Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1266 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Islah Gusmian
Jakarta: Teraju, 2003
297.122 ISL k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jazim Hamidi
"Summary:
Hermeneutics of Indonesian law"
Malang: UB Press, 2011
348.02 JAZ h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Faisol
"Buku yang berjudul Hermeneutika Gender ini mengangkat persoalan perempuan dan gender dalam pandangan Abu Hayyan al-Andalusi melalui karya tafsirnya yang berjudul Bahr al-Muhith. Di tengah arus perubahan sosial seperti sekarang ini, kajian mengenai perempuan dan gender dalam sebuah kitab tafsir menurut penulis menjadi penting karena sejauh ini telah terjadi gap antara realitas dan teks. Menelusuri gagasan tentang gender dan agama dalam kitab tafsir menurut penulis penting dilakukan dalam rangka membongkar wacana keagamaan yang dominan (Logosentrisme). Logosentrisme sering kali dijadikan legitimasi terhadap praktik ketidak-adilan gender di tengah masyarakat. Karena Islam dibangun dalam tradisi peradaban teks, kitab tafsir sebagai rujukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari praktik peradaban itu. "
Malang: UIN-Maliki Press, 2012
297.122 FAI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Arsip Universitas Gajah Mada,
020 KHA
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Suriani Shiddiq
"Teks dengan media apapun sesungguhnya diam, tanpa sentuhan pembaca. Dari sinilah bermuara lahirnya interpretasi atau penafsiran. Setiap orang pasti berbeda-beda dalam memaknai suatu teks, ini disebabkan terdapat 'jarak' ruang dan waktu antara teks-bacaan dengan si penafsir (pembaca; interpretator). Apalagi jika teks yang dimaksud di sini adalah kitab suci, wahyu Tuhan, The Word of God yang diturunkan melalui perantaraan seorang "nabi" (interpretator) yang notabene sulit dilacak sumber awalnya. Hermeneutika dan tafsir Al- Qur'an adalah dua metode yang dipakai untuk dapat menjangkau aspek historis, pengalaman dan fenomena sosial yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks.
Dalam kajian teks-teks kitab suci terutama lnjil, hermeneutika digunakan untuk memahami teks itu sendiri maupun relasi antara teks (inter-text) dengan sang penafsir dan problem sosial yang terjadi sewaktu teks tersebut lahir, yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Inilah yang kemudian melahirkan dua kecenderungan dalam hermeneutika yakni diachronic-subjective dan synchronic-objective.
Konsekuensi dari dua kecenderungan tersebut melahirkan tiga metode hermenutika, yakni: (1) Tradisional; (2) Dialektik; dan (3) Ontologis. Metode inilah yang kemudian rnemunculkan berbagai aliran hermeneutika, seperti hermeneutika pilologis-teologis (Wolf-Ast dan Schleirmacher), hermeneutika filosofis (Hans-Georg Gadamer), hermeneutika eksistensial-ontologis (Martin Heidegger), henneneutika fenomenologis (Paul Ricoeur) dan hermeneutika kritis (Karl Otto Apel).
Sebagai metodologi pemaknaan dan pemahaman terhadap teks, hermeneutika telah mengalami perubahan paradigma yang sangat signifikan. Pada awalnya problem hermeneutika hanya menyangkut problem pemaknaan teks kitab suci semata, maka pada era selanjutnya hermeneutika juga digunakan sebagai altematif metodologi pemahaman terhadap fenomena manusia, alam dan ragam sasial yang melatarinya.
Seperti halnya hermeneutika, kajian terhadap teks Al Qur'an juga terus mengalami perkembangan. Ini disebabkan terus berkembangnya metodologi penafsiran sepanjang waktu. Lahirlah, kemudian, dua kecenderungan penafsiran, yaitu penafsiran tekstual (tafsir bi al ma'tsur) yang secara teoritik menyangkut aspek teks dengan problem semiotika dan semantiknya, dan model penafsiran kontekstual-rasional (tafsir bi al ra'yi) yang secara teoritik menyangkut aspek konteks di dalam teks yang mereprentasikan ruang-ruang sosial budaya yang beragam di mana teks itu muncul. Konsekuensi dari dua kecenderungan tersebut melahirkan empat metodologi penafsiran yakni (1) Tahlili; (2) Ijmali; (3) Mugaran; dan (4) Maudlu'.
Keempat metodologi penafsiran tersebut menjadi sangat penting dibahas mengingat dari sinilah kemudian lahir berbagai problematika pemaknaan dalam memahami teks Al Qur'an termasuk di dalamnya adalah metodologi hermeneutika Al Qur'an yang hingga sekarang masih mengalami kontroversi. Kontroversi itu menyangkut adanya prosupposisi bahwa metode hermeneutika tidak dapat dipakaikan untuk menafsirkan at Qur'an.
Secara umum, antara hermeneutika dengan tafsir yang selama ini dikenal relatif hampir lama dari sisi penerapannya. Hanya saja, keduanya memiliki karakteristiknya sendirisendiri yang sangat khas. Hermeneutika yang berlatarbelakang teologi Kristen dan Al Qur'an yang berlatarbelakang Islam secara substansial sumbernya jelas berbeda.
Namun demikian, keduanya secara harfiah memiliki fungsi yang sarna, yakni memaknai, menterjemahkan atau menafsirkan. Akan tetapi secara historis keduanya memiliki rnakna yang relatif berbeda. Kalaupun ada persamaan semata menyangkut logika Bahasa dan pemaknaan terhadap fenomena yang melatarbelakanginya. Secara metodologis antara hermeneutika dan tafsir Al Qur'an juga tidak berbeda. Sebab, keduanya sama-sama dipakai dalam konteks untuk memahami teks yang secara historis berbeda jarak ruang dan waktunya. Keduanya bahkan dipandang dapat pula saling melengkapi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Mahendra Hendrobaskoro
"Nama Friedrich Nietzsche memang cukup sering didengar orang. Baik orang awam yang sekedar `pernah dengar' sampai mereka yang memang bergelut habis dengan pemikirannya. Sayangnya, nama ini sering didengar sebagai seorang yang penuh rasa anti: anti sistem, anti metode, anti agama, hingga anti Tuhan! Semua stigma itu telah berurat-berakar dalam benak banyak orang hingga menjadi semacam common sense. Padahal, common sense itu bermula dari cara pembacaan terhadap teks-teks Nietzsche yang disertai penafsiran tertentu. Jadi, semua itu semata masalah penafsiran. Hampir dua abad setelah Nietzsche, seorang filsuf yang juga berasal dari Jerman menyatakan, sebuah teks pada dasarnya adalah netral. Pembaca sekaligus penafsir teks itulah yang memberikannya makna. Sebuah teks yang dibaca pembaca sedapat mungkin diberikan `jembatan' dengan teks yang ditulis oleh pembuatnya. `Jembatan' itu disebut dengan hermeneutika, yaitu ilmu untuk menafsirkan teks. Dan filsuf itu bernama Hans-Georg Gadamer, Dengan metode hermeneutika filosofis yang disediakan olehnya, skripsi ini mencoba memurnikan stigmatisasi terhadap Nietzsche dan teks-teksnya sebagai ateis. Lebih jauh, skripsi ini bergerak untuk memberikan suatu horizon penafsiran baru terhadap pemikiran sang filsuf: teisme Nietzsche."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Takwin
Yogyakarta: Jalasutra, 2009
140 BAG a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mardety
"Disertasi ini merupakan studi hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran, khususnya hermeneutika feminisme dalam pemikiran Amina Wadud. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan penafsiran yang bias gender dan telah membuat perempuan menjadi subordinat dan tertindas. Isu-isu gender telah melahirkan pandangan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki dan kemanusiaan perempuan tidak utuh. Dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud membongkar bias gender dalam penafsiran Alquran untuk direinterpretasi dengan pendekatan hermeneutika feminisme.
Tujuan disertasi ini adalah memformulasikan model hermeneutika feminisme dalam pemikiran Wadud, yaitu mengeksplisitkan cara kerja dan asumsi-asumsi metodologis yang terkandung dalam hermeneutika feminisme. Konstribusi penting hermeneutika feminisme adalah memunculkan tafsir feminis, sebuah tafsir yang mengumandang suara perempuan dalam Alquran.

This dissertation is the study of feminist hermeneutics in the Alquran, particularly, implementing feminist hermeneutics in Wadud?s literature/texts. Methodological problems in the interpretation of the Alquran has caused gender bias interpretations and has made women subordinate and oppressed. Gender isues spawned the view that the position of women in society is considered lower than male and female humanity is deemed incomplete. Thus, in order to achieve equality and gender justice, Wadud dismantles gender bias in the interpretation of the Alquran for reinterpretation.
The purpose of this dissertation is to formulate models of feminist hermeneutics used in Wadud?s literature/texts. It shows how feminist hermeneutics works and methodological assumptions in feminist hermeneutics. The important contribution of feminist hermeneutics is to include feminist interpretation, an interpretation which articulates the voice of women in the Alquran."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2078
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jazim Hamidi
Malang: UB Press, 2017
121.686 JAZ h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Fadil Azmi
"Ideologi bekerja melalui bahasa oleh karena itu mempelajari ideologi berarti mempelajari cara-cara di mana makna (pemberi makna) secara terus menerus menjalankan relasi dominasi. Hassan Hanafi menyebut teks sebagai praktik ideologi, dalam hal ini teks pun bersifat arbiter karena merupakan pilihan penulisnya pada satu maksud tertentu dari keragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa mendatang. Tujuan penulisan teks tidak lain bersifat etis dan ideologis, disebut etis karena penulisan suatu momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan keinginan memberi petunjuk tertulis kepada generasi mendatang, sementara ideologis karena teks merupakan sarana efektif untuk mewariskan kekuasaan. Bahasa kebijakan dalam Undang-undang pars dicurigai sebagai sebuah teks yang mengalami dinamika kepentingan antara kepentingan penguasa, kepentingan pemilik media dan kepentingan publik. Penelitian ini menyandarkan diri pada paradigma konstruktivisme. Alasannya adalah sebuah bahasa kebijakan, baik itu Undang-undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982 dan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 merupakan hasil dari proses pembentukan realitas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode yang digunakan dalarn penelitian ini adalah Hermeneutika Habermas. Hermeneutika memberikan fokus pada teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Adapun Hermeneutika Habermas merupakan hermeneutika kecurigaan karena berkepentingan untuk menyingkap tabir-tabir ideologis dibalik sebuah teks. Penelusuran data maupun analisis dilakukan pada tiga level pemahaman: Pemahaman langsung terhadap alam material dengan menginterpretasikan isi teks kebijakan, Pemahaman Manusia lain dengan meneliti pemahaman para penafsir terhadap teks kebijakan dan Pemahaman atas kebudayaan dengan meneliti fenomena regulasi kebijakan dikaitkan dengan situasi dan kondisi sosial dan ekonomi politik yang berlaku pada saat pembuatan teks kebijakan. Dari seluruh proses penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 dan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak terlepas dari sejumlah faktor individu dan faktor sosial dalam dimensi situasi dan zaman yang melingkupinya. Pada Undan-gundang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982, kekuasan terhadap kebebasan pers sepenuhnya tergantung kepada pemerintah, tidak hanya terhadap makna kebebasan pers itu sendiri, tapi juga undang-undang ini memberikan "kekuasaan penuh" kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kehidupan pers serta penempatan para birokrasi pada lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengontrol kehidupan pers. Pada Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999, terlihat kuatnya "ideologi Pasar" pada kehidupan pers. Kekuasaan terhadap pers sepenuhnya tergantung pada pasar, kuat dugaan kehidupan pers menjadi monopoli konglomerasi media, pers lebih banyak menyajikan berita-berita yang di inginkan masyarakat dibandingkan berita-berita yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pada kondisi ini, pers belum mampu menjalankan fungsinya sebagai ruang publik dalam proses demokratisasi yang dinamis. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Undang-undang Pers No.40 tahun 1999, bukan merupakan UU lex specialis derogat lex generalis terhadap undang-undang lain seperti yang di kemukakan sebagian kalangan pers, dikarenakan undang-undang ini hanya mengatur tiga hal yang dapat dituduhkan terhadap pelanggaran jurnalistik yakni norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tidak bersalah, di luar ketiga haI ini Undang-undang ini membuka diri diberlakukannya Undang-undang lain, di samping itu juga Undang-undang ini tidak memenuhi syarat untuk menjadikan dirinya sebagai lex specialis, yakni Rezim hukumnya tidak sama dan serumpun dengan undang-undang yang mau di lex specialrs-km, tidak adanya satu perbuatan dilarang oleh dua aturan yang berbeda dan tidak ada ancaman hukum dari lex specialis yang jauh lebih berat dari lex generalis. Kebebasan kehidupan pers, pada akhirnya merupakan keinginan semua pihak agar ruang publik sebagai wahana pengimplementasian kehidupan demokratis yang dinamis dapat berjalan, tetapi tentu saja kebebasan ini tidak boleh hanya sebatas kebebasan yang dimonopoli oleh segelintir orang, tetapi harus dibumikan menjadi kenyataan yang memberikan realitas kesempatan bagi semua elemen masyarakat dalam mengakses seluruh informasi yang dibutuhkannya. Kepentingan publik harus menjadi prioritas media massa, karenanya kebebasan pers harus didasarkan pada paradigma etis, norma hukum dan profesionalisme para jurnalis dalam menyajikan pemberitaannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>