Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54143 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emie Yuliati
"Kebijakan desentralisasi di Indonesia secara tegas mulai dilaksanakan pada tahun 2001 dan telah membawa perubahan besar terhadap kondisi perekonomian daerah. Salah satu bentuk dari kebijakan tersebut adalah pemekaran daerah. Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, percepatan pembangunan perekonomian daerah. Dalam perkembangannya, menurut beberapa ahli pemekaran daerah tidak membawa perubahan yang positif pada kesejahteraan masyarakat. Melihat hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pembentukan daerah otonomi baru karena pemekaran daerah setelah berusia 8 (delapan) tahun terjadi peningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi.
Penelitian ini meneliti kabupaten baru yang dimekarkan tahun awal desentralisasi yaitu tahun 1999 untuk melihat perubahan yang berarti pada fokus perekonomian daerah dan pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini juga metode treatment-control. Disamping dibandingkan dengan daerah induknya, daerah otonomi baru juga dibandingkan dengan daerah kontrol yaitu daerah yang tidak dimekarkan pada propinsi yang sama.
Fokus perekonomian daerah menggunakan indikator pertumbuhan PDRB, pertumbuhan kontribusi PDRB kabupaten terhadap PDRB propinsi, pertumbuhan PDRB per kapita dan pertumbuhan prosentase penduduk tidak miskin. Sedang fokus pelayanan kepada masyarakat menggunakan indikator pendidikan, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, serta kualitas infrastruktur.

Indonesia's decentralization policy expressly commenced in 2001 and has brought great changes to the conditions of the regional economy. One of them is pemekaran daerah. This policy is expected to improve the welfare of society through improving public services and accelerating regional economic development. In its development, according to some expert, pemekaran daerah does not bring positive change to the welfare of society. Seeing this, this research intends to investigate further whether the formation of new regions because of pemekaran daerah after the age of 8 (eight) occurred for increasing the welfare of society through improved public services and acceleration of economic development.
This study examines a new district that divided the early years of decentralization in 1999 to see meaningful change in the focus of the regional economy and public services. The study also used treatment-control method. Besides, compared with daerah induk, the new regions also compared with daerah kontrol that is not dimekarkan in the same province.
The focus of regional economic indicators are GDRP growth, GDRP growth in the district's contribution to provincial's GDRP, the growth of GDRP per capita and percentage growth in population is not poor. The focus of public services using education, the availability of facilities and personnel healths and infrastructure quality indicators."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T28352
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Djoko Harmantyo
"Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sedangkan konflik keruangan (spatial conflict) adalah potensi konflik kewilayahan yang timbul akibat adanya garis batas yang membagi satu wilayah menjadi dua wilayah yang berbeda. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta pemekaran daerah di Indonesia sebagai negara kepulauan daerah tropis, memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari besarnya jumlah penduduk yang tersebar tidak merata, keanekaragaman sosial budaya, sumberdaya alam, flora dan fauna serta keragaman fisik wilayah. Berdasarkan keragaman tersebut, dalam perspektif geografi, Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi. Berdasarkan studi awal yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan model prediktif kuantitatif terhadap data periode tahun 1999 - 2005 terjadi pemekaran 148 daerah otonom baru (141 kabupaten/kota dan 7 propinsi) atau rata rata bertambah 30 daerah otonom baru. Jumlah tersebut melebihi angka perkiraan hasil perhitungan yaitu sebanyak 460 kabupaten dan kota di bawah koordinasi 46 propinsi.
Berdasarkan model segi enam Christaller, secara teoritis diperlukan paling tidak 2760 bentuk kerjasama antar daerah otonom yang saling berbatasan untuk mengantisipasi peluang terjadinya 2760 konflik kewilayahan (spatial conflict). Penataan kembali konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta instrument penilaian, terutama kejelasan penetapan batas wilayah, merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan kebijakan otonomi daerah.

Area divergence is a process to establish new autonomous region by dividing formerly local authority entity. This process was driven by the Regional Autonomy Law no. 32, 2004 which ensure decentralization mechanism to occur from. Spatial conflict is a term of interregional conflicts that is potentialy related to former administrative divided border line, which then will create border line dispute. This potential for any interregional relationship (including conflict) is a function neighbour number. According to an Internal Affairs report, thus recent phenomena of local divided authorities has been escalating in Indonesia. Since 1999-2005, there has been 148 new local autonomous governments or more than thirty new additional local autonomus government were born annualy. There are two main questions arise from these issues (1) what is the ideal number of local autonomous government in Indonesia, and (2) what is the quantity of interregional relationship needed to relate spatial conflicts.
Based on the central place theory and a spatial conflicts model the ideal number of autonomous districts in Indonesia is 460 of kabupaten/kota and 46 provinces. Theoretically, they need 2760 forms of interregional relationships or six relationship forms in each local government to eliminate the spatial conflict potentialy. Rearrangement of regional autonomous policy focusing on the implementation of areal divergences shall be done as quickly as possible."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mustari Irawan
"Masalah desentralisasi di Indonesia berkaitan dengan pengalihan urusan ke daerah yang dimaknai dan diwujudkan dalam pembentukan organisasi perangkat daerah melalui regulasi lokal. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya mengakomodir prinsip dan karakter desentralisasi. Sebagai kota periphery dari Jakarta, kota Tangerang dijadikan sebagai city example. Organisasi Perangkat Daerah dianalisis dengan mengadopsi konsep hirarkhi proses kebijakan dari Broomley, berfokus pada analisis tiga level pelembagaan regulasi, regulasi nasional pada level makro, regulasi daerah pada level meso dan mikro. Soft Systems Methodology (SSM) digunakan sebagai analisis metodologi karena bersifat holistic serta pendekatan kualitatif dengan sumber data melalui wawancara terhadap beberapa key informant.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, analisis penataan ulang pembentukan organisasi perangkat daerah mengisyaratkan perlunya merevisi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait muatan tentang kelembagaan organisasi perangkat daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan Kota. Pada level meso, penerapan desentralisasi dilakukan dengan mengubah Peraturan Daerah sesuai dengan UU dan PP; pada level mikro-1, organisasi efektif dapat terbentuk apabila SKPD mampu bersifat adaptif, pimpinan yang memiliki kapabilitas dan kapasitas kompetensi dan manajemen kerja yang didukung SDM aparatur. Pada level mikro-2, peningkatan efektifitas organisasi dapat terbentuk apabila dilaksanakan optimalisasi struktur, tugas pokok dan fungsi organisasi yang adaptif terhadap kebutuhan lingkungan.
Rekomendasi level makro adalah revisi dan pengesahan UU dan PP tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah; pada level meso Peraturan Daerah tentang SKPD segera disusun dan diformulasikan agar organisasi perangkat daerah dapat terbentuk sesuai dengan prinsip desentralisasi; pada level mikro-1, pengembangan struktur, tugas pokok dan fungsi secara organisasional dilakukan agar organisasi perangkat daerah dapat adaptif dengan dinamika perubahan; pada level mikro-2, dilakukan melalui penyusunan struktur, tugas pokok dan fungsi berdasarkan pada konsep local governance.

The problem of decentralization in Indonesia is related to transfer of control to local government. This has been implemented by the formation of local government organization under various forms of local regulations. However, this formation has not yet in line with the principles and characteristics of decentralization. As the peripheral city, Tangerang was considered as a city example. The organization of local government was analyzed by adopting the Broomley?s hierarchy concept of policy process. It focused on three levels of institutional regulation, namely national regulation on macro level, and local regulation on mezzo and micro levels. Soft Systems Methodology (SSM) was used as the methodology analysis for its holistic nature. Qualitative method with data source from interviews of some key informant was also employed in this research.
The research concluded that on macro level, the analysis of reconstructing the organization formation indicated that it is required to revise the Law on Local Government and the Government Regulation on Organization of Local Government in accordance with the needs of the city. On mezzo level, the implementation of decentralized system can be employed efficiently by revising Local Regulations in accordance with the Law and the Government Regulation; on micro-1 level, an effective formation of organization shall be formed when the local government is adaptive and that the senior officers in that organization obtain good capability and capacity. Moreover, they ought to develop work management which will be supported by their staffs. On micro-2 level, the effectiveness of organization shall be achieved when the structures, tasks and functions of organization is optimal and adaptive towards the environment.
The recommendation of macro level is that there is a need of revising and stipulating of the Law and Government Regulation on the Formation of Local Government Organization; on mezzo level, it is concluded that the Local Regulation on the Local Government Organization needs to drafted and formulated so that it can be utilized in accordance with the principles of decentralization; on micro-1 level, the structures, tasks and functions development needs to organized so that it will be adaptive towards the dynamic changes; on micro-2 level, there is a need of revising structures, tasks, and functions that are based on the local governance concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2065
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Faisal
"[ABSTRAK
Karya tulis ini berfokus pada isu pemekaran wilayah (khususnya kota dan
kabupaten) di Indonesia. Teori-teori menyarankan bahwa pemekaran,
dikombinasikan dengan desentralisasi dapat membawa manfaat bagi masyarakat.
Para pendukung pemekaran menekankan keunggulan pemerintahan yang kecil
dengan masyarakat yang lebih homogen dapat lebih efektif dalam memberikan
pelayanan public. Hal ini didukung dengan adanya transfer fiskal dari pemerintah
pusat yang menjamin kelangsungan operasi pemerintah daerah. Tapi, banyak
penelitian menyimpulkan pelayanan public di daerah otonomi baru belum sesuai
dengan apa yang diharapkan.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai kinerja daerah otonom baru dalam
memberikan pelayanan public dan meningkatkan kinerja ekonomi dengan
menggunakan metode difference in difference. Kami menemukan bahwa, kota
baru berhasil mengoptimalkan otonomi yang lebih luas untuk menjaga atau
bahkan melampaui prestasi pelayan public dari kota yang tidak mengalami
pemekaran. Sebaliknya, kabupaten baru mengalami kesulitan untuk memperbaiki
kondisi mereka setelah pemekaran. Kami menekankan pentingnya perbaikan
prosedur evaluasi terhadap pengusulan pembentukan daerah otonomi baru untuk
menghasilkan daerah otonomi baru yang lebih berkualitas.

ABSTRACT
This paper focuses on the separation of municipalities (cities and districts)
in Indonesia. Theories suggest that separations, combined with decentralization,
bring about benefits to the people. Proponents of separations in the real world also
emphasize various promises of separations and the creation of new local
governments. The presence of generous fiscal transfers from the central
government is also likely to allow the newly created municipalities to provide a
higher level of public services. But anecdotes suggest that public services have
not improved in many of the new regions.
This research aimed to assess new autonomous region performance in
delivering public service and improving economic performance by using
Difference in Difference method. We found that, in following years after
separation, new cities was managed to optimize the effect of separation to keep up
or even surpass unseparated region?s public service achievement. In contrast, new
rural districts suffer difficulties to improve their condition following the
separation. We stressed the improvement of screening procedure in order to create
more qualified and self-reliant new autonomous regions in the future.;This paper focuses on the separation of municipalities (cities and districts)
in Indonesia. Theories suggest that separations, combined with decentralization,
bring about benefits to the people. Proponents of separations in the real world also
emphasize various promises of separations and the creation of new local
governments. The presence of generous fiscal transfers from the central
government is also likely to allow the newly created municipalities to provide a
higher level of public services. But anecdotes suggest that public services have
not improved in many of the new regions.
This research aimed to assess new autonomous region performance in
delivering public service and improving economic performance by using
Difference in Difference method. We found that, in following years after
separation, new cities was managed to optimize the effect of separation to keep up
or even surpass unseparated region?s public service achievement. In contrast, new
rural districts suffer difficulties to improve their condition following the
separation. We stressed the improvement of screening procedure in order to create
more qualified and self-reliant new autonomous regions in the future., This paper focuses on the separation of municipalities (cities and districts)
in Indonesia. Theories suggest that separations, combined with decentralization,
bring about benefits to the people. Proponents of separations in the real world also
emphasize various promises of separations and the creation of new local
governments. The presence of generous fiscal transfers from the central
government is also likely to allow the newly created municipalities to provide a
higher level of public services. But anecdotes suggest that public services have
not improved in many of the new regions.
This research aimed to assess new autonomous region performance in
delivering public service and improving economic performance by using
Difference in Difference method. We found that, in following years after
separation, new cities was managed to optimize the effect of separation to keep up
or even surpass unseparated region’s public service achievement. In contrast, new
rural districts suffer difficulties to improve their condition following the
separation. We stressed the improvement of screening procedure in order to create
more qualified and self-reliant new autonomous regions in the future.]"
2015
T45208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Saffanah Fitia Putri
"Konsep desentralisasi di Indonesia tidak hanya sekedar menyerahkan kewenangan dan kekuasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal tersebut perlu diikuti dengan penyerahan aspek finansial, yang disebut sebagai perimbangan keuangan pusat dan daerah. Salah satu jenis dana perimbangan yang di transfer dari pusat kepada daerah adalah dana bagi hasil (DBH). DBH secara konsep merupakan transfer untuk daerah dengan persentase tertentu yang bertujuan untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Salah satunya adanya DBH Dana Reboisasi (DBH DR) yang berfokus pada urusan sektor kehutanan dalam level pemerintah daerah. Adapun konsep DR di Indonesia pada awalnya berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi yang menyebutkan bahwa DR hanya dapat digunakan untuk kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sehingga pemerintah daerah kesulitan dalam menggunakan DR tersebut yang peruntukkannya terlalu spesifik. Hal tersebut berakibat pada banyaknya DR yang mengendap dalam kas daerah dan tidak terserap dengan baik. Berkaitan dengan masalah tersebut, pemerintah pusat menginisiasikan adanya perubahan alokasi melalui perluasan penggunaan DBH DR, yang dimana DR tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan dengan ketentuan sesuai pada tujuan utama dana perimbangan tersebut yakni, kegiatan reboisasi dan RHL. Pengaruh dari pengalihan urusan kehutanan kepada pemerintah provinsi dari pemerintah kabupaten/kota juga mempengaruhi pengalihan kewenangan fiskal untuk DBH DR menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Landasan hukum tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi munculnya kebijakan perluasan penggunaan DBH DR, mengingat bahwa DR di pemerintah kabupaten/kota belum dapat digunakan secara optimal. Oleh karena itu, diharapkan perluasan penggunaan DBH DR dapat menjadi pemicu pemerintah daerah untuk meningkatkan penggunaan atau penyerapan DBH DR dalam rangka melaksanakan kegiatan RHL.


Decentralization concept in Indonesia is not just giving authority from central to local government. It needs to be followed with financial authority or fiscal decentralization. There are many types of fiscal decentralization, one of them is revenue sharing. By definition, revenue sharing is a budget with specific presentation that local government can be use to execute government activities. There is one of revenue sharing types called forest revenue sharing or DBH DR in local government. DR in Indonesia is reffering to reforestation and forest and land rehabilitation activity based on Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 about Dana Reboisasi. That regulation is forming an issue about DR absorption in local government is not proper. Responding to that issue, central government is giving an effort for expansion of usage by changing the allocation for DBH DR, so local government can use the budget for many program that still refers to reforestation and forest and land rehabilitation activity. Forest authority transfer from district to province, is also giving an impact for DBH DR as it state on Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 about Pemerintahan Daerah. Therefore, the expansion of usage is triggering the local government for using or elevated the DR absorption to support reforestation and forest and land rehabilitation activity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Agung Wibowo
"Makalah memberikan bukti empiris dampak dari desentralisasi fiskal dan tingkat kemiskinan pada 476 kabupaten/kota di Indonesia selama tahun 2010 hingga 2018. Tingkat kemiskinan digunakan sebagai indikator untuk mengukur kondisi sosial wilayah dengan parameter persentase jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, sementara indikator desentralisasi fiskal menggunakan pendekatan ukuran rasio PAD terhadap total pendapatan dan belanja daerah. Hasil estimasi data panel dengan fixed effect model menunjukkan desentralisasi fiskal memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan pada kabupaten/kota secara nasional, Kawasan Barat Indonesia (KBI), maupun daerah perkotaan. Direkomendasikan penyusunan kebijakan desentralisasi fiskal yang bersifat pro-poor melalui penguatan kapasitas keuangan daerah, baik optimalisasi penerimaan asli daerah (PAD), pengalokasian Dana Transfer ke Daerah yang bersifat specific grant, peningkatan kualitas belanja dan tata kelola keuangan daerah, serta mekanisme pemantauan-evaluasi yang lebih baik. Selain itu, efektivitas dan efisiensi kebijakan pemerintah daerah dalam menangani isu – isu sosial ekonomi seperti pengangguran dan pertumbuhan penduduk juga harus dipertimbangkan."
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2022
330 BAP 5:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"Melihat realita yang berlangsung sekarang ini di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, baik di lingkungan internal organisasi birokrasi, maupun di lingkungan eksternal -lingkungan sosial, politik, dan budaya masyarakat- belum terlihat adanya tanda-tanda kesiapan ke arah perubahan sejalan dengan semangat dan jiwa UU Nomor 22/99.
Secara nasional, pemikiran, sikap, tindakan, dan bahkan "jargon-jargon" rerlormasi total terus beriangsung di lingkungan ekstemal birokrasi, namun di lingkungan internal belum ada tanda-tanda dimulainya perubahan dan belum terdorong untuk bergegas mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sekaligus sebagai tuntutan yang harus dipenuhi. Isyarat terpenting untuk diwujudkan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan perubahan secara nasional, demokratis, transparan, efisien, mandiri, berdaya, adil, serta berkemampuan dan bertanggung jawab, juga belum menampakkan gejala ke arah pergeseran nilai dan implementasinya di kedua lingkungan birokrasi tersebut.
Tantangan utama yang menghadang Pemerintah daerah Kabupaten Maros dalam melaksanakan UU Nomor 22/99 adalah tuntutan penyesuaian (daya adaptasi) yang tinggi sesuai dengan kebutuhan nyata birokrasi dan masyarakat berdasarkan kondisi saat ini dan di masa yang akan datang. Kebutuhan-kebutuhan mendesak yang menuntut pemecahan di masa datang tersebut adalah: perubahan penampilan dan penerapan kekuasaan, kewenangan yang rasional dan obyektif termasuk pemantapan dan penentuan sejumlah kewenangan, penetapan besaran organisasi, penyederhanaan sistem dan prosedur, pergeseran kultur birokrasi, kemampuan dan integritas birokrat, sumber-sumber keuanganfpendapatan, dukungan sarana dan prasarana, peluang keikutsertaan seluruh komponen lokal, dan lain-lain. Pokok permasalahan dalam menghadapi penerapan UU Nomor 22/99 adalah perwujudan perubahan yang menuntut daya penyesuaian sejalan dengan jiwa dan kehendak sistem birokrasi yang bare sehingga tujuan otonomi daerah dapat tercapai.
Apa yang terjadi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan selama ini adalah penerapan kekuasaan dan pengelolaan kewenangan yang sentralistis: kendali . pelaksanaan sejumlah urusan organisasi birokrasi dilakukan secara seragam, sistem dan prosedur interaksi yang rumit (complicated) antar-instansi/unit organisasi atau dengan masyarakat sehingga berakibat pada tidak efektifnya organisasi dan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan, dan pada gilirannya, organisasi pemerintahan tidak mampu mencapai tujuannya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik. dengan metode ini, penulis ingin membuat satu deskripsi analisis, yaitu membuat gambaran yang sistematis berdasarkan fakta, sifat serta hubungan antara fenomena-fenomena yang terjadi pada sistem birokrasi yang dijalankan selama ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7686
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>