Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169721 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emil Radhiansyah
"Bolivia merupakan sebuah negara di Amerika Tengah. Secara geography negara ini berada di dataran tinggi Amerika Latin. Walaupun tidak memiliki akses ke daerah pantai, Bolivia merupakan salah satu penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar setelah Venezuela di Amerika Latin. Penduduk Mayoritas Bolivia adalah suku indian Aymara dan Quecha dan juga keturunan campuran antara indian dan kulit putih (Spanyol). Sebagai sebuah negara berkembang, Bolivia memiliki ketergantungan terhadap bantuan finansial dari lembaga-lembaga keuangan internasional dan masuknya investor asing. Namun kebijakan kontroversial dikeluarkan oleh Presiden terpilih pada Desember 2005, Evo Morales. Kebijakan yang dianggap tidak memihak atas jaminan kepemilikan dan keamanan berinvestasi terhadap investor asing, mendapat kecaman dan tanggapan negatif dari banyak pihak.
Kebijakan nasionalisasi yang dikeluarkan oleh Evo Morales pada 1 Mei 2006, yang bertepatan dengan hari Buruh Internasional tersebut, dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap kebebasan berinvestasi di Bolivia, dan merugikan sekitar 20 perusahaan yang bergerak dalam penglolaan dan eksplorasi migas. Kebijakan ini dikeluarkan bukan karena keinginan Evo Morales, tetapi merujuk kepada terjadinya Gerakan Sosial yang telah terjadi di Bolivia pada periode waktu tahun 2000 sampai dengan 2005. Pemerintahan Bolivia terdahulu yang menerapkan kebijakan ekonomi dan politik neoliberal, telah menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial dan kemiskinan dalam masyarakat Bolivia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Amy Chua dalam bukunya World On Fire, bahwa dominasi minoritas atas mayoritas penduduk pribumi menyebabkan munculnya konflik. Dikaitkan dengan globalisasi dengan paradigma neoliberal, dimana peranan negara dalam pasar harus dikurangi. IMF dan Bank Dunia merupakan lembaga keuangan internasional yang menerapkan kebijakan mengenai Liberalisasi Perdagangan, Deregulasi, serta Privatisasi yang merupakan pilar-pilar dalam perekonomian neoliberal.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Bolivia mengikuti saran-saran dari IMF serta Amerika Serikat, memang memiliki dampak terhadap pertumbuhan perekonomian Boilivia, namun pertumbuhan tersebut hanya dirasakan oleh sekelompok kecil saja. Akibat dari privatisasi yaitu terjadinya efisiensi biaya perusahaan yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, terutama pada Badan Usaha Milik Negara yang telah diswastanisasikan kepada investor asing. Sehingga dalam pembagian keuntungan Bolivia hanya menerima tidak lebih dari 20 persen saja. Kebijakan penghapusan pertanian koka, sebagai bagian dari kepentingan Amerika Serikat mengurangi peredaran kokain yang masuk ke wilayahnya, memaksa pemerintah Bolivia melakukan kebijakan penghapusan lahan pertanian koka, yang disertai dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan Bolivia. Rakyat yang merasa ditindas terutama penduduk pribumi, melakukan perlawanan dengan melakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut perubahan dalam pemerintahan. aksi massa yang dikenal dengan Gerakan Sosial tersebut ternyata mampu menekan pemerintahan Bolivia, yang terbukti dengan terjadinya beberapa kali perubahan dalam kepersidenan. Gerakan Sosial yang terjadi di Bolivia merupakan Gerakan Sosial Baru.
Dinamakan Baru dikarenakan unsur-unsur gerakan tersebut tidak hanya datang dari kelas pekerja, tapi dari berbagai kalangan. Tuntutan yang diajukan bukan berdasarkan atas hubungan antara pemilik modal dan pekerja, walaupun tuntutan masih bersifat adanya perubahan dalam kebijakan ekonomi namun Gerakan Sosial yang terjadi di Amerika Latin umumnya dan khususnya Bolivia adalah kembalinya peranan negara didalam pengaturan pasar. Oleh karenanya tuntutan untuk melakukan nasionalisasi di Bolivia bukan sebuah gerakan yang menolak paradigma neoliberal tetapi lebih kepada pembagian yang adil hasil-hasil antara investor dan Bolivia. Kemunculan Evo Morales sebagai Presiden mambawa warna baru dalam regional Amerika Latin. Bersama dengan Hugo Chavez, Fidel Castro, dan beberapa negara Amerika Latin lainnya menumbuhkan sebuah kekuatan regional baru. Kekuatan yang dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh Amerika Serikat di kawasan ini, melalui pembentukan Bank Selatan yang dimaksudkan menggantikan peranan IMF dan Bank Dunia, tentunya dengan perumusan strategi yang lebih dapat diterima oleh kondisi negara-negara Amerika Latin. Pembentukan kerjasama ekonomi negara-negara Amerika Selatan yang mengedepankan kepada semangat pembangunan daripada eksploitasi.

Bolivia is place in the middle of American Region. Geography of the state is place at the highland of Latin America. Though the country does not have any access to the sea, it produces one of the biggest oil and gas after Venezuela in Latin America. The majority is indigenous people of Indian Aymara and Quecha and also mixed blood Indian and the white (the Spanish). As one of developing country in the region, it dependable on financial help from International Financial Institutions and foreign investor. But a controversial policy was came from the elected President, Evo Morales. the policy did not have any guarantee on the right of ownership and investment security for foreign investor, it also condemned by and had a negative impact from many side.
The nationalization policy by Evo Morales on 1st of May 2006 that came to effect at Workers Day, was consider as a threat for the freedom in investing climate in Bolivia, and also suffer to a lose for 20 company which move on the execution and explorations in energy mining. The demand of the policy that came in effect was came from the social movement in Bolivia between year 2000 until 2005. Political and neoliberal Economic policy that was came from the former government of Bolivia, had caused social suspicious and poverty inside the Bolivian. As Amy Chua said in her book World on Fire, the minority domination above majority of the indigenous people has cause a conflict. With the globalization impact with neoliberal paradigm and as the state intervention to the market must be reduce. The International Monetary Foundation organization (IMF) and The World Bank, as an international monetary institutions, give policy in liberalizing trade, deregulations and Privatizations which is as foundations to the neoliberal economy.
The implemented policy by former government of Bolivia, was followed the suggestion that suggested from IMF and The United States of America, and had an impact on economic development in Bolivia, that only effected small group of Bolivian society. Theeffect in privatization was in company efficiency that caused jobs lost especially in state enterprises. The privatization of state enterprises to private business in large scale had caused in profit share, which that the Bolivian Government share less than 20 percent of the profit. The coca eradication policy, which was one of the United States pressure policy toward Hugo Banzer government to reduce cocaine that circulating in the street of United States, had an impact in eradicated the coca land farm followed by the force act by the Bolivian special drug police and the army.
The cocaleros (coca?s farmer), indigenous people, students, Workers Union, Teachers Union and many organization and mass reacted to the implemented of the policies and demanded change in government policy and also in the body of government it self. The improve of mass movement known as the Social Movement was the pressure to the Government and change in the government body, as the step down of five president in Bolivia. The Bolivian Social Movement also known as the part of New Social Movement. New because the factor of the movement was not only came from workers class, also from other class, such as students, woman?s, professionals, indigenous people and many other.
The demand of this movement not only based on relations between workers and the capital class, although the demand still in the changing in economy policy. The Social Movement in America Latin in general and especially in Bolivia is the demand on state intervention in the market that can protect public goods to reach by the people. In the case of nationalizations in Bolivia, the movement not only a movement against the neoliberal paradigm but as a demand in fair economy sharing. The rise of Evo Morales as President brought new colors in Latin American region. With Hugo Chavez of Venezuela and Fidel Castro of Cuba and other Latin America State, the region is growing a new power. It was directing against United States influences in the region, with the forming of Southern Bank of South America region is also directing against and replacing the IMF and World Bank influences, off course with new accepted strategic approachement by the Latin American Nations. The forming of economy cooperation in Southern America bring a spirit of development than exploitation."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T22907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Radhiansyah
"Bolivia merupakan sebuah negara di Amerika Tengah. Secara geography negara ini berada di dataran tinggi Amerika Latin. Walaupun tidak memiliki akses ke daerah pantai, Bolivia merupakan salah satu penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar setelah Venezuela di Amerika Latin. Penduduk Mayoritas Bolivia adalah suku indian Aymara dan Quecha dan juga keturunan campuran antara indian dan kulit putih (Spanyol). Sebagai sebuah negara berkembang, Bolivia memiliki ketergantungan terhadap bantuan finansial dari lembaga-lembaga keuangan intemasional dan masuknya investor asing. Namun kebijakan kontroversial dikeluarkan oleh Presiden terpilih pada Desember 2005, Evo Morales. Kebijakan yang dianggap tidak memihak atas jaminan kepemilikan dan keamanan berinvestasi terhadap investor asing, mendapat kecaman dan tanggapan negatif dari banyak pihak.
Kebijakan nasionalisasi yang dikeluarkan oleh Evo Morales pada 1 Mei 2006, yang bertepatan dengan hari Buruh lntemasional tersebut, dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap kebebasan berinvestasi di Bolivia, dan merugikan sekitar 20 perusahaan yang bergerak dalam penglolaan dan eksplorasi migas. Kebijakan ini dikeluarkan bukan karena keinginan Evo Morales, tetapi merujuk kepada terjadinya Gerakan Sosial yang telah terjadi di Bolivia pada periode waktu tahun 2000 sampai dengan 2005. Pemerintahan Bolivia terdahulu yang menerapkan kebijakan ekonomi dan politik neoliberal, telah menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial dan kemiskinan dalam masyarakat Bolivia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Amy Chua dalam bukunya World On Fire, bahwa dominasi minoritas atas mayoritas penduduk pribumi menyebabkan munculnya konflik. Dikaitkan dengan globalisasi dengan paradigma neoliberal, dimana peranan negara dalam pasar harus dikurangi. IMF dan Bank Dunia merupakan Jembaga keuangan intemasional yang menerapkan kebijakan mengenai Liberalisasi Perdagangan, Deregulasi, serta Privatisasi yang merupakan pilar-pilar dalam perekonomian neoliberal.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Bolivia mengikuti saran-saran dari IMF serta Amerika Serikat, memang memiliki dampak terhadap pertumbuhan perekonomian Bangkitnya gerakan Boilivia, namun pertumbuhan tersebut hanya dirasakan oleh sekelompok kecil saja. Akibat dari privatisasi yaitu terjadinya efisiensi biaya perusahaan yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, terutama pada Badan Usaha Milik Negara yang telah diswastanisasikan kepada investor asing. Sehingga dalam pembagian keuntungan Bolivia hanya menerima tidak lebih dari 20 persen saja. Kebijakan penghapusan pertanian koka, sebagai bagian dari kepentingan Amerika Serikat mengurangi peredaran kokain yang masuk ke wilayahnya, memaksa pemerintah Bolivia melakukan kebijakan penghapusan lahan pertanian koka, yang disertai dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan Bolivia.
Rakyat yang merasa ditindas terutama penduduk pribumi, melakukan perlawanan dengan melakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut perubahan dalam pemerintahan. Aksi massa yang dikenal dengan Gerakan Soslal tersebut ternyata mampu menekan pemerintahan Bolivia, yang terbukti dengan terjadinya beberapa kali perubahan dalam kepersidenan. Gerakan Sosial yang terjadi di Bolivia merupakan Gerakan Sosial Baru. Dinamakan Baru dikarenakan unsur-unsur gerakan tersebut tidak hanya datang dari kelas pekerja, tapi dari berbagai kalangan. Tuntutan yang diajukan bukan berdasarkan atas hubungan antara pemilik modal dan pekerja, walaupun tuntutan masih bersifat adanya perubahan dalam kebijakan ekonomi namun Gerakan Sosial yang terjadi di Amerika Latin umumnya dan khususnya Bolivia adalah kembalinya peranan negara didalam pengaturan pasar. Oleh karenanya tuntutan untuk melakukan nasionalisasi di Bolivia bukan sebuah gerakan yang menolak paradigma neoliberal tetapi lebih kepada pembagian yang adil hasil-hasil antara investor dan Bolivia. Kemunculan Evo Morales sebagai Presiden mambawa wama baru dalam regional Amerika Latin. Bersama dengan Hugo Chavez, Fidel Castro, dan beberapa negara Amerika Latin lainnya menumbuhkan sebuah kekuatan regional baru. Kekuatan yang dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh Amerika Serikat di kawasan ini, melalui pembentukan Bank Selatan yang dimaksudkan menggantikan peranan IMF dan Bank Dunia, tentunya dengan perumusan strategi yang lebih dapat diterima oleh kondisi negara-negara Amerika Latin. Pembentukan kerjasama ekonomi negara-negara Amerika Selatan yang mengedepankan kepada semangat pembangunan daripada eksploitasi.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Chronika
"Kebijakan nasionalisasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk anomali di tengah trend perkembangan dunia yang menuju pada permbukaan persaingan secara bebas. Skripsi ini meneliti salah satu fenomena nasionalisasi tersebut dalam kasus kebijakan nasionalisasi Bolivia 2006, dengan mempertanyakan ketidakadaan konflik ketika semua perkembangan situasi cenderung mengarahkan pada tendensi pecahnya sebuah konflik diplomatik.
Permasalahan ini akan dijawab dengan menggunakan metode kualitatif, dengan kerangka konsep nasionalisasi, konflik, sektor hidrokarbon dan alur pemikiran bargaining theory sebagai penjelas proses negosiasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa esensi nasionalisasi dan juga faktor kepentingan masing-masing negara pada dasarnya telah menjadi insentif yang mendorong terjadinya kompromi dalam proses tawar-menawar sehingga menyebabkan kerjasama dapat dilanjutkan dan konflik dapat terhindari."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Natariandi
"Skripsi ini membahas tentang gerakan sosial yang terjadi di Bolivia khususnya yang berkembang dan membesar dari tahun 1985 sampai dengan 2006. Gerakan sosial yang terjadi semakin membesar seiring kebijakan pemerintah sebagai bentuk dari perubahan politik yang terjadi di Bolivia yang dianggap membawa dampak buruk bagi rakyat Bolivia. Pembasmian ladang koka dan kebijakan ekonomi baru melalui privatisasi (air dan hidrokarbon) menjadi faktor yang membuat perlawanan rakyat Bolivia tumbuh dan membesar. Bentuk perlawanan rakyat Bolivia menjadi unik ketika gerakan sosial dapat dikatakan berhasil menjatuhkan kekuasaan yang telah mapan (dalam skripsi mengacu pada neoliberalisme). Proses keberhasilan gerakan sosial akan menjadi tujuan akhir penulis untuk memaparkan sekaligus menjelaskan fenomena yang terjadi di Bolivia. Indikator akhir keberhasilan gerakan sosial tidak terlepas dari peran MAS dan Morales, yang mengambil perubahan politik bergeser ke "kiri" dengan menggunakan teori hegemoni Gramsci.

This thesis discusses about social movements in Bolivia especially that developed and expand from 1985 to 2006. The social movement that more expand along government policy that perform of political change in Bolivia that assumed bringing a negative impact for the Bolivian. Eradication coca and new economic policy with privatization (water and Hydrocarbon) became a factor that make the struggle of the Bolivian rise and expand. The struggle of people be unique when social movement can be said successfully makes the government power is fallen (in this thesis is focused to neoliberalism). The success of the social movements will be the objectives of the writers to flatten and explain the phenomenon in Bolivia. The success of the social movements indicators can not quit from MAS and Morales, they took political change to the left ideology and Gramscian?s Hegemony theory."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S5945
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Anggraini Austin
"ABSTRAK
Kerja sama investasi energi minyak bumi dan gas merupakan salah satu cara negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memenuhi kebutuhan energinya. Tesis ini meneliti salah satu fenomena kerja sama investasi energi antara Brazil dan Bolivia yang dihadapkan dengan kebijakan nasionalisasi oleh Evo Morales di Bolivia. Tesis ini menganalisis motif yang mendasari Brazil tetap melanjutkan kerja sama pasca nasionalisasi tahun 2006. Permasalahan ini dijawab dengan menggunakan metode kualitatif dan kerangka konsep kerja sama investasi minyak bumi dan gas, konsep nasionalisme sumber daya serta teori investasi asing langsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Brazil tetap melanjutkan kerja sama investasi energi di Bolivia disebabkan oleh faktor penarik berupa ketersediaan sumber daya alam Bolivia yang melimpah serta murahnya upah buruh dan ketersediaan infrastruktur tetapi juga oleh faktor pendorong dari Brazil yang menginginkan terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri serta tetap terjaganya stabilitas dan integrasi di kawasan Amerika Latin. Selain itu terdapat juga faktor persepsi resiko; Brazil tidak menanggung resiko kerugian produksi dan faktor imbal hasil; Brazil tetap mendapatkan keuntungan melalui kompensasi dan harga produksi gas yang naik. Kerja sama investasi energi minyak bumi dan gas merupakan salah satu cara negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memenuhi kebutuhan energinya. Tesis ini meneliti salah satu fenomena kerja sama investasi energi antara Brazil dan Bolivia yang dihadapkan dengan kebijakan nasionalisasi oleh Evo Morales di Bolivia. Tesis ini menganalisis motif yang mendasari Brazil tetap melanjutkan kerja sama pasca nasionalisasi tahun 2006. Permasalahan ini dijawab dengan menggunakan metode kualitatif dan kerangka konsep kerja sama investasi minyak bumi dan gas, konsep nasionalisme sumber daya serta teori investasi asing langsung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Brazil tetap melanjutkan kerja sama investasi energi di Bolivia disebabkan oleh faktor penarik berupa ketersediaan sumber daya alam Bolivia yang melimpah serta murahnya upah buruh dan ketersediaan infrastruktur tetapi juga oleh faktor pendorong dari Brazil yang menginginkan terpenuhinya kebutuhan energi dalam negeri serta tetap terjaganya stabilitas dan integrasi di kawasan Amerika Latin. Selain itu terdapat juga faktor persepsi resiko; Brazil tidak menanggung resiko kerugian produksi dan faktor imbal hasil; Brazil tetap mendapatkan keuntungan melalui kompensasi dan harga produksi gas yang naik.

ABSTRACT
This thesis aims to analyze energy investments cooperation between Brazil and Bolivia as the latter deals with nationalization of energy sector under Morales administration. The focus of this research is to find the motives behind Brazil rsquo s continuation of exploration and production activities in Bolivia rsquo s oil and gas industry after its 2006 nationalization. This is a qualitative research using oil and gas investments cooperation concepts, resource nationalism and foreign direct investment theory. The data was collected through the library and documents study. This thesis finds that Brazil continued to operate in Bolivia rsquo s oil and gas industry after the 2006 nationalization due to pull factors the availability of Bolivia rsquo s natural resources, cheap labors costs and good infrastructures, and push factors Brazil needs to fulfill domestic energy sectors and maintaining good relations with Bolivia related to regional integration. Also there are risk factors Brazil will not bear all of the activity rsquo s risks even though the oil and gas produced will be the Bolivia rsquo s government property and return factors Bolivia rsquo s oil and gas industry continues to be profitable and beneficial for Brazil."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zikril Hakim
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dampak transformasi gerakan sosial petani koka penduduk asli (Cocaleros) menjadi partai politik Movimiento Al Socialismo (MAS) terhadap penguatan proses demokratisasi di Bolivia. Penelitian iniberangkat dari adanya permasalahan mengenai krisis representasi demokrasi perwakilan yang terjadi di Bolivia sejak tahun 1985. Krisis representasi demokrasi perwakilan ini ditunjukan dengan adanya oligarki partai politik tradisional dari hubungan yang harmonis dengan masyarakat Bolivia, khususnya dari kalangan penduduk asli. Ketimpangan sosial dan minimnya representasi politik yang dialami oleh penduduk asli Bolivia menimbulkan munculnya berbagai gerakan sosial sebagai basis perlawanan terhadap pemerintah Bolivia. Salah satunya adalah Cocaleros, gerakan petani koka penduduk asli yang berusaha melawan kebijakan pemusnahan budidaya tanaman koka dengan dalih perang melawan narkotika. Cocaleros akhirnya bertransformasi menjadi partai politik dan terbukti menuai kesuksesan dengan terpilihnya Evo Morales sebagai presiden Bolivia yang pertama dari kalangan indigenous lewat pemilihan umum tahun 2005. Penelitian ini difokuskan untuk melihat dampak kemenangan partai etnik MAS terhadap proses demokratisasi di MAS dalam menata ulang bangunan demokrasi Bolivia yang sempat rapuh akibat krisis legitimasi dan kepercayaan dari masyarakatnya.

The purpose of this research is to analyze the impact of indigenous social movement transformation of becoming a political party Movimiento Al Socialismo (MAS) concerning the democratization process in Bolivia. This study departs from the problems concerning the representation of the crisis of representative democracy in Bolivia since 1985. This representation crisis of the representative democracy was shown by the existence of the white oligarch traditional political party that were too centralized and failed to build a harmonious relationship with Bolivian society, particularly among the indigenous population. Social inequality and lack of political representation faced by indigenous peoples in Bolivia led to the emergence of various social movements as their basis for resistance against the Bolivian government. One of them is Cocaleros, movements of indigenous coca farmer who attempted extermination policy against the cultivation of coca plants on the pretext of war against narcotics. Cocaleros eventually turned into a political party and proved hugely successful with the election of Evo Morales as Bolivia's first president of indigenous people through general elections in 2005. This study focused on the impact of ethnic party MAS victory towards democratization process and Bolivia's new government effort to rearrange their fragile democratic institution that mostly caused by crisis of legitimacy and lack of trust in the society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5954
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irfansyah Edo Pranowo
"Bolivia telah sukses melaksanakan nasionalisasi sektor migasnya pada 2006, melalui strategi peraturan/perundang-undangan yang mengatur tentang sektor migas renegosiasi kontrak dengan pengelola sektor migas Bolivia serta penguasaan mayoritas saham perusahaan asing yang beroperasi di sektor migas Bolivia. Untuk mewujudkan ketahanan energi di Indonesia dapat dilakukan dengan nasionalisasi sektor migas. Strategi nasionalisasi sektor Migas Bolivia tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan terdapatnya bebcrapa perbedaan kondisi yang terdapat di Indonesia dan Bolivia. indonesia akan lebih efektif apabila melaksanakan nasionalisasi melalui peraturan dan perundangmndangan, khususnya dengan melakukan revisi UU No. 22 Tahun 2001.

Bolivia has been successfully carrying out the nationalization of oil and gas sector in 2006 through a strategy of regulation / legislation that regulates the oil and gas sector; renegotiate contracts with oil and gas sector managers in Bolivia, and mastery of the majority shares of foreign companies operating in Boliviais oil and gas sector. To achieve energy security in Indonesia can be done with the nationalization of oil and gas sector. Nationalization of Bolivian oil and gas sector strategy is not entirely applicable to Indonesia. This is because the presence of several dyfferent conditions found in Indonesia and Bolivia Indonesia will be more qfective if carried through the natzbnalieation through regulations and legislation, especially with the revised Law. 22 of 2001."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33394
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zikril Hakim Badri
"Penelitian ini membahas mengenai fenomena terbentuknya aliansi gerakan penduduk asli (Indigenous Movement) dengan gerakan Kiri (Left Movement) yang merupakan dua kelompok utama dalam catatan historis perlawanan gerakan sosial melawan elit-elit oligarki politik dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang kerap campur tangan dalam urusan dalam negeri Bolivia. Seiring perjalanan waktu, perlawanan gerakan sosial dan elemen masyarakat mencapai puncaknya dengan terjadinya kasus privatisasi air pada tahun 2000 dan privatisasi gas di Bolivia pada tahun 2003. Dalam kedua peristiwa penting ini aktor-aktor gerakan sosial seperti Evo Morales dan partainya yang berbasis gerakan sosial penduduk asli, Movimiento al Socialismo berperan besar melakukan mobilisasi kolektif, konstruksi politik identitas serta pembingkaian wacana anti Neoliberalisme dan Imperialisme yang berhasil menyatukan perlawanan kolektif dari dua arus besar tradisi gerakan sosial yakni kelompok indigenous maupun kelompok Kiri yang pada masa lalu kerap terpecah-pecah akibat ideologi dan garis perjuangan yang berbeda.
Implikasi teoritis berdasarkan hasil temuan data yang penulis dapatkan menunjukan adanya sumbangan penting penelitian penelitian ini dalam hal keterkaitan teori politik identitas, struktur kesempatan politik gerakan sosial, serta mobilisasi kolektif dan pembingkaian wacana gerakan sosial dengan fenomena nyata terbentuknya aliansi perlawanan bersama gerakan penduduk asli bersama dengan gerakan Kiri. Terbentuknya aliansi kolektif gerakan penduduk asli dengan gerakan Kiri sebagaimana temuan penulis ini terbukti memiliki andil besar dalam membawa perubahan politik baru di Bolivia dengan tumbangnya kekuasaan politik rezim oligarki politik Neoliberal yang telah bertahan cukup lama. Selain itu, aliansi kolektif gerakan penduduk asli dengan gerakan Kiri tersebut juga berkontribusi mengantarkan Evo Morales tidak saja sebagai presiden dari kalangan ras penduduk asli tetapi juga pemimpin yang lahir dari latar belakang kuat perjuangan gerakan sosial untuk pertama kalinya melalui pemilihan umum tahun 2005 di Bolivia.

This research discusses about the phenomenon of the establishment of the alliance between the Native Social Movement (Indigenous Social Movement) and the Left Movement which are two major groups in the historical record of social movement resistance against the rule of oligarchic political elites and international financial institution that often intervenes in Bolivia?s domestic affairs. After a long period of resistance, the social movement resistance in Bolivia reached it?s peak momentum with the occurence of water and gas privatization in the year of 2000 and 2003 respectively. In both of these important events in history of Bolivia, social movement actors such as Evo Morales and his political party based on native social movement, namely Movement Toward Socialism (Moviemiento al Socialismo or MAS) play their major role to mobilize collective struggle of social movements, constructing common political identity and making a framing social movement discourse of anti Neoliberalism and Imperialism which succeeded in uniting collective resistance of the two largest mainstreams of social movements in Bolivia, namely the Native Social Movement and the Left Movement. In the past, both of these movements are often fragmented to each other due to differences of their ideological and platform of struggle.
The Theoritical Implication according to the data find by the author in this research shows the importance of this research and academic contribution in terms of the interrelation between political identity theory, social movement political opportunity structure theory, collective mobilization theory and social movement framing discourse theory with empirical (real) phenomenon of the establishment of collective resistance alliance between Indigenous Movement and the Left Movement against Neoliberal Oligarchic government in Bolivia. This Alliance of social movements proved posessing large contribution in the collapse of Neoliberal oligarchic regime and succeeded to bring Evo Morales not only as the first president from the native people of Bolivia but also a president which have a strong background from social movement through the Bolivian election in 2005."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
"Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern).
Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu.
Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar.
Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.

New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept).
The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief
Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions.
The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Juliangga
"ABSTRAK
Mekanisme ekonomi pasar merupakan salah satu karakteristik dari globalisasi yang cenderung melakukan penekanan untuk tunduk pada rezim pasar bebas yang menciptakan gerakan komunal atas masyarakat sipil. Skripsi ini akan membahas tentang bagaimana eksploitasi mekanisme ekonomi pasar dapat berdampak pada kemunculan gerakan masyarakat sipil yang diusung oleh ForBALI bernama Gerakan Bali Tolak Reklamasi. Aliansi masyarakat sipil ini secara umum mengawali penolakan masyarakat Bali terhadap reklamasi Teluk Benoa yang dilakukan oleh swasta dan negara. Penelitian ini menggunakan tiga kerangka teori, yaitu Gerakan Sosial Baru, Mekanisme Pasar Bebas dan segitiga hubungan negara, pasar dan masyarakat sipil. Skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode eksplanasi. Terdapat tiga temuan dalam skripsi ini, diantaranya ForBALI sebagai pemrakasa utama terbentuknya Gerakan Bali Tolak Reklamasi, ForBali mampu menyatukan semua kepentingan masyarakat Bali atas reklamasi, dan pemerintah dan sektor swasta yang termasuk kedalam sistem ekonomi pasar melakukan deregulasi dan mengatur kembali kebijakan yang melibatkan swasta, khususnya reklamasi Teluk Benoa.

ABSTRACT
Market economic mechanism is one of the characteristics of globalization which provide a pressure to obey the free market regime and emerging the empowerment and communal civil society movement. This research will discuss about how exploitative market economic mechanism affect the emerge of civil society movement which is gerakan Bali tolak reklamasi by ForBALI. This alliance as a civil society representative to aggregate the Balineses denial of Benoa Bays reclamation by private sector and government. This paper is using three theoretical framework which are new social movement theory, market economic mechanism also the triangle of relation between negara, market and civil society. The methodology using a qualitative approach with explanative methods. There are three findings in this research. ForBALI significant as main initiator in Gerakan Bali Tolak Reklamasi (Balis Refuse Reclamation Movement), ForBALI able to aggregate all of Balinese interest about reclamation, and market economic system which include government and private to deregulate and policy adjustment with the involvement of private, especially in Benoa Bays reclamation."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>