Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173300 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Asjraf
"Latar belakang masalah dari tesis ini adalah berkenaan dengan pemberian insentif perpajakan sebagai salah satu implementasi fungsi pajak untuk mengatur. Fungsi utama pajak adalah menghasilkan penerimaan negara sebagai penggerak roda pembangunan adapun fungsi lainya pajak adalah fungsi mengatur sebagai instrumen untuk mendorong atau memproteksi sektor - sektor tertentu yang diinginkan pemerintah. Pemberian insentif perpajakan harus dilakukan dengan hati - hati mengingat bila salah sasaran , akan dapat mengamputasi fungsi mengatur pajak itu sendiri . Adapun salah satu implementasi fungsi mengatur Pemerintah tersebut di realisasikan pada awal tahun 2007, melalui PP Nomor 7 /2007, dimana pemerintah memberikan insentif perpajakan dibidang PPN berupa pembebasan PPN untuk komodti primer hasil pertanian. Pada saat yang bersamaan terlihat bahwa tahun 2005 realisasi penerimaan pajak adalah sebesar Rp. 346,8 triliun dan lebih rendah Rp 5,2 triliun dari sasaran yang diharapkan sebesarRp.352 triliun. dan pada tahun 2006 shortfall antara 8,5 triliun hingga 17 triliun atau hanya mencapai 96 sampai dengan 98% dari target yang direncanakan. Keadaan diatas tentunya mengharuskan pemerintah menghitung secara cermat berapa potensial loss penerimaan apabila akan mengeluarkan suatu kebijakan.
Pokok permasalahnya dari tesis ini adalah Berapa besar pengaruh pemberian insentif perpajakan berupa dibebaskan dari pengenaan PPN atas penyerahan dan impor produk pertanian yang bersifat strategis terhadap potensi penerimaan PPN dan Faktor - faktor apa yang mendorong sektor pertanian untuk meminta pemberian insentif PPN atas penyerahan dan impor produk pertanian.
Metode penelitian dari tesis ini adalah menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Metoda pengumpulan data terdiri dari studi kepustakaan , buku- buku karya ilmiah dan sumber - sumber lainnya seperti jurnal dan internet. Adapun penghitungan perkiraan potensi pajak yang hilang akibat pemberlakuan PP no. 7 tahun 2007 tersebut menggunakan metoda perhitungan yang pernah dilakukan oleh Stephen V Marks dengan menggunakan tabel - Input Output. Perhitungan besarnya potensi PPN yang hilang dilakukan dengan menghitung selisih antara perhitungan potensi PPN dengan menggunakan tabel input - output dengan kondisi sebelum PP Nomor 7 /2007 dan setelah diterapkan PP no. 7 tahun 2007.
Argumentasi yang digunakan agar Produk pertanian mendapat perlakuan dikecualikan dari pengenaan PPN antara lain karena umumnya petani bergerak pada sektor informal dan kebanyakan dari mereka tidak menyelenggarakan pembukuan. Kalaupun mereka telah menyelenggarakan pembukuan pada umumya pembukuan mereka tidak teradministrasi dengan baik. Disamping itu ada persepsi pada masyarakat bahwa pengenaan PPN pada produk pertanian akan menyebabkan harga jual komoditi tersebut menjadi lebih mahal atau dari sisi produsen akan menyebabkan keuntungan menjadi lebih kecil. Disamping itu pengenaan PPN pada produk pertanian adalah suatu hal yang sensitif secara politik.
Secara teori sesuai dengan legal character PPN, Pajak ini bersifat netral terhadap pilihan seseorang untuk mengkonsumsi suatu barang/jasa. Adapun permasalahan penyelenggarakan pembukuan yang tidak teradministrasi dengan baik bukan hanya dialami oleh petani tetapi adalah masalah pengusaha kecil pada umumnya. Memberikan fasilitas pembebasan pada produk pertanian pada akhirnya akan menambah beban biaya pada petani. Karena pajak masukan untuk menghasilkan produk tersebut seperti pupuk, petisida, mesin pertanian, makanan ternak, dan pajak masukan lainya tidak dapat dikreditkan dan dibebankan sebagai biaya. Pada akhirnya semua beban pajak masukan tersebut akan menjadi komponen biaya yang akan menaikan harga pokok produk final pertanian. Adapun untuk mengatasi masalah administratif pembukuan PPN kuncinya ada pada mengatur batasan pengusaha kena pajak yang pas yang pas buat penguasaha kecil.
Mengingat peranan penerimaan pajak yang semakin dominan dan penting bagi kelangsungan hidup bangsa maka pemberian insentif perpajakan tersebut harus benar - benar dipertimbangkan dengan matang dan hati - hati karena pemberian insentif pajak yang tidak tepat hanya mengurangi penerimaan pajak tetapi saaran utamanya untuk meningkatkan daya saing produk pertanian tidak juga tercapai, penting pula untuk digarisbawahi bahwa potensial loss penerimaan pajak berarti juga akan hilangnya hak rakyat untuk memperoleh barang dan jasa publik yang seharusnya disediakan oleh negara Total potensi penerimaan PPN sebelum diberlakukanya PP No. 7 tahun 2007 adalah sebesar Rp 178,84 Triliun dan setelah diberlakukanya PP tersebut potensi penerimaan PPN menurun menjadi Rp 173,10 triliun atau perkiraan potensi PPN yang hilang karena pemberlakuan PP No. 7 tahun 2007 adalah sebesar Rp 5,74 triliun Angka sebesar ini merupakan 3,21% dari total potensi penerimaan PPN. atau kalau memperhitungkan coverage ratio PPN potensial loss adalah sebesar sebesar Rp 4,40 triliun

The back ground of this thesis is concerning the tax incentives as one implementation of the tax regulated function. The main function of tax is to generate the state revenue as the wheel turning energy for development, while the other function is the regulated function as an instrument to push or to protect certain sectors the government wanted. The tax incentives must be given with careful thoughts, other wise it will miss its target and eventually will amputate the regulated function of tax it self. One of the implementation of the regulated function of tax is started on the beginning of 2007 through PP No 7/2007, in which the government gave the VAT tax incentives in the form of VAT Exemptions for primer commodity of farming goods. In the same time it was shown that the 2005 tax revenue realization is 346,8 trillion rupiah which is 5,2 trillion lower than the target expected as much as 352 trillion rupiah. In the year 2006 the short fall continued between 8,5 trillion to 17 trillion or only 96 to 98% of the target planned. This condition should make the government carefully count how much is the revenue potential loss when releasing a regulation.
The main problem of this thesis is how much the impact of tax incentive in the form of VAT exemption on of strategic farming goods to the VAT potential revenue and what are the factors that supported and blocked the implementation of it.
This thesis uses a descriptive analytic method. The data collection consists of the library study, scientific literatures, and other resources such as journals from the internet. The estimation of the lost revenue potential due to the implementation of PP No 7 is calculated using the Stephen V. Marks model based on the Input - Output Table. The estimation of the lost VAT potential is calculated by the different between the VAT potential before and after the implementation of the PP No. 7 /2007.
The Argument used to exempt the farming goods from VAT are because most farmers are in informal sectors and they do not used book keeping. Even if they used book keeping, they are usually not administered well enough. Another Argument is that it's the people perspective that the VAT on farming goods will raise the selling price of that commodity and from the producer's side it will lower their profit. Addition to that, the VAT on farming goods is indeed a very sensitive political issue.
Theoretically, based on the legal character of the VAT, it is neutral to a person's choice whether to consume a good or service. In the case of good book keeping it does not only happen to farmers but also to other small business in general. The exemptions of farming products will in the end add more burden for farmers. It is because the input tax from fertilizer, pesticides, farming machines, and livestock's foods, and other input tax used for productions are not creditable and will become a cost. In the end all the inputs tax will become cost that will increase the price of the final farming products. The way to overcome the problem of VAT administrative book keeping is on the right setting threshold for small business.
Considering the more dominant role of the tax revenue for this country well being, the implementation of tax incentives must be considered in a very mature and careful way because the wrong tax incentives will not only decrease the tax revenue but will also miss its main target, it is very important to note that revenue potential loss will also mean the lost of people's right for the public goods and services that this country's suppose to provide.
Total Revenue potential estimation before the implementation of PP No 7 /2007 is
178,84 trillion Rupiahs and after the implementation that number is decreased to 173,10
trillion or the total potential loss estimation due to the implementation of PP no 7 /2007 is 5,74 trillion rupiahs. It is about 3,21% of the total VAT revenue potential estimation, or considering the VAT coverage ratio, the potential loss is 4,40 trillion rupiahs."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firmansyah
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2009
S10441
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Pratiknyo
"ABSTRAK
Globalisasi telah meningkatkan mobilitas barang-barang, jasa-jasa, dan modal antar negara baik dalam rangka produksi maupun konsumsi. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai pajak atas konsumsi barang dan jasa merupakan salah satu jenis pajak yang berhubungan langsung dengan globalisasi, terutama ketentuan tentang perlakuan PPN atas ekspor dan impor.
Secara teori, perlakuan PPN seharusnya tidak mendistorsi (memelihara netralitas) kegiatan ekspor dan impor dalam bentuk tidak terjadinya pajak berganda (double taxation) atau tidak terjadinya terhindar pajak sama sekali (no taxation at all/absence of tax).
Dengan sifatnya yang tidak berwujud memang tempat penyerahan /tempat konsumsi jasa menjadi sulit ditentukan dan kebenaran terjadinya ekspor jasa sulit dipastikan. Untuk kemudahan, kesulitan ini dapat ditanggulangi dengan menerapkan prinsip origin yaitu bahwa tempat penyerahan jasa adalah tempat jasa secara fisik dilakukan. Akan tetapi para ahli VAT (Value Added Tax) telah mengemukakan gagasan-gagasan perlakuan PPN atas ekspor jasa dalam rangka menanggulangi kesulitan tersebut dengan tujuan mencapai netralitas ekspor dan impor, yaitu : a) didasarkan atas jenis jasa, atau tempat kepentingan jasa, b) didasarkan atas jenis penerima jasa.
Atas ekspor dan impor barang perlakuan PPN telah mempunyai ketentuan yang jelas dalam UU PPN yaitu menerapkan prinsip destinasi dengan cara mengenakan PPN 0% atas eskpor dan mengenakan PPN 10% atas impor. Atas impor jasa juga diberikan perlakuan PPN dengan prinsip destinasi, yaitu dikenakan PPN 10%. Sebaliknya, perlakuan PPN atas ekspor jasa tidak sejelas perlakuan PPN atas ekspor barang, meskipun dalam Penjelasan Umum UU PPN dinyatakan bahwa PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri serta salah satu kualifikasi penyerahan jasa dikenakan PPN menurut Pasal 4 UU PPN adalah penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu pokok permasalahan tesis ini adalah ingin mengetahui bagaimana sebenarnya yang terjadi perlakuan PPN atas ekspor jasa dalam praktek, apakah sesuai dengan teori-teori yang ada, mengapa suatu perlakuan dipilih oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Akhirnya, dalam rangka menilai posisi persaingan Indonesia dalam kancah globalisasi yang kian meningkat, perbandingan perlakuan dengan negara tetangga juga dijadikan permasalahan pokok tesis ini.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dijadikan pokok permasalahan tesis tersebut digunakan metode penelitian kualitatif dengan data peraturan perundang-undangan PPN (termasuk surat-surat jawaban DJP atas pertanyaan yang diajukan Wajib Pajak), peraturan VAT negara-negara tetangga dan informasi dari orang-orang yang mengetahui latar belakang suatu peraturan perundang-undangan PPN. Data tersebut dianalisa dengan strategi The Illustrative Method yaitu menjadikan teori pengenaan VAT atas penyerahan jasa ke luar Daerah Pabean sebagai kerangka acuan bagi analisa gejala perlakuan PPN atas penyerahan jasa ke luar Daerah Pabean Indonesia dan perlakuan VAT atas ekspor jasa di negara-negara tetangga.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perlakuan PPN atas ekspor jasa bersifat tidak konsisten, kecuali untuk jasa perdagangan. Perlakuan atas ekspor jasa yang sebenarnya berdasarkan teori dapat digunakan prinsip destinasi, dalam prakteknya tidak digunakan. Hal ini dipengaruhi oleh kurang yakinnya pihak DJP (salah satu pihak penyusun UU pajak) dalam memastikan tempat penyerahan serta kebenaran terjadinya eskpor jasa. Sebaliknya, negara-negara tetangga memberi perlakuan berdasarkan teori dan menerapkan prinsip destinasi.
Oleh karena itu pilihan menerapkan prinsip destinasi secara utuh (atas impor dan eskpor) dengan memberlakukan tarif 0% atas eskpor jasa seperti halnya Singapura adalah pilihan yang disarankan. Hal ini didasarkan atas kesesuaian dengan teori VAT atas transaksi lintas Negara (dengan asumsi negara penerima jasa cenderung mengenakan VAT atas impor jasa), didasarkan atas kesesuaian dengan target pemajakan dan didasarkan atas kepentingan peningkatan daya saing pengusaha jasa Indonesia.

ABSTRACT
Globalization has increased mobility of goods, services and capitals among countries both for production and consumption. Value added tax (VAT), as tax on consumption of goods and services is one of taxes directly related to the globalization, especially its provision concerning to the treatment on export and import. Theoretically the treatment should not distort (keep neutral) export and import activity, i.e. does not create double taxation or absence of tax.
Due to intangible character, place of supply/consumption of service is difficult to determine and it is also difficult to convince that the export is really done (hard to control). For a simple purpose, these difficulty can be coped with application of origin principle, i.e. place of service is where the service physically performed.
Nevertheless, VAT experts have some ideas to cope the above difficulties which are: a) based on kind of services or location of interest, b) based on kind of recipient.
On export and import of good, PPN (VAT in Indonesia) has a clear provision in the tax law, i.e. apply destination principle with zero rated on export and impose 10% PPN on import. On import of service also applied 10% PPN. On the contrary, the treatment on export service is not clear as export of good, although in General Elucidation of VAT Law is confirmed that PPN is imposed on consumption of goods and services within the country and one of rules to apply PPN on service based on art. 4 VAT Law is that the supply is rendered in the country. Therefore the focus of this thesis are what is the actual practice of PPN treats export of services?, is it according to the available theory? Why the treatment is chosen by DGT (Directorate of Taxes of Republic of Indonesia)?. Finally, in order to evaluate position of Indonesian?s competitiveness in increasing globalization era, comparison of treatments in neighbor countries also to be another focus.
The above research questions -which is to be focus of this thesis- will be answered by qualitative research method with tax laws (including clarification letter of DGT), tax laws in neighbor countries, and information from some person who know a background of the tax laws as the data. Those data is analysed by The Illustrative Method strategy, i.e. to make a theory of VAT treatment on export to be a reference/framework for analysis of phenomena of PPN treatment on export of services and neighbor countries treats it.
The result of research concludes that PPN treatment on export services is inconsistence, except on trading service. The treatment which is actually could apply the theory is not applied in practice. This is influenced by the lack of confidence of DGT to determine a place of supply/consumption of service and to control it. On the contrary, neighbor countries treats it according to theory and apply destination principle.
Accordingly, an option to apply completely destination principle (on import and export) with zero rated on export service as Singapore done is advisable /recommended. This is confirmed with theory of VAT on cross border transaction (assuming a country of consumer tend to impose VAT on import of service), confirmed with taxing target, and increasing competitiveness of Indonesian Entrepreneur.
"
2007
T 19463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Syafruddin
"Propinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara sekaligus sebagai kota Metropolitan dengan jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan kota-kota lainnya di Indonesia memberikan peran yang sangat besar bagi perkembangan sarana transportasi terutama kendaraan bermotor. Namun dari banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jakarta temyata belum sepenuhnya memberikan sumbangan yang optimal bagi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sehingga keadaan tersebut sangat menarik untuk diteliti.
Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk menganalisis Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan PKB dan BBNKB di DKI Jakarta. Pemikiran ini dilandasi adanya beberapa faktor yang mempengruhi elastisitas pajak antara lain, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peranan jumlah kendaraan bermotor, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan mempengaruhi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif terhadap data primer dan sekunder.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan pertama : jumlah penduduk DKI Jakarta sebesar 8.399.056 jiwa tahun 2001, serta didukung oleh pertumbuhan ekonomi rata-rata 2,54% per tahun (1997-2001), memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor tersier sebesar 63,38% dengan kontribusi terhadap sektor angkutan jalan raya (kendaraan bermotor) sebesar Rp. 2.014.978 pada tahun 2000 dan Rp. 2.114.816 pada tahun 2001 dengan pertumbuhan setiap tahun 6,58%. Sehingga dengan pertumbuhan ekonomi yang ada di DKI Jakarta akan diikuti pula dengan pertumbuhan sektor transportasi angkutan jalan raya sebesar Rp. 99.838.
Oleh sebab itu, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akan mendorong pertumbuhan tingkat produktivitas penduduk yang potensial yang bekerja di DKI Jakarta yang berjumlah 1.792.149 jiwa tahun 2000 dan 2.71 1.287 jiwa tahun 2001 dad jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta. Jumlah penduduk potensial inilah yang dimungkinkan untuk dapat membeli kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2000 sebanyak 3.164.000 kendaraan bermotor menjadi 3.420.000 kendaraan bermotor pada tahun 2001, sehingga terjadi peningkatan jumlah kendaraan sebesar 256.000 kendaraan bermotor. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor ini secara langsung akan mempengaruhi penerimaan PKB dan BBNKB di Propinsi DKI Jakarta.
Kedua, Jumlah Kendaraan Bermotor yang sangat besar jumlahnya di Jakarta sangat berpengaruh sekali terhadap penerimaan PKB dan BBNKB, tetapi kenyataannya hasil yang didapat belum optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya wajib pajak yang tidak daftar ulang hingga tahun 2000 mencapai 308.855 kendaraan -bermotor dengan jumlah pajak tak tertagih Rp. 84.522.534.715, Sulit dan Tidak Aktifnya Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1993 tentarig Perneriksaan Kendaraan Bermotor Dijalan, Tidak optimalnya penerapan pajak progresif, adanya mobil-mobil selundupan yang belum teregistrasi oleh Dipenda sebagai potensi Pajak, serta adanya Peminjaman KTP dan Tembak KTP dalam proses perpanjangan STNK sehingga mengurangi potensi perolehan BBN H.
Berdasarkan hasil analisis di atas diharapkan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dapat menjadikan penelitian ini sebagai evaluasi terhadap penerimaan PKB dan BBNKB yang tidak optimal berdasarkan jumlah kendaraan bermotor yang ada di DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pino Sidharta
"ABSTRAK
Restitusi pajak merupakan hak wajib pajak yang diatur dalam Undang- undang perpajakan termasuk pajak pertambahan nilai (PPN), namun pada prakteknya di dalam melaksanakan haknya tersebut, wajib pajak yang mengajukan permohonan restitusi PPN mengalami ketidakpastian atas permohonan restitusinya. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya tunggakan permohonan restitusi PPN yang mencapai +/- 7.111 kasus dengan nilai nominal 10 trilyun rupiah. Angka tersebut merupakan akumulasi dari permohonan restitusi PPN sejak tahun 2001 s/d 2005. Jika masalah tunggakan permohonan restitusi PPN tersebut tidak segera dituntaskan oleh Pemerintah, akan berakibat banyaknya perusahaan yang mengalami kesulitan arus kas dan mungkin terjadi kebangkrutan. Di sisi yang lain kredibilitas dan tingkat kepercayaan dunia usaha kepada Pemerintah umumnya dan Direktorat Jenderal Pajak khususnya juga akan menurun. Akibat jangka panjang akan mengurangi minat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya tunggakan permohonan restitusi pajak pertambahan nilai, menganalisis apakah ketentuan perpajakan yang baru dapat mengatasi tunggakan permohonan restitusi PPN, serta untuk mengetahui faktor faktor apa yang menjadi kendala dari penerapan ketentuan yang baru tersebut.
Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan tesis ini adalah
metode deskriptif analisis, di dalam mengumpulkan data dan informasi
digunakan teknik pengumpulan data berupa studi perpustakaan dan studi lapangan yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang kompeten dan menguasai masalah.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tunggakan permohonan restitusi adalah tidak jelasnya definisi permohonan dianggap lengkap yang ada di peraturan yang lama, banyaknya data dan dokumen yang diminta, terbatasnya jumlah tenaga pemeriksa pajak dibandingkan dengan jumlah pekerjaan, lamanya proses konfirmasi faktur pajak, mental petugas pajak yang belum semua membaik, dan akibat adanya kasus ekspor fiktif di salah satu kantor pelayanan pajak.
Penerbitan peraturan baru yang mengatur restitusi PPN ini dari sisi
kepastian hukum sangat baik dan dapat mempercepat proses restitusi yang baru sekaligus dapat memberikan kepastian hukum atas tunggakan permohonan restitusi yang lama. Namun di sisi yang lain ketentuan yang baru tersebut menuntut pengusaha kena pajak untuk melengkapi permohonan restitusi PPN mereka dengan dokumen-dokumen yang sangat banyak dan lengkap melebihi peraturan yang lama sehingga pada akhirnya akan menambah beban perpajakan bagi wajib pajak.
Selain itu masalah yang lain dari peraturan yang baru ialah adanya
pembatasan waktu maksimal 1 bulan dari sejak permohonan restitusi yang diberikan oleh fiskus bagi wajib pajak untuk melengkapi semua dokumen dan bukti-bukti pendukung, kedua hal inilah yang menjadi kendala dari sisi wajib pajak. Sedangkan masalah dari sisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seperti mental aparatur pajak yang belum semua berubah menjadi baik, keterbatasan jumlah petugas pemeriksa pajak dibandingkan dengan jumlah pekerjaan, dan timbulnya perbedaan persepsi di internal DJP sendiri ketika ketentuan ini mulai diterapkan, serta kurangnya koordinasi antara pihak DJP dengan pihak terkait seperti instansi Bea dan Cukai.
Untuk mengatasi masalah mental aparatur pajak yang kurang baik
tersebut, maka Dirjen Pajak diharapkan menerapkan sistem reward dan punishment kepada aparatnya secara tegas dan konsisten sehingga dapat memberikan efek jera. Untuk mengatasi keterbatasan jumlah pemeriksa pajak maka pihak DJP disarankan membuat program yang bersifat jangka pendek, menengah, dan panjang untuk mengatasi kekurangan tenaga pemeriksa. Sedangkan untuk mengatasi perbedaan persepsi di internal DJP maupun di kalangan wajib pajak, maka pihak DJP disarankan untuk meningkatkan sosialisasi atas setiap ketentuan yang baru melalui pendidikan dan latihan bagi para pelaksana di lapangan (khususnya eselon V & IV), membuat lokakarya, seminar, dan menggunakan semua media komunikasi milik DJP misalkan melalui website. Untuk mengatasi kurangnya koordinasi antara pihak DJP dengan instansi terkait misalkan Bea dan Cukai, maka perlu kiranya kedua belah pihak membentuk unit kerja bersama untuk mengatasi kurangnya koordinasi. Untuk membantu pihak wajib pajak di dalam melaksanakan haknya maka perlu kiranya pihak DJP menyederhanakan permintaan dokumen dan bukti-bukti pendukung yang diminta, seperti permintaan master B/L atau Ocean B/L yang bisa dihilangkan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T 19469
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Raharja
"Kebijakan pemerintah dalam mengenakan PPn BM untuk kendaraan bermotor mendapatkan keluhan dari para pengusaha karena hal tersebut menghambat industri otomotif untuk dapat berkembang lebih pesat. Hal ini dapat pula menghambat perkembangan industri-industri yang terkait dengan industri otomotif. Lebih jauh lagi hal ini dapat juga menghambat perkembangan ekonomi secara keseluruhan.
Penelitian ini ditujukan untuk menganalisai kondisi pasar mobil di Indonesia serta untuk menganalisa pengenaan PPn BM mobil di Indonesia dalam pengaruhnya terhadap kesejahteraan konsumen, produsen, dan penerimaan pemerintah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data penjualan mobil, produksi mobil serta harga yang berasal dari Gaikindo serta ditambah dengan data kondisi makro ekonomi yang berasal dari BPS, BI, Pertamina, Departemen Keuangan serta data lainnya yang berhubungan. Data dijadikan dasar untuk membuat fungsi permintaan dan fungsi penawaran mobil di Indonesia. Dengan menggunakan bantuan software Eviews untuk mengestimasi fungsi-fungsi permintaan dan penawaran secara singgle equation.
Selanjutnya dari fungsi-fungsi yang didapat digunakan sebagai data untuk menggambarkan kondisi pasar mobil serta dijadikan dasara perhitungan kesejahteraan produsen, kesejahteraan konsumen serta penerimaan pemerintah. Dibuat pula skenario perubahan-perubahan harga yang disebabkan perubahan tarif PPn BM dengan menggunakan elastisitas yang didapat. Penelitian ini menganalisa permintaan dan penawaran mobil di Indonesia dengan skenario jika tidak dikenakan PPn BM serta jika dinaikkan sebesar 1%, 5%, 10% dan 15% dari tarif yang berlaku sekarang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi kesejahteraan ekonomi untuk beberapa jenis mobil, pengenaan PPn BM ini tidak tepat sasaran serta tidak sesuai dengan syarat ekonomis dari suatu pengenaan pajak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa jenis mobil yang layak dinaikkan tarif PPn BM nya dan ada pula yang tidak layak untuk dinaikkan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T16974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Kartika
"Nowadays, International trading has become more opened, because the reduction of tariff barrier and non-tariff barrier. This situation made a competition between nation become more complex. Many countries use dumping strategic to win the international competition. Dumping actually is a normal strategic in trading world. It?s become unfair when it causes injury to domestic industry. Because dumping categorize as Unfair Trade Practices, many countries (members of World Trade Organization/WTO) used anti dumping action to deal with unfair trade practices being carried out by their trading partners.
Researcher?s main concern is in imposition of anti dumping duties. To know how anti dumping duties can protect the domestic industries. Researcher also want to analyze the problems on anti dumping actions that levies to some imported goods that causes injury to domestic industries. Whether the decision is to impose or not to impose an anti dumping duty to that imported goods. The researcher used qualitative approach and use descriptive method to analyze this report.
The result of this research showed that anti dumping duties act can protect the domestic industries and make competitive price in domestic market. The problems when anti dumping duty imposed to some product are: complain from the exporting country because the price of the product in domestic market will be more expensive than before. And Complain from the domestic consumers because it makes goods used by the domestic consumers more costly. If the decision is not to imposed the anti dumping duty with the ?national interest? reason it also a problems because there?s no clear guidance on national interest test in Indonesian anti dumping legislation. This is why the people said that ?anti dumping is a double edge sword?. But whatever the merits of anti dumping, Indonesia should continue to take their national interest into account before levying these duties.
"
2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurdiyana
"EPC project meaning that a construction company will handle whole work, from designing activity, procurement and implementation construction. Base imposition withholding tax article 23 and Value Added Tax (VAT) on EPC project are from their service value. However, in fact EPC project have same treatment equal with construction services in general. This difference is happen because there are no specific regulation about the EPC project. The regulation that exist for now, just only controls about the taxation charge for the construction company in general.
The research is using quantitative approach in intention to have better understanding and interpretation about a social phenomenon through observation. This research is among descriptive research to describe research object based on the fact notice or as it is. Primary data gathering is acquired by doing in-depth interview to discover information from informant who is directly involve in EPC project especially with taxation division, the government who is making the policy, tax consultant, academician and association of constructions. Secondary data is acquired by literature study to optimize theoretical framework in deciding the purpose and goal of the research also the concepts and other theoretical material in conjunction with research problem. Data analyses are using qualitative data analysis based on field discovery, both primary and secondary data.
From the analysis that are conducted, it is found that the basic differences about the charge between withholding tax article 23 and basic charge of VAT on EPC project. The reason is there are differences of understanding the regulation that exist, this thing is practically cause some problems, whether it is between the EPC industrialist with the owner of the project, or between the EPC industrialist with the taxation checkers side. So, it is necessary for making the constitution regarding the tax object of EPC project . Next, specific taxation regulation about the EPC project needs to be created, to think of there are non similar understandings of the regulation that exist. With the existence of the specific special regulation about the EPC project, It is doubtfully will not cause the difference of understandings between the EPC industrialist and the owner of the project.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Munir
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar pemikiran yang melatarbelakangi perumusan kebijakan bea masuk ditanggung pemerintah atas impor barang dan bahan guna pembuatan peralatan telekomunikasi, implementasinya, serta faktor penunjang dan penghambat dalam implementasinya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pemikiran yang melatarbelakangi perumusan kebijakan bea masuk ditanggung pemerintah atas impor barang dan bahan guna pembuatan peralatan telekomunikasi adalah karena krisis ekonomi global, pertumbuhan industri jasa telekomunikasi, dan upaya untuk meningkatkan daya saing industri peralatan telekomunikasi.

The purpose of this research is to analyze the background of the policy of customs duties borne by the government on the import of goods and materials to produce telecommunications equipment, the implementation, and also supporting and inhibiting factors due to the implementation. This research is a qualitative research. Data collection techniques using depth interviews and literature studies.
The research result shows that the background of the policy of customs duties borne by the government on the import of goods and materials to produce telecommunications equipment is because the global economic crisis, the growth of the telecommunication service industry, and efforts to improve the competitiveness of the telecommunication equipment industry."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Erisa
"Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (Pasal 16 D) merupakan isu PPN yang sering kali menjadi suatu problema di dalam penyelenggaraan sistem kebijakan PPN di Indonesia. Dari problema tersebut menunjukkan betapa rawannya kebijakan PPN Pasal 16 D. Adanya pengecualian pada pasal 9 ayat 8 huruf b banyak menimbulkan dispute di lapangan antara sudut pandang fiskus dengan Pengusaha Kena Pajak, munculnya skema re ekspor serta kendala teknis dalam pelaksanaan Law Enforcement di lapangan memberikan tanda bahwa kebijakan tersebut harus dilakukan penelitian.
Adapun tujuan penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini adalah pertama menganalisis alasan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan menjadi obyek PPN dalam rezim UU No. 11 Tahun 1994, kedua menganalisis dasar pemikiran perubahan kebijakan PPN 16 D dalam rezim UU No. 42 Tahun 2009, ketiga, menganalisis pelaksanaan Law Enforcement kebijakan PPN 16 D pada perusahaan garment di KPP PMA Empat, dan keempat mendesain kebijakan PPN atas penyerahan aktiva yang ideal berdasar prinsip yang direkomendasikan AICPA?
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan PPN Pasal 16 D saat ini perlu didesain ulang sehingga memenuhi prinsip-prinsip Simplicity, Certainty dan Neutrality dengan syarat pemberlakuannya adalah sepanjang Pajak Masukan saat diperoleh ?telah? dikreditkan untuk menghindari adanya hidden subsidy dan perlunya dibuatkan aturan pelaksanaan atas kebijakan tersebut sehingga dispute dan agressive tax planning di lapangan dapat diminimalisir.

VAT on transfer assets which is not for sale at first time it purchased (Article 16 D) is the most frequent problem in the VAT policy system in Indonesia. It shows that VAT on transfer asset is a prone policy. The exception article 9 (8) b of VAT policy on transfer asset caused different interpretation between tax oficer and taxable person, re export scheme and technical constraint has signed that VAT on transfer asset policy must be researched.
The objective of this thesis are: first, to analyze why transfer asset is to be taxable supplies, second, what is the rationale or inside of VAT policy on transfer asset regime VAT Tax Law 42/ 2009, third, how does this policy implemented in the garment enterprises at the foreign investment tax office four, fourth, how does the good VAT policy on transfer asset design which recommended by AICPA, especially Simplicity, Certainty and Neutrality principle on which most important in making tax policy. This research is qualitative research with descriptive analysis.
The researh result shows that VAT on transfer asset which is not for sale at first time it purchased ( article 16 D) need to be redesigned by policy maker which is always keep Simplicity, Certainty and Neutrality principles with absolute requirement as long as VAT input when its purchased is allowed to be credited to avoid the hidden subsidy and need to make implementing regulation in order to minimizing dispute and agressive tax planning.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42425
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>