Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felicia Deasy
"Filariasis limfatik disebabkan cacing nematoda dari superfamili Filarioidea dan ditularkan nyamuk. WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis dengan strategi pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan DEC 6mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg. Penelitian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan masal selama 5 tahun dalam menurunkan prevalensi hingga kurang dari 1% di Pulau Alor, NTT, sebagai daerah endemis filariasis Brugia timori. Peneliti menggunakan data sekunder dari desain studi eksperimental berupa prevalensi penderita filariasis sebelum dan setelah masa pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan pengobatan selama 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi infeksi filaria. Disimpulkan bahwa metode pengobatan filariasis dengan kombinasi DEC dan albendazol terbukti mampu memenuhi target eliminasi filariasis WHO.

Lymphatic filariasis is caused by nematodes from superfamily of Filaroidea, with mosquito as its vector. Yearly medication based on the community treatment of risked population using DEC 6mg/kg and albendazol 400 mg is the strategy set by WHO. This research is proposed to know the success of 5 years mass treatment run in Alor Island, NTT, an endemic area for filariasis Brugia timori, to decrease the prevalency of filariasis until less than 1%. This research uses secondary data from the experimental study design in form of prevalency of people with filariasis before and after the medication. The result shows the five-year-medication with DEC and albendazol succeeds in decreasing the prevalence of filarial infection. The medication method of filariasis using the combination of DEC and albendazol is proved to fulfill the target set by WHO to eliminate filariasis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09047fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Praba Ginandjar
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Penentuan daerah endemis merupakan langkah paling awal yang harus dilakukan dalam program eliminasi filariasis. Dalam program eliminasi filariasis global WHO menganjurkan penggunaan metode serodiagnosis. Untuk filariasis brugia, metode serodiagnosis terbaik yang ada saat ini adalah deteksi antibodi IgG4 anti-filaria. Deteksi tersebut telah dikembangkan dalam bentuk dipstik (disebut brugia rapid) yang pengerjaannya sangat mudah dan singkat. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah brugia rapid dapat digunakan untuk mendeteksi IgG4 anti-filaria terhadap B. timori dan menentukan daerah endemis filariasis timori.
Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik dengan desain cross-sectional. Sebagai pembanding digunakan metode baku emas diagnosis filariasis secara mikroskopis melalui deteksi mikrofilaria dengan teknik membran filtrasi (data sekunder), Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mainang di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, menggunakan 500 sampel. Untuk melihat perbedaan hasil membran filtrasi dan brugia rapid dalam mendeteksi infeksi filariasis digunakan uj: Chi-square Mc-Nemar.
Hasil dan kesimpulan: Dalam peneltitian ini diperoleh angka infeksi filariasis berdasarkan pemeriksaan membran filtrasi sebesar 27,2%, sedangkan berdasarkan brugia rapid sebesar 77%. Uji McNemar menyatakan kedua metode tersebut memiliki perbedaan bermakna (p=0,000). Hasil pemeriksaan dengan brugia rapid memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 31,59% terhadap membran filtrasi.
Disimpulkan bahwa: Metode brugia rapid dapat digunakan sebagai indikator daerah endemis filariasis timori. Brugia rapid dapat mendeteksi adanya infeksi filariasis timori, namun tidak dapat digunakan untuk memperkirakan angka mikrofilaria. Brugia rapid memberikan hasil yang lebih sensitif dibandingkan membran filtrasi. Brugia rapid dapat mendeteksi populasi normal endemik, karier mikrofilaremia dan pasien filariasis kronis di daerah endemis filariasis timori.

Scope and method: Identification of endemic area is needed to initiate global elimination program of filariasis. In such program, WHO proposed a serodiagnostic method to determine the endemic areas. The best serodiagnostic method for brugian filariasis is anti-filarial IgG4 antibody detection, which is now being available in dipstick format (named brugia rapid test). The test is easy to perform and the result can be read in ten minutes. In this study I intended to test the ability of brugia rapid to detect filariasis infection in order to determine timorian filariasis endemic area.
This was a cross-sectional diagnostic test study done in Mainang Puskesmas, Alor Island, East Nusa Tenggara. A total of 500 people were participated in this study. Conventional method, filtration membrane technique, was used as control method (secondary data). The result was analyzed by McNemar Chi-square test.
Result and conclusion: This present study showed that filariasis infection rate based on filtration membrane technique (mf rate) was 27.2%, while brugia rapid was 77.0%. McNemar test clarified that both methods were significantly different (p=0.000). Examination using brugia rapid has 100% sensitivity and 31.59% specificity against filtration membrane.
Based on the results, it was concluded that: Brugia rapid method could be applied as indicator to determine timorian filariasis endemic areas. Brugia rapid was able to detect timorian filariasis infection, but mf rate cannot be predicted by brugia rapid. However, brugia rapid gave more sensitive result compared to filtration membrane. Besides, brugia rapid was able to detect endemic normal, microfilaraemic carriers and chronic lymphoedema patients.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Hendrie
"Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara tropis dan subtropis termasuk di Indonesia dengan perkiraan 6 juta orang terinfeksi filariasis (2004). Pada tahun 2000 WHO mendeklarasikan "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati kesepakatan tersebut. Strategi dari program tersebut adalah dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg. Oleh WHO dianjurkan untuk mengevaluasi program eliminasi karena anak-anak dengan serodiagnosis pada anak berusia 6-10 tahun untuk mengetahui apa transmisi masih berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang penggunaan serodiagnosis, Brugia Rapid, dalam memantau keberhasilan program eliminasi filariasis setelah 5 tahun pengobatan kombinasi DEC-abendazol di daerah endemik filariasis timori, Pulau Alor dengan mengetahui prevalensi antibodi anti filaria IgG4 pada anak-anak sekolah dasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder IgG4 dengan Brugia Rapid dari desain studi uji cross sectional pada Anak Sekolah Dasar setelah 5 tahun pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan prevalensi IgG4 pada berbagai kelompok umur dengan nilai tertinggi pada usia 10 tahun (6,78%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi IgG4 pada anak usia < 10 tahun (1,41% - 2,63%) dibandingkan dengan anak usia > 10 tahun (6,78%). Perbedaan prevalensi juga diamati antara kelompok laki-laki (4,94%) dan perempuan (3,03%) meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa prevalensi IgG4 pada anak Sekolah Dasar tidak dipengaruhi jenis kelamin tapi dipengaruhi oleh umur.

Filariasis is a disease caused by filarial worms and transmitted to humans through mosquito bites. The disease is still a public problem in tropical and subtropical countries including Indonesia where it is estimated that 6 million people were infected filariasis (2004). In 2000 WHO launched "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" and Indonesia is one of the countries agreed in this agreement. The strategy of this program is an annual treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg body weight in combination with 400 mg albendazol to risked population. To evaluate the success of the program, WHO recommended to use serodiagnosis in children aged 6-10 years. Therefore, this research is proposed to investigate furthur the use of serodiagnosis, Brugia rapid, in monitoring the success of the filariasis elimination program after five years treatment with a combination of DEC-Albendazole (2002-2007) in filariasis timori endemic area, Alor Island by determining the prevalence IgG4 anti-filaria antibody in primary school children. The research was conducted using secondary data of IgG4 detected by Brugia rapid from a cross sectional study in Primary School Children after 5 years treatment. The result showed that there was differences in the prevalence of various age groups with the highest prevalence at the age of 10 years (6,78%) . The differences of the prevalence between children < 10 years old (1, ...% - 2,..%) and children > 10 years old (6,78%) is significant. However, the difference of IgG4 prevalence between boys and girls is not significant. This study revealed that sex of the children did not influence the prevalence of IgG4 but it was influenced by age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Robert
"Filariasis limfatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis denganstrategi pengobatan massal menggunakan kombinasi DEC Albendazol yangdiberikan setiap tahun pada populasi berisiko selama 4 6 tahun Kabupaten Alortelah melaksanakan program eliminasi filariasis dari tahun 2002 2007 Penelitiandilakukan untuk mengetahui prevalensi antigen filaria W bancrofti pada anaksekolah dasar dan mengevaluasi hasil pengobatan massal di Kabupaten Alor NTT Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang berupa prevalensipenderita filariasis sesudah pengobatan selama 6 tahun Deteksi antigen padasampel darah dilakukan dengan menggunakan ICT Sebanyak 1295 sampel telahdikumpulkan dan antigen masih terdeteksi pada 6 sampel 0 46 Uji statistikmenunjukkan hasil deteksi antigen tidak menunjukkan perbedaan bermakna padaberbagai usia p 0 875 jenis kelamin p 0 438 dan wilayah kecamatan p 0 322 Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan prevalensi antigenfilaria dan respons pengobatan massal sama baiknya pada berbagai umur jenis kelamin dan wilayah kecamatan

Lymphatic filariasis remains public health problem in Indonesia WHO setfilariasis elimination program to endemic countries with DEC Albendazolecombination every year during 4 6 years for risky population Kabupaten Alor hasimplemented filariasis elimination program in 2002 2007 This research isproposed to know prevalence of W bancrofti filarial antigen in primary schoolstudents and to evaluate medication result in Kabupaten Alor NTT This researchuses cross sectional study design in form of prevalence of people with filariasisafter the medication Filarial antigen from blood sample is detected by ICT Totalof 1295 samples were collected and 6 samples 0 46 showed positive antigenresult Statistical test shows that antigen detection results is not significantlydifferent for each ages p 0 875 sexes p 0 438 and sub district area p 0 322 The result shows decreasing the prevalence filarial antigen and wellmedication response for each ages sexes and sub district area"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Edwin Budiman
"Dalam upaya mengeliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan GPELF (Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis) yaitu pengobatan massal menggunakan kombinasi obat DEC- Albendazol. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keberhasilan pengobatan massal tersebut dengan menilai prevalensi antigen W. bancrofti pada anak SD di daerah endemis yaitu Kabupaten Alor, NTT setelah menjalani enam tahun program. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi Mf < 1%, mengindikasikan keberhasilan program ini. Dari uji statistik menggunakan Fisher test, prevalensi antigen W. bancrofti tidak berkorelasi dengan persebaran kelompok umur (p=0,872), jenis kelamin (p=0,687), maupun letak kecamatan asal (p=0,061). Penelitian ini juga membandingkan dua pemeriksaan yaitu mikroskopis (gold standard) dan ICT. Uji diagnostik menunjukkan ICT mempunyai sensitivitas 0% dan spesifitas 99,54%, mengindikasikan ICT masih perlu dikaji lebih lanjut. Namun, ICT lebih praktis digunakan, sehingga dapat direkomendasikan untuk screening apabila pemeriksaan mikroskopis tidak tersedia.

GPELF (Global Program for the Elimination of Lymphatic Filariasis) is a mass drug administration program by WHO using the combination of DECAlbendazole to eliminate lymphatic filariasis around the globe, including Indonesia as one of the endemic countries. As a global-scale program which demands great amount of money, GPELF needs to be evaluated consistently. Thus, this study is designed to evaluate the program by measuring the prevalence of W. bancrofti antigen in elementary students living in Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Alor is one of the endemic regions in Indonesia that had been joining the program for six years from 2002 to 2007. The result shows that Mf rate below 1% indicates the program has been succesful in eliminating lymphatic filariasis. This study also analyzes the correlation between the prevalence of W. bancrofti antigen with age group, sex, and district. Fisher test shows that there is no correlation between the prevalence of W. bancrofti with age group (p=0,872), sex (p=0,687), and district (p=0,061). This study also tries to determine whether ICT can be used as the only diagnostic test in endemic areas by analyzing its result compared with microscopic examination result. It shows that ICT has very low sensitivity but very high specifity compared to the gold standard. Moreover, ICT has practical advantages over microscopic examination so that this serology test can be considered to be used when microscopic examination is not available."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Filariasis limfatik merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan proporsi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria antara dua daerah endemis dan mengukur distribusi faktor risiko yang berhubungan signifikan dengan kejadian filariasis pada kedua daerah tersebut.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan desain studi cross-sectional. Analisis dilakukan terhadap proporsi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria dan distribusi faktor risiko filariasis pada kedua daerah. Analisis menggunakan uji proporsi kelompok tidak berpasangan Chi-Square.
Hasil: Prevalensi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria pada penduduk kelurahan Jati Karya (73.9%) secara signifikan (p<0.001) lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk kelurahan Jati Sampurna (53.2%). Analisis distribusi faktor risiko menunjukkan faktor risiko yang signifikan (p=0.001) menentukan perbedaan prevalensi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria antara kedua daerah adalah status kependudukan, yang dibedakan menjadi penduduk asli dan pendatang.
Kesimpulan: Prevalensi filariasis berdasarkan status IgG4 antifilaria signifikan lebih tinggi pada penduduk kelurahan Jati Karya dibandingkan dengan penduduk kelurahan Jati Sampurna. Tingginya prevalensi filariasis pada penduduk kelurahan Jati Karya dipengaruhi penduduk asli yang secara signifikan lebih tinggi menyebabkan risiko pajanan filariasis lebih tinggi pada penduduk kelurahan Jati Karya dibandingkan dengan penduduk pada kelurahan Jati Sampurna.

Background: Lymphatic filariasis is an infectious disease caused by nematode and transmitted by mosquito?s bite. This research aims to compare filariasis proportion based on IgG4 antifilaria status between two endemic areas and to measure filariasis risk factors distribution in these two endemic areas.
Method: The method used in this research is observational analitic with cross-sectional design. The number of filariasis based on IgG4 antifilaria in the two regions was then compared, and the distribution of the risk factors of filarial infection affecting the difference of filariasis prevalence between the two regions were analyzed. Data analysis was made using Chi-Square test.
Result: Filariasis status based on IgG4 antifilaria in subjects living on kelurahan Jati Karya (73,9%) was significantly (p < 0.001) higher than subjects living on kelurahan Jati Sampurna (53.2%). Analysis of distribution of filariasis risk factors showed that the most important risk factors affecting the difference of IgG4 antifilaria status between the two regions was the demographic profile (p = 0.001), which was divided into indigenous and migrants.
Conclusion: Filariasis prevalence based on IgG4 antifilaria status was significantly higher in the residents of kelurahan Jati Karya than in the residents of kelurahan Jati Sampurna. The high prevalence of filariasis in kelurahan Jati Karya was affected by demographic profile, where indigenous people in kelurahan Jati Karya had significantly higher filarial status than those in kelurahan Jati Sampurna. As a result, compared to the residents of kelurahan Jati Sampurna, there was an increase in filariasis exposure to the residents of kelurahan Jati Karya.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfie
"Hingga saat ini, filariasis adalah salah satu penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Sebagai upaya eliminasi filariasis limfatik, WHO mencanangkan program pengobatan masal yang berlangsung selama enam tahun menggunakan kombinasi DEC – albendazol. Adapun program eliminasi filariasis di Kabupaten Alor, NTT, sudah dimulai sejak tahun 2002. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keberhasilan program tersebut melalui pengukuran kadar antibodi spesifik filaria IgG4 dengan Pan LF. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada anak Sekolah Dasar di Kabupaten Alor, NTT. Sampel darah dikumpulkan dari 1232 anak SD usia 3 hingga 10 tahun, yang terdiri dari 629 anak laki – laki dan 603 anak perempuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan terjadinya penurunan prevalensi positif IgG4 secara signifikan. Prevalensi IgG4 tidak dipengaruhi oleh umur (p=0,765) maupun jenis kelamin (p=0,941), akan tetapi dipengaruhi oleh kecamatan tempat tinggal (p=0,042). Disimpulkan bahwa pengobatan massal yang dilakukan di Kabupaten Alor berhasil menurunkan prevalensi positif IgG4 pada anak SD.

Until now, filariasis is one of the infectious diseases troubling the world. To eliminate it, WHO implements a six year mass drug administration program using the combination of DEC-albendazol. The elimination program in Alor district, NTT, has been started since 2002. The purpose of this research is to evaluate the program by measuring IgG4 antibody titre with Pan LF. This study uses cross sectional design to elementary school students in Alor district, NTT. The blood samples were collected from 1232 elementary school students whose ages ranged from three to ten years old, consisted of 629 boys and 603 girls. The result shows a significant decrease of positive IgG4 prevalence. The prevalence is not influenced by age (p=0,765) and sex (p=0,941), but is influenced by subdistrict (p=0,042). It is concluded that the mass drug administration held in Alor district succeed to lower the positive IgG4 prevalence on elementary school students."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taniawati Supali
"Filariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oieh cacing filaria pad pembuluh dan kelenjar limfe, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Gejala klinik akut berupa demam beruiang, peradangan saluran atau kelenjar limfe, oedema dan gejala kronis berupa elefantiasis. Penyakit ini menyerang kelompok masyarakat yang aktif bekerja di daerah pedesaan sehingga dapat menurunkan produktivitas ekonomi suatu komunitas.
Di Indonesia lebiii dari 20 juta penduduk tinggal di daerah endemis filariasis dan kira-kira 3-4 juta dari jumlah tersebut terinfeksi filariasis (Partono & Bintari, 1989). Dan ke-3 spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia, Brugia malayi mempunyai penyebaran yang paling luas di Indonesia.
Program pengendalian filariasis telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970, melalui pemberian DEC secara massal pads penduduk yang tinggal di daerah endemis. Ada beberapa kendala dalam memantau keberhasilan program tersebut, yaitu: (I) Keengganan penduduk diambil darah malam berulang-ulang (2) Mahalnya biaya operasional pengambilan darah malam, dan (3) Pemeriksaan entomologis konvensional melalui pembedahan nyamuk langsung di bawah mikroskop di lapangan tidak dapat membedakan spesies larva parasit, terutama di daerah B. malayi terdapat bersamaan dengan parasit filaria hewan B. pahangi.
Dengan menggunakan bioteknologi telah dikembangkan pelacak DNA yang ditandai molekul radioaktif untuk parasit B. malayi (Piessens dkk., 1987), tetapi pelacak DNA radioaktif tersebut mahal, waktu parch pendek, perlu latihan khusus untuk pemakaiannya, perlu pembuangan khusus dan berbahaya bagi pemakainya.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan pelacak DNA yang ditandai molekul nonradioaktif, tetapi pelacak DNA non-radioaktif ini kurang sensitif dibandingkan dengan pelacak DNA radioaktif. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mengembangkan pelacak DNA B. malayi non-radioaktif yang spesifik dan sensitif pada tes dot blot dan dapat digunakan sebagai alat pemantau secara entomologis pada program pengendalian filariasis B. malayi di daerah-daerah endemis di Indonesia. Ada 7 persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pelacak DNA digunakan sebagai alat pemantau, yaitu: (1) Harus dapat dihasilkan dalam jumlah yang tidak terbatas dengan waktu yang relatif singkat di Indonesia, (2) Harus stabil dalam kurun waktu lama, (3) Harus spesifik dan sensitif untuk parasit B. malayi, (4) Harus dapat bereaksi dengan B. malayi di Indonesia, (5) Harus sensitif untuk mendeteksi I larva infektif B. malayi dalam nyamuk, (6) Tes dot blot harus dapat diulang, dan (7) Tes dot blot harus mudah dilakukan.
Sikuensing DNA berulang B. malayi dari beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan sebelum menentukan sikuen pelacak DNA B. malayi barn. Tiga strain B. malayi dari Indonesia, yaitu B. malayi strain Kendari (zoofilik subperiodik), B. malayi strain Bengkulu (zoofilik subperiodik), dan B. malayi strain Buton (antrofilik) telah dianalisis hasil sikuen DNA berulangnya dengan komputer untuk mendapatkan suatu konsensus sikuen DNA berulang B. malayi Indonesia.

Filariasis is a disease resulting from an infection with a nematode parasite in lymph vessels and lymph nodes, and is transmitted by mosquito bites. The acute clinical manisfestations of lymphatic filariasis are characterized by fever, lymphadenitis, retrograde lymphangitis, oedema and the chronic clinical manisfestation is characterized by elephantiasis. The disease is predominantly affecting the young and the active working people in rural and slum areas, therefore it will decrease the economic productivity of the community significantly.
More than 20 million people live in endemic areas and approximately 3-4 million are currently infected. From the three species of parasites infecting man, drug malayi is the major and is widely distributed throughout the Indonesian islands.
Filariasis control program has been launched by the government since 1970, however, it met the following constraints in monitoring the progress of control program, (I) Poor participation in night blood collection from the people, (2) High costs of surveillance, and (3) Inappropriate technology in conventional entomological assessment to distinguish the infective larvae in vector mosquitoes.
In the last few years, new techniques for entomological assessment were explored using biotechnology. A radioactive B. malayi DNA probe was developed (Piessens et al., 1987) The radioactive labelled DNA probes are not suitable for field use because they are expensive, they have a short shelf life, and special training for handling the probes is imperative. Besides, laboratories arrangements for safe disposal are necessary.
Recently, non-radioactive labelled DNA probes have been developed but these probes were less sensitive compared to the radioactive labelled probes. Therefore, the objective of this experiment is to develop a new non-radioactive B. malayi DNA probe, which has more advantages than the conventional radiolabelled DNA probe, is specific and sensitive in a dot blot assay as a tool in entomological assessment for monitoring the progress of the filar ias i s control program in B. malayi infected areas of Indonesia. There are 7 requirements to be fulfilled before the probe can be widely used, such as:
1. The probe should be produced in a sufficient quantity in a relatively short period in Indonesia.
2. The probe should be stable.
3. The probe should he specific and sensitive for B. malayi parasite.
4. The probe should be able to hybridize with the Indonesian B. malayi strains.
5. The probe should be sensitive enough to detect 1 L3 in mosquitoes.
6. The dot blot assay should be reproducible.
7. The dot blot assay should be simple.
A new 25-mer (25 nucleotides) B. malayi DNA probe was designed by-comparing the consensus sequences of B. malayi to B. pahangi. In order to produce the probe in Indonesia, it needs to be cloned in the plasmid DNA (plasmid bluescript). However, it was found that the probe is too small to be an effective probe in a vector DNA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
D348
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffry Adijaya Susatyo
"Filariasis merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh cacing dari genus Filaria yang penularannya melalui gigitan berbagai jenis nyamuk. Di Indonesia kasus filariasis keberadaannya masih tinggi. Desa Jati Sampurna dan Jati Karya Kecamatan Pondokgede Kabupaten Bekasi Jawa Barat telah diketahui merupakan daerah endemik kecacingan. Diduga lama tinggal di daerah tersebut berpengaruh terhadap insidensi filariasis di kedua desa tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi IgG4 antifilaria pada penduduk daerah tersebut dan perbandingannya dengan lama menetap dan status kependudukan. Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis pada data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data hasil penelitian utama yang dikerjakan secara cross-sectional. Data?data tersebut digunakan untuk menilai hubungan faktor risiko infeksi filaria pada ibu hamil yang tinggal di daerah endemik kecacingan berdasarkan distribusi IgG4 antifilaria di kecamatan Pondok Gede Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Hasil Penelitian menunjukkan terdapat peningkatan IgG4 anti-filaria terhadap status kependudukan (p = 0,017) dan korelasi positif antara jumlah IgG4 anti-filaria dengan lama tinggal dalam tahun (p = 0,003).

Filariasis is a contagious disease caused by worms of the genus Filaria which transmitted through the bite of various species of mosquitoes. In Indonesia the existence of filariasis cases are still high. Jati Sampurna and Jati Karya village in Pondokgede Sub-district, Bekasi District, West Java has been known as filariasis endemic area. Length of stay is presumed as one of many factors that affects filariasis incidence in those villages. This study aimed to determine the distribution of IgG4 antifilaria on the region and its comparison with the length of stay and residence status. This study is based on secondary data. Secondary data were obtained from primary research data done by cross-sectional method. These data were used to assess the association of risk factors filarial infection in pregnant women living in endemic areas based on the distribution of IgG4 antifilaria in Pondok Gede, Bekasi district, West Java. Research shows there is an increase in anti-filarial IgG4 against residence status (p = 0.017) and a positive correlation between the number of anti-filarial IgG4 with length of stay in years (p = 0.003)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joses Saputra
"Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal DEC-Albendazol divKabupaten Alor. Obat diberikan setiap tahun selama 6 tahun dari tahun 2002-2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi filariasis setelah program eliminasi melalui pemeriksaan serologi pada murid SD dan orang dewasa. Deteksi serologi, antibodi anti-filaria IgG4, dilakukan dengan menggunakan uji Pan LF.
Desain potong lintang telah digunakan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Sebanyak 1232 murid SD ( 629 anak laki dan 605 anak perempuan) dan 427 orang dewasa (206 laki-laki dan 221 perempuan) telah diambil darah jari pada malam hari dan diperiksa adanya antibodi anti-filaria IgG4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 sampel (0,97%) positif IgG4 pada murid SD dan 14 sampel (3,27%) pada orang dewasa. Analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut (p = 0.001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa laki-laki memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,39%) dibandingkan dengan murid SD laki-laki (0,95%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,022) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa perempuan memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,16%) dibandingkan dengan murid SD perempuan (0,99%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,034) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Dari penelitian ini dapatlah disimpulkan bahwa ada penurunan prevalensi IgG4 positif yang cukup signifikan pada murid SD dibandingkan pada orang dewasa.

Filariasis elimination program through DEC-albendazole mass treatment in Alor District. The drug is given every year for 6 years from 2002-2007. This study aims to determine the prevalence of filariasis after elimination program through serology test in primary school students and adult. Serological detection, anti-filarial IgG4 antibodies, carried out by using the test LF Pan.
Cross-sectional design was used in this study. The data used in this study is a secondary data from the Department of Parasitology Faculty of medicine. There are total of 1232 elementary school students (629 boys and 605 girls) and 427 adult (206 men and 221 women) had blood taken from finger at night finger and checked the anti-filarial IgG4 antibodies.
The results showed that 12 samples (0.97%) positive IgG4 in elementary school students and 14 samples (3.27%) in the adult. Statistical analysis using Chi square test showed a significant difference between the two groups (p = 0.001).
The results showed that adult male have a higher IgG4 positive prevalence (3.39%) compared with male primary school students (0.95%) with the results of Fisher's test (p = 0.022) indicating a significant difference.
The results showed that adult women have a higher IgG4 positive prevalence (3.16%) compared with girls of elementary school children (0.99%) with the results of Fisher's test (p = 0.034) indicating a significant difference. From this study it can be concluded that there is a significant decrease of IgG4 positive prevalence in elementary school students compared to adult.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>