Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3495 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Swartz, David
Chicago: The University of Chicago Press, 1997
301.019 SWA c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Swartz, Marc J.
New York: John Wiley & Sons, 1980
301 SWA a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Swartz, Marc J.
New York: John Wiley & Sons, 1980
301 SWA a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dwizatmiko
"Pierre Bourdieu, dalam bukunya, Language and Symbolic Power, menunjukkan bahwa bahasa merupakan instrumen simbolik yang berhubungan dengan kekuasaan. Praktik bahasa dihasilkan oleh habitus dan selalu terjadi dalam arena berkesenjangan sosial. Bahasa sebagai praktik sosial berkaitan erat dengan kepentingan, dan pertarungan kekuasaan. Bahasa bukanlah medium yang bebas nilai dalam mengkonstruksi realitas. Bahasa sebagai satu bagian dari instrumen simbolik berperan bagi sarana praktik kekuasaan yang memungkinkan dominasi dan kuasa simbolik. Kuasa simbolik ialah kuasa yang tak nampak dengan mensyaratkan salah pengenalan (ketidaksadaran) pihak yang menjadi sasaran. Namun, kondisi kesadaran dan ketidaksadaran dapat terjadi bagi sang aktor dalam menjalankan praktik kekuasaan tersebut.

Pierre Bourdieu, in Language and Symbolic Power, argues that language is a symbolic instrument relate to power. Practice of language (utterence) produced by habitus and occurs in fields. Language as social practices relates to interests, and battle or struggle for power. Language is not value-free medium for constructing realities. Language as a part of symbolic instrumen roles as power_s main instrument to gain domination and symbolic power. Symbolic power is invisible power which can be exercised only with the complicity of those who misrecognition (unconsciousness) that they are subject to it. However, unconsciousness and consciousness both possible condition for actors.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S15987
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Stephen Pratama
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan terjadinya kekerasan simbolis terhadap peserta didik miskin melalui pengajaran Bahasa Inggris. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil kasus di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Kerangka pemikiran Pierre Bourdieu menjadi dasar untuk melakukan analisis atas temuan penelitian. Untuk memperoleh data temuan, maka penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik miskin tidak memiliki kapital budaya dan habitus yang sesuai dengan tuntutan dalam mata pelajaran Bahasa Inggris di arena pendidikan. Mereka mengalami kekerasan simbolis karena dipaksa untuk menguasai Bahasa Inggris yang melampaui kapasitas mereka lalu mengalami kegagalan berulang kali dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Kekerasan simbolis yang terjadi beroperasi melalui enam elemen, yakni Sistem Pendidikan, Otoritas Sekolah, Aksi Pedagogis, Praktik Persekolahan, Praktik Pedagogis, dan Otoritas Pedagogis.

This research aims to describe symbolic violence towards poor students through english teaching. Therefore this research took place at a Junior High School in Jakarta where the case was located. This research utilized Pierre Bourdieu's framework of thought to analyze all research findings. To gather all data this research used qualitative method with case study model. This research found that poor students don't have enough cultural capital and suitable habitus to adjust to the standard of English Subject at the field of education. They experienced a symbolic violence because they were imposed to reach the standard of English that exceeded their capacity which was the source of their recuring failure. Symbolic violence occured through six elements that are Educational System, School Authority, Pedagogic Action, Work of Schooling, Pedagogic Work, and Pedagogic Authority.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Williams, Raymond
Chicago: The University of Chicago Press, , 1995
306 WIL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Swartz, Marc J.
New York : Wiley, 1976
301.2 SWA a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suma Riella Rusdiarti
"Bourdieu memberikan pemaknaan baru pada banyak konsep-konsep filsafat sosial sebelumnya. Tidak sekedar memberi makna baru, tetapi juga melalui pengolahan kembali, Bourdieu meletakkan konsep-konsep tersebut di atas konteks sosial yang baru pula, Hal itu juga yang dilakukan Bourdieu ketika membahas bahasa. Berbeda dengan perdebatan-perdebatan bahasa sebelumnya, yang lebih menekankan pada makna, hakikat, dan logika bahasa, maka Bourdieu mengembangkan lebih lanjut karakter sosial bahasa yang telah lebih dulu diangkat ke perrnukaan oleh Wittgenstein dengan language game-nya. Bourdieu mengkritik pendapat Ferdinand de Saussure yang lebih memusatkan perhatiannya pada analisa semiotik dengan dikotominya langue dan parole. Bourdieu juga berbeda dari Levi-Strauss atau Roland Barthes yang meminjam terminologi linguistik dan menerapkannya pada berbagai fenomena kebudayaan, seperti mitos atau fenomena sosial, seperti iklan, komik, atau mode.
Bagi Bourdieu, pertama, bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah kemampuan khas manusia yang didapat dari pengalaman empirisnya berhubungan dengan manusia lain. Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan kapital simbolik, karena melalui bahasalah pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat dilakukan oleh manusia. Penguasaan yang canggih atas bahasa, memungkinkan seseorang memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam pertarungan sosial.
Kedua, bahasa adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks. Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja sebagai sesuatu yang steril, tetapi merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus linguistik yang dimiliki pelaku sosial. Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah konsep, maka bukan kata atau konsep itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi, nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu juga kita bawa, sadar atau tidak. Maka bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya dengan kepentingan. Bagi Bourdieu, semua praktik sosial memiliki "pamrih" meskipun pelaku sosial terkadang tidak menyadarinya dan meskipun praktik ini jauh dari keuntungan materi sekalipun.
Ketiga, bahasa erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan. Bourdieu adalah intelektual yang selalu melihat interaksi sosial di dalam arus dominasi dan pertarungan. Pertarungan dalam pemikiran Bourdieu bukanlah pertarungan hobbesian atau darwinis yang lebih mengarah pada tindakan bertahan hidup atau survive, tetapi lebih dari itu. Pertarungan Bourdieu adalah pertarungan yang membuat manusia lebih berarti yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, bukan hanya sekedar keuntungan material tetapi juga keuntungan yang bersifat simbolik. Di dalam pertarungan inilah, ditentukan identitas individu dan sosial, juga kekuasaan simbolik, yaitu tercapainya kapital simbolik kehormatan dan mendapatkan pengakuan atas posisinya di dalam hirarki sosial. Kapital simbolik dan kekuasaan simbolik sangat penting, karena dengan memilikinya maka kita memiliki legitimasi untuk menentukan wacana kita sendiri yang artinya menentukan aturan permainan kita sendiri.
Bahasa memiliki peran yang sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan. Mekanisme penyembunyian atau mecornraissance inilah yang oleh Bourdieu di sebut sebagai kekerasan simbolik yang dilakukan dengan cara eufemisasi dan sensorisasi. Les mots ne sont jamais innocents. Selalu ada sesuatu di balik kata-kata. Kesadaran akan hal itu akan membantu kita untuk tetap kritis, selalu mempertanyakan wacana-wacana dominan yang secara sadar atau tidak ternyata telah kita terima sebagai sesuatu yang seakan-akan terberi, atau seakan-akan memang seharusnya demikian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11224
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Eka Qamara Yulianthy Dewi Hakim
"Walaupun nilai-nilai dalam kesenian-kesenian daerah lazimnya bersifat sakral namun pada prakteknya mengalami perubahan dengan adanya arus globalisasi dan logika pasar. Hal ini mendorong para pelaku seni berupaya menghadapi masa transisi dengan melakukan strategi-strategi adaptasi untuk bisa bertahan hidup.
Studi ini tentang Tingkilan. Beberapa pertanyaan pokok yang hendak dijawab Pertama, bagaimana para pelaku musik Tingkilan memaknai karya-karya musik mereka sepanjang perkembangan Tingkilan? Kedua, bagaimana kaitan antara adat, logika pasar dan kekerasan simbolik? Ketiga, kekerasan simbolik yang bagaimanakah yang membuat para pelaku musik Tingkilan berstrategi dalam menjaga kontinuitas musiknya?
Konsep-konsep yang digunakan dan muncul dalam temuan lapangan serta berkaitan adalah secara teoritis : adat, logika pasar, dan kekerasan simboIik. Sedangkan istilah "modern", "tradisional" dan sindiran bagi masyarakat Kutai tidaklah sama dengan istilah yang sebelumnya ada. Penelitian ini dimaksudkan melakukan tinjauan analisis konseptual teori yang digunakan oleh Bourdieu dan logika pasar. Walaupun konsep teori Bourdieu banyak dikritik mengenai keberadaannya di tengah dikotomi subyektivisme dan objektivisme, namun dalam konteks Tingkilan konsep teori ini relevan dan tidak secara keseluruhan serta disesuaikan dengan temuan lapangan.
Kutai Kartanegara merupakan lokasi penelitian di mana Tingkilan terbagi atas tiga wilayah dan jenis kebudayaan. Waktu penelitian selama 5 bulan : Juni-November 2004 dan menggunakan pendekatan kualitatif bersifat deskriptif. Peneliti mempunyai peran utama sebagai instrumen kunci dalam penelitian, akan tetapi untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam melakukan pembahasan dan analisis, peneliti dikontrol oleh batasan landasan teori, dan memperhatikan hasil-hasil penelitian sejenis. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam, diskusi interaktif dengan informan dan melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek yang diteliti. Analisis data dilakukan dimulai dengan membaca, menelaah dan menganalisis data yang diperoleh, dari berbagai sumber atau informasi baik melalui wawancara, dialog interaktif, observasi maupun dokumen/rekaman hingga pada tahap triangulasi. Mengingat budaya tradisi Iisan maka analisis struktur musik menggunakan pendekatan analisis musik Barat.
Kekerasan simbolik yang dilihat scbagai kesadaran palsu bagi kognitif individu-individu karena meluasnya kekuasaan simbolik yang berjalan dengan halusnya dan melihatnya sebagai sesuatu yang wajar. Inilah yang dinamakan doxa, "kebenaran" yang diterima akal sehat inilah yang menjadi hal yang lumrah menuju mekanisme budaya bersama. Tradisi yang menjadi bagian kebudayaan, Tingkilan menjadi bagian kebudayaan Kutai Kartanegara memiliki 3 jenis Tingkilan mengikuti 3 jenis kebudayaan di Kutai Kartanegara. Social claim, pemberian mama atas "tradisional" dan "modern" tersebut dilakukan setelah adanya keberadaan kelompok "modern".
Cara pandang para pelaku musik Tingkilan adalah berpijak pada kekinian terlebih dahulu barulah membandingkan dengan masa lalu, dengan berkaca pada modern memunculkan tradisional. Kekuatan bertahannya para pelaku musik Tingkilan adalah legitimasi adat yang menjadi legitimasi kekuasaan untuk menunjukkan kekuasaan simbolik. Walaupun Tingkilan "tradisional" dan "modern" bersisian namun sehenarnya terjadi pertarungan secara simbolik. Pada pelaksanaannya dikenal dengan kekerasan simbolik. "Tradisional" memiliki legitimasi adat dan pantun spontanitasnya, "modern" menciptakan legitimasi adat baru dengan kekuatan bahasa Kutai dalam liriknya. Kaitan antara adat, logika pasar dan kekerasan simbolik adalah adat merupakan kebudayaan masyarakat di Indonesia termasuk Kutai yang masih dipegang teguh. Adanya globalisasi dengan strategi kaum kapitalis (neoliberalisme) menjanjikan kesejahteraan sosial terhadap negara-negara dunia ketiga dan menanamkan kekuasaan simboliknya yaitu kekuatan pasar di benak masyarakat sehingga membudaya. Jadi, dalam menghadapi globalisasi dan Iogika pasar, Tingkilan "tradisional" dan Tingkilan "modern" sama-sama telah mengalami dan melakukan kekerasan simbolik di dalam mempertahankan keberadaan musik Tingkilan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bangun Sentosa D. Haryanto
"This descriptive paper is based on a research in Madura, Indonesia, in 2014. The research data was mostly through indepth
qualitative interviews and direct observation that have been developed into ethnographic case study. These
methods were informed by a methodological approach derived from the ‘structural constructivism’ of Pierre Bourdieu.
The main concept of “dukun” (supernatural/magic service providers) of Clifford Geertz was employed to theorize the
findings and frame the argument. Within eight-month research period in Madura, I interviewed 19 dukuns and describe
them using pseudo-names. Madura’s dukun phenomenon demonstrates that magic is undoubtedly one of the main
strategic resources available for mobilization in Madura to gain social/economical and political standing within society.
Moreover, due to the fact that Madura is known as one of the most devoted Islamic Area Strictestin Indonesia, it is
important to find out how dukuns’ magical ability actually comes into being and is performed.
Artikel deskriptif ini didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2014 di Madura, Indonesia. Sebagian
besar data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam secara kualitatif dan observasi langsung yang terkemas
dalam kerangka etnografi studi kasus. Metode-metode yang dipergunakan diarahkan pada pendekatan metodologi
Structural Constructivism yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Konsep utama mengenai Dukun yang dipaparkan
oleh Clifford Geertz diberdayakan untuk mengarahkan proses teorisasi dari penemuan-penemuan yang diperoleh serta
membingkai argumen. Penelitian dilaksanakan sekitar delapan bulan di 4 (empat) Kabupaten di Pulau Madura dan
dalam artikel ini 19 (sembilan belas) dukun yang diwawancarai dipaparkan dengan menggunakan nama samaran.
Berkaitan dengan fenomena Dukun Madura, ditemukan bahwa magi—bagaimanapun—merupakan salah satu sumber
strategis utama untuk meningkatkan strata sosial ekonomi dan politik dalam masyarakat. Fakta lain yang bertentangan
dengan eksistensi magi tersebut adalah bahwa Madura dikenal sebagai salah satu pulau dengan mayoritas masyarakat
Muslim taat di Indonesia. Fakta ini merupakan problematika akademik yang menarik untuk disingkap untuk mengetahui
bagaimana kemampuan magi dari dukun-dukun tersebut muncul dan diwujudkan dalam masyarakat."
Universitas Trunojoyo. Department of Sociology, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>