Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186971 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachmat Harris Firmansyah
"Penelitian tentang pembakaran yang hemat, bersih dan stabil berkembang ke dua arah yang berbeda yakni menjaga stabilitas nyala api dengan mengembalikan kondisi lift-off atau nyala api menjauhi ujung burner dan sebaliknya tetap menjaga kestabilan nyala jauh dari ujung burner. Penelitian yang akan dilakukan adalah pada arah menjaga kestabilan nyala jauh dari ujung burner dengan memasang ring. Sebelum nyala api berada pada ring timbul fenomena yang belum banyak diteliti yakni lift-up. Sehingga nyala api di ring pada jarak tertentu dari ujung burner dapat disebut flame lift-up. Fokus penelitian ini adalah kondisi nyala api sebelum dan setelah terjadinya lift-up atau flame lift-up ini.
Kestabilan nyala api premix diteliti dengan menggunakan alat ukur Flame Propagation dan Stability Unit P.A. Hilton Ltd C551. Parameter yang diukur adalah laju bahan bakar dan udara pada saat terjadinya fenomena lift-up dan blowoff dan juga panjang nyala api premix. Panjang nyala api akan diukur dari mulut barrel dengan mistar baja secara visual.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa semakin tinggi nilai burning load maka nilai AFR akan menurun. Penggunaan ring terbukti menambah kestabilan nyala api premix karena nilai AFR saat blow-off berada di atas nilai AFR tanpa penggunaan ring. Ring berdiameter dalam 10 mm menunjukkan kestabilan lebih baik daripada ring berdiameter dalam 7 mm dan 14 mm untuk jarak pasang rendah. Sedangkan untuk jarak pasang jauh ring berdiameter dalam 7 mm lebih stabil dari kedua ring lainnya. Semakin tinggi jarak pasang ring kestabilan nyala api premix semakin menurun kecuali ring berdiameter dalam 7 mm. Selain itu didapatkan hasil bahwa panjang nyala api premix dari mulut barrel semakin panjang seiring dengan bertambahnya jarak pasang ring. Sedangkan panjang nyala api premix dari atas ring semakin pendek dengan pertambahan jarak ring.

Research on economic, clean, and stable combustion has been developed to two different direction, keeping flame stability by return the lift-off condition or the flame moving away from burner tip and the other side keeping flame stability on some distance from burner tip. This experiment will do to keep flame stability on some distance from burner tip by using the ring. Before flame sits on the ring, the phenomenon that not much be investigated is appear and it is called lift-up. So the flame that sitting on the ring is called flame lift-up. The focus on this experiment is flame condition before and after the lift-up or flame lift-up appear.
Premix flame stability is investigated use Flame Propagation dan Stability Unit P.A. Hilton Ltd C551. Measured parameter are fuel and air flow rate when lft-up and blow-off phenomenon appear and also premix flame lenght. Premix flame lenght is measured visually using a steel ruler.
This experiment result show that increase of burning load causes decrease of AFR. Using of ring was found can increases premix flame stability because its value of AFR is above the value of AFR without ring. The ring with 10 mm inner diameter show better stability than 7 mm and 14 mm inner ring diameter for the distance near barrel tip. Whereas for the distance far from barrel tip, the ring with inner diameter 7 mm more stable than two others. Results also show that premix flame stability decrease while the position of ring increase except for the ring with 7 mm inner diameter. Besides, the experiment also show that the higher position of ring can increase premix flame lenght from barrel tip while premix flame lenght from the top of ring decrease.
"
2008
S37332
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Romy Lesmana
"Baja tahan karat telah digunakan untuk berbagai aplikasi di industri, kimia, makanan dan rumah tangga. Dalam pembuatan produk atau peralatan dari baja tahan karat, pihak manufaktur umumnya menggunakan proses pengelasan sebagai metode penyambungan utama. Permasalahan yang sering terjadi pada pengelasan baja tahan karat adalah terbentuknya fasa karbida yang mengendap di batas butir (sensitasi) yang akan menurunkan ketahanan korosi dan kekuatan sambungan las.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh masukan panas dan perlakuan panas terhadap karakteristik mekanis dan korosi baja tahan karat AISI 304. Dalam penelitian ini digunakan material baja tahan karat AISI 304 yang dilas dengan proses GTAW dengan variasi arus pengelasan 120, 140 dan 160A sebagai variabel masukan panas. Proses pendinginan menggunakan dua metode yaitu pendinginan lambat (udara) dan pendinginan cepat (air). Sebagian sampel pendinginan lambat akan diberikan perlakuan solution annealing pada temperatur 1100°C dengan waktu tahan 30 dan 60 menit. Selanjutnya dilakukan pengujian tarik, kekerasan, lengkung, XRD dan korosi serta pengamatan makro dan mikro struktur untuk mengetahui karakteristik mekanis dan korosi hasil las baja tahan karat tersebut.
Hasil pengujian menunjukkan penurunan masukan panas akan meningkatkan kekuatan sambungan las baja tahan karat. Proses pengelasan dengan laju pendinginan lambat (udara) akan menimbulkan presipitasi karbida (sensitasi) pada batas butir material stainless steel AISI 304 sedangkan laju pendinginan cepat (air) tidak menghasilkan pembentukan karbida. Fasa karbida yang terbentuk dari hasil pengelasan adalah Cr7C3. Proses solution annealing pada temperatur 1100°C yang diikuti dengan pendinginan cepat dapat melarutkan kembali fasa karbida yang terbentuk pada batas butir. Hasil uji lengkung pada sampel as welded, solution anneal dan sampel quench yang telah menjalani uji korosi intergranular tidak memperlihatkan adanya retak pada permukaan material.

Stainless steels have been used for many industrial, chemical, food and consumer application. In the fabrication of stainless steel products or equipments, manufacturer, in general, employ welding as the principal joining method. The most frequent problems occur in welding stainless steels is carbide formation and precipitation at grain boundaries (known as sensitization) which will reduce corrosion resistance and strength of the welded joint.
The aim of this research is to learn the affect of heat input and heat treatment to mechanical and corrosion characteristics of stainless steel AISI 304. In this research, AISI 304 austenitic stainless steel was welded with GTAW process using welding currents of 120, 140 and 160 A as variable for heat input. The cooling rate use two kind methods: slow cooling (air) and rapid cooling (water). Some of slow cooling samples were treated with solution annealing at temperature 1100°C and hold for 30 and 60 minutes. Further, the samples subjected to tensile, hardness, bending, XRD and corrosion testings as well as macro and micro structure examination.
The results of the tests shows that reducing heat input has increased the strength of stainless steel welded joint. Slow cooling process resulted carbide precipitation (sensitization) in the grain boundary of AISI 304 austenitic stainless steel while rapid cooling process did not form carbide precipitation. The carbide formed in material are likely chromium carbides Cr7C3 type. Solution annealing process at 1100°C followed by quench has dissolved carbide formed in the grain boundary. Bending test performed to as welded, solution anneal and quench samples that have subjected to corrosion intergranular testing did not exhibit fissures at the surface of materials.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
T20520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigma Rizkyardiani Sigit
"Surface Mechanical Attritition Treatment adalah salah satu proses fabrikasi nano material
dengan cara memberikan deformasi mekanis strain-induced pada permukaan material.
Penelitian ini memberi perlakuan SMAT pada stainless steel AISI 304 yang merupakan
austenitic stainless steel. Deformasi yang diperlakukan pada permukaan material akan
menghasilkan gradien regangan di seluruh bagian material. Perbedaan regangan dan strain
rate mempengaruhi struktur yang terjadi. Semakin tinggi regangan yang diberikan (semakin
dekat dengan permukaan) menghasilkan butir yang lebih halus hingga skala nanometer. Dan
sebaliknya, semakin rendah regangan yang dialami maka akan dihasilkan butir yang kasar..
Proses SMAT pada baja juga dapat menghasilkan transformasi fasa dari austenit ke
martensit. Analisis XRD menunjukkan peningkatan kandungan martensit pada lapisan yang
terkena regangan tinggi. Pengamatan TEM menunjukkan transformasi martensit terjadi
dengan dua mekanisme yaitu dari austenit yang berstruktur kristal FCC () menjadi martensit
yang berstruktur kristal HCP (ε) dan dari austenit yang berstruktur kristal FCC () menjadi
martensit yang berstruktur kristal BCC (α’). Transformasi ini mengikuti arah dan hubungan
kristalografi Kurdjumov-Sachs (K-S) orientation yaitu 〈1-10〉γ//〈112-0〉ε//〈11-1〉α. Sementara
pada bagian yang terkena regangan lebih rendah tetap mengandung fasa austenit.
Kombinasi dari butir halus dan kasar serta austenit dan martensit pada material yang sama
memungkinkan untuk mendapatkan material yang kuat sekaligus tangguh. Butir halus dan
fasa martensit pada permukaan akan meningkatkan kekerasan material, sementara butir kasar
dan fasa austenit pada bagian lebih dalam akan mempertahankan keuletan material.

Surface Mechanical Attritition Treatment is one of nano material fabrication method which
done by applying strain-induced mechanical deformation on the surface. This research treated
stainless steel AISI 304 which is austenitic stainless steel type, with SMAT. The deformation
cause strain gradient through out the sample. Strain level differences give effect to material
structure. Higher strain which happen closely to the surface region, result in finer grain up to
nano scale, while lower strain cause more coarse grain.
SMAT on stainless steel also could cause phase transformation from austenite to martensite.
XRD analysis showed increase of martensite content on higher strain-affected layer. TEM
observations showed martensite transformation by two mechanism, austenite with FCC
crystal structure () to martensite with HCP crystal structure (ε) and austenite with FCC
crystal structure () to martensite with BCC crystal structure (α’). This transformation are
following crystalographic orientation relationship of Kurdjumov-Sachs (K-S), 〈1-10〉γ//〈112-
0〉ε//〈11-1〉α. While on the other region that less-affected by strain still contain austenite
phase.
Combination of fine grain-coarse grain and austenite-martensite phase on the same material
could result in higher properties material since it could has high strenght and high toughness.
Fine grain and martensite phase on the surface will increase the hardness of material, while
coarse grain and austenite phase on deeper layer will increase the ductility of material.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
T35024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrea Yusuf Renata
"Fenomena reattachment flame adalah peristiwa berpindahnya pangkal nyala api dari jarak tertentu diatas ujung burner kembali berada di ujung burner . Fenomena reattachment flame dapat terjadi apabila kecepatan nyala api laminar lebih besar dibandingkan kecepatan aliran lokal. Pada penelitian ini dilakukan pencampuran udara dan bahan bakar terlebih dahulu pada burner (premixed flame), bahan bakar yang digunakan adalah campuran propana 53% dan butana 47%. Rod flame holder bermaterial tembaga digunakan sebagai penyangga nyala api diatas ujung burner dengan tiga variasi ukuran diameter, yaitu 4 mm, 6 mm, dan 8 mm.Selain itu divariasikan pula posisi rod flame holder dari ujung burner dengan jarak 20 mm, 25 mm, dan 30 mm. Pangkal nyala api dikondisikan berada pada flame holder (flame lift-up) dan kemudian suplai aliran udara dikurangi sehingga pangkal nyala api kembali berada di ujung burner . Terdapat perbedaan kestabilan nyala api, tinggi nyala api, dan kecepatan reattachment apabila diameter rod flame holder dan jarak rod flame holder dari ujung burner divariasikan. AFR terjadinya reattachment lebih tinggi pada ukuran diameter rod flame holder yang lebih kecil, dengan Burning Load 2.321 MW/m2 pada jarak rod flame holder 20 mm dari ujung burner AFR4mm = 38.06, AFR6mm = 37.957, AFR8mm = 37.439. Rasio ekivalen terjadinya fenomena reattachment lebih kecil pada ukuran diameter rod flame holder yang lebih kecil sehingga tinggi nyala apinya lebih besar, dengan Burning Load 2.321 MW/m2 pada jarak rod flame holder 20 mm dari ujung burner Lf4mm = 9.645 mm, Lf6mm = 6.667 mm, Lf8mm = 4.116 mm. Sementara itu kecepatan reattachment berbanding lurus dengan kecepatan nyala api yang sangat dipengaruhi oleh pola aliran dan efesiensi difusi termal dan masa diatas rod flame holder.

Flame reattachment phenomenon is an occurrence of flame base movement from certain distance above burner tip back to burner tip. F lame reattachment phenomenon can occur when the laminar flame speed is greater than the local flow velocity. In this research, air and fuel is premixed in the burner (premixed flame), the fuel contains 53% propane and 47% butane by mass.Cylindrical cooper rod is used as flame holder with three variation diameter, i.e. 4 mm, 6 mm, and 6 mm .Beside that, rod flame holder position from burner tip are also variated from 20 mm, 25 mm, to 30mm, F irst, the flame base is conditioned to be located on the flame holder (flame lift-up) and then the air flow is reduced so the flame base will move back to burner tip. There are differences in flame reattachment stability, flame height just before reattachment occurs, and reattachment speed when rod flame holder diameter and its distance from burner tip is varied. The AFR is higher when reattachment occurs in smaller rod flame holder diameter, with Burning Load = 2.321MW/m2 when the distance of rod flame holder is 20 mm from burner tip AFR4mm = 38.06, AFR6mm = 37.957, AFR8mm = 37.439. The equivalence ratio of reattachemnt phenomenon is lower when the rod flame holder diameter is smaller, so the flame height is higher, with Burning Load = 2.321MW/m2 when the distance of rod flame holder is 20 mm from burner tip Lf4mm = 9.645 mm, Lf6mm = 6.667 mm, Lf8mm = 4.116 mm. Meanwhile, reattachment flame speed is proportional to the laminar flame speed that is mainly influenced by the flow pattern and thermal and mass diffusion effeciency above the rod flame holder."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadang Priyotomo
"Baja tahan karat jenis austenitik AISI 304 mempunyai kerentanan terhadap korosi retak tegang di dalam larutan korosif klorida. Baja tipe ini juga rentan terhadap temperatur sensitasi antara 580°C - 815°C. Kerentanan tersebut jelas terjadi pada korosi batas butir. Batas butir mengandung krom karbida. Kombinasi antara internal material logam dan lingkungan memberikan efek korosi retak tegang. Lingkungan MgCl2 merupakan lingkungan korosif yang berperan dalam jenis korosi ini. Pengujian korosi retak tegang dilakukan dengan metode beban konstan (creep) melalui beban 20 kg/mm2, 25 kg/mm2, 30,5 Kg/mm2, dan 40 Kg/mm2 di larutan 42wt% MgCl2 bersuhu 106°C. Perlakuan material dibagi dua yaitu anil 1100°C, tahan 1 jam, kemudian celup cepat air dan tanpa anil. Kedua perlakuan tersebut disensitasi (600°C,700°C,800°C). Pengujian kualitatif karbida, pengujian komposisi bulk, larutan uji (AAS), pengujian kekerasan Vickers, metalografi (foto makro) dan pengujian SEM EDS dilakukan. Hasil menunjukkan pengujian kekerasan vickers pada suhu sensitasi 7000C mengalami penurunan berkisar 152,06 Hv (anil 1100°C) dan 199,1 Hv (non anil 1100°C) dibandingkan suhu sensitasi 600°C dan 800°C. Tren sama juga terjadi pada pengujian SCC beban konstan, pada temperatur sensitasi 700°C, waktu patah (tf) lebih pendek dibandingkan suhu sensitasi 600°C & 800°C di dua kondisi material berbeda. Waktu patah tercepat pada beban 25 Kg/mm2 3 detik di kondisi anil 1100°C,suhu sensitasi 700°C dan terlama pada beban 30,5 Kg/mm2 86400 detik di kondisi tanpa anil,suhu sensitasi 6000C. Laju pemuluran (iss) tertinggi pada beban 25 kg/mm2 4,80 mm/detik di kondisi anil 11000C,suhu sensitasi 700°C dan terendah pada beban 30,5 Kg/mm2 3.10-8 mm/detik di kondisi tidak anil 1100°C. Bentuk patahan SCC berbentuk intergranular (tidak dianil 11000C). Bentuk patahan transgranular dengan banyak struktur dimple (void-void) nampak banyak di material anil 1100 berbagai suhu sensitasi. Prosentase peningkatan kelarutan Fe kedalam larutan uji antara 484% hingga 2050% , Kation Cr antara 750% hingga 3540%, dan Kation Ni hingga 110%.

Austenitic Stainless steel (AISI 304) has a susceptibility of stress corrosion cracking inside corrosive chloride solution. This material also is susceptible from sensitizing temperature (580°C-815°C). This susceptibility of material clearly is undergone in intergranular corrosion. Grain boundaries contain chromium carbide. The combination of internal material and environment can contribute a great effect of stress corrosion cracking (SCC). MgCl2 circumstance have main role for SCC as corrosive solution. SCC test was conducted with constant load method (creep) of 20 Kg/mm2, 25 Kg/mm2, 30,5 Kg/mm2, and 40 Kg/mm2 in 42 wt% MgCl2 solution and constant temperature of 1060C. Material treatment is divided two sides : (1) annealing process (1100°C); holding 1 hour then quenching process and (2) without annealing. These two treatments were sensitized at 600°C, 700°C and 800°C. The qualitative test of carbide, the test of bulk chemical composition, solution test (AAS), Vickers hardness test, metallography, and SEM EDS test conducted. Test results show Vickers hardness value on sensitizing temperature of 7000C that was undergone the decreasing of range 152,06 Hv (annealing of 11000C) and 199,1 Hv (non annealing) by comparing sensitizing temperature of 600°C and 800°C. The same trend also was happen at the test of SCC. On sensitizing temperature of 7000C fracture time (tf) is shorter than sensitizing temperature of 600°C and 800°C in two different material conditions. The shortest fracture time is happened at load of 25 Kg/mm2 that is tf of 3 seconds in annealing condition of 1100°C and sensitizing temperature of 700°C. The longest fracture time is also happened at load of 30,5 Kg/mm2 that is tf of 86400 seconds without annealing process and sensitizing 600°C. The Highest Elongation rate (iss) at load of 25 Kg/mm2 is 4,80 mm/s in annealing condition of 1100°C for sensitizing temperature of 700°C. The lowest one at load of 30,5 Kg/mm2 is 3.10-8 mm/s without annealing condition of 1100°C. The average shape of fracture of SCC is intergranular form without annealing process of 11000C. The shape of transgranular fracture with surface structure of dimples was undergone at annealing material of 1100°C with various sensitizing temperatures. The increasing of dissolution percentage of Fe ions to test solution between 484% to 2050%, from 750% to 3540% (Cr ion), and up to 110% (Ni ion)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
T21374
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini dilakukan sebagai kelanjutan dari penelilian-penelitian yang
telah dilakukan menenai pengembangan penggunaan paduan pengerasan
terdispersi Cu - AIZO3. Paduan ini dibuat di Jurusan Metalurgi Universitas
Indonesia dengan teknologi metalurgi serbuk. Hasil dari paduan ini digunakan
untuk aplikasi las titik.
Sebagai kesinambungan dari penelitian tersebut dalam penelitian ini dibuat
elektroda paduan tersebul dengan komposisi 99% serbuk Cu dan 1% serbuk AIQO3.
Campuran kemudian dikompaksi, disinter dan dilakukan tekan panas sebelum
dipakai sebagai elektroda las titik RWMA kelas 2. Elelclroda ini kemudian dipakai
uutuk melas lembaran stainless steel AISI 304 dan hasilnya kemudian dibandingkan
dengan hasil dari lasan elektroda komersial paduan Cu - Te yang dipakai melas
lembaran jenis yang sama.
Hasil penelitian untuk unjuk kerja dari hasil lasan elektroda yang diproses
dengan metode serbuk ini yang meliputi kuat tarik silang dan tarik geser, diameter
nugget dan penetrasi Iasan terlihat masih dibawah paduan Cu-Te. Meskipun
demikian untuk beberapa hal, hasil yang diperlihatkan tidak berbeda jauh dengan
hasil yang dicapai bila memakai elektroda komersial tersebut. Jadi elektroda
pengerasan terdispersi ini cukup layak untuk dipertimbangkan sebagai elektroda
altematif untuk digunakan pada aplikasi las titik."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1997
S47855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Aji Wibowo
"Teknologi pengolahan bijih nikel kadar rendah dengan leaching mengunakan Asam Nitrat (HNO3) telah dikembangkan dan dipatenkan oleh suatu perusahaan riset Australia, Direct Nickel. Proses ini diklaim dapat mengolah semua range bijih nikel laterit dengan % ektraksi nikel dan kobalt mencapai > 90%. Salah satu keunggulan proses ini adalah reagen leaching dapat didaur ulang kembali dan menggunakan material SS 304 pada tangki reaktor. Namun proses ini tidak menghendaki adanya ion Cl- karena dikhawatirkan dapat merusak tangki reaktor. Umumnya Cl- ini dapat berasal dari air untuk proses atau dari bijih nikel itu sendiri.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku korosi, terutama korosi sumuran dari material SS 304 dan SS 316 dalam campuran larutan HNO3 dan NaCl. Variasi campuran larutan HNO3 yang digunakan adalah 0.17 M, 0.52 M dan 1.73 M, yang menggambarkan kondisi free-acid di dalam reaktor Sedangkan variasi campuran larutan NaCl yang digunakan adalah 0.1 M dan 1 M. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian dengan metode polarisasi siklik dan electrochemical impedance spectroscopy (EIS).
Dari hasil pengujian polarisasi sikilik yang dilakukan, pitting corrosion terjadi pada sampel SS 304 dan SS 316 pada perendaman dalam campuran campuran larutan 1.73 M HNO3 dan 1 M NaCl dan pada sampel SS 304 dalam campuran campuran larutan 0.52 M HNO3 dan 1 M NaCl. Hal ini juga dikonfirmasi oleh hasil dari pengujian EIS. Pengamatan terhadap potensial korosi sumuran dari setiap tipe campuran HNO3 dan NaCl, secara umum SS 316 memberikani ketahanan terhadap korosi sumuran yang lebih baik dari SS 304, terutama akibat adanya unsur pemadu Mo. Pengujian pada komposisi lapisan oksida menunjukkan bahwa walaupun ditemukan adanya unsur Cl dalam lapisan tersebut, korosi sumuran cenderung tidak terjadi pada spesimen SS316.

Processing technology of low grade ores by Nitric Acid leaching has been developed and patented by an Australian research company, Direct Nickel. This process is claimed to be able to treat all the range of laterite ore with extraction of nickel and cobalt reach > 90%. One advantage of this process is the leaching reagent can be recycled back and use the 304 SS material in the reactor tank. The presence of Cl ions in the leaching process was avoided, because it feared could damage the reactor tank. The Cl- could comes form the water fro process or even the nickel ore.
This research was conducted to determine the corrosion behavior, particularly pitting corrosion of materials SS 304 and SS 316 in HNO3 and NaCl solution mixture . Variations HNO3 solution used was 0.17 M, 0.52 M and 1.73 M, which descriebd the variation of free-acid concentration in reactor. For NaCl solution using 0.1 M and 1 M concentration. The test was conducted with cyclic polarization method and electrochemical impedance spectroscopy (EIS).
From the results of cyclic polarization tests, pitting corrosion occurs on samples SS 304 and SS 316 after immersion in a mixed solution of 1.73 M HNO3 and 1 M NaCl, and the SS 304 samples in a mixed solution of 0.52 and 1 M HNO3 M NaCl. This is also confirmed by the EIS. By the observation of the pitting corrosion potential of each samples SS304 and SS316 immersed in each type of HNO3 anda NaCl solution mixture, generally SS316 provides good resistance to pitting corrosion rather than SS 304, mainly due to the presence of Mo as alloying element. Tests on the composition of the oxide layer indicates that although there is an element found in the layer Cl, pitting corrosion unlikely to have occurred on the specimen SS316."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T42971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Proses pembakaran dalam kondisi miskin bahan bakar merupakan metode untuk
mendapatkan pembakaran yang lebih bersih. Namun, metode ini akan menyebabkan
ketidakstabilan nyala api. Ring stabilizer dapat digunakan untuk meningkatkan
stabilitas nyala api. Penelitian ini rnenggunakan 3 buah ring stabilizer dengan
diameter dalam 3, 5, dan 7 mm, yang ditempatkan pada variasi 5 ketinggian berbeda
di atas mulut barrel. Penelitian yang rnenggunakan ring slabilizer ini memunculkan
fenomena baru yang dinamakan nyala Lift Up (nyala terangkat seluruhnya dari atas
mulut barrel dan ‘duduk’ di atas ring stabilizer). Data yang diarnbil pada penelitian
ini adalah laju aliran udara saat terjadi fenomena LW Up dan Blow Off yang
kemudian akan di gambarkan ke dalam grafk Air Fuel Ratio (AFR) - Burning Load
(BL) dan Kecepatan Carnpuran (vm) - Laju Aliran Gas (Vg). Hasilnya semakin
tinggi BL, maka AFR akan semakin kecil dan semakin tinggi Vg, maka vm juga
akan meningkat. Selain itu, hasil data percobaan dengan menggunakan ring ini juga
dibandingkan dengan data percobaan tanpa menggunakan ring. Hasil data
percobaan menunjukkan terjadi peningkatan stabilitas nyala api, yang ditandai
dengan peningkatan luas daerah stabilitas nyala, jika ditambahkan ring di atas mulut
barrel, kecuali untuk ketinggian 5 mm. Secara umum penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan ring stabilizer dengan ketinggian yang tepat dapat
meningkatkan stabilitas nyala api."
Fakultas Teknik, 2005
S37775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S37879
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Daerah stabilitas nyala api dapat diketahui dari batas nyala dan flammabilily
limit suatu campuran udara - bahan bakar. Dalam suatu penelitian atau eksperimen,
daerah stabilitas nyala dapat ditentukan dengan cara mengukur variasi nilai AFR (Air-
Fuel Ratio) dan nilai kecepatan campuran terhadap suatu jumlah burning load tertentu
atau pada jumlah massa bahan bakar tertentu dari mulai terjadinya nyala api kuning
(Yellow Tip) sampai nyala api padam (Blow Off) ataupun nyala api terangkat (Lift off).
Secara visual dapat diamati bahwa daerah stabilitas nyala api ternyata semakin luas
bila Bunsen Burner dilengkapi dengan ring slabilizer, sehingga ditemukan fenomena
baru yang dinamakan fenomena Lift Up sebelum Blow Off terjadi. Dalam eksperimen
ini akan diteliti pengaruh perubahan diameter dalam ring stabilizer terhadap stabilitas
nyala api pada Bunsen Burner yang dilengkapi Expansion Barrel Mouth dengan sudut
ekspansi 0 = 10° dan 0 = 30°. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemakaian
Expansion Barrel Mouth dapat meningkatkan daerah stabilitas nyala api sekitar 8 %
(expansion 0 = 30°) pada burning load antara 11.5 - 12.5 MW/m2 bila dibandingkan
dengan barrel standar. Secara umum diketahui sudut difusititas 0 = 30° pada
Expansion Barrel Mouth jauh lebih baik dibanding dengan sudut 0 = 1O°."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S37782
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>