; Soeryohadiprodjo, 1982; Lubis, 1990: Swasono, 1984. 1988, dan Sukardi, 1991) pada intinya menunjukkan bahwa SDM Indonesia pada umumnya belum siap menghadapi tuntutan pembangunan yang makin majemuk dan persaingan yang semakin ketat di masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu dipersiapkan SDM Indonesia yang mampu menghadapi tuntutan pembangunan dan era globalisasi. Masalahnya adalah unsur kualitas SDM apakah yang perlu disiapkan (baca: ditingkatkan dan dikembangkan) ditinjau dari sudut psikologi. Sebelum menjawab pertanyaan itu perlu ditegaskan bahwa pengertian SDM dalam studi ini cakupan yang terbatas pada melihat manusia sebagai sumberdaya atau tenaga kerja yang erat kaitannya dengan hal-ikhwal produktivitas, efisiensi, dan efetivitas suatu performa kerja.
Landasan teoretis yang digunakan dalam studi ini adalah teori sifat (trait) Banellport karena teori ini dapat menjawab tujuan penelitian. Yaitu menemukan suatu predisposisi tingkahlaku yang perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan adanya konsistensi.
Seeara umum tujuan penelitian ini adalah menemukan sifat yang harus dimiliki oleh SDM Indonesia dan lingkungan keluarga serta sekolah yang kondusif bagi pembentukan sifat SDM Indonesia. Untuk itu dilakukan dua tahap penelitian yang masing-masing menggunakan pendekatan yang berbeda.
Penelitian tahap I dilakukan dengan melakukan pengkajian 68 buku mengenai riwavat hidup orang-orang berprestasi dalam berbagai bidang dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian tahap I menunjukkan adanya 6 sifat dari orang yang berprestasi tinggi, yakni kerja keras, disiplin, prestatif, komitmen, mandiri, dan realistis.
Penelitian tahap II merupakan penelitian lapangan sebagai kelanjutan dari penelian tahap I yang bertujuan menguji hipotesis mengenai sejauhmana (1) individu berprestasi tinggi memiliki ke 6 sifat di atas dan (2) pengaruh'lingkungan keluarga dan sekolah terhadap pembentukan sifat individu berprestasi tinggi.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa (280 orang) yang terdiri dan mahasiswa berprestasi tinggi (149 orang) dan mahasiswa berprestasi rendah (131 orang). Instrumen pengumpulan data terdiri dari (1) ISI '95 : untuk menemukan sifat. (2) Skala Keluarga : untuk melihat latar belakang keluarga. dan (3) Skala Sekolah : untuk meliltat peran lingkungan sekolah.
Untuk menguji hipotesis dari penelitian ini, digunakan metode analisis LISREL (Liniar Structural Relations) yang pada hakikatnya terdiri dari 2 tahap yang saling terkait, yaitu : (1) menguji kebenaran model dengan melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara model teoritik dan data ini atau tidaknya model). (2) jika model dinyatakan fit selanjutnva dilakukan pengujian atas hipotesis tentang hubungan kausal antar variabel. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan :
(1) sifat yang harus dimiliki oleh SDM Indonesia sebagai penunjang pembangunan, adalah sifat kerja keras, disiplin komitmen. prestatif mandiri, dan realistis.
(2) lingkungan keluarga yang kondusif bagi pembentukan sifat individu berprestasi tinggi adalah lingkungan yang menerapkan pola asuh yang otoritatif.
(3) lingkungan sekolah yang kondusif bagi pembentukan sifat individu berprestasi tinggi adalah lingkungan sekolah yang menerapkan pola bina yang otoritatif.
(4) ada alur pembentukkan individu berprestasi tingkat 0 yakni diawali dengan pola asuh dan pola bina yang otoritatif yang keduanya akan berpengaruh terhadap pembentukkan sifat, dan pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi individu.
(5) peran ibu dan guru cukup signifikan terhadap pembentukan sifat.
(6) ibu berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya prestasi.
Dari hasil studi ini disarankan (1) ke enam sifat yang ditemukan hendaknya dijadikan rujukan dalam pengembangan SDM Indonesia, seperti dalam pendidikan dan pelatihan. buku cerita yang menonjolkan ke enam sifat. dan ekspose orang-orang yang berprestasi tinggi. (2) membuat sinergi pola asuh di rumah dan pola bina di sekolah seperti melalui perteinuan orangtua siswa dan guru secara teratur. (3) pengembangan pola asuh otoritatif d.alam berbagai bidang. (4) melakukan penelitian mengenai sifat individu yang lingkupnya lebih luas, seperti pada olahragawan, seniman, ilmuwan yang berhasil. (5) pengembangan instrumen penelitian untuk melihat sejaulunana ada konsislensi antara sifat dan tingkah laku nyata."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
D224
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
"Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya.
Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer.
Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087).
Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah.

Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor.
Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation.
Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087).
Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T2578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>