Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75308 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"LPM (Landless people's Movement) is a social mpvement in South africa. This movement was foundeted on July 24, , 2001. LPM represents South African people movement opposing Land Reform post apartheid. After the collapse of apparteid regime, the new government of South Africa estabilished Land Reform to finish the problem of Land. The program consisted of three subprograms namely Land restitution, redistribution of land rights and tenure reform."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Revita Maharani
"Kajian ini membahas bagaimana strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia dalam membantu anggota-anggotanya menghadapi eksklusi sosial. Dikarenakan identitas gender yang tidak sesuai dengan nilai gender normatif, waria dihadapkan pada penolakan, diskriminasi dan bahkan eksklusi sosial. Eksklusi yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan negara, menyebabkan mereka harus hidup dalam perjuangan. Akibatnya, sebagian besar dari mereka putus sekolah dan bekerja di jalan sebagai pekerja seks. Skripsi ini menggunakan kerangka eksklusi sosial untuk menggambarkan berbagai bentuk penindasan yang dihadapi oleh waria. Dengan mengadaptasi kerangka eksklusi sosial dalam melihat kehidupan waria, maka dapat dipahami bagaimana waria telah dieksklusikan dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Studi ini mengarah pada kesimpulan bahwa eksklusi sosial pada waria merupakan permasalahan yang sistemik dan struktural. Melihat hal tersebut, maka peran organisasi penting adanya untuk dapat merubah hidup waria. Strategi Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI) dalam menghadapi eksklusi, akan dibahas melalui kajian gerakan sosial, seperti sistem keterbukaan politik, framing, serta mobilisasi sumber daya.

This thesis discusses how the strategy of Forum Komunikasi Waria Indonesia in helping its members to confront social exclusion. Due to the gender identity that does not conform to normative gender values​​, waria (transsexuals) faced rejection, discrimination and social exclusion. Exclusion which conducted by families, communities and state, lead them to live in struggle. As result, most of them decide to drop out of school and working on the street as a sex worker. This thesis uses social exclusion framework to describe the various forms of oppression faced by waria. By adapting the framework of social exclusion, it can be understood how waria has been excluded from the social, economic, and political life. This study leads to the conclusion that social exclusion on transsexual is systemic and structural problems, thus presence of an important organizational role can change life for waria. The strategies of Forum Komunikasi Waria Indonesia to confront exclusion will be discussed through the study of social movements, such political opprtunity structure, framing, and resources mobilization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naning Mardiniah
"Setidaknya ada tiga alasan pentingnya studi Gerakan Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru: Prespektif Gerakan Sosial Baru Main Touraine dilakukan. Pertama, etnik Tionghoa merupakan kelompok minoritas non pribumi yang menguasai perekonomian Indonesia tetapi mendapat perlakuan diskriminatif secara politik. Kedua, masih sedikit studi-Etnik Tionghoa pada masa Pasta Orde Baru, terutama yang memfokuskan pada prespektif Gerakan Sosial Baru Alain Touraine. Ketiga, penghapusan diskriminasi rasial telah menjadi isu global, namun di Indonesia, diskriminasi terhadap etnik Tionghoa masih kental.
Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa Pasca Orde Baru dengan mengambil lokasi di Jakarta ini bertujuan untuk; Pertama, mengkaji gerakan sosial Etnik Tionghoa dari sisi tujuan dan strategi, nilai dan isu yang diperjuangkan, serta peranan dan relasi antar aktor. Kedua, mengkaji pengaruh kebijakan politik pemerintah terhadap gerakan politik etnik Tionghoa dan sebaliknya. Dalam konteks ini, beberapa pertanyaan yang diajukan sebagai masalah (problems) penelitian adalah Pertamna, bagaimana varian gerakan sosial etnik Tionghoa yang muncul pada pasta Orde Baru; apa latar belakang kemunculan (dari sisi kesadaran para aktor maupun struktur politik), pilihan corak gerakan, fokus perjuangan, dan strategi gerakan yang dikembangkan . Kedua, apa saja isu-isu yang diberjuangkan oleh gerakan itu. Keiiga, bagaimana relasi aktor gerakan sosial etnik Tionghoa dalam medan konflik bail( dalam konteks relasi antar gerakan sosial lain, relasi dengan negara. maupun komunitas etnik Tionghoa sendiri.
Studi dengan pendekatan etnografi reflektif ini menggunakan, kerangka teori Gerakan Sosial Baru (GSB) dalam prespektif Alain Touraine, yang mendifinisikan gerakan sosial sebagai aksi kolektif yang berupaya memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya penting dan orientasi kultural yang dapat diterima oleh masyarakat. Touraine berpandangan bahwa masyarakat merupakan produk para aktor sosial atau gerakan-gerakan sosial. Namun demikian, Touraine juga menekankan bahwa studi gerakan sosial harus dilihat dalam konteks lapangan tindakan (field of action), yang mengacu pada keterkaitan antara gerakan sosial dan tekanan atau pengaruh (konteks sosial) dimana gerakan itu dibangun. Touraine melihat fenomena gerakan sosial baru dari prespektif yang luas tentang konflik, masyarakat, kebudayaan, sejarah manusia, dan meletakkannya dalam proses aksi kolektif dimana individu dan masyarakat mereproduksi dan mentransformasi diri. Gerakan sosial merefleksikan -krisis kultural dan representasi demokratik masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik politik. Konflik haruslah dimaknai melalui pertaruhan yang bernilai dan dihasratkan serta memiliki sejumlah chi; sekumpulan aktor yang bterorganisir, taruhan nilai yang dihasratkan, dan pergumulan antar pihak yang berkonfllik. Dari pendifinisian konflik, Touraine menyusun hipotesa bersatunya konflik yang melihat adanya keterkaitan antara identitas, aktor, dan totalitas kebudayaan yang mendifinisikan medan konflik.
Studi Gerakan Sosial Etnik Tionghoa pasta Orde Baru menemukan bahwa Gerakan Sosiai Etnik Tionghoa pasca Orde Baru muncul bukan saja karena perubahan politik dan peristiwa yang menyentak kemanusiaan (Mai 1998) tetapi juga kesadaran para tokoh dan aktivis Tionghoa untuk melakukan suatu perubahan setelah lebih dari tiga dasawarsa dimarginalkan. Gerakan ini muncul dan menjelma dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ada yang memilih membangun Ormas (Organisasi Kemasyarakatan), seperti PSMTI dan INTI, ada yang menjelma dalam bentuk Ornop (Organisasi Non Pemerintah), ada pula yang memilih jalur politik praktis dengan mendirikan berbagai partai politik berkarakteristik Tionghoa. Selain itu, muncul pula gerakan melalui media kesenian dan pers. Kemunculan berbagai organisasi ini sekaligus memupus stigma yang lekat selama ini bahwa etnik Tionghoa anti politik, hanya mengejar ekonomi semata, dan tidak nasionalis. Selain bentuknya yang berbeda, strategi gerakan yang ditempuh pun berbeda. Yang menyamakan adalah strategi gerakan yang tidak menggunakan cara-cara pengerahan massa dan aksi kekerasan. Seluruh komponen gerakan memilih strategi penyadaran politik dan advokasi lunak, seperti dialog dengan pemerintah dan anggota legislatif, aksi moral, dan sebagainya.
Gerakan etnik Tionghoa sesungguhnya telah muncul sejak berabad-abad yang lalu (masa kolonial) dalam bentuk resistensi yang terorganisisr dan tetap berlangsung hingga saat ini dengan tema perjuangan anti diskriminasi rasial. Problem yang dihadapi etnik Tionghoa nyaris sama sejak kolonial hingga saat ini, sehingga isu yang diperjuangkan dalam gerakan Tionghoa sesungguhnya isu lama, yakni isu non diskriminasi, stigmatisasi, prasangka. dan marginalisasi, yang menjelma dalam berbagai masalah, dari kewarganegaraan, etnisitas (dipandang bukan sebagai orang Indonesia asli), serta partisipasi dalam ranah politik dan birokrasi. Pada pasca Orde Baru, sekatipun berbagai kebijakan yang diskriminatif telah dicabut dan muncul liberalisasi politik, namun problem yang dihadapi Tionghoa masih cukup besar.
Gerakan etnik Tionghoa pasta Orde Baru tidak terbelah secara tegas berdasarkan orientasi politik sebagaimana terjadi pada masa kolonial dan masa Orde Lanza. Gerakan pada masa Orde Baru hanya berbeda dalam penetapan strategi. Hal ini karena represi Orde Baru yang melarang sekat-sekat ideolog. Visi atau orientase mereka sama yakni menghilangkan aspek diskriminasi di berbagai area serta pluralisme. Yang membedakan adalah strategi gerakan, ada yang memfokuskan solidaritas internal, perjuangan identitas kultural, penyadaran publik, reformasi hukuin, serta pengikisan prasangka rasial. Etnik Tionghoa menunutut diperlakukan sebagai suku tersendiri sehingga integrasi secara wajar dipandang sebagai jalan penyelesaian untuk menghapuskan problem Tionghoa. Seluruh komponen gerakan pasca Orde Baru mempercayai sistem yang demokratis, menghargai Hak Asasi Manusia serta multikulluralislah yang dipercayai mampu menyelesaikan persoalan Tionghoa.
Karena problem yang -dihadapi Tionghoa bukan sekedar berhadapan dengan negara yang memproduksi kebijakan yang diskriminatif tetapi juga pandangan masyarakat (pribuini) yang masih stigmatis, maka relasi yang dibangun oleh gerakan Tionghoa juga melingkupi relasi dengan negara dan relasi dengan masyarakat. Hanya saja, bentuk dan jenis relasi setiap komponenn Gerakan Tionghoa berbeda, mengikuti strategi gerakan dan latarbelakang para aktor dalam gerakan itu. Sekalipun visi sama, namun konsolidasi antar komponen gerakan Tionghoa masih lemah, setiap komponen masih cenderung berjalan secara sendiri dan ketidakpercayaan antar komponen gerakan pun masih tinggi, sehingga daya pressure berhadapan dengan kekuatan negara yang diskriminatif menjadi lemah.
Ada dua implikasi yang muncul melalui studi ini. Pertama, implikasi teoritis. Temuan dalam studi dan pemaknaan atas temuan dalam studi ini dapat menambah pengayaan tentang teori Gerakan Sosial, khususnya Gerakan Sosial Baru dalam prespektif Alain Touraine. Studi ini menemukan penegasan dari prespektif Alain Touraine rnengenai gerakan sosial baru, sekaligus kelemahannya. Sekalipun identitas aktor sangat berpengaruh terhadap corak dan orientasi gerakan, namun posisi aktor atau gerakan sosial ternyata bukanlah unsur daminan dalam membentuk masyarakat melainkan keduanya terkait dalam hubungan yang dialektis transformatoris. Demikian pula, ternyata gerakan sosial juga muncul dalam masyarakat yang tidak demokratis. Konsepsi GSB Alain Touraine terlampau luas, sehingga tidak cukup mendalam dalam menganalisis tentang dekonstruksi yang menjadi ciri khas GSB. Sementara, konsepsi Touraine bahwa gerakan sosial merefleksikan krisis kultural masyarakat serta merupakan aksi kolektif yang melibatkan diri dalam konflik tertegaskan dalam studi ini.
Kedua, implikasi praktis. Menilik berbagai proses konsolidasi demokrasi yang masih stagnan, maka etnik Tionghoa kemungkinan akan berada dalam posisi yang sulit. Oleh karenanya, problem yang dihadapi etnik Tionghoa pun hanya dapat diselesaikan bila konsolidasi demokrasi terbangun. Untuk itu, ada beberapa agenda yang penting untuk diperhatikan bagi penyelesaian problematika Tionghoa. Pertama, Melakukan reforrnasi hukum terhadap perundang-undangan dan kebijakan yang diskriminatif, dengan cara melakukan amandemen Pasal 26 UUD 1945 tentang kewarganegaraan, pencabutan Indische Staatsvregeling Tahun 1925, pembubaran BKMC, perumusan dan pensahan UU Kewarganegaraan yang yang tidak diskriminatif, serta UU Anti Diskriminasi Rasial. Kedua, Penguatan multikulturalisme. Nilai-nilai multikulturalisme harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Pendidikan multikulturalisme dan Hak Asasi Manusia kepada seluruh komponen masyarakat merupakan agenda yang sangat urgen untuk dilaksanakan. Ketiga, penyadaran kritis komunitas 'Tionghoa. Penyadaran kritis terhadap warga Tionghoa, terutaina level grassroot sangat penting karena kelompok inilah yang paling rentan menjadi korban pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk tindakan diskriminatif dan kekerasan. Keempat penguatan jaringan gerakan Tionghoa dengan komponen lain. Konsolidasi antar kekuatan gerakan sosial sangat signifikan dalam advokasi, penguatan civil society, dan pertimbangan tatanan masyarakat yang demokratis. Penguatan jaringan konsolidasi perlu dibangun di level nasional dan internasional."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Rahmat
"Tesis ini membahas gerakan sosial baru yang terjadi di Papua. Bagaimana sikap penolakan masyarakat Papua terhadap integerasi dengan Indonesia sejak tahun 1969 lewat Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dengan bergerilya bersenjata kemudian berubah menjadi cara-cara damai dengan berpolitik dan membangun basis kekuatan massa bukan saja di hutan tetapi sampai didalam kota (konsep masyarakat modern).
Dengan menghadirkan organisasi perjuangan yang bernama Presidium Dewan Papua (PDP) sikap menolak integrasi. Sehingga yang menjadi rumusan masalah yaitu bagaimana bentuk organisasi PDP dan perannya dalam melahirkan gerakan sosial baru di Papua ?. Eksplorasi metode pada penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, karena peristiwa ini relatif masih baru maka sumber paling baik adalah pengumpulan dokumen dari hasil Musyawarah Besar (MUBES), Kongres Rakyat Papua Ke II dan dokumen penting PDP dan yang terpenting mewawancarai tokoh-tokoh gerakan sosial baru ini. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori gerakan sosial baru yang paling relevan dan tepat . Dengan melihat kunci kekuatan teori tersebut dimana lahirnya organisasi perlawanan rakyat, tokoh / pimpinan, adanya kesempatan politik, partisipasi masyarakat akar rumput dan tanggapan pihak yang berkuasa (pemerintah), sehingga lahir mobilisasi massa dan mobilisasi politik, karena adanya suatu kepercayaan (belief) sebagai sumber penyatu.
Temuan penelitian ini benar-benar menunjukkan realitas di Papua sebagai fenomena gerakan sosial baru yaitu, organisasi PDP yang laior berhasil merubah pola gerakan yang sebelumnya dengan cara gerilya bersenjata menjadi cara damai dan pola itu menjadi tema pokok perjuangan rakyat, selain ini representatif rakyat dengan melibatkan komponen perjuangan masa lalu seperti TPN / OPM, Tapoll Napol , perempuan, intelektual, dan lain-lain menunjukkan proses demokrasi yang jalan pada tingkat bawah. Cara-cara ini mendapat perhatian yang luar biasa bukan saja dari pemerintah Indonesia bahkan dunia luar.
Sekali lagi fenomena ini menjadi sangat menarik dan dapat di tarik bebarapa kesimpulan penting seperti ; ada satu perubahan dimana rakyat dapat memposisikan dirinya dalam konstalasi politik dan bernegara menjadi objek yang sangat berperan, kemudian rakyat tidak lagi semata-mata dijadikan objek keputusan pemerintah. Terjadi interplay of power antara institusi resmi dan kekuatan non formal massa. Akhirnya peran-peran oposisi sangat efektif dalam menciptakan perubahan yang cukup signifikan dalam bentuk kebijakan untuk menampung aspirasi rakyat yang timbul.

New Social Movement The Papuan Presidium Council And The New Social Movement In Papua After The Fall Of The New Order Regime In 1998This thesis discusses a developing New Social Movement In Papua. The nature of rejection of the Papuan community against integration with Indonesia, initially resulted from the so called Act Of Free Choice in 1969 was shown at the very beginning in guerrilla warfare. Recently, in spite of ongoing counter-tenor and intimidating human right violations the struggle has totally changed its course by the adoption of more peaceful and humane means for the restoration of Papuan sovereignty through the establishment of mass political power at the grass-root level, which exists not only in jungles but has widely spread into urban areas (a civic/modem society concept).
The presence of The Papuan Presidium Council (locally known as Presidium Dewan Papua or the PDP), play an important role in voicing people's rejection on integration with Indonesia. The new struggle concept has put a challenging strain on PDP, namely, how to organizationally activate this new form of Social Movement in Papua to keep up the struggle ? The exploration of this research fully adopt qualitative research method. As the case is a new, most of the resources are tapped from direct outcome of Deliberation Meetings (Mubes), the Second Papuan People Congress, PDP's initial documentation, and most importantly direct interview with those who - are responsible and involved in maintaining the New Social Movement. In order to strengthen the results of this research the writer has adopted the most recent, most relevant and most popular new social movement theories. Through these theories we can simply see in this case that the unity and oneness established among emerging people resistance organizations, community figures and leader, grass-root communities participation, situational political moments, and mass political mobilization against the government's authoritarian response, are tied as one based on one single belief
Achievements of the research indicated the emergence of current socio-political phenomenon in Papua as a New Social Movement. PDP has succeeded in converting a violence-based struggle into a `peaceful struggle'. Mass consolidation which involve a great deal of community representatives as well as past resistance organizations such as TPNIOPM (Papua Liberation Army), Tapol/Napol (Ex-political prisoners), as well as other civic components including women, intellectuals et cetera, is a good sign of a smooth running democratization at the grass-root level. Such situation has drawn serious foreign as well as domestic government attentions.
The phenomenon has served us some very interesting conclusions : the people has succeeded in the repositioning process to proactively participate in the overall state political constellation, and that the people are not longer object to government decisions. There is an interplay of power between existing formal institution and the non-formal people (mass) power. Finally, the current opposition has played an effective role in creating significant changes through the adoption of new policies in order to enhance accommodation of all emerging people aspirations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Victor M.
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas tentang Gerakan Sosial Baru di Porsea, Toba Samosir, dengan studi kasus Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap Indorayon (1983-2000). Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya gerakan-gerakan perlawanan rakyat Porsea, Toba Samosir, dan sekitarnya, terhadap Indorayon; 2) mengkaji dimensi politik di balik proses terbentuk dan berkembangnya gerakan sosial baru tersebut, serta kaitannya dengan isu-isu tentang keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan demokratisasi; 3) mengidentifikasi corak perlawanan dan pola hubungan yang terjalin di antara gerakan-gerakan perlawanan tersebut. Adapun pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1) faktor-faktor yang menyebabkan munculnya gerakan-gerakan penolakan rakyat di Porsea, Toba Samosir, terhadap Indorayon dan pola hubungan di antara gerakan-gerakan itu; 2) faktor-faktor yang menyebabkan gigihnya perlawanan mereka terhadap Indorayon; 3) kekuatan yang mereka andalkan dalam rangka perjuangan melawan Indorayon dan corak perlawanan yang mereka lakukan.
Penelitian ini dilandasi dengan konsep ethnic politics dan teori gerakan sosial baru. Metode penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus, sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber yang terkait dengan gerakan perlawanan rakyat terhadap Indorayon. Hasil penelitian cenderung menunjukkan bahwa gerakan perlawanan rakyat terhadap Indorayon ini bisa digolongkan sebagai gerakan sosial baru, karena beberapa alasan: 1) gerakan ini tidak dilandasi dengan isu tunggal dan tidak semata bertujuan pencapaian keadilan ekonomi; 2) gerakan ini tidak mengandalkan jumlah massa sebagai kekuatannya, melainkan pada kelompok-kelompok warga maupun organisasi nonpemerintah yang berjejaring kian lama kian meluas; 3) gerakan ini bersifat terorganisir dan berorientasi perubahan tatanan sosial yang menyeluruh demi terwujudnya pola baru; 4) gerakan ini berdimensi politik, yang merupakan ekspresi atlas protes terhadap keadaan-keadaan sosial yang tidak adil dan bertujuan meniadakan dominasi; 5) gerakan ini juga dapat dilihat sebagai unsur utama dalam proses memperkuat civil society di masa mendatang, khususnya di Toba Samosir. Namun, kesimpulan studi ini ternyata memodifikasi teori-teori gerakan sosial baru sebagaimana yang diajukan para ahli. Sebab, jika para ahli mengatakan bahwa keanggotaan gerakan sosial baru bersifat terbuka tanpa hiraukan latar belakang kelas sosial, etnisitas, politik, maupun agama, temuan-temuan studi ini justru menunjukkan bahwa ikatan kekerabatan dan ikatan kampung halaman di antara mayoritas anggota gerakan ini (yakni Orang Batak) telah berfungsi sebagai "energi" untuk menghimpun dan mempersatukan mereka. Jadi, dalam konteks ini, gerakan sosial baru justru "memanfaatkan" etnisitas Orang Batak demi menumbuhkan spirit perjuangan mereka.

ABSTRACT
This study is an attempt to analyze the New Social Movement in Porsea, Toba Samosir, with People Resistance Movement to Indorayon (period 1983-2000) as a case study. The goals of this study are: 1) to explain the factors caused the emerging of people resistance movement in Porsea, Toba Samosir, to Indorayon; 2) to analyze the political dimension behind the process of building and developing of the new social movement, and its relation with the issues about fairness, equality, human rights, ecosystem, and democratization; 3) to identify the shape of resistance and the model of relationship connected between those resistance movement. The problems of this study are: 1) factors caused the emerging of the people resistance movement in Porsea, Toba Samosir, to Indorayon and the model of relationship between the people movement; 2) factors caused the militancy of their resistance to Indorayon; 3) the power used by people in context of their struggle against Indorayon and the shape of their resistance.
This study based on the concept of ethnic politics and theory of new social movement. This study uses qualitative approach and case study as a research method. Various resources collected data for this study. First, relied on some literatures or documentary information, which are relevant to this study. Second, the field research relied on in-depth interviews with people who involved in people resistance movement to Indorayon. The result of this study tends to show that people resistance movement to Indorayon could be classified as new social movement, because of these reasons: 1) the movement not based on single issue and not only to gain economically fairness; 2) the movement not based on mass power, but they based on people groups and non-government organizations who connected to the others (either people groups and non governments organizations) timely wider; 3) the movement was organized and oriented to the changing of social order as a whole; 4) the movement has a political dimension, as the expression of their protest to the unfair social situations and has a goal to against domination; 5) the movement also could be seen as a main element in the process of strengthening civil society in the future, specially in Toba Samosir. But, the conclusion of this study modified the theories of new social movement accorded by scholars. If the scholars said that the members of new social movement are inclusive (they didn't account on the background of social classes, ethnics, politics, and religions), but in the context of this study, such of background is just accounted, specially the solidarity of extended families and genealogy between the majority of the movement (Orang Batak), who functioned as "energy" to unite them. So, in this study, new social movement "used" the ethnicity of Orang Batak to grow the spirit of their struggle.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D586
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Karimah
"ABSTRAK
‘Aisyiyah merupakan suatu gerakan sosial yang menggunakan bentuk organisasi
dalam mencapai tujuannya. Asumsi utama penelitian ini adalah ‘Aisyiyah gagal
melakukan gerakannya di level grassroot. Pengelolaan sumber daya dan
kegagalan ‘Aisyiyah melakukan framing isu penyantunan anak yatim dan dhuafa
merupakan dua hal yang menyebabkan ‘Aisyiyah gagal melakukan gerakan di
tingkat grassroot. Hal ini dibuktikan melalui penelitian ini yang melihat panti
asuhan sebagai salah satu kegiatan ‘Aisyiyah di tingkat grassroot. Pengelolaan
sumber daya panti asuhan yang tidak baik serta ketidakmampuan ‘Aisyiyah dalam
mem-framing panti asuhan sebagai ikon penyantunan anak yatim dan dhuafa
merupakan cerminan kinerja ‘Aisyiyah di level bawah, meskipun ‘Aisyiyah
membawa nama besar Muhammadiyah.

ABSTRACT
Aisyiyah is a social movement that uses a form of organization in achieving its
goal. The main assumption of this study is ‘Aisyiyah failed to perform at the level
of grassroots. Failure in managing resources and failure in doing framing of the
issue of orphans are two things that cause 'Aisyiyah to fail at grassroots level. This
is proven by this study by seeing orphanage as one of ‘Aisyiyah’s activities at
grassroots level. Bad resource management in the orphanage as well as the
inability of Aisyiyah in framing orphanage as an icon their movement reflects
Aisyiyah at grassroot level, although 'Aisyiyah carries the well-known name of
Muhammadiyah."
2014
S53893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Jamil
"Penelitian ini diharapkan mempunyai signifikansi teoritis pada ranah gerakan sosial dan ranah studi mengenai teori framing. Dari ranah studi gerakan sosial, studi mengenai gerakan sosial selama ini lebih banyak memfokuskan pada aktor dan struktur politik. Keberhasilan dan kegagalan gerakan sosial selalu dikaitkan dengan sumber daya yang dipunyai oleh aktor atau dari sisi struktur kesempatan politik Gerakan sosial sangat jarang dilihat dari perspektif bagaimana aktor-aktor mengemas, mengkonstruksi pesan-pesan politik. Di sini keberhasilan atau kegagalan gerakan sosial dilihat bagaimana aktor mengkonstruksi dan mengemas peristiwa untuk disajikan kepada anggota gerakan dan khalayak luas. Pada titik ini, disiplin ilmu komunikasi bisa memberikan sumbangan dalam memperkaya khasanah studi mengenai gerakan sosial. Pada ranah studi framing, studi selama ini lebih banyak menitikberatkan pada analisis teks. Tetapi teori dan analisis framing jarang dipakai untuk melihat bagaimana seseorang mengkonstruksi, mengemas suatu peristiwa.
Penelitian ini melihat gerakan sosial dalam perspektif framing. Ada dua teori yang dipakai, yakni teori framing dan teori gerakan sosial. Teori framing yang dipakai adalah teori dari Erving Goffman. Bagi Goffman, individu tidak bisa mengerti dunia atau realitas tanpa menghubungkannya dengan pengalaman hidup agar realitas tersebut bisa masuk ke dalam skema pikiran individu. Sementara teori gerakan sosial yang dipakai adalah teori yang dikemukakan oleh William A. Gamson, David A Snow dan Robert D. Banford.Teori gerakan sosial dari William A. Gamson, David A Snow dan Robert D. Banford mempunyai perspektif yang berbeda dengan teori resource mobilization dan kesempatan politik. Jika kedua teori tersebut lebih menitikberatkan pada struktur, maka teori gerakan sosial dalam perspektif framing lebih menekankan pada budaya (kultur).
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Desain studi kasus yang dipakai adalah studi kasus instumental. Kasus dipakai untuk menjelaskan fenomena lebih besar, yakni posisi framing dalam gerakan sosial di Indonesia. Kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah sengketa KPK-Polri Jilid I (2009) dan Jilid II (2012). Penelitian ini dilakukan atas 10 isu atau perdebatan penting kasus sengketa KPK-Polri tahun 2009 dan 2012. Data lapangan dikumpulkan lewat empat teknik, yakni observasi lapangan, wawancara mendalam, studi dokumen dan analisis teks.
Studi ini mengambil kasus sengketa KPK-Polri, baik Jilid I tahun 2009 (kasus Bibit-Chandra) ataupun Jilid II tahun 2012 (kasus simulator SIM). Pada kedua kasus ini, gerakan sosial yang berhasil "menang" adalah pro KPK. Ahliahli gerakan sosial umumnya melihat tiga elemen yang penting dan saling berkaitan, yakni (a)aktor gerakan sosial; (b)media dan (c)khalayak. Aktor gerakan sosial dilihat dalam perspektif framing sebagai pihak yang secara aktif bersaing dan bertarung dalam memperebutkan makna atas peristiwa. Sementara media dilihat sebagai entitas yang berperan dalam menyebarkan frame atas peristiwa sehingga pemaknaan dari masing-masing aktor gerakan sosial bisa tersebar luas ke masyarakat. Sedangkan elemen khalayak berkaitan dengan sumber dukungan dari gerakan sosial. Para ahli umumnya melihat elemen aktor gerakan sosial, media dan khalayak secara linear. Atau secara sederhana dibahasakan dengan: aktor gerakan sosial mempengaruhi media selanjutnya media mempengaruhi khalayak.
Hasil studi ini memperlihatkan, ketiga elemen (aktor gerakan sosial, media dan khalayak) tidak harus digambarkan secara linear. Masing-masing elemen itu pada dasarnya subjek yang mempunyai pemahaman dan penafsiran tersendiri atas peristiwa. Selain tidak linear, hasil studi ini juga memperlihatkan masing-masing elemen juga bisa saling memberikan pengaruh. Frame atas suatu peristiwa itu hasil konstruksi yang dilakukan oleh aktoraktor gerakan sosial. Frame yang muncul atas suatu peristiwa karena itu tidak dipahami sebagai proses alamiah, tetapi dilihat sebagai proses strategik (strategic frame). Proses strategik ini meliputi jembatan frame (frame bridging), penguatan frame (frame amplification), perpanjangan frame (frame extention) hingga transformasi frame (frame transformation). Proses terbentuknya frame dilihat oleh para ahli gerakan sosial lahir dari dinamika tertentu. Aktor gerakan sosial melakukan pendefinisian atas peristiwa. Tetapi proses ini tidak statis karena ketika membentuk frame, aktor gerakan sosial juga menggunakan pemberitaan media dan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.
Media mempunyai keterkaitan dengan gerakan sosial. Media membutuhkan aktor gerakan sosial sebagai sumber berita. Sebaliknya, aktor gerakan sosial membutuhkan media agar pemaknaan mereka atas peristiwa lebih mendominasi pemberitaan media sehingga masyarakat lebih mendukung gerakan mereka. Penelitian ini memperlihatkan tidak ada upaya khusus dari aktor gerakan sosial pro KPK untuk mendekati media. Pandangan jurnalis sendiri sejak awal memang lebih pro terhadap KPK dibandingkan kepolisian, sehingga media lebih banyak memberi tempat kepada versi KPK dibandingkan kepolisian.
Peneliti mengusulkkan suatu model yang melihat keterkaitan antara aktor gerakan sosial, media/jurnalis, frame media dan frame khalayak. Model ini merupakan pengembangan dari model Gamson, Scheufele dan Benford and Snow. Ada dua hal yang membedakan model yang ditawarkan penulis dengan model lain. Pertama, aktor gerakan sosial, khalayak dan media harus dilihat sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas. Jurnalis dan media mengkonstruksi peristiwa, hal yang sama juga aktor gerakan sosial dan khalayak. Khalayak harus dilihat sebagai entitas yang mempunyai pemikiran, keberpihakan dan pada akhirnya secara aktif mengkonstruksi peristiwa. Kedua, aktor gerakan sosial, khalayak dan media, selain dilihat sebagai subjek, juga harus dilihat saling mempengaruhi. Misalnya, keterkaitan antara frame media dengan frame khalayak. Pandangan khalayak kemungkinan bisa dipengaruhi oleh frame yang disajikan dalam pemberitaan media, tetapi pada saat bersamaan media juga mengangkat frame khalayak yang sejak lama antipati terhadap korupsi.

It is hopeful that this study contributes some theoretical significance in the social movement as well as framing studies. In the previous social movement studies, the focuses were more on the actors and political structure;where the success and failure of the social movement were mostly associated with resources owned by the actors or from the perspective of political opportunity. Social movements are very rarely viewed from the perspective of how actors frame, and construct political messages. In this research, the success or failure of social movements is not seen from the resources and opportunity structures owned by the actor, but instead, is viewed from the results of the constructing and framing of the events prior to the publication to members of the movement and to other wider audience. At this point, communication discipline has itscontribution in enriching the study of social movements. The study of framing is usually emphasizing on text analysis and is rarely used to see how people construct and frame an event or phenomena.
The research looked at the social movement using framing perspective. Two theories are used, namely the theory of framing and social movement theory. The framing theory of Erving Goffman is applied in this research. For Goffman, individual cannot understand the world or reality without relating it with one?s life experience, in so doing the reality can then be digested into the mind of the individual. While the social movement theory used is the one proposed by William A. Gamson, David A Snow and Robert D. Banford. In their theory, Gamson et al. proposed a different perspective to the resource mobilization and political opportunities. Both theories are more focused on the structure, while the theory of social movement in framing perspective is more emphasizing on the construction of the message.
This research uses the case study method, i.e.: instrumental case study. A case is used to explain the larger phenomenon, namely the position of framing in social movements in Indonesia. The cases analyzed in this study are the 10 important issues of KPK-POLRI dispute Part I (2009) and Part II (2012). Field data are collected through observation, in-depth interviews, documents review, and text analysis. This study analyzed two parts of KPK-POLRI disputes, i.e.: part I in 2009 in the case of Bibit-Chandra and Part II in 2012 in the case of SIM (Driving License) Simulator case. In both cases, the successful social movements that ?win? is the one pro KPK. Experts in social movements generally look at three interrelated and essential elements, as follows: (a) the social movement actors; (b) the medium; and (c) the populace or audience. The actors of the social movement are viewed as those who are actively competing and fighting over the meaning of events. Media is seen as an entity that plays a role in spreading the frame of the events so that the meaning constructed by each social movement actor can be spread to the community. The audience is associated as the supporting resource of the social movement. The scholars see those three elements (the actor, the media, and the populace) as linear sequence of influence. Simply say: the actor influences the media and further on the media influences the audience. The research findings in this dissertation show otherwise. Those three elements do not necessarily be potrayed as a linear sequence. Thus, each element is basically a subject that has its own understanding and perception on an event. Furthermore, this study suggest that each element can be influencial to each other in a non linear way.
Frame of the event is the result of deliberate construction process performed by actors of social movements. Frame is not understood as a natural process, but is seen as a strategic process (strategic frame). This strategic process includes frame bridging, frame amplification, frame extention to transform frame (frame transformation). The process of forming the frame is seen by scholars of social movements as rooted on a certain dynamics. However, this study shows that social movement actors define the events, andthe process of it is not merely statical as only done by the social movement actors themselves, rather it is a dynamic process involving and using the flourishing news in the media and the perception of the public on that particular issue.
The media is linked with social movements. Media need actors of social movements as a source of news. On the other hand, the social movement actors need the media so that their potrayal of the events can dominate the news in the media, and thus will attract more people to support their movement. However, this study shows that there is no special effort from ?pro KPK? social movement actors (i.e.: the public relations of KPK) to approach or influence the media, in order to put their version of news having more place in the media. From the very beginning, the perception of thejournalists on this issue tend to be ?pro KPK? rather than ?pro POLRI?, and therefore the media give more attention and placement to the ?pro KPK? news. This findings proofs that the success of social movements in the KPK-POLRI disputes, where the news in the media is dominantly show ?pro KPK? is not due to the success of social movement actors in approaching the media, but rather because of the congruence of values between journalists and social movement actors.
Results of this study have implications for theories on the relationship between frames, media and social movements. Researcher proposes a model to potray the connection between the actors of social movements, media / journalists, media frames and audience frames. This model is a development of the model proposed by Gamson, Scheufele, Benford and Snow. There are two things that distinguish the models as offered by authors compared to other models. First, each party (social movement actors, audiences and media) should be seen as a subject that constructs reality. Journalists and media construct events, the same is done by the social movement actors and audiences. Audiences should be seen as an entity that has a thought, alignments and eventually actively construct events. Second, each of the entities (social movement actors, audiences and media) is seen as a subject that can influence and be influenced or be affected by each other. This interconnectedness is evident in this research findings. For example, the relationship between media frame and audience frame. The perception of the audience might be influenced by the frame presented in the news media, however, at the same time, the media also raised the issue of a long time audience frame of against corruption or an antipathy to it.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Rosita Said
"ABSTRAK
Kasus kekerasan seksual di Indonesia meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Namun kondisi ini tidak diikuti oleh perlakuan yang sesuai baik dari pemerintah maupun masyarakat. Para penyintas masih memilih diam daripada melaporkan kasus mereka untuk ditangani lebih lanjut karena takut dianggap sebagai pembawa aib bagi keluarga. Lingkungan yang tidak bersahabat bagi penyintas kekerasan seksual mendorong organisasi nonprofit untuk meluncurkan kampanye sosial anti kekerasan seksual guna memberi dukungan terhadap penyintas kekerasan seksual. Artikel ini mengkaji kampanye anti kekerasan seksual di Indonesia, yaitu kampanye MulaiBicara yang dimulai oleh Lentera Sintas Indonesia dan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 16HAKTP yang diinisiasi oleh Komnas Perempuan sebagai perbandingan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat sedikit perbedaan antara kampanye MulaiBicara dan kampanye 16HAKTP, di mana kampanye MulaiBicara lebih berfokus pada aktivisme media sosial. Meskipun demikian, kedua kampanye dinilai penting sebagai upaya resistensi terhadap proses pembungkaman penyintas kekerasan seksual.

ABSTRACT
The number of sexual violence cases in Indonesia is increasing compared to the previous year. But the situation has not been handled well by the government nor the society. The survivors of sexual violence still choose to be silent about it rather than to report their case to the authority, mostly caused by the fear of being seen as a disgrace to their family. This unfriendly environment for sexual violence survivors encouraged nonprofit organizations to make a move and released anti sexual violence social campign in hope it will give some support to the survivors. This article examines anti sexual violence social campaign in Indonesia, MulaiBicara that was started by Lentera Sintas Indonesia and 16 Days of Activism Against Gender Violence 16HAKTP which was initiated by National Commission on Violence Against Women as comparison. The result shows that there are a few differences between two campaigns, where the former is more focused on their social media activism. However, both MulaiBicara and 16HAKTP are important as they show resistance attempt of the sexual violence survivor to the silencing process."
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Haerdeswari
"ABSTRAK
Hasil-hasil studi sebelumnya mengenai gerakan sosial menunjukan bahwa kekuatan jaringan di dalam gerakan sosial merupakan suatu hal yang penting untuk mencapai tujuan gerakan. Namun, ada hal lain yang sama pentingnya tidak dibahas dalam studi sebelumnya dan studi ini bermaksud untuk melengkapi kekurangan tersebut. Argumen yang berusaha dibangun di dalam studi ini adalah bahwa di dalam mencapai tujuan gerakan, kekuatan jaringan perlu dimobilisasi agar jaringan yang dimiliki oleh gerakan menjadi lebih efektif. Studi ini bermaksud untuk mengamati bagaimana Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia GMNI memobilisasi kekuatan jaringan yang dimiliki untuk mencapai tujuan dari gerakan yaitu menolak eksplorasi panas bumi di Gunung Ciremai. Melalui perspektif sosiologi, penulis akan menggunakan konsep mobilisasi sumber daya untuk menjelaskan pembangunan kekuatan jaringan didalam gerakan sosial tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititatif dengan metode studi kasus dan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam.

ABSTRACT
The results of previous studies on social movements show that the power of networks in the social movement is an important thing to achieve goals of the movement. However, there is something equally important not addressed in previous studies and this study intends to completing the deficiency. The argument attempted to build on this study is that in achieving the goals of the movement, the power of the network needs to be mobilized so that networks owned by the movement become more effective. This study intends to observe how the Indonesian National Student Movement GMNI mobilizes the power of its network to achieve the objective of the movement to refuse geothermal exploration in Mount Ciremai. From the perspective of sociology, the author will use the concept of resource mobilization to explain the development of network power within the social movement. This research uses qualitative approach with case study method and using data collection technique through in depth interview."
2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Harish Syaevian
"Penelitian ini membahas strategi mobilisasi gerakan gejayan memanggil I yang terbentuk dari kesadaran politik yang tumbuh di kalangan mahasiswa Yogyakarta dalam merespon rancangan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR RI melalui beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dinilai melindungi kelompok Oligarki di Indonesia untuk dapat lebih bebas berkuasa dengan di sisi lain mengorbankan hak-hak masyarakat umum dalam negara demokrasi Republik Indonesia ini. Gerakan Gejayan Memanggil I merupakan sebuah gerakan sosial yang tercermin dari karakteristik gerakan tersebut yang bertujuan mempertahankan substansi dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan bagi masyarakat pada umumnya, penggunaan media sosial sebagai salah satu strategi mobilisasi gerakan. Strategi mobilisasi massa yang diterapkan pada Gerakan Gejayan Memanggil I diawali dengan mengevaluasi origins atau asal usul latar belakang gerakan tersebut, lanjut ke tahap protest atau aksi damai dengan memberikan 7 tuntutan kepada Pemerintah, dan diakhiri dengan outcome atau apa yang dihasilkan dari gerakan gejayan tersebut dan respon dari Pemerintah.

This research discusses the mobilization strategy of the Gejayan Memanggil I movement which is formed from the growing political awareness among Yogyakarta college students in response to the draft policy made by the Government and the House of Representatives through several Bills (RUU) that are considered to protect the Oligarchy group in Indonesia to be able to be more free to rule by on the other hand sacrificing the rights of the people in this democracy country of Republic of Indonesia. Gejayan Memanggil I movement is a social movement that reflected in the characteristics of the movement aimed at maintaining substance and protecting human values for society in general, the use of social media as one of the movement's mobilization strategies is also a characteristic of a social movement. The mass mobilization strategy applied to the Gejayan Memanggil I Movement begins by evaluating the origins or origins of the movement's background, continuing to the stage of protest or peaceful movement by giving 7 demands to the Government, and ending with the outcome or what results from the Gejayan Memanggil movement and the response from the Government."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>