Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ade Junaidi
"Status indeks masa tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis menjadi suatu penentuan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dapat mengalami penurunan atau peningkatan indeks masa tubuh. Kami menggunakan metode potong lintang pada studi ini. Penelitian dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di bangsal hemodialisis Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM pada bulan Februari 2009. Kemudian diambil data dari status pasien mengenai berat badan kering dan tinggi badan pasien saat pertama kali menjalani hemodialisis dan bulan februari 2009. Berdasarkan perubahan indeks massa tubuh maka data ini dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok dengan peningkatan indeks masa tubuh dan penurunan indeks masa tubuh. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani hemodialisis rerata 2.3 tahun (0.3-17.5). Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani hemodialisis dengan peningkatan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.727) maupun penurunan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.709). Disimpulkan bahwa lama menjalani hemodialisis mempengaruhi peningkatan maupun penurunan indeks massa tubuh pasien hemodialisis.

Status of body mass index on chronic kidney disease patients who undergo hemodialysis is a determinant factor for morbidity and mortality. Hemodialysis patients can increase or decrease their body mass indexes. In this study, we used cross sectional method. We selected 108 patients that has already undergone hemodialysis twice a week for at least three months in hemodialysis ward of Cipto Mangunkusumo Hospital in February 2009. Data are taken from dry weight and body height in medical records at the initial hemodialysis and on February 2009. We categorized patients into increased body mass index category and decreased body mass index category. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between increased body mass index (p<0.001, r = 0.727) and decreased body mass index (p<0.001, r = 0.709) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis significantly influenced body mass index in hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Tri Prakoso
"Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan penurunan fungsi ginjal secara progresif, komplikasi yang umum ditemukan pada PGK adalah anemia defisiensi besi. Untuk menanganinya, salah satu tatalaksana yang tersedia adalah epoetin alfa, sebuah agen rekombinan eritropoietin manusia. Studi ini spesifik melihat pengaruh dosis epoetin alfa pada pasien anemia dengan penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.
Metode: Desain studi kohort retrospektif dengan melibatkan 240 pasien yang menjalani hemodialisis. Pengumpulan data primer diambil pada Juni 2022 dari rekam medis. Analisis uji beda proporsi akan dilakukan dengan uji Chi-Square alternatif Fisher dengan signifikansi p<0.05. Analisis multivariat dilakukan menggunakan Cox-Reggresion.
Hasil: Kelompok dengan dosis epoetin alfa 3000IU memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami peningkatan nilai Hb [RR: 0.789 (95% CI 0.696-0.895) dibandingkan dengan dosis epoetin alfa >3000IU. Status Gizi dan Jenis kelamin merupakan confounding yang paling berpengaruh dengan ∆RR >10%.
Kesimpulan: Pasien yang menerima dosis epoetin alfa >3000 IU memiliki kemungkinan meningkatnya nilai Hb 3.458 kali lebih tinggi dibandingkan dosis 3000 IU (95% CI 1.745 - 6.855)

Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a progressive loss of kidney function, a common complication found in CKD is iron deficiency anemia. To treat it, one of the available treatments is epoetin alfa, a recombinant human erythropoietin agent. This study specifically looked at the effect of epoetin alfa dose in anemic patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis.
Methods: Retrospective cohort study design involving 240 patients undergoing hemodialysis. Primary data collection was taken in June 2022 from medical records. The analysis of the different proportions test will be carried out using the Chi-Square Fisher alternative test with a significance of p<0.05. Multivariate analysis was performed using Cox-Reggression
Results: The group with 3000IU of epoetin alfa had a lower chance of increasing Hb values ​​[RR: 0.789 (95% CI 0.696-0.895) compared to >3000IU of epoetin alfa. Nutritional Status and Gender were the most influential confounding with RR >10%.
Conclusion: Patients with dose of epoetin alfa >3000 IU had the possibility of increasing the Hb value 3,458 times higher than the dose of 3000 IU (95% CI 1,745 - 6,855
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lulu Hardianti
"Kepatuhan manajemen terapi hemodialisis berpengaruh terhadap kejadian komplikasi yang mungkin dapat muncul, kualitas hidup dan angka mortalitas pada pasien. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan tersebut adalah persepsi penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi penyakit dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelatif dengan jumlah sampel 103 responden yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling pada pasien hemodialisis. Data dikumpulkan melalui Brief Illness Perception Questionnaire B-IPQ untuk persepsi penyakit dan modifikasi End-Stage Renal Disease Adherence Questionnaire ESRD-AQ untuk kepatuhan manajemen terapi hemodialisis. Data tersebut diolah dengan menggunakan SPSS versi 23. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara persepsi penyakit dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis r= -0.244; p value= 0.007 . Akan tetapi, jika ditinjau per-dimensi maka hanya kontrol personal r= 0.329; p value= 0.000 dan respon emosi r= -0.292; p value= 0.001 yang berhubungan dengan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis. Dengan sebab itu, tenaga kesehatan perlu memperhatikan persepsi penyakit pada pasien untuk meningkatkan kepatuhan manajemen terapi hemodialisis pada pasien.

The adherence of hemodialysis therapy management influenced occurence rate of complication that might be appear, quality of life, and mortality rate in patient. One of the factors that affect adherence of hemodialysis therapy management is illness perception. This research aimed to identify the relation between illness perception and adherence of hemodialysis therapy management in patient with chronic kidney disease. Correlation analytic with purposive sampling technique was used for this research with 103 patients in hemodialysis as a sample. Data were collected by Brief Illness Perception Questionnaire B IPQ for illness perception and End Stage Renal Disease Adherence Questionnaire ESRD AQ for adherence of management hemodialysis therapy. Data were analyzed by SPSS ver. 23. Result shows that illness perception affect adherence to therapy management r 0.244 p value 0.007 . Yet, only control personal r 0.329 p value 0.000 and emotional response r 0.292 p value 0.001 that influence adherence to therapy management. Therefore, it is recommend to assess patient view of their illness to increase adherence rate to hemodialysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Eva Chris Veronica
"Gagal ginjal terminal merupakan tahap akhir dari kondisi Chronic Kidney Disease (CKD) dengan nilai Glomerulus Filtrasi Rate (GFR) kurang dari 15 ml/menit/1,73m². Gagal ginjal terminal dapat ditangani dengan terapi hemodialisis (National Kidney Foundation, 2015;Thomas, 2014). Adanya hemodialisis ini memberikan pembatasan cairan pada pasien yang menjalaninya. Kepatuhan pembatasan cairan pada sebagian pasien sulit untuk dilakukan dengan alasan banyak faktor (Chironda&Bhengu, 2015). Faktor yang terbesar dan dominan adalah faktor psikologis, yakni self compassion. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan self compassion dengan kepatuhan pembatasan cairan pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis, dan faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan pembatasan cairan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional, sebanyak 89 pasien pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis dalam tiga kali seminggu yang dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien memiliki self compassion tinggi (69,7%). Hubungan self compassion dengan kepatuhan pembatasan cairan tidak signifikan (p=0,076), faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan pembatasan cairan adalah adalah usia (p=0,033), jenis kelamin (p=0,937), status menikah (p=0,473), status bekerja (p=0,885), tingkat pendidikan (p=0,126), lama menjalani hemodialisis (p=0,425), dan dukungan sosial (p=0,206) Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan pembatasan cairan adalah usia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan acuan bagi perawat dalam mengembangkan pengkajian keperawatan pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis.

End Stage Renal Disease is the final stage of the Chronic Kidney Disease (CKD) with a Glomerular Filtration Rate (GFR) value of less than 15 ml/min/1.73m². End Stage Renal Disease can be treated with hemodialysis therapy (National Kidney Foundation). The hemodialysis provides fluid resctrictions for patients who undergo. There are many factors that make fluid restrictions adherence difficult to do. (Chironda & Bhengu, 2015). The biggest and dominant factor is psychological factor, which is self compassion. The purpose of this study was to identify the correlation between self compassion and fluid adherence in the end stage renal disease patients undergoing hemodialysis, and other factors that influence fluid adherence. This study used a cross sectional method, with 89 end stage renal disease patients who underwent hemodialysis three times a week and who were selected using a purposive sampling technique. The results showed that the majority of patients had high self compassion (69.7%). The correlation of self compassion with fluid adherence was not significant (p = 0.076), other factors affecting fluid adherence were age (p = 0. Is related to fluid restriction adherence was age. This research is expected to be a reference for nurses in developing nursing studies in align end stage renal disease patients undergoing hemodialysis."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Mela Yunita Sari
"Latar Belakang: Penurunan kapasitas latihan dan kekuatan otot merupakan gambaran yang umum dijumpai pada pasien hemodialisis (HD) kronik. Perbaikan kadar hemoglobin (Hb) tidak memperbaiki secara optimal kapasitas latihan. Prevalensi kalsifikasi arteri tinggi pada pasien HD. Hal ini menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah sehingga meningkatkan kekakuan arteri. Terdapat bukti klinis bahwa kekakuan arteri sentral memengaruhi kapasitas latihan pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK). Kapasitas latihan dapat diprediksi dengan menilai kekuatan otot perifer.
Tujuan: Mengetahui korelasi kekakuan arteri sentral dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subyek pasien HD kronik yang diambil dengan teknik consecutive sampling dengan rentang usia 18 – 59 tahun.  Analisis bivariat dilakukan untuk menilai korelasi kekakuan arteri sentral (dengan menilai central pulse wave velocity/cPWV) dengan kekuatan genggam tangan (KGT), kemudian dilakukan korelasi parsial terhadap variabel perancu (usia, dialysis vintage, Hb, dan aktivitas fisik).
Hasil: Terdapat 45 pria dan 40 wanita dengan median usia masing-masing 47 (19-59) dan 47 (18-59) tahun. Kedua kelompok mempunyai tingkat aktivitas fisik sedang. Tidak terdapat korelasi antara cPWV dengan KGT baik pada  pria (r = -0,046, p = 0,763) maupun wanita (r = -0,285, p = 0,113). Analisis stratifikasi pada wanita yang memiliki tinggi badan (TB) >150 cm menunjukkan korelasi negatif derajat sedang antara cPWV dengan KGT (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). Nilai cPWV berperan sebesar 21,7% terhadap KGT, dan 78,3% diduga dipengaruhi oleh faktor perancu. Kelompok KGT rendah memiliki nilai cPWV yang meningkat pada semua kategori usia.
Simpulan: Kekakuan arteri sentral tidak berhubungan dengan kekuatan genggam tangan pada pasien yang menjalani HD kronik. Terdapat kecenderungan peningkatan nilai cPWV pada subjek yang memiliki KGT rendah.

Background: Exercise intolerance and muscle weakness are the common features in hemodialysis patients. However, correction of renal anemia by eritropoetin does not optimize the exercise capacity. The prevalence of arterial calcification among the hemodialysis patient is high. It thereby decreased the elasticity of the vessels and increased the arterial stiffness. Clinical evidence showed that central arterial stiffness affects the exercise capacity in chronic kidney disease (CKD). Exercise capacity can be predicted by assessing peripheral muscle strength.
Objective: To investigate the correlation between central arterial stiffness and handgrip strength in chronic hemodialysis patients.
Methods: This study use cross-sectional design which perform in chronic HD patients aged between 18 and 59 years old by consecutive sampling. Bivariate analysis was done to determine the correlation between central arterial stiffness (assessed using central pulse wave velocity /cPWV) and handgrip strength (HGS). Afterwards, partial correlation of confounding variables (age, dialysis vintage, Hb and physical activity) were also be analyzed.
Results: There were 45 men and 40 women with the median age of 47 (19-59) and 47 (18-59) years old, respectively. Both groups have moderate level of physical activity. There was no correlation between cPWV and HGS in men (r = -0.046, p = 0.763) and women (r = -0.285, p = 0.113). Stratified analysis in women with height over 150 cm showed a moderate negative correlation between cPWV and HGS (r = -0,466; r2 = 0,217; p = 0,016). cPWV accounted for 21.7% of HGS, while 78.3% were suggested to be influenced by the confounding factors. The group with low HGS had an increased cPWV in all age categories.
Conclusion: Central artery stiffness was not associated with HGS in chronic HD patient. There was a tendency of increased central arterial stiffness in the group of subjects who had low HGS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewiyanti Toding
"Banyak dampak dan perubahan akibat pandemi COVID-19 yang dapat dialami pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis. Hal ini dapat mempengaruhi kepatuhan mereka dalam menjalani proses hemodialisis yang nantinya dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang pengalaman pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia di era pandemi COVID-19. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode wawancara mendalam. Partisipan berjumlah 15 orang dari RS Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin yang dipilih melalui teknik purposive sampling. Terdapat 3 tema yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu munculnya berbagai respon pada awal pandemi, timbulnya berbagai dampak yang dialami selama pandemi, dan adanya strategi koping yang dibangun selama pandemi. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis telah berupaya untuk membangun strategi koping yang adaptif di era pandemi COVID-19 tetapi mereka tetap memerlukan dukungan dari penyedia layanan kesehatan di unit hemodialisis untuk mengatasi berbagai masalah dan dampak akibat pandemi COVID-19 ini. Perawat hemodialisis diharapkan dapat melakukan pengkajian secara holistik dan evaluasi secara terus menerus agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dalam memenuhi kebutuhan pasien hemodialisis di era pandemi COVID-19 ini.

Many effects and changes due to COVID-19 pandemic experienced by patients with end-stage renal disease undergoing hemodialysis. This can affect their compliance to have hemodialysis treatment that will affect their quality of life. The aim of this study is to deeply explore the experience of patients with end-stage renal disease who were undergoing hemodialysis during COVID-19 pandemic. This study takes qualitative descriptive approach with in-depth interviews. The participants were 3 themes, as: the emergence of various responds in an early pandemic, the effects that were experienced during pandemic and the coping strategy built during the pandemic. These findings showed that patients with end-stage renal disease have been implementing adaptif coping strategy during the pandemic, but they still need a support from the health care providers in the hemodialysis unit to overcome various problems and impacts during COVID-19 pandemic. The role of nurses is needed to conduct holistic assessments and continuous evaluations in order to provide comprehensive nursing care for the needs of hemodialysis patients in this era of the COVID-19 pandemic."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Khumaeroh
"Pasien dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) membutuhkan terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis (HD). Untuk mencapai keberhasilan HD diperlukan kepatuhan pasien terhadap pembatasan cairan. Kepatuhan cairan dapat tercapai saat pasien mampu melakukan penyesuaian diri dengan penyakit GGT dan terapi HD. Penyesuaian diri pasien HD terhadap penyakit GGT dan pembatasan cairan dapat berhubungan dengan penerimaan diri. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui hubungan penerimaan diri dengan kepatuhan pembatasan cairan pasien HD. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan consecutive sampling pada 121 responden. Pengumpulan data dengan kuesioner kepatuhan cairan dan self acceptance scale serta studi dokumentasi. Analisis yang digunakan yaitu Chi-Square dan regresi logistic. Hasil penelitian didapatkan responden yang patuh terhadap pembatasan cairan sebanyak 79,3% dan penerimaan diri sebanyak 78,5%. Hasil analisis didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan kepatuhan cairan (p=0,024) namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan IDWG (p=0,154). Ada hubungan variabel konfonding lama menjalani HD dengan kepatuhan cairan (p=0,033), variabel konfonding adekuasi HD dengan IDWG (P= 0,011). Namun, pada variabel konfonding lainnya tidak terdapat hubungan signifikan dengan kepatuhan cairan, diantaranya adalah: usia, jenis kelamin, pendidikan dan komorbiditas. Selanjutnya pada analisis multivariat variabel yang paling dominan mempengaruhi kepatuhan cairan adalah penerimaan diri (p=0,006) setelah dikontrol variabel jenis kelamin dan lama menjalani HD serta mampu memprediksi sebesar 21% terhadap kepatuhan pembatasan cairan. Rekomendasi penelitian ini adalah perawat perlu mengidentifikasi serta melakukan upaya meningkatkan penerimaan diri pasien untuk meningkatkan kepatuhan cairan dengan intervensi seperti therapy reality dan terapi berpikir positif. Perawat harus lebih memperhatikan adekuasi HD dan berat badan kering pasien untuk menghindari peningkatan IDWG. Selain itu, rekomendasi untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan instrumen penelitian yang mampu melihat waktu yang dibutuhkan pasien HD untuk mencapai tahap acceptance serta melakukan analisis lanjutan pada hasil penelitian ini tentang kesenjangan hasil antara kepatuhan cairan yang tinggi berdasarkan kuesioner namun mayoritas responden pada IDWG berat.

Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) requires a renal replacement therapy in the form of hemodialysis (HD). To achieve success of HD requires patient compliance with fluid restrictions. Fluid adherence can be achieved when the patients is able to adjust to ESRD and HD therapy. Adjustment of patients HD to ESRD and fluid restriction can be related to self acceptance. This study aimed to identify the relationship between self acceptance and fluid adherence in ESRD patients undergoing HD. This study used cross sectional design with consecutive sampling of 121 respondents. Data collection used fluid adherence questionnaires, self acceptance scale and documentation studies. The analysis used chi square and logistic regression. The result showed that 79,3% of respondents had adherence to fluid restriction and 78,5% of them had self acceptance. The analysis result also showed there was a significant relationship between self acceptance and fluid adherence (p=0,024), but no significant relationship between self-acceptance and IDWG (p=0.154). There was significant relationship between confounding variable of the length of time undergoing HD and fluid adherence (p=0.033), adequacy HD and IDWG (p=0,011). However, other confounding variables were not significant relationship with fluid adherence, which were: age, gender, education, and comorbidities. Furthermore, the multivariat analysis found that self acceptance was the most dominant variable affecting fluid adherence (p=0.006) after controlling by variables of the sex and the length of time undergoing HD, which can predicted 21% to fluid adherence. Recommendations for this study are nurses need to identify and make efforts to increase patient self-acceptance to improve fluid compliance with interventions such as reality therapy and positive thinking therapy. Nurses should more attention to HD adequacy and dry weight of the patient to avoid an increase in IDWG. In addition, recommendations for further researchers are expected to use research instruments that are able to see the time needed for HD patients to reach the acceptance stage and carry out further analysis on the results of this study regarding the gap in results between high fluid adherence based on the questionnaire but the majority of respondents on the IDWG severe."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Nurlela
"Latar Belakang: Populasi lansia di Indonesia terus meningkat. Proses penuaan meningkatkan terjadinya PGK. Data mengenai mortalitas pada pasien lansia yang menjalani inisiasi Hemodialisis (HD) selama perawatan rumah sakit sangat terbatas. Suatu model prediktor dapat menjadi alat bantu dan diharapkan dapat menjadi sarana stratifikasi prognosis dan menjadi pertimbangan pemilihan terapi bagi pasien dan keluarga.
Tujuan. Mengetahui insiden dan prediktor mortalitas pasien lanjut usia yang menjalani Inisiasi HD selama perawatan Rumah Sakit
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pada pasien lansia yang menjalani inisiasi HD di RSCM pada Januari 2018 hingga Desember 2022. Dilakukan analisis survival terhadap variabel usia, jenis kelamin, akses vaskular, kadar hemoglobin, komorbid, status nutrisi, gangguan kesadaran, status fungsional, dan risiko jatuh. Dilakukan analisis Bivariat dengan cox regression.
Hasil: Terdapat 201 subjek diteliti. Mortalitas pasien lansia yang menjalani inisiasi HD selama perawatan rumah sakit sebesar 35,32%. Beberapa faktor prediktor signifikan berpengaruh terhadap mortalitas pasien, meliputi usia ≥ 75 tahun, komorbid, gangguan kesadaran, dan status fungsional. Pada model akhir uji multivariat, ditemukan faktor gangguan kesadaran (HR 5,278, IK 95% 3,163 – 8,805]) yang berpengaruh signifikan terhadap mortalitas pasien.
Kesimpulan: Insiden mortalitas pada pasien lansia yang menjalani inisiasi HD adalah 35,32% dengan faktor prediktor gangguan kesadaran yang berpengaruh signifikan terhadap mortalitas pasien.

Background: Elderly population in Indonesia continue to increase. Aging is known enhance the risk of CKD. Data regarding mortality in elderly patients undergoing Hemodialysis (HD) initiation are very limited. A predictor model will help to stratify prognosis and guide phycisian to make a consideration for selecting therapy for patients.
Aim: To determine incidence and mortality predictors of elderly patients undergoing HD initiation during hospital care
Method: This retrospective cohort study was conducted by reviewing medical records of elderly patients undergoing HD initiation at RSCM from January 2018 to December 2022. Survival analysis was performed on the variables age, sex, vascular access, hemoglobin levels, comorbidities, nutritional status, impaired consciousness, functional status, and risk of falling. Bivariate analysis were performed using the cox regression method.
Results: There was 201 subjects to be studied. The mortality of elderly patients undergoing HD initiation during hospital care was 35,32%. Several significant predictor factors influence patient mortality, including age ≥ 75 years, comorbid, impaired consciousness, and functional status. In the final model of the multivariate test, factors of impaired consciousness (HR 5,278 [CI 3.163 – 8.805]) were found to have a significant effect on patient mortality.
Conclusion: The incidence of mortality in elderly patients undergoing HD initiation was 35,32% with impaired consciousness are significant factors related to mortality during HD initiation
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pywedont Mesakh Todingan
"Latar Belakang: Penyakit ginjal tahap akhir masih menjadi permasalahan nasional dan internasional, di Indonesia pada 2019 terdapat 185.901 pasien yang menjalani hemodialisis. Sampai saat ini hemodialisis menjadi pilihan terbanyak terapi pengganti ginjal bagi para pasien penyakit ginjal tahap akhir. Untuk dapat menjalankan hemodialisis dibutuhkan akses vaskular. Akses vaskular terbaik hingga saat ini adalah fistula arteriovenosa, namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk maturasi. Kateter dua lumen menjadi pilihan bagi pasien saat menunggu maturasi fistula arteriovenosa atau jika membutuhkan hemodialisis segera. Terdapat dua jenis kateter dua lumen yaitu temporer dan tunneling. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan frekuensi pergantian, komplikasi, serta analisa biaya antara kateter dua lumen temporer dan kateter dua lumen tunneling.
Metode: Penelitian ini merupakan kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas yang dilihat ada jenis kateter dua lumen sedangan variabel terikatnya adalah frekuensi pergantian, infeksi, perdarahan, serta analisa biaya. Analisa statistic menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0.05 menunjukkan terdapat hubungan bermakna secara statistik.
Hasil: 67 pasien masuk dalam penelitian, didapatkan pasien dengan kateter dua lumen tunneling sebanyak 36 pasien (53,7%) dan pasien dengan kateter dua lumen temporer sebanyak 31 pasien (46,2%). Kateter dua lumen tunneling secara bermakna memiliki angka perdarahan, infeksi, serta disfungsi kateter yang lebih rendah daripada kateter dua lumen temporer (p<0,001). Kateter dua lumen tunneling memiliki angka pergantian kateter dalam 6 bulan yang lebih kecil secara bermakna dibandingkan kateter dua lumen temporer (p<0,001). Dalam 6 bulan kateter dua lumen tunneling memiliki rerata biaya perorangan yang lebih besar dari kateter dua lumen temporer.
Simpulan: Kateter dua lumen tunneling memiliki frekuensi pergantian dan komplikasi yang lebih rendah dari kateter dua lumen temporer, namun memiliki rerata total biaya perorangan yang lebih besar disbanding kateter dua lumen temporer.

Background: End-stage kidney disease is still a national and global health problem, in Indonesia there were 185,901 patients undergoing hemodialisis in 2019. Hemodialisis is the most chosen renal replacement therapy for End-stage kidney disease patients. To be able to carry out hemodialisis, vascular access is needed. The best vascular access to date is an arteriovenous fistula (AVF), but it needed time to reach maturation. Double lumen catheter is used as an option for patients waiting for AVF maturation or when urgent hemodialisis is required. There are two types of double lumen catheters, namely temporary and tunneled. This study aims to compare the frequency of replacement frequency, complications, and cost analysis between a temporary double lumen catheter and tunneled double lumen catheter.
Method: This is a retrospective cohort study using medical records at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The independent variable seen was the type of double lumen catheter, while the dependent variables were replacement frequency, infection, bleeding, and cost analysis. Statistical analysis using SPSS version 25, p value <0.05 indicates that there is a statistically significant difference between both groups.
Results: 67 patients were included in the study, there were 36 patients with tunneled double lumen catheter (53.7%) and 31 patients with temporary double lumen catheter (46.2%). tunneled double lumen catheter had significantly lower rates of bleeding, infection, and catheter dysfunction than temporary double lumen catheter (p <0.001). Tunneled double lumen catheter had a significantly lower 6-month catheter replacement rate than temporary double lumen catheter (p <0.001). At 6 months tunneled double lumen catheter had a greater average individual cost than temporary double lumen catheter.
Conclusion: Tunneled double lumen catheter have a lower replacement frequency and complications than temporary double lumen catheter temporary two-lumen catheters, but have a greater mean total individual cost than temporary double lumen catheter.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Putra Ramadhan
"Interdialytic Weight Body Gains (IDWG) merupakan dampak sekunder dari asupan cairan dan/atau makanan yang berlebihan serta umum yang terjadi pada pasien hemodialisis karena adanya disfungsi ekskresi ginjal. saat pasien mengalami IDWG berat, maka jumlah cairan yang ditarik selama penarikan cairan akan ditingkatkan. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya komplikasi selama penarikan cairan pada hemodialisis Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tingkat IDWG dengan risiko komplikasi selama penarikan cairan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara IDWG dengan perubahan tekanan darah pada penarikan cairan jam ke-1 (p value 0,043), terdapat dan hubungan antara tingkat IDWG dengan kram otot pada penarikan cairan jam ke-4 (p value 0,039). Studi ini menunjukkan, tidak terdapat hubungan antara tingkat IDWG dengan sakit kepala, mual, dan muntah pada penarikan cairan jam ke-1 sampai dengan jam ke-4. Berdasarkan penelitian ini, IDWG berhubungan dengan perubahan tekanan darah jam ke-1 dan kram otot pada jam ke-4 penarikan cairan. Berdasarkan penelitian ini, IDWG berhubungan dengan perubahan tekanan darah jam ke-1 dan kram otot pada jam ke-4 penarikan cairan.

Interdialytic Weight Body Gains (IDWG) is a secondary impact of excessive fluid and/or food intake. In addition, IDWG is common in hemodialysis patients due to the dysfunction of renal excretion which has an impact on fluid buildup. Interdialytic Weight Body Gains (IDWG) is a secondary impact of excessive fluid and/or food intake and is common in hemodialysis patients due to renal excretion dysfunction. If the patient has severe IDWG, it will have an impact that fluid withdrawal will be increased. This was increases the risk of complications during fluid withdrawal on hemodialysis. The study aimed to identify the relationship of IDWG levels with risks during fluid withdrawal in patients undergoing hemodialysis. This was a descriptive analytical study, which 90 patients undergoing HD was recruited using consecutive sampling. The results of this study showed that there is a relationship between IDWG and changes in blood pressure in the 1st hour fluid withdrawal (p value 0,043), there is a relationship between IDWG levels and muscle cramps in the withdrawal of fluid at the 4th hour (p value 0,039). This study showed there is no relationship between IDWG levels with headaches, nausea, and vomiting at the 1st to 4th hour fluid withdrawals. Based on this study, IDWG is associated with changes in blood pressure at the 1st hour and muscle cramps at the 4th hour of fluid withdrawal."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>