Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118843 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simorangkir, J.C.T.
Jakarta: Erlangga, 1977
328.014 SIM t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, J.C.T.
Jakarta: Erlangga, 1973
342.05 SIM t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nur Habibi
"ABSTRACT
An idea to construct a code of ethics in a
country is a result from an idea of ethical reformation,
code of ethics and code of behaviors in numbers of
parliaments in the world, ethical regime and code of
ethics. The idea begins first in a private sector, also
public sector for democration and being active in any
demonstration for people trust that have been entrusted
to governmental officials. One of the governmental
institutions in Unitary State of Republic of Indonesia
(NKRI/Negara Kesatuan Republik Indonesia) is Indonesian
Legislative Assembly (DPR-RI/Dewan Perwakilan Rakyat-
Republik Indonesia) , regulated in VII of the 1945
Constitution where Article 19 and 22 B are. The
institution makes another institution controlling its
members' daily ethics, named Ethical Committee (BK/Badan
Kehormatan) which is ad hoc. Then, this is permanent and
has a legal power. The Ethical Committee is regulated in
the Article 98 Sub (2) alphabet g, the Act No.22/2003
Susduk People's Consultative Council (MPR/Musyawarah
Permusyawaratan Rakyat), Indonesian Legislative Assembly
(DPR-RI) , Leadership of Political Party at local level
(DPD/Dewan Perwakilan Daerah), and DPR-RI about
comprehensiveness and support and Decision of DPR No.
08/1/2005-2006 on DPR-RI on the Order and Code of Ethics
of DPR-RI. The effectiveness is regulated in the Article
60, punishment is through complain, process, 14 days
since the complain, and 14 days later, the letter of
invitation is sent to a related member, at least 3-days
before meeting. The meeting is different from other
courts. When the decision of Ethical Committee brings
punishment due to breaking the Code of Ethics, the
decision is final and there is no comparison. The
comparison between Code of Ethics in DPR-RI Ethical
Committee and that in other countries is substantively
similar, but the punishment is different. The Ethical
Committee of DPR—RI has discharged one's membership of
DPR-RI members because of his breaking the Ethical
Committee's Code of Ethics. The mechanism is regulated in
the Act of Regional Government No. 32/2004."
2007
T37835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Maringan S.
"Tindak pidana perkosaan merupakan tindak pidana yang menimbulkan ketakutan tersendiri dalam masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak perempuan, sebab golongan perempuan dan anak perempuan ini yang kerap menjadi korban perkosaan. Hal ini dikarenakan posisi mereka yang lemah dan subordinat. Meski pelaku tindak pidana perkosaan diancam dengan pidana berat, namun fenomena yang terjadi justru terdapat peningkatan dari jenis kejahatan ini. Hukum sebagai pranata penegak keadilan, ternyata tidak dapat berfungsi. Penegakan hukum tidak hanya memerlukan kepastian hukum, tapi juga kesebandingan dan keadilan dalam porsi yang sama. Kesulitan pembuktian tindak pidana perkosaan menjadi permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya. Asas unus testis nullus testis yang memiliki filosofi ‘guna menghindari fitnah’ bagi terdakwa, ternyata dalam pembuktian tindak pidana perkosaan telah mendiskualifikasikan perempuan dan anak perempuan sebagai korban perkosaan. Asas inilah yang dipegang teguh oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam pembuktian tindak pidana perkosaan. Belum lagi rumusan perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia tidak sensitive gender, ini dapat dipahami mengingat dahulu hukum dibentuk bersandarkan pada perspektif kaum laki-laki, dimana perempuan kala itu tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya. Ketimpangan jender ini berakibat fatal. Maka yang terjadi kepentingan perempuan dibentuk berdasarkan apa yang dianggap baik oleh kaum laki-laki, yang belum tentu dalam prakteknya menjadi baik bagi perempuan itu sendiri. Rumusan perkosaan dalam KUHP, tidak mengakomodir bentuk-bentuk perkosaan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan perempuan tidak memiliki perisai untuk melindungi dirinya ataupun untuk menuntut pelaku atas apa yang terjadi pada dirinya. Selain rumusan dalam KUHP dan hukum acara dalam KUHAP, yang tak kalah penting adalah persepsi bias jender dalam alam pikiran aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus perkosaan. Sesungguhnya, hal inilah yang patut dibenahi terlebih dahulu, karena peraturan apapun akan menjadi berbahaya bagi perempuan ketika diterapkan berdasarkan pandangan bias jender. Namun, tetap perlindungan perempuan dan pengakomodiran kepentingan perempuan dalam hukum juga harus dilakukan, sebab pranata hukum itulah yang kemudian menjadi senjata bagi aparat penegak hukum dan perempuan serta masyarakat untuk menegakkan hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S25443
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Riyan Rizki
"Pemanggilan paksa merupakan mekanisme untuk memanggil seseorang dalam rangka meminta keterangannya terkait suatu permasalahan tertentu, ketentuan terkait pemanggilan paksa umumnya digunakan dalam ranah penegakan hukum. Ketentuan mengenai penggunaan pemanggilan paksa dalam meminta keterangan selain dalam ranah penegakan hukum juga digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang diatur dalam UU MD3. Pada tahun 2018, yang merupakan perubahan kedua UU MD3 terdapat beberapa pasal kontroversial, salah satunya yaitu memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk melakukan pemanggilan paksa dengan menggunakan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan seseorang sebelumnya pernah dipanggil DPR namun  tidak hadir sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, sebelum akhirnya pasal kontroversial tersebut diputuskan inskontitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018. Penelitian ini dilakukan untuk membahas dan menjawab permasalahan yaitu bagaimana pengaturan dan penerapan hak subpoena oleh Lembaga Negara di Indonesia dan analisis mengenai pemanggilan paksa oleh DPR dalam Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis-normatif dan menggunakan data-data yang diperoleh berdasarkan hasil studi kepustakaan serta menelaah ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil analisis menemukan bahwa DPR RI memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, yakni dalam menjalankan fungsi pengawasan, akan tetapi kewenangan dalam melakukan pemanggilan paksa tersebut dikatikan dengan adanya upaya penghinaan terhadap parlemen/contempt of parliamentsehinggan terdapat alasan yang jelas terkait dilakukannya pemanggilan paksa terhadap seseorang.

Forced summons is a mechanism to summon someone in order to ask for information regarding a particular problem, provisions related to forced summons are generally used in the realm of law enforcement. Provisions regarding the use of forced summons when requesting information other than in the realm of law enforcement are also used by the Republic of Indonesia's House of Representatives (DPR) which are regulated in the MD3 Law. In 2018, which was the second amendment to the MD3 Law, there were several controversial articles, one of which was giving the authority to the DPR RI to carry out forced summons using the assistance of the Indonesian National Police to present someone who had previously been summoned by the DPR but was absent 3 (three) times successively without proper and valid reasons, before finally the controversial article was decided unconstitutional by the Constitutional Court through Decision Number 16/PUU-XVI/2018. This research was conducted to discuss and answer problems, namely how to regulate and apply subpoena rights by State Institutions in Indonesia and an analysis of forced summons by the DPR in the Constitutional Court Decision Number 16/PUU-XVI/2018. To answer these problems, the author uses research methods with a normative-juridical approach and uses data obtained based on the results of literature studies and examines the provisions in the applicable laws and regulations. The results of the analysis found that the DPR RI has the authority to carry out forced summons, namely in carrying out the results of the analysis found that the DPR RI has the authority to carry out forced summons, namely in carrying out its supervisory function, but the authority to carry out forced summons is tied to attempts to insult parliament/contempt of parliament so that there are clear reasons related to carrying out forced summons against someone."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutan Sorik
"Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 menempatkan konstruksi relasi DPR dengan DPD terkait Pengawasan atas APBN tidak berimbang. Kewenangan DPD yang diberikan sangat lemah, menempatkan DPD hanya sebagai supporting system bagi DPR di Parlemen. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi perbandingan hukum dan perundang-undangan, bentuk hasil penelitian bersifat preskriptif-analitis. Hasil penelitian menemukan kewenangan formal yang dimiliki DPD dengan DPR tidak sesuai dengan teori bikameralisme dan konsep fungsi pengawasan parlemen. Secara teori bikameralisme dan konsep fungsi pengawasan parlemen, DPD yang memiliki legitimasi tinggi seharusnya memiliki kedudukan dan kewenangan pengawasan atas APBN setara dengan DPR baik secara ex ante maupun ex post. Berdasarkan perbandingan hukum yang dilakukan dengan enam negara, menempatkan kamar kedua baik secara pengawasan ex ante mapun ex post ikut terlibat dalam pengawasan APBN. Kedepan, DPR dan DPD seharusnya mempunyai kedudukan, kewenangan, serta hubungan yang setara. Langkah penguatan yang dapat ditempuh, melakukan perubahan Pasal 22D ayat (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD NRI 1945 atau yang lebih praktis adalah dengan membentuk tata tertib hubungan kerja antara DPR dan DPD terkait pengawasan atas APBN yang memungkinkan DPD dapat terlibat dengan baik.

Article 22D paragraphs (2) and (3) and Article 23 paragraphs (2) and (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia place the construction of the relationship between the DPR and the DPD regarding Supervision of the APBN as unequal. The authority of the DPD given is very weak, placing the DPD only as a supporting system for the DPR in Parliament. This research uses a comparative study approach of law and legislation, the form of research results is prescriptive-analytical. The results of the study found that formal authority the DPD has with the DPR are not in accordance with the theory of bicameralism and the concept of the parliamentary oversight function. In theory, bicameralism and the concept of parliamentary oversight function, a DPD that has high legitimacy should have the position and authority to supervise the APBN on a par with the DPR, both ex ante and ex post. Based on legal comparisons conducted with six countries, placing the second chamber both in ex ante and ex post supervision is involved in APBN supervision. In the future, the DPR and DPD should have equal position, authority and relationship. Strengthening steps that can be taken, amending Article 22D paragraphs (2) and (3) as well as Article 23 paragraphs (2) and (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia or more practically is to form an orderly working relationship between the DPR and DPD regarding supervision over APBN which allows the DPD to be involved properly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Cipto
Jakarta: Radja Grafindo Persada, 1995
328.09598 Cip d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Effendy Yusuf
"Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk keputusan Pimpinan Fraksi-fraksi dan keputusan Pimpinan DPR yang meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003 merupakan fenomena politik yang menarik dikaji. Betapa tidak, Presiden Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar dan Panglima Tertinggi ABRI memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI yang jumlahnya di parlemen mencapai 400 kursi atau 80 persen dari jumlah keseluruhan anggota DPR. Ketika Presiden Soeharto didesak mundur oleh mahasiswa dan masyarakat, ia dengan keyakinan yang sangat besar menyerahkan sepenuhnya persoalan itu kepada DPR. Pimpinan dan anggota DPR menganggap pernyataan Presiden Soeharto merupakan "bola panas" yang dilempar ke DPR, karena itu bola panas tersebut dikembalikan ke Cendana dalam bentuk surat resmi pimpinan DPR meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Berangkat dari fenomena tersebut, masalah pokok yang diangkat dalam peneiitian ini adalah sejauh mana pengaruh desakan kelompok penekan terhadap keputusan DPR meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Secara terinci, penelitian ini menggambarkan : 1) Kelompok penekan mana yang mempengaruhi lahirnya keputusan DPR. 2) Bagaimana bentuk desakan yang dilakukan kelompok penekan kepada DPR, serta 3) Bagaimana tanggapan DPR terhadap tuntutan kelompok penekan yang menghendaki Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kualitatif ini, secara metodologis mempergunakan teknik observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi untuk menjaring datanya. Di antara sejumlah kesimpulan temuan penelitian yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kelompok penekan dengan berbagai ragam motif atau kepentingan, basis sosial, saluran akses, dan intensitas desakannya, dalam realitasnya memiliki kontribusi besar dan determinatif dalam proses pengambilan keputusan DPR yang meminta pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya. Presiden Soeharto menanggapi keputusan DPR dengan cara mundur dari jabatannya dan mengalihkan kepada B.J Habibie. Secara prosedural, peralihan kekuasaan tersebut merupakan efek konkret dari desakan yang diperankan kelompok penekan kepada DPR. Pendek kata, peranan kelompok penekan kepada DPR mempengaruhi proses pengambilan keputusan DPR untuk meminta Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>