Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121273 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Susilowati
"Tesis ini tentang asimilasi berdasarkan sistem pemasyarakatan. Fokus utama tesis ini adalah pelaksanaan asimilasi yang memerlukan komitmen dan kepedulian para petugas dan pembuat kebijakan. Dalam kajian tesis ini pelaksanaan asimilasi sebagai bentuk pembinaan merupakan tahapan dalam proses pemasyarakatan. Tahapan pembinaan narapidana seharusnya dilakukan secara berkesinambungan berdasarkan sistem pemasyarakatan. Tesis ini menggunakan penelitian kualitatif dengan tehnik pengumpulan data secara pengamatan, wawancara dengan pedoman dan studi dokumen untuk mengungkapkan pelaksanaan asimilasi yang dilakukan para petugas di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para petugas dan pembuat kebijakan belum peduli dan belum memiliki komitmen dalam pelaksanaan asimilasi di Lapas Terbuka Jakarta. Hal ini ditunjukkan dengan masih ada ketakutan akan terjadi kegagalan dalam pelaksanaan sehingga lebih mengedepankan pengamanan dari pada pembinaan. Para pembuat kebijakan belum membuat prosedur tetap pelaksanaan asimilasi di lapas terbuka. Selain itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan asimilasi yang berasal dari lapas tertutup sebagai pengirim narapidana dan lapas terbuka yang menerima. Yang berasal dari lapas tertutup, yaitu proses asimilasi belum sesuai tahapan pembinaan, para petugas takut narapidana akan kabur, ada biaya yang dibebankan kepada narapidana bila pindah ke Lapas Terbuka Jakarta, narapidana enggan dipindah, kualitas petugas sebagai pembina masih minim dan fasilitas latihan ketrampilan belum sesuai dengan narapidana yang ada. Sedangkan yang berasal dari lapas terbuka, yaitu keterbatasan petugas pembina narapidana, sarana pembinaan, struktur organisasi lapas terbuka, proesedur tetap pelaksanaan asimilasi di Lapas Terbuka Jakarta.
Implikasi dari tesis ini adalah perlu komitmen dan kepedulian para petugas dan pembuat kebijakan dalam pelaksanaan asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta, agar semua narapidana yang telah menjalani setengah masa pidananya dapat dibina di lembaga pemasyarakatan terbuka. Komitmen dan kepedulian para petugas ditunjukkan dengan pembuatan protap, sarana dan prasarana pembinaan narapidana di lapas terbuka, perekrutan petugas sebagai pembina narapidana sebelum kembali ke masyarakat serta diperlukan pengawasan pelaksanaan asimilasi agar tidak terjadi pungutan yang membebani narapidana.
Peran serta masyarakat juga diperlukan dalam membina narapidana. Dalam pelaksanaan asimilasi, keterlibatan masyarakat sangat berarti bagi narapidana terutama untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Kepercayaan terhadap diri sendiri karena dapat diterima kembali di masyarakat, dapat menghilangkan stigma penjahat bagi narapidana sehingga dapat menjadi warga negara yang berguna bagi bangsanya.

This study is about the assimilation process based on Sistem Pemasyarakatan. The main focus of this study is the implementation of assimilation which needs commitment and careness of the officiais and policy makers. In this study, the implementation of assimilation as the fonn of character building is a step in the process of socialization. The character building of inmates should be done continually based on Sistem Pemasyarakatan. This study used qualitative approach with observation, guided interview, and document review as the data collection technique in order to describe the implementation of assimilation in Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta.
The result of this study shows that the officiais and policy makers do not care yet and do not have the commitment in assimilation implementation in Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta. This is showed by the anxiety a fail in implementing the system, so that the officiais and policy makers prefer to use the security system instead of character building of inmates. Policy makers of Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta have not constructed the Standard operating procedures for the implementation of assimilation. Besides, there are factors which influenced the implementation of assimilation, which is from the close correctional institution as the sender of inmates and Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta as the receiver of inmates. The factors that comes from the close correctional institution of Jakarta are the inappropriate assimilation process which is based on character building, the anxiety of officiais that inmates will escape, the charge that inmates are required to pay if they want to move to Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta so that inmates are unwilling to move to Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta, the lack of official’s quality and facility that are not in line with the number of inmates. The factors that come from Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta are lack of officiais, facility, structure organization of Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta, and Standard operating procedure of the implementation of assimilation in Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta.
The conclusion of this study is that commitment and careness of the officiais and policy makers are needed in doing the assimilation system in Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta so that the inmates who have carried out hal f of their punishmaent can move to Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta to follow the assimilation process. Commitment and careness of officiais and policy makers should be shown by constructing a Standard operating procedure, establishing facilities in Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta, recruiting of officials as the mentor of inmate before they go back to the society, and also the supervision of the implementation of assimilation so that inmates are not required to pay for the transfer.
The role of society is needed in building the charaeter of the inmates, establishing the confidence of inmates that they can be accepted in society, leaving out the stigma that inmates are criminals so that they can also becomc good citizens and can give good contribution to the nation.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26815
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Esther Patricia
Depok: Universitas Indonesia, 1996
S21943
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyadi
"Pemenuhan Hak Asimilasi dan Integrasi pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dan pembinaan pelanggar hukum berdasarkan sistem pemasyarakatan. Tahapan dimaksud merupakan rangkaian penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum dalam system peradilan pidana.
Sebagai suatu sistem, maka secara operasional sub-sub sistem dalam peradilan pidana harus bekerja secara integral. Petugas pelaksana hukum ( Polisi, Jaksa, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan), organisasi dan manajemen, sarana dan prasarana serta masyarakat harus bekerja secara sistemik dalam rangka memenuhi hak asasi manusia, dan hak-hak narapidana.
Namun, dalam implementasinya di Lapas/Rutan Wilayah DKI Jakarta, menunjukkan, adanya ketidak-terpaduan dalam pengelolaan dan manajemen administrasi system pemasyarakatan, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak asimilasi dan integrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa system administrasi pembinaan dan penghitungan tatap-tahap pembinaan belum dilaksanakan sesuai ketentuan,. Demikian pula sistem komunikasi dan informasi tentang hak-hak narapidana belum dilaksanakan secara transparan, akibatnya terjadi diskriminasi dan pemenuhan hak asimilasi dan integrasi menjadi kurang optimal.
Dalam subsistem pelaksana hukum, terdapat kecenderungan makin meningkatnya sikap egosentrisme diantara aparat pelaksana hukum. Dan dalam aspek organisasi dan manajemen ditandai dengan buruknya system pelayanan dan pengelolaan administrasi pembinaan, sarana dan prasarana yang jauh dari memadai, serta dalam subsistem masyarakat adalah rendahnya tingkat partisipasi dan dukungan masyarakat dalam pembinaan pelanggar hukum.
Salah satu aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pemenuhan hak asimilasi dan integrasi adalah bahwa secara faktual, fungsi﷓fungsi manajemen dan system administrasi pembinaan narapidana belum dilaksanakan dengan baik. Keadaan ini disebabkan karena rendahnya mutu keterampilan teknis petugas pemasyarakatan, rendahnya integritas moral sumber daya manusia, kurang disiplin, system birokrasi yang berbelit-belit, buruknya system administrasi peradilan, rendahnya komitmen kepemimpinan, over kapasitas, rendahnya pengawasan,dan rendahnya partisipasi masyarakat, serta minimnya sarana dan prasarana.
Ketidak-serasian dalam pelaksanaan proses pemasyarakatan dan pembinaan pelanggar hukum tersebut menunjukkan bahwa penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia belum menjadi pertimbangan utama dalam penegakan hukum, dan ini berarti bahwa system belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan jika kondisi tersebut tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, dan mengganggu stabilitas keamanan.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah memperbaiki manajemen system pemasyarakatan, peningkatan mutu ketrampilan sumber daya manusia dan melakukan optimalisasi pengawasan berdasarkan pendekatan system.

The accomplishment of the Assimilation and Reintegration Rights intrinsically represent a process of the execution of sentencing and the treatment of the offenders, in pursuant to the correctional system. Such step represents one segment of the criminal justice system.
As a system, the operation of such sub - system in the criminal justice have to work integrally. The criminal justice officers (Police, Prosecutors, Judges, and Correctional Officials), the organizational and the management, the facilities and also the society, have to work systematically in order to fulfilling the human right. and the inmate's rights.
But, its implementation in the Jakarta Correctional Institution/Detention Center has shown the existence of improper administration management of such correctional system, especially related to the accomplishment of the assimilation and reintegration rights. The result of this research indicates that the treatment administration system and the calculation of the treatment process have not conducted in accordance to the rule. Also, the communications and information system about the inmate's rights has not conducted transparently, and had resulted discrimination. Thus, the accomplishment of inmate's assimilation and reintegration has become less optimal as well.
In the sub-system of the sentence execution, there are tendency toward the increasing of egocentrism attitude among the criminal justice officers. And the organizational and management aspect is marked by the obsolesce of the service and the treatment administration management, as well as its facilities which are still far from adequate, also the lack of the society participation and support in the process of offender's treatment.
One of the important aspect related to the accomplishment of the assimilation and reintegration rights is, by factual, the management functions has not conducted properly. This situation is caused by the low quality of technical skill of the correctional officer, the low of human resource moral integrity, less discipline, the complicated bureaucracy system, the obsolesce of jurisdiction administration system, no leadership commitment, over capacities, the minimum of society controls and participation, and also the minimum facilities.
The un-inwrought in the execution of the correctional process indicate that the respect and the protection to human right has not become important consideration in accordance to the law, and this means that such system has not imposed as we might expected, and if the such condition is not performed a reformation, it would become a factor that cause a violation of criminal law and effecting the security stability.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Chaidir
"Penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan Departemen Hukum dan Ham RI tentang program asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bekasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetehui bagaimana implementasi program asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Lapas Bekasi dan untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam implementasi kebijakan tersebut yang ditinjau dari faktor komunikasi, faktor sumber-sumber, faktor kecenderungan dan faktor birokrasi. Dalam melakukan penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain diskriptif. Adapun informan dalam penelitian ini terdiri dari 10 orang yaitu 8 orang narapidana dan 2 orang pejabat struktural di Lapas Bekasi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap informan, sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada teori implementasi kebijakan dari George C. Edward dan analisis SWOT. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa implementasi kebijakan asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat di Lapas Bekasi terlihat kurang optimal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor penghambat yakni ditinjau dari faktor komunikasi yaitu informasi kebijakan belum dikomunikasikan dengan baik ke narapidana dan masyarakat selaku stakeholder, sedangkan dari faktor sumber-sumber yaitu kurangnya tenaga staf secara kwantitas dan kwalitas SDM, serta kurangnya sumber dana operasional. Selanjutnya adalah faktor kecenderungan petugas pelaksana kebijakan yang menjalankan kebijakan ini lebih cenderung terhadap narapidana yang memberikan bantuan dana. Faktor terakhir yaitu faktor yakni dari Lapas, Kantor Wilayah dan Direktorat Jenderal belum lagi dengan instansi terkait seperti Pemerintahan Daerah dan Kejaksaan.

This study is focused to know how the implementation of Law Department & Human Right?s policies about assimilation program, parole, leave nearing free, and conditional leave in LAPAS Bekasi. The study also aims to know the barriers in implementing those policies. Qualitative method is used in this study. This study involves 10 informants; 8 people are prisoners and the others are functionary of LAPAS Bekasi. Data collecting is obtained by holding an interview with the informants. And data analysis is done by George C. Edward?s Theories and SWOT analysis. The result of this study indicated that the implementation of policies about assimilation program, parole, leave nearing free, and conditional leave in LAPAS Bekasi is not optimal. It?s caused by some barrier factors such as communication, human resources and bureaucracy factor. The policies are not informed well to prisoners and people. There is less of quality and quantity of operational staff. And the bureaucracy needs long time in implementing."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25015
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa, 1977
301.2 LAH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Poerwanto
"ABSTRAK
POKOK PERMASALAHAN
Wang Gungwu menilai bahwa Indonesia merupakan contoh sebuah negara yang mempunyai masalah Cina amat kompleks(1981:261-264) 1. Salah satu dari masalah tersebut adalah erat kaitannya dengan identifikasi diri mereka terhadap negara tempat mereka tinggal 2. Sebagai akibat hal tersebut adalah timbal masalah seperti yang dikemukakan oleh Leo Suryadinata (1986:191-193). Dikatakannya bahwa sekalipun orang Cina di Indonesia telah meninggalkan identitasnya sebagai orang Cina dan mengidentifikasikan dirinya sebagai golongan peranakan, mereka tetap masih dianggap sebagai orang Cina. Di kalangan kebanyakan orang Indonesia, mereka belum dapat diterima sepenuhnya sebagai warga bangsa Indonesia. Banyak di antara pemimpin bumiputera menilai bahwa sebagai bagian dan nasion Indonesia, orang Cina sebagai pendatang masih dirasa perlu untuk dipertimbangkan. Sementara itu Suryadinata juga betpendapat bahwa meskipun orang Cina telah memiliki status kewarganegaraan Indonesia, berbagai simbol dan identifikasi rasional Indonesia masih sukar diserap dalam kehidupan mereka sehari-harinya. Hal tarsebut disebabkan kuatnya pengaruh kebudayaan negeri leluhur dalam membentuk identitas nasional orang Cina sebagai bangsa Indonesia.
Menurut penilaian Maly G. Tan (1979:vii), posisi orang Cina di Indonesia pada dewasa ini adalah sebagai berikut:
" Tak ada yang bersikap acuh tak acuh terhadap mereka, malahan biasanya sikap itu bersifat ekstrim; membenci atau sebalikaya menyenangi mereka. Sikap ekstrim ini pun tidak konstan pada orang atau kelompok-kelompok tertentu dalam keadaan tertentu bisa disenangi, dalam keadaan lain dibenci. Pendeknya jelas terdapat suatu sikap yang ambivalen terhadap mereka. Hal ini tercermin gala dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tidak menentu dari satu pemerintah ke pemerintah yang lain, sejak zaman kolonial sampai kini ".
Berdasarkan penilaian Lois(1951:29-35), sifat yang mendua juga dimiliki oleh kebanyakan orang Cina di Indonesia. Oleh karena itu agar mereka dapat menjadi orang Indonesia dalam arti sebenarnya, orang Cina yang telah berstatuskan sebagai warga negara Indonesia harus mampu membuktikan loyalitas dirinya, baik secara politik mau pun ekonomik terhadap negara barunya 3. Selanjutnya Somers Heidhues (1974: 43) juga menganjarkan sesuatu hal penting yang hares diperhatikan oleh orang Cina di Indonesia agar tidak mendapatkan perlakukan 'diskriminatif' , yaitu hendaknya menyadari bahwa status kewarganegaraan Indonesia yang telah dimilikinya sekaligus juga disertai suatu usaha agar bumiputera dapat menerimanya sebagai bagian dari mereka. Selama ini sering muncul pandangan dari kalangan bumiputera bahwa sekalipun telah mempunyai status kewarganegaraan Indonesia tetapi 'sekali Cina tetap Cina' 4. Terdapatnya pandangan seperti itu tidak terlepaskan dari adanya penilaian bahwa status mereka sebagai warganegara Indonesia itu hanya dipergunakan untuk mencari keuatungan dalam sektor perdagangan. Sementara itu uang sebagai hasil keuntungan yang diperolehnya, lebih dipakai untuk berbagai kegiatan yang eksklusif Cina atau dibawa ke luar negeri. Oleh karena itu mereka harus dapat membuktikan dirinya melalui kewajiban yang harus diberikannya kepada negara dimana mereka itu sekarang secara formal menyandang status kewarganegaraan dari negeri itu, ialah Indonesia. Suatu cara pembuktian yang harus dilakukan adalah kesediaan mereka untuk melakukan asimilasi dengan masyarakat atau negara tempat ia tinggal. Era modernisasi yang sedang melanda Indonesia, dapat dipakai sebagai momentum untuk saling berkerja sama sehingga jarak psikologis, sosial, ekonomi dan sebagainya dari kedua golongan tersebut semakin kabur.
Jika berbagai pandangan di atas ditelaah lebih lanjut maka dapat disimpulkan bahwa penyelesaian masalah orang-orang keturunan Cina di Indonesia adalah erat kaitannya dengan proses pembangunan...."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990
D257
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Vasanty Hendarto
"Tap-tiap negara yang masyarakatnya terdiri dari bermacam-macam suku-bangsa dan golongan minoritas yang mempunyai kebudayaan yang berbeda akan menghadapi ketegangan-ketegangan yang timbul dinatara suku bangsa dan golongan-golongan itu..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1969
S12895
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rahmatika Febrianti
"Penelitian ini mengeksplorasi mengapa Perancis membatasi freedom to manifest religion perempuan minoritas Muslim dengan burqa dan niqab pada 2010, padahal itu bertentangan dengan norma-norma Hak Asasi Manusia internasional, dapat melanggengkan subordinasi minoritas Muslim, serta dapat menghalangi penggunanya untuk keluar ke ranah publik. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan cara analisis interpretif, menggunakan konsep freedom to manifest religion dan asimilasi sebagai kerangka pikir utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatasan freedom to manifest religion dimungkinkan karena kebebasan ini tidak bersifat absolut. Perancis menjustifikasi burqa dan niqab tidak sesuai dengan nilai Liberté, karena tidak menghargai hak perempuan dan lekat dengan fundamentalisme agama yang dapat menghambat proses asimilasi. Larangan ini mencerminkan kembalinya negara koersif dalam politik internasional kontemporer, dengan Perancis yang menegaskan kembali kesatuan identitasnya di tengah kemunduran ekonomi, imigrasi massal, dan globalisasi.

This research explores why France restricts the freedom to manifest religion of Muslim minority women by banning the burqa and niqab in 2010, despite its contradiction with international norms of human rights, its potential to perpetuate the subordination of Muslim minority, and its possibility to curb the wearer to be in public sphere. This is a case study research with interpretive method of analysis, using the concept of freedom to manifest religion and assimilation as the main framework of thinking. The research shows that the restriction is possible due to the non-absolutist nature of freedom to manifest religion. France justifies burqa and niqab incompatible with the value of Liberté, for they are oppressing women?s rights and related to religious fundamentalism which will hinder the assimilation process. The ban reflects ?the return of coercive state? in contemporary international politics, with France recalling its indivisible identity in the midst of economic downturn, mass immigration, and globalization."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S60471
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>