Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86007 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Maisura
"Penelitian ini bertujuan menggambarkan anger style yang dimiliki remaja yang pernah mengalami child abuse. Anger style adalah cara seseorang mengkomunikasikan kemarahan yang ia miliki pada orang lain. Pembentukan anger style dipengaruhi oleh pengalaman, situasi dan lingkungan remaja. Anger style remaja juga dipengaruhi dari observasi dan hasil belajar yang terus-menerus dari pola asuh orangtua. Remaja yang pernah mengalami child abuse akan mempelajari tingkah laku pelaku abuse yang menggunakan kekerasan sebagai solusi permasalahan. Hal ini mengarah pada akibat negatif yaitu remaja yang pernah mengalami child abuse cenderung mengembangkan anger style yang merugikan dirinya dan lingkungan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa partisipan yang diwawancarai memiliki anger style yang berpotensi merugikan dirinya dan lingkungan dengan variasinya masing-masing.

This research focusing about anger style in adolescence who had experiencing child abuse. Anger style is a way people communicate their anger to others. The shaping of anger style was influenced by adolescence experience, situation and environment. Anger style in adolescence was also influenced by observation and the continuation of learning form parenting style. Adolescence who had experiencing child abuse tend to learn the behavior of perpetrator who used violence to solve problems. This will lead to negative impact such as adolescence who have experienced child abuse tend to develop anger style that can damage them and people around them. This research is qualitative research with descriptive design. The result of research showed that participants who had been interviewed had developing anger style that can potentially damage him or herself and society.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
362.76 RIZ a
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Widianti
"Dodge, Bates & Petit (dalam Berns, 1997) mengatakan bahwa abuse dan neglect memiliki dampak bagi perkembangan selanjutnya berupa tingkah laku agresif dan masalah emosional atau psikologis. Penelitian membuktikan bahwa maltreatment pada masa anak-anak memiliki dampak yang jauh hingga masa dewasa (Starr dalam Bern, 1997). Dari hasil-hasil penelitian mengenai child abuse tersebut dan yang lainnya kemudian peneliti tertarik untuk melihat kondisi psikologis seorang dewasa muda yang pernah mengalami child abuse.
Untuk melihatnya peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1995) yang mengatakan bahwa untuk menjadi baik secara pikologis seseorang harus dapat menerima dirinya, adanya penguasaan lingkungan, otonomi, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup dan merasakan pertumbuhan diri. Dan akhirnya permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan menjadi: bagaimana gambaran psychological well-being dewasa muda yang pernah mengalami child abuse serta faktor-faktor apa yang berperan? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus.
Subjek dalam penelitian ini sebanyak 3 orang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi. Dan analisa yang dilakukan adalah analisa intra dan antar kasus. Dari penelitian ini diketahui bahwa pada dimensi penerimaan diri P dan R tidak dapat menerima beberapa aspek negatif pada dirinya dan ingin mengubah beberapa diantaranya, sedangkan Q hanya ingin mengubah satu aspek negatif pada dirinya.
Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain P dan R sering memiliki masalah dan hambatan karena beberapa sifatnya, Q merasa sulit bersosialisasi. Dan ketiganya sulit terbuka terhadap orang lain. Perkosaan pada R membuatnya trauma terhadap laki-laki. Abuse yang diterima P pun menjadikannya memiliki masalah dan hambatan dalam menjalin hubungan dengan laki-laki.
Pada dimensi otonomi P membutuhkan orang lain untuk menemani dan membantunya memecahkan permasalahan-permasalahan dan mengevaluasi diri berdasarkan penilaian orang lain. Q dan R tidak tergantung pada orang lain dan mengevaluasi diri berdasarkan standarnya sendiri. Pada R kecuali terhadap pacarnya ia merasakan ketergantungan dan membiarkan dirinya diatur.
Pada dimensi penguasaan lingkungan P melakukan berbagai reaksi ketika mengalami abuse, dari hanya berdiam diri dan berhayal hingga mengikuti kegiatan di luar sekolah/kuliahnya, namun aktivitasnya tersebut sering terganggu karena kesensitifannya, begitu pula aktivitas di sekolah/kuliahnya. Q mengikuti kegiatan di luar sekolah/kuliahnya, aktivitas di sekolah/kuliahnya tidak mengalami masalah. R tidak pernah mengikuti kegiatan di luar sekolah/kerjanya karena selalu merasa bahwa dirinya berada pada tempat yang tidak tepat.
Pada dimensi tujuan hidup ketiga subjek dapat mengambil pelajaran dari abuse yang dialaminya dan ingin memperbaiki kehidupannya di masa yang akan datang. Namun P terkadang merasa putus asa hingga beberapa kali mencoba bunuh diri.
Pada dimensi pertumbuhan pribadi ketiga subjek menyadari potensi-potensi dirinya, berusaha untuk mengaktualisasikannya dan mengalami pertumbuhan pribadi. Faktor-faktor yang berperan pada dimensi penerimaan diri: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian.
Pada dimensi hubungan positif dengan orang lain: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian.
Pada dimensi otonomi: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian.
Pada dimensi penguasaan lingkungan: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada P dan R ditambah dengan faktor keberagamaan.
Pada dimensi tujuan hidup: dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup dan variabel kepribadian. Pada Q ditambah dengan faktor keberagamaan.
Pada dimensi pertumbuhan pribadi: dukungan sosial dan evaluasi terhadap pengalaman hidup. Pada Q ditambah dengan faktor keberagamaan. Dari hasil penelitian yang didapat maka ada beberapa saran yan dapat diberikan. Pertama, perluasan informasi mengenai child abuse. Kedua, membuka pusat-pusat rehabilitasi bagi korban child buse. Ketiga, meningkatkan kepedulian sosial."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Sonniaty Natalya
"Istilah Child Abuse sering diartikan sebagai perlakuan salah terhadap anak, kekerasan terhadap anak, kejahaian terhadap anak atau penganiayaan dan penelantaran (Child abuse and Neglect). Dalam tesis ini seringkali istilah-istilah tersebut dipergunakan secara bergantian.
Child abuse seringkali terjadi karena adanya anggapan bahwa anak merupakan bagian dari keluarga, sehingga hal tersebut merupakan masalah intern keluarga. Disisi lain, anak juga merupakan anggota dari masyarakat dan sebagai anggota, anak tergolong lemah baik dari segi fisik maupun dalam pemenuhan haknya. Sehubungan dengan hal itu, anak selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik dengan memenuhi berbagai kebutuhannya, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial. Pada kenyataannya masih banyak warga masyarakat belum menyadari tentang hal tersebut, sehingga anak juga mendapatkan perlakuan buruk dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Kondisi ini menimbulkan dampak pada anak sehingga memerlukan perhatian dan penanganan yang serius.
Tesis ini bertujuan untuk mengctahui gambaran tentang dampak yang ditimbulkan pada anak yang mengalami peristiwa perlakuan salah baik terhadap aspek fisik, psikis maupnm sosial. Fenomena ini diambil karena child abuse dalam bentuk kekerasan terhadap anak mempakan masalah yang semakin marak Menumt data dari Yayasan Kesejahteran Angk Indonesia (YKAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) setiap tahun kasus child abuse ini mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas, ironisnya kesiapan dari segi sarana dan prasarana untuk membantu para korban masih sangat terbatas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualilatif dengan metode lebih ditekankan pada verstehen, yaitu memberi penekanan interpretatif terhadap pemahaman informan penelitian Pemilihan informan dilakukan dengan non probability sampling yang meliputi keluarga korban, staf dan pendamping dari lembaga yang menangani korban, psikolog yang ditunjuk oleh lembaga untuk menangani korban serta guru korban. Untuk mengumpulkan data dari penelitian ini digunakan teknik ?indepth interview observasi partisipan dan studi dokumentasi. Ketiga teknik ini digunakan untuk saling melengkapi sehingga dapat mengungkap realitas sosial dari berbagai jawaban informan.
Hasil penelitian memmjukkan bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh informan adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis/emosional serta penelantaran fisik dan psikis/ emosional. Masing-masing informan menunjukkan indikator terhadap terjadinya semua bentuk 'child abuse tersebut diantaranya memar, biru pada bagian tubuh tertentu,kekurangan gizi,pakaian lusuh dan kotor dan lain-lain. Faktonfaktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap informan dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu faktor keluarga, faktor anak,faktor budaya,dan faktor sosial. Untuk kasus kekerasan seksual, kedua keluarga informan sudah melakukan langkah yang tepat dan cepat yaitu melaporkan kejadian tersebut ke ketua RT dan selanjutnya ke kepolisian. Sementara untuk kasus kekerasan fisik, hanya keluarga dari salah satu informan yang melaporkan sedangkan informan yang lain tidak. Kondisi ini terjadi karena masih ada anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan bagian dari pendisiplinan sehingga wajar dilakukan. Pada umumnya kasus kekerasan fisik diikuti dengan kekerasan dan penelantaran psikis/emosional dan ini pun dialami oleh kedua informan Sedangkan untuk kasus penelantaran fisik, kondisi sosial ekonomi yang rendah menjadi alasan.
Kedua informan dalam penelitian ini mengalami semua bentuk child abuse yang menimbulkan dampak baik pada aspek fisik, psikis dan juga sosial. Untuk dampak fisik dari kasus kekerasan seksual tidak begitu memprihatinkan karena yang terjadi adalah pencabulan dan menimbulkan Iuka luar saja. Begitu juga dengan dampak fisik dari kekerasan fisik yang tidak banyak meninggalkan bekas dan seiring waktu telah hilang. Kondisi yang sangat memprihatinkan adalah dampak psikis/emosional dan sosial dari perlakuan salah tersebut. Walaupun tidak meninggalkan bekas seperti Iuka fisik tapi untuk waktu sekarang ini sudah terlihat dari gangguan atau penyimpangan perilaku informan. Perilaku seperti berbohong,mencuri, kabur dari rumah, cara bicara dan sikap yang kasar, telah tampak pada salah satu informan. Beberapa upaya seperti terapi bermain, konseling, supporting group yang telah dilakukan selama 2 tahun untuk membantu pemulihan informan, tidaklah cukup untuk dapat memulihkan khususnya kondisi psikis dan sosialnya. Ini menunjukkan bahwa proses pemulihan dari dampak ini memerlukan waktu yang cukup lama. Penanganan secara komprehensif sangat dibutuhkan, khususnya dalam kasus seperti yang dialami oleh ke dua infonnan. Apabila hal ini tidak dilakukan maka untuk jangka panjangnya akan menimbulkan masalah yang lebih serius lagi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanan Tsabitah
"Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan tahun 2013 Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan pada anak. Dari 3.023 laporan pelanggaran hak anak yang diterima oleh Komnas PA pada tahun 2013, 1.620 di antaranya merupakan kasus kekerasan. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan karakteristik pada masing-masing jenis kekerasan pada anak (fisik, psikis, seksual, dan penelantaran) di Indonesia berdasarkan sosiodemografi korban (usia, jenis kelamin, pendidikan, sosial ekonomi), hubungan korban dengan pelaku, dan wilayah terjadinya kekerasan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional dengan menggunakan data kekerasan pada anak yang telah dikumpulkan oleh Komnas PA selama tahun 2013.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik pada masing-masing jenis kekerasan yang diteliti (kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran). Kekerasan fisik didominasi oleh anak laki-laki usia 13-17 tahun dengan status sosial ekonomi menengah dan dilakukan oleh orang tua kandung. Sementara kekerasan psikis lebih banyak dialami oleh anak perempuan usia 13-17 tahun dengan status sosial ekonomi menengah dan dilakukan oleh orang lain. Kekerasan seksual didominasi oleh anak perempuan usia 13-17 tahun dengan status sosial ekonomi bawah dan dilakukan oleh orang lain.
Penelantaran anak lebih banyak terjadi pada anak laki-laki usia di bawah 5 tahun dengan status sosial ekonomi bawah dan dilakukan oleh orang tua kandung. Anak laki-laki memiliki risiko jauh lebih besar mengalami kekerasan fisik dibandingkan anak perempuan (OR=15). Selain itu, anak-anak dari keluarga dengan sosial ekonomi bawah dan menengah memiliki risiko jauh lebih besar mengalami kekerasan seksual dibandingkan anak-anak dari keluarga dengan sosial ekonomi atas (OR=15 dan 6,5). Anak-anak kelompok usia 6-12 tahun memiliki risiko lebih besar mengalami penelantaran dibandingkan anak-anak dengan usia yang lebih tua (13-17 tahun) (OR=6).

National Commission for Child Protection (NCCP) stated that in 2013 Indonesia was in the emergency state of child abuse. 1.620 out of 3.023 reports received by NCCP in 2013 about child's right violation are cases of child abuse. This research aims to study the characteristic distinction in each type of child abuses (physically, psychologically, sexually, and negligence) in Indonesia, based on victim's sociodemographic background (age, gender, education and socioeconomic status), the relation between a victim and a suspect, and the location child abuse take place. This research used a cross sectional method, using NCCP data on child abuse in 2013.
The result of this research shows that there are differences in characteristic of each type of child abuse (physically, psychologically, sexually, and negligence). Physical abuses are happened the most to boys from a family with middle socioeconomic status, 13-17 years old, and committed by their own parents.Meanwhile, psychological abuses are happened the most to girls from a family with middle socioeconomic status, 13-17 years old, and committed by strangers. Sexual abuses are happened the most to girls from a family with low socioeconomic status, 13-17 years old, and committed by strangers.
Child neglects are happened the most to boys from a family with low socioeconomic status, under 5 years old, and committed by their own parents. Boys have a higher risk to experience physical abuses than girls (OR=15). Furthermore, children from a family with low socioeconomic status have a higher risk to experience sexual abuses than children from a family with high socioeconomic status (OR=15 and 6.5). Six to twelve years old children has a higher risk to experience child neglect compared to children in older age (13-17 years old (OR= 6).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S61551
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagong Suyanto
Surabaya: Airlangga University Press, 2002
362.76 BAG k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Merrick, Dave
London: Routledge, 1996
362.76 MER s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pilgrim, David
"Child sexual abuse is a major public policy challenge. Many child protection measures were beginning to reduce its occurrence. However, that progress was impeded by online grooming, the downloading of indecent images of children and even their abuse online in real time. This now places major demands on national and international policing. The book brings together groundbreaking case studies from a wide range of settings. As well as family members and those near the home, offenders can also be found in religious, sporting and childcare settings.
This extensive picture is drawn deliberately in order to highlight a split in the academic analysis of child sexual abuse. The mainstream or orthodox view, defended by the author, is that child sexual abuse is an under-reported crime. However, a minority view, presented but criticised, is that it is a moral panic created by public hysteria, child protection experts and campaigning politicians. By the end of the book, this division of academic opinion and its implications for public policy are explored in detail.
The book is essential reading for anyone interested in preventing child sexual abuse and the dilemmas of responding to both victims and perpetrators. It will be of particular use to practitioners in social work, the police and in the mental health professions."
Londan: Routledge, 2018
e20529043
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Hobbs, Christopher J.
London: W.B. Saunders , 2001
R 362.76 HOB p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Chicago: University of Chicago Press, 1980
362.71 BAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Azzam Rabbani
"Profesi guru dianggap sebagai profesi terhormat yang menjalankan tugas mulia untuk membimbing dan melindungi anak selama proses pendidikan. Sayangnya, seorang guru yang telah dipercaya untuk menjalankan tugas penting tersebut justru dapat melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap siswa seringkali melibatkan penggunaan grooming untuk dapat memanipulasi siswa ke dalam tindakan seksual dan mempertahankan kerahasiaan. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko anak terhadap guru yang menggunakan grooming untuk melakukan kekerasan seksual. Studi ini menggunakan analisis data sekunder dari 40 kasus berita yang bersumber dari media daring di Indonesia selama periode Januari 2016 hingga Mei 2021. Penulis melakukan criminal profiling untuk menggambarkan profil guru pelaku kekerasan seksual, profil siswa yang menjadi korban, metode grooming yang digunakan pelaku, dan bentuk kekerasan seksual. Analisis bivariat juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara beberapa variabel independen dengan metode grooming dan tingkat kekerasan seksual sebagai variabel dependen. Hasil profiling kemudian dimasukkan ke dalam kerangka kerja Social Ecological Model SEM) untuk mengidentifikasi faktor risiko anak. Studi ini menemukan bahwa guru dapat menggunakan pemberian perhatian, pemberian suap, atau penggunaan paksaan sebagai metode grooming. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa jenis sekolah korban dan intensitas kekerasan seksual grooming. Jenis kelamin korban, jenjang pendidikan korban, dan jumlah korban memiliki hubungan signifikan dengan tingkat kekerasan seksual. Selain itu, faktor risiko anak terhadap kekerasan seksual oleh guru dapat diidentifikasi dari keempat tingkat SEM, yang dalam studi ini berupa individu, hubungan (dengan guru dan keluarga), komunitas (sekolah), dan masyarakat (kebijakan pendidikan dan konstruksi sosial anak).

Teacher is considered as an honorable profession that carries out a noble task to guide and protect children during the educational process. Unfortunately, a teacher who has been trusted to carry out this important task on the contrary can commit sexual abuse against children. Teacher sexual misconduct against students often involves the use of grooming to manipulate students into sexual acts and maintain secrecy. The purpose of this study was to identify the child risk factors against teachers who use grooming to commit sexual abuse. This study uses secondary data analysis from 40 news cases sourced from online media in Indonesia during the period of January 2016 to May 2021. The author conducts criminal profiling to describe the profiles of teachers who perpetrate sexual abuse, profiles of students who being victimized, grooming methods used by perpetrators, and forms of sexual abuse. Bivariate analysis was also conducted to determine the relationship between several independent variables with the grooming method and the level of sexual abuse as the dependent variable. The results of the profiling are then applied into the Social Ecological Model (SEM) framework to identify child risk factors. This study found that teachers may use attention giving, bribery, or the use of coercion as grooming methods. The crosstabulation results show that the type of school of the victim and the intensity of sexual abuse have a significant relationship with the grooming method. The sex of the victim, victim’s education level, and the number of victims have a significant relationship with the level of sexual abuse. In addition, child risk factors for teacher sexual misconduct can be identified from the four levels of the SEM, which in this study are individual, relationship (with teachers and families), community (school), and society (education policy and social construction of childhood)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>