Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180140 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Desy Kharina
"Pembantu rumah tangga merupakan salah satu jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh wanita. Pada umumnya wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga berusia ≤ 18 tahun, dengan pendapatan yang masih jauh di bawah UMR. Pembantu rumah tangga mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, serta mengasuh anak. Banyaknya pekerjaan yang dilakukan pembantu rumah tangga harus disesuaikan dengan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Konsumsi makanan dapat memengaruhi status gizi seseorang, dimana ada tiga jenis status gizi, yaitu status gizi kurang, normal, dan gizi lebih.
Pembantu rumah tangga yang tinggal menetap di rumah pengguna jasa cenderung memiliki pola makan dan jenis makanan yang sama. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa makanan yang dikonsumsi pengguna jasa berbeda dengan yang dikonsumsi oleh pembantu rumah tangga. Perbedaan makanan yang dikonsumsi juga mengakibatkan adanya perbedaan asupan energi dan zat gizi lain seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Selain itu, ada juga perbedaan status gizi. Berdasarkan penelitian Renur (2007) mengenai status gizi pada tenaga kerja wanita di tiga sektor industri menunjukkan bahwa sebesar 23,5% tenaga kerja wanita berstatus gizi kurang.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan IMT pada pembantu rumah tangga di Perumahan Duta Indah Bekasi. Disain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain studi cross sectional dan bersifat deskriptif dengan menggunakan uji statistik chi square. Pengambilan data dilakukan melalui recall 2 x 24 jam untuk konsumsi makanan (asupan energi, protein, karbohidrat, dan lemak), serta wawancara kuesioner untuk faktor-faktor berhubungan yaitu faktor biologis (umur), dan faktor sosial ekonomi (tingkat pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan gizi. Populasi target adalah pembantu rumah tangga yang tinggal menetap di rumah pengguna jasa di Perumahan Duta Indah. Jumlah sampel penelitian adalah 100 orang pembantu rumah tangga dan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan systematic random sampling.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus gizi normal (80%), ada 8% responden yang berstatus gizi kurang, dan 12% responden berstatus gizi lebih. Rata-rata IMT pembantu rumah tangga adalah 21,99 kg/m2. IMT maksimum sebesar 34,01 kg/m2 dan minimum sebesar 17,78 kg/m2. Responden berada pada kelompok umur ≥ 21 tahun (52%) dan belum menikah (71%). Sebagian besar responden memiliki frekuensi makan baik (79%). Sebanyak 75% responden memiliki asupan energi kurang (< 80% AKG), sebanyak 59% responden asupan proteinnya cukup (≥ 80% AKG), sebanyak 90% responden asupan karbohidratnya kurang (< 65% total energi) dan sebanyak 88% responden asupan lemaknya baik (≥ 20% total energi). Sebagian besar responden (94%) memiliki tingkat pendidikan rendah, sebanyak 49% responden berpendapatan rendah, dan ada 63% responden yang berpengetahuan rendah.
Pendidikan memiliki hubungan bermakna dengan status gizi, akan tetapi faktor biologis (umur), konsumsi makanan (frekuensi makan, asupan energi, asupan protein, asupan karbohidrat, dan asupan lemak), dan faktor sosial ekonomi (pendapatan dan pengetahuan) tidak memiliki hubungan bermakna dengan status gizi pada pembantu rumah tangga."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkya Nur Annisa Putri
"Masa baduta (bawah dua tahun) merupakan ?Window of opportunity?. Pada masa ini, seorang anak memerlukan asupan zat gizi yang seimbang baik dari segi jumlah maupun proporsinya untuk mencapai berat dan tinggi badan yang optimal. Gizi kurang ataupun gizi buruk yang terjadi pada masa baduta akan sangat mempengaruhi masa pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini akan membawa dampak negatif terhadap kondisi kesehatan baduta tersebut di masa yang akan datang
(masa dewasa). Masalah gizi kurang maupun gizi buruk yang terjadi pada baduta di Depok tergolong sangat serius. Tren gizi buruk yang terjadi sejak tahun 2003 hingga 2007 selalu mengalami peningkatan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai gambaran status gizi baduta di wilayah kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok, tahun 2008 dan faktor-faktor apa saja yang
berhubungan dengan status gizi tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Data Dasar Gizi dan Kesehatan Baduta dan Bumil di Kecamatan Pancoran Mas, Depok, tahun 2008, dengan desain studi cross sectional. Jumlah sampel adalah 570 baduta. Analisis yang digunakan adalah univariat dan bivariat. Analisis univariat bertujuan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dan mendeskripsikan variabel dependen dan independen. Sedangkan analisis bivariat bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel independen dan dependen, yaitu dengan menggunakan uji
chi square (X2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3,8% tergolong obese, 6,6% tergolong overweight, 9,7% berisiko overweight, 65,6% memiliki IMT yang sesuai dengan umurnya (normal), 11% baduta tergolong kurus, dan 3,4% tergolong sangat kurus. Berdasarkan hasil uji chi square, ternyata penyakit infeksi memiliki hubungan yang bermakna sengan status gizi baduta. Sedangkan anggota keluarga yang merokok dan perilaku menyusui tidak berhubungan dengan status gizi. Begitu juga dengan pengetahuan ibu mengenai ASI eksklusif, pekerjaan, dan pendidikan ibu yang tidak berhubungan dengan perilaku menyusui.
Untuk meningkatkan status gizi baduta, disarankan pemerintah setempat untuk meningkatkan kampanye mengenai perilaku hidup bersih dan sehat agar pengetahuan masyarakat terutama ibu baduta dapat meningkat. Selain itu, kampanye mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif juga perlu ditingkatkan mengingat masih rendahnya persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif. Kader sebagai sahabat
sumber informasi terdekat bagi masyarakat dapat meningkatkan fungsinya dengan cara membuka pelayanan konseling bagi ibu-ibu hamil atau menyusui mengenai ASI eksklusif dan MP-ASI (makanan pendamping ASI). Perlu diadakan penelitian lebih dalam mengenai hubungan antara anggota keluarga yang merokok dengan status gizi baduta atau faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi baduta."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dading Setiawan
"Bekasi merupakan salah satu daerah endemis penyakit DBD di propinsi Jawa Barat Dan 8 kecamatan yang ada di kota Bekasi, angka insidens per 100.000 penduduk di kecamatan Bekasi Selatan selalu menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat Disamping itu angka kepadatan penduduk di kecamatan Bekasi Selatan termasuk yang tertinggi di kota Bekasi pada tahun 1998, keadaan ini menyebabkan kebutuhan akan air bersih menjadi meningkat. Dan data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 1998 persentase penduduk yang menggunakan ledeng baru mencapai 12,80 % dibandingkan dengan sumur pompa yang menempati urutan tertinggi, yaitu 60,5 %, sedang pada tahun sebelumnya 5,42 % penduduk menggunakan ledeng dan 62,64 % menggunakan sumur pompa. Masih tingginya penggunaan sumur pompa sebagai stinker air bersih menyebabkan kebiasaan untuk menampung air pada tempat penampungan air (TPA) masih sering dilakukan, sebagai akibatnya adalah meningkatnya tempat tempat perkembang biakan nyamuk A. aegepty.
Meskipun belum pernah dilakukan penelitian mengenai tingkat kepadatan jentik hubungannya dengan kejadian DBD di kota Bekasi, namun melihat tingginya penggunaan TPA di Bekasi, diperkirakan kepadatan jentik aedes di kota Bekasi khususnya di kecamatan Bekasi Selatan cukup tinggi. Untuk itu perlu diketahui faktor apa saja yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes pada TPA di rumah tangga dan sepengetahuan peneliti, penelitian seperti ini belum pernah dilakukan di kota Bekasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah beberapa faktor seperti letak TPA, jenis bahan TPA, warna TPA, ada tidaknya tutup TPA, fungsi TPA serta frekuensi pembersihan TPA ada hubungannya dengan keberadaan jentik Aedes pada TPA di rumah tangga. Desain yang digunakan adalah Cross sectional dengan besar sampel 240, menggunakan cam cluster dua tahap. Populasi penelitian adalah seluruh TPA yang ada di rumah tangga di kecamatan Bekasi Selatan, sedang sampel peneltian adalah TPA di rumah tangga yang terpilih secara acak dengan kriteria tidak dilakukan pemberian bubuk abate atau bahan kimia pembunuh jentik lainnya sekurang kurangnya dalam tiga bulan terakhir.
Hasil penelitian menunjukkan dari 6 variabel yang semula diduga berhubungan dengan keberadaan jentik pada TPA, ternyata hanya 3 variabel yang secara bermakna berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes pads TPA, yaitu letak TPA, tutup TPA dan frekuensi pembersihan TPA. TPA yang terletak di dalam rumah mempunyai peluang ditemukannya jentik sebesar 4,74 kali dibandingkan dengan TPA yang terletak diluar atau disekitar rumah (95 % CI.:2,58 -- 8,73), demikian juga peluang ditemukannya jentik pada TPA yang tidak dilengkapi dengan tutup 4,12 kali dibandingkan dengan TPA yang dilengkapi dengan tutup (95 % CI : 2,05 - 8,28), kemudian peluang ditemukannya jentik pada TPA dengan frekuensi pembersihan lebih dari seminggu sekali 2,08 kali dibandingkan dengan TPA yang dibersihkan dengan frekuensi kurang atau sama dengan seminggu sekali (95 % Cl: 1,11 - 3,91). Variabel jenis bahan serta fungsi TPA dari basil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan bermakna, namun dari analisis multivariat tidak ditemukan adanya hubungan bermakna, sedang satu variabel lain yaitu warna TPA dari analisis bivariat tidak ditemukan adanya hubungan bermakna.
Hasil penelitian menyarankan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB, disamping itu kegiatan penyuluhan di Bekasi Selatan dengan materi penyuluhan yang lebih menekankan pada penggunaan tutup pada TPA serta frekuensi pembersihan TPA secara rutin sekurang kurangnya seminggu sekali perlu terus dilakukan.
Daftar bacaan : 36 (1971 - 2001)

Factors Related to Existence of Aedes Larva in Household Water Container in Sub-district of Bekasi Selatan, in 2001Bekasi is one of the most endemic areas for DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) in Sawa Barat province. Among 8 sub-districts in Bekasi, Bekasi Selatan is the only sub-district with a trend of continuous increase of incidence rate (per 100,000 population). Bekasi Selatan had the highest population density in 1998, and therefore requirement for clean water supply became increasing. The reported data showed that in 1998, the proportion of population using clean water supply (ledeng) was just 12.8%, compared to 60.5% for pumped well water. In the previous year (1997) it was reported that 5.4% of population used clean water supply, while 62.6% still used pumped well water. Because of frequent use of well water, people tend to save the water in a container, which in turns may increase breeding places for Aedes aegepty.
Although there has not been any study conducted to investigate the relationship between density of mosquito larva and DHF incidence in Bekasi,_ it is presumed that the Aedes larva density in Bekasi, especially in sub-district of Bekasi Selatan, is quite high. Therefore it is interesting to study factors related to existence of Aedes larva in household water container, knowing that this kind of study had not been done in Bekasi.
This study was aimed to know if several factors, such as position, material, color, lid availability, function, cleaning frequency of water container were associated with Aedes Iarva existence. In this cross-sectional study, 240 samples were collected using two-stage cluster sampling method. Study population was all water containers in the households in sub-district of Bekasi Selatan, while samples were water containers in the households selected randomly with a criteria of not using abate powder or any chemical substance (for killing the larva) within at least the past 3 months.
Study results showed that among 6 variables investigated, only 3 were significantly associated with Aedes larva existence, i.e. position, lid availability and cleaning frequency of water container. The likelihood to find larva in indoor water container was 4.74 times higher than the corresponding likelihood in outdoor container (95% CI: 2.68 - 8.73). Compared with water container with lid, the likelihood to find the larva in water container without lid was 4.12 times higher (95% CI: 2.05 - 8.28). Water containers cleaned less frequently (once in more than a week) were more likely (2.08 times) to have larva thanwater containers cleaned more frequently (95% CI: 1.11 - 3.91). Although in bivariate analysis material or function of water container showed some associations with larva existence, in multivariate analysis no associations were found. Color of water container did not even show any association in bivariate analysis.
Our results suggested that awareness of DHF outbreak possibility must be enhanced. Dissemination of information concerning the continuation of using water container with lid and frequent cleaning of it (at least once a week) was also recommended.
Reference list: 36 (1971 -- 2001)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Kurniasih
"Konsumsi rokok di Indonesia semakin meningkat setiap tahun. Padahal konsumsi rokok merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan yang berkembang sangat cepat di dunia. Total perokok aktif di Indonesia mencapai 70% dari total penduduk. Aktivitas ini dimulai sejak masa remaja atau anak-anak. Hampir 90% perokok tetap memulai aktivitas merokok pada usia di bawah 18 tahun. Hasil penelitian Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menunjukkan bahwa 30% anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Jakarta, Bekasi dan Medan ternyata sudah merokok.
Penelitian yang menggunakan desain studi cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok pada siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kota Bekasi. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang yang dipilih dengan metode stratified random sampling dari seluruh SLTP yang ada di kota Bekasi.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa responden lebih banyak berumur ≤ 13 tahun (51%). Responden terbanyak berjenis kelamin perempuan (56%). 18% respon - den pernah merokok dan 88,9% dari jumlah tersebut masih aktif merokok. Hanya 53% responden yang memiliki pengetahuan tinggi tentang rokok dan bahayanya untuk kesehatan dan 57% responden memiliki sikap positif terhadap rokok. Hasil dari analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin memiliki hubungan dengan perilaku merokok pada siswa SLTP di Kota Bekasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S5279
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Yani Suryana
"Suksesnya pembangunan kesehatan dan gizi yang dilaksanakan Indonesia telah dapat menurunkan masalah gizi yang dihadapi secara bermakna. Tetapi suksesnya pembangunan tersebut mengakibatkan pula perubahan pola penyakit yang ada di Indonesia. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi terlihat berkurang, sebaliknya penyakit degenaratif dan penyakit kanker meningkat. Peningkatan kemakmuran ternyata diikuti oleh perubahan gaya hidup. Pola makan terutama di kota-kota besar bergeser dari pola makan tradisional yang banyak mengkonsumsi karbohidrat, sayuran dan serat ke pola makanan masyarakat barat yang komposisinya terlalu banyak mengandung lemak, protein, gula dan garam tetapi miskin serat. Sejalan dengan itu pada beberapa tahun terakhir ini mulai terlihat peningkatan angka prevalerisi kegemukan/obesitas pada sebagian penduduk Indonesia terutama di kota-kota besar, yang diikuti pula pada akhir-akhir ini di pedesaan.
Kelebihan gizi dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan penyakit batu kandung empedu. Salah satu faktor yang berperan adalah adanya kebiasaan makan-makanan trendi, makan-makan berlemak. Disamping itu faktor aktivitas fisik juga berperan dalam mengatur kebutuhan energi, dalam hal ini menyangkut aktivitas pekerjaan dan aktivitas olah raga. Selain itu faktor-faktor lain yang berperan adalah umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah status gizi lebih dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor.
Desain penelitian ini adalah "cross sectional" dengan memanfaatkan data sekunder hasil pengumpulan data status gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 1997. Kemudian data yang diperoleh dianalisa baik secara bivariat maupun multivariat dengan menggunakan regresi logistik antara faktor risiko (kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan olah raga) dengan status gizi lebih pada orang dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor adalah sebesar 23,88% (klasifikasi Depkes).
Berdasarkan hasil analisis bivariat faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna antara lain : kebiasaan makan-makanan trendi. kebiasaan makan-makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Dari hasil analisis model multivariat dengan memasukkan secara bersama-sama semua faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa. dapat diketahui ada tiga faktor risiko yang berhubungan dengan status gizi lebih pada orang dewasa yaitu, kebiasaan makan-makanan trendi, umur dan jenis kelamin.
Selanjutnya dari analisis model regresi menunjukkan bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok orang dewasa yang berumur 30-39 tahun kejadiannya 2,96 kali lebih tinggi, 40-49 tahun kejadiannya 5,01 kali lebih tinggi, 50-59 tahun kejadiannya 3,91 kali lebih tinggi, 60-65 tahun kejadiannya 2,73 kali lebih tinggi. dibandingkan kelompok umur < 30 tahun. Selain itu juga dapat diketahui hasil dari analisis model regresi bahwa proporsi status gizi lebih orang dewasa di Kota Bogor pada kelompok yang jarang mengkonsumsi makan-makanan trendi 1,31 kali lebih tinggi dan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kejadiannya 2,97 kali lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah mengkonsumsinya. Sementara itu proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok orang dewasa yang berjenis kelamin perempuan 2,29 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Terdapat interaksi faktor kebiasaan makan-makanan trendi dengan jenis kelamin dalam kaitannya dengan status gizi lebih pada orang dewasa di Kota Bogor . Dimana pada kelompok perempuan yang jarang(1-4 kali/bulan) mengkonsumsi makan-makanan trendi proporsi status gizi lebilmya kemungkinannya 0,73 kali dari kelompok laki-laki yang jarang mengkonsumsinya. Demikian pula proporsi status gizi lebih orang dewasa pada kelompok perempuan yang sering mengkonsumsi makan-makanan trendi kemungkinannya 0,32 kali dari kelompok laki-laki yang sering mengkonsumsinya.

Factors Related to the Status of Excess of Nutrition on Adults in Bogor in 1997 (Analysis of Secondary Data)The success on health and nutrition development program carried out has been able to decrease nutritious problem that is faced by Indonesian significantly. However, the development also results in changing disease pattern that exists in Indonesia. Infectious disease and malnutrition seems decreased, on the contrary the generative and cancer diseases increased. The increasing of prosperity is followed by the changing of life style. The pattern of having food especially in the big cities moves from a traditional food pattern that consumes a lot of carbohydrate, vegetables and fiber into having a western food pattern that consumes a lot of fat, protein, sugar and salt but consumes less fiber. As consequences, the increase of over weight prevalent value can be seen in recent years in many part of Indonesia, especially in the big cities and also followed by the villages recently.
Excess in nutrition can cause various health problems such as coronary heart, diabetes, hypertension, and gall stone. One factor which plays role is a habit of consuming trend food and fat food. Moreover, physical activity factor also plays role in regulating energy need which includes work and exercise activity. Besides that, other factors that plays role are age, gender and education level.
The purpose of this research is to know the problems of excess of nutrition status and its related factors on the adults in Bogor.
This research design is "cross sectional" by utilizing secundary data on nutritional status of adults. This data collected by Directorate for the Establishment of Nutrition for Community (Direktorat Bina Gizi Masyarakat), Health Department (Departemen Kesehatan) Republic of Indonesia and Health Service Bogor in 1997. The collected data was analyzed by either ` bivariat" or "multivariat" using "Logistic Regression" between risk factors (habit of having trend food, habit of having fat food, age, gender, education level, type of jobs and exercise) and excess of nutrition status of the adults.
The result shows that the excess of nutrition status prevalent of adults in Bogor is 23,88% (Depkes' classification). According to the analysis of "Bivariat" model, the risk factors which have significant relation are: habit of having trend food, habit of having fat food, ages, gender, education levels, and type of jobs.
From the analysis of "multivariat" model using all of the risk factors that are assumed has =elation with the excess of nutrition status of adults, found that there are three risk factors related to the excess of nutrition status of the adults. The three risk factors are habit of having trend food, ages and gender.
Further more, regression analysis model shows that the proportion of excess of nutrition status of the adults in Bogor compare to the group of people with less than 30 years old are as follows:
- Group with the age between 30 and 39 is 2.96 higher,
- Group with the age between 40 and 49 is 5.01 higher,
- Group with the age between 50 and 59 is 3.91 higher, and
- Group with the age between 60 and 69 is 2,73 higher.
Besides that, the regression analysis model also shows that:
- the proportion of excess to nutrition status of the adults in Bogor for a group of people that seldom consumed trend food is 1.31 higher compare to that of group that never consumed trend food, and The group that often consumed trend food is 2.97 higher compare to that of group that never consumed trend food.
Meanwhile the proportion of excess of nutrition status of the female adults is 2.29 higher than male adults.
There is interaction between the habit of having trend food factor and gender that is related to excess of nutrition status of the adults in Bogor. The female group that seldom (1-4 times/month) consumed trend food; the proportion of their excess of nutrition status is 0.73 more than the male group that seldom consumed it. The proportion of excess of nutrition status of the female adults that often consumed trend food is 0.32 higher than the male group that often consumed trend food.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T8370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tinneke Primasari
"Salah satu tolak ukur dalam keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Anak usia sekolah merupakan investasi terbesar suatu bangsa karena merupakan generasi penerus bangsa yang dapat membawa perubahan terhadap bangsanya. Kekurangan gizi pada anak usia sekolah adalah masalah kesehatan yang menyangkut masa depan dan kecerdasan serta berdampak buruk pada masa dewasa yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ini seperti ketidakseimbangan zat gizi, keberadaan penyakit infeksi, kondisi sosial ekonomi dan lain sebagainya. Penilaian status gizi responden berdasarkan klasifikasi WHO-NCHS dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U). Gizi kurang terjadi karena rendahnya konsumsi makanan (energi) dibandingkan dengan kebutuhan dan terjadi dalam jangka waktu yang lama. Dimana keadaan ini diperburuk oleh faktor lingkungan yang tidak mendukung dan perilaku keluarga yang tidak membiasakan anak sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi kurang pada siswa sekolah dasar di 3 kecamatan di Kabupaten Kampar tahun 2007. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian crossectional. Jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 149 siswa. Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji statistik chi-square.
Hasil penelitian menunjukjan sebanyak 16,1% responden berstatus gizi kurang, 2% berstatus gizi buruk, 81,2% berstatus gizi baik dan 0,7% lainnya berstatus gizi lebih. Proporsi responden laki-laki lebih sedikit dibandingkan responden perempuan dan lebih banyak responden dengan umur ≥ 10 tahun dibandingkan responden berumur < 10 tahun. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi baik yaitu sebesar 51,7% dan sebanyak 59,1% responden tidak ikut serta dalam program PMT-AS. Tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara umur, riwayat kesehatan, pengetahuan gizi, kebiasaan makan pagi, kebiasaan jajan, keikutsertaan PMT-AS, pendidikan dan pekerjaan orangtua serta konsumsi zat gizi dengan status gizi siswa. Sedangkan jenis kelamin mempunyai hubungan yang bermakna (p=0,03) dengan status gizi siswa, dimana POR=2,88 yang berarti bahwa anak laki-laki mempunyai peluang 2,88 kali untuk mengalami gizi kurang dibanding anak perempuan. Dari hasil penelitian ini diharapkan kepada pihak sekolah dan pelaksana program pemberian makanan tambahan agar dapat memberikan makanan tambahan kepada siswa dengan status gizi kurang sehingga tujuan program dapat tercapai, yaitu perbaikan status gizi dan kesehatan siswa."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edmon
"Kemajuan dalam bidang ekonomi telah memberikan dampak pada terjadinya proses transisi epidemiologi termasuk dalam bidang gizi. Indonesia saat ini dan pada dekade yang akan datang diperkirakan akan menghadapi 2 jenis masalah gizi. Disatu sisi Indonesia masih menghadapi masalah gizi kurang, sementara disisi lain terjadi peningkatan prevalensi penderita gizi lebih terutama di perkotaan. Keadaan gizi kurang atau lebih terjadi karena kegagalan mencapai gizi seimbang. Ditinjau dari konsumsi makanan ternyata keadaan gizi tidak hanya ditentukan oleh total konsumsi energi saja tetapi juga ditentukan oleh komposisi zat gizi yang dikonsumsi sehari-hari.
Beberapa pengukuran dapat digunakan untuk mengetahui keadaan gizi seseorang. Khusus untuk pemantauan keadaan gizi orang dewasa, salah satu cara yang dikenal dan sering digunakan adalah dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Dengan mengetahui IMT dapat dinilai apakah keadaan gizi seseorang kekurangan berat badan (kurus), normal atau kelebihan berat badan (gemuk). Dalam rangka mengetahui masalah gizi pada orang dewasa, dan menemukan alternatif penanggulangannya terutama di daerah perkotaan, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI bekerjasama dengan FKM-UI telah melakukan penelitian di 12 kota di Indonesia. Sedangkan data yang dianalisa dalam rangka pembuatan tesis ini adalah merupakan bagian dad penelitian diatas yang mencakup 10 kota di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang lebih berperanan dari berbagai variabel yang diteliti terhadap Status Gizi orang dewasa dengan desain penelitian potong lintang (Cross Sectional). Sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang berumur 18 tahun atau lebih.
Penelitian ini melibatkan 11 variabel Independen yaitu faktor-faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan status gizi (IMT) pada orang dewasa, variabel tersebut adalah sebagai berikut: umur dan jenis kelamin, status perkawinan, konsumsi makanan, aktifitas fisik , status sosio ekonomi, kebiasaan makan, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan gizi, etnik, dan kebiasaan merokok.
Dari seluruh hasil analisa ternyata umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kebiasaan makan, % konsumsi lemak dari energi, % konsumsi karbohidrat dan energi, status perkawinan, dan tingkat pendidikan, berhubungan secara statistik dengan Status Gizi orang dewasa di 10 kota di Indonesia.
Dari variabel yang bermakna ternyata umur, jenis kelamin, % lemak dari energi, dan pola kebiasaan makan mempunyai peranan yang dominan dibanding variabel lainya., Hasil analisis multivariat telah menghasilkan sebuah model yang dapat dipergunakan sebagai peramal status gizi dalam hal ini digambarkan oleh Indeks Massa Tubuh seseorang.
Dari hasil yang diperoleh dapat disampaikan saran bahwa dalam rangka penanggulangan masalah gizi, ada dua faktor yang harus menjadi titik perhatian di dalam penanggulangan masalah gizi lebih yaitu faktor kebiasaan makan dan komposisi konsumsi zat gizi , terutama % lemak dari energi.
Kepustakaan : 50 (1971-1996)

Factors Connected with the Nutritional Status of Adults in 10 Cities in Indonesia in 1996The advancement in economics have given the impact in the transition process of the epidemiologist including in nutrition problem. In Indonesia, today and the coming decade, was estimated to have two kinds of problems in nutrition. In one side Indonesian is still having the under nutrition, while in another side the increase of the over nutrition prevalence occurs especially in the city areas. The under nutrition or over nutrition occurs does to the failure in balancing the nutrition. From the food consumption point of view, it is clear that the nutritional status is not determined by total energy only, but also the composition of the nutrition substance consumed daily.
Several measurements could be used to identify the nutritional status. For a special evaluation of adult the nutritional status, the Body Mass Index (BMI) is one known and commonly used. Using in adults the BMI could estimate under nutrition, normal, or over nutrition. In the frame of identifying the nutrition problems and for finding alternative solutions especially in the city areas. The Directorate of the Community Nutrition and Faculty of Public Health University of Indonesia has done a research in 12 cities in Indonesia. The data analyzed for this thesis was part of the above research mainly the ten cities in Indonesia.
This research was intended to see the more significant factors from different variables observed, designed using a Cross Sectional method. The sample in this observation were the 18 years old adults or older.
This research involved 11 variables independents possibly related to the nutrition status (BMI) for adults, those variable as follows : age and sex, marital status, food consumption , physical activities, level of social economics, level of education, food habits, level of nutrition knowledge and health, ethnics, and smoking habits.
This study found out that the age, sex, food habits, percentage of the fat consumption in energy, percentage of carbohydrates from energy, marital status, and level of education are statistically related to the status of nutrition of adults in ten cities in Indonesia.
From the meaningful variables are seen that sex, percentage of fat from the energy, and food habits have dominant roles compared with other variables. The multivariate analysis produced a model, which could be used as a prediction of nutrition status.
It could be suggested for of overcoming the problems of the nutrition, it should be focused in two factors, mainly food habits and the percentage of fat from energy.
References: 50 ( 9971-1996)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Halasan
"Salah satu upaya apabila seseorang berhasil mencapai usia lanjut adalah mempertahankan atau membawa status gizi yang bersangkutan pada kondisi optimal agar kualitas hidup yang bersangkutan tetap baik, gangguan gizi yang umumnya muncul pada lansia selain gizi kurang juga gizi lebih yang apabila dilihat dari sudut kesehatan, sama-sama merugikan dan dapat menyebabkan kematian dengan penyebab yang berbeda. Gangguan gizi pada lansia diduga berkaitan dengan perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran status gizi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lansia di kota Bengkulu.
Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel sebanyak 207 orang lansia yang berumur > 60 tahun dan dipilih dengan menggunakan systematic random sampling.Pengumpulan data variabel bebas seperti jenis kelamin, status perkawinan, status tempat tinggal, tingkat pendidikan, pengetahuan gizi, status ekonomi dan aktifitas fisik dilakukan dengan wawancara terstruktur sedangkan untuk konsumsi makanan (total energi, karbohidrat, protein dan lemak) dengan menggunakan dua pendekatan yaitu food recall dan food frequencies.
Hasil penelitian melaporkan proporsi lansia yang mengalami gizi lebih sebesar 18,4% dan gizi kurang sebesar 19,3%. Hasil uji t menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (P>0,05) rata-rata IMT menurut jenis kelamin, status perkawinan dan status tempat tinggal serta tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05) antara pengetahuan gizi dengan IMT lansia. Akan tetapi, ada perbedaan yang bermakna (p<-0,05) rata-rata IMT antara lansia yang melakukan olah raga dengan yang tidak melakukan olah raga dan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) rata-rata IMT menurut frekuensi, lama dan jenis olah raga. Selanjutnya ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara tingkat pendidikan dan status ekonomi dengan IMT lansia. Ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara total energi dengan IMT serta ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan IMT setelah di adjusted dengan total energi. Hasil analisis multivariat regresi linier juga menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan dengan IMT lansia adalah jenis kelamin, tingkat pendidikan dan asupan karbohidrat dengan koefisien determinasi (R2 ) sebesar 0,10 yang artinya variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan dan asupan karbohidrat hanya dapat menjelaskan IMT lansia sebesar 10%.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lansia di kota Bengkulu mengalami masalah gizi ganda yaitu masalah gizi lebih sudah mulai timbul akan tetapi masalah gizi kurang masih terjadi. Untuk itu, perlu digalakkan promosi gizi melalui pendekatan keluarga dirnana lansia tinggal serta bila memungkinkan memberikan makanan tambahan kepada lansia yang kurang gizi terutama lansia dengan kondisi ekonomi yang kurang.

Factors Related to Nutritional Status among Elderlies Bengkulu City,2001When reaches elderly age, one should maintain an optimal nutritional status to ensure a good quality of life. Nutritional problems that occur during old ages may take two forms, that is, under nutrition or over nutrition, both are health devastating and might cause death due to different reasons. Nutritional problems among elderly relate to changes in both environment and health conditions in general. Thus, this study aims to describe the nutritional status and its related factors among elderly in Bengkulu city.
The study design is cross-sectional with 207 subjects aged > 60 years of old and were selected using systematic random sampling. Structured interview was used to collect data such as gender, marital status, residential status, educational level, nutrition knowledge, economic status, and physical activity level. While for food consumption (to predict macronutrients consumption such as total energy, carbohydrate, protein, and fat), two methods, that is, food recall and food frequency questionnaires were employed.
The study showed that the proportion of elderlies with over nutrition was 18,4% and elderlies with under nutrition was 19,3%. T-test showed no significant difference (p>O,05) in BMI for gender, marital status, and residential status. Moreover, there was no significant difference (p>O,45) in BM[ for nutrition knowledge. Significant difference (p< 0,05) was found in BMI for elderlies who perform sport activities and those who do not. However, no significant differences were found for frequency, duration, and type of sport activities. Significant differences in BMI (p<0,05) were found for different level of education, economic status, total energy intake, carbohydrate, protein, and fat intakes (after being adjusted for total energy intake). The multivariate tinier regression analysis showed that the dominant factors determining the BMI of elderlies in this study were gender, educational level, and carbohydrate intake (adjusted) with coefficient of determination (R2) of 0,10, meaning that these variables could only explain 10% of the BMI among elderlies in this study.
The results of the study lead to conclusion that elderlies in Bengkulu city faced a double burden of nutritional problems, that is over nutrition and under nutrition at the same time. Therefore, an adequate nutrition promotion is to be embarked through family approach where most of elderlies stay. If possible, for elderlies with low economic status, a supplementary food should be provided.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T5129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Orisinal
"Kekurangan Energi Protein (KEP) pada balita merupakan salah satu masalah kesehatan yang masih menjadi beban bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. KEP pada balita merupakan akibat langsung dari kurangnya asupan zat gizi dan status kesehatan yang buruk karena penyakit infeksi, dan akibat tidak langsung dari ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, pelayanan kesehatan, lingkungan dan faktor yang terdapat pada balita sendiri. Prevalensi KEP di Sumatera Barat menunjukkan trend negatif. Sejak tahun 1995 sampai 2000 terjadi peningkatan prevalensi KEP dari 15,26% menjadi 23%, kondisi aman bertambah berat dengan adanya krisis ekonomi.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Sumatera Barat tahun 2001. Desain yang digunakan adalah cross sectional. Data merupakan hasil Studi Pengembangan Metode Identifikasi Kelompok Masyarakat Miskin di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia oleh Puslitbang Gizi dan Bappenas. Populasi adalah keluarga yang memiliki balita di wilayah penelitian Sumatera Barat. Sampel adalah keluarga yang memiliki balita, terpilih sebanyak 821 keluarga yang memiliki balita dan selanjutnya 802 responden yang layak dianalisis. Status gizi dihitung berdasarkan indeks BBJ baku rujukan WHO-NCHS, konsumsi zat gizi dihitung dengan metode semi quantitative food frequency.
Variabel dependen adalah status gizi sedangkan variabel independent adalah sosio ekonomi (konsumsi energi per kapita, konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, persen pengeluaran pangan, kemampuan berobat, kategori miskin), sosio demografi (umur anak, jenis kelamin anak, umur ibu, jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga), dan lingkungan (kondisi fisik rumah, sarana jamban keluarga dan sarana air minum). Analisis data meliputi univariat dengan distribusi frekuensi dan mean, median, standar deviasi, minimum-maksimum, analisis bivariat dengan chi-square dan analisis multivariat dengan regresi logistik ganda.
Ditemukan prevalensi KEP sebesar 25,9% (18,8% gizi kurang, 7,1% gizi buruk). Variabel yang berhubungan bermakna dengan status gizi balita adalah konsumsi energi per kapita, konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak, jenis kelamin anak, dan kondisi fisik rumah. Selanjutnya analisis multivariat menunjukkan variable yang secara bersama-sama berhubungan dengan status gizi balita adalah konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita, umur anak dan jenis kelamin anak. Anak umur 37-59 bulan cenderung menderita KEP 8,34 kali anak umur 0-6 bulan, anak umur 13-36 bulan cenderung menderita KEP 10,23 kali anak 0-6 bulan, dan anak umur 7-12 bulan cenderung menderita KEP 3,82 kali anak 0-6 bulan, setelah dikontrol variabel konsumsi protein per kapita, pendapatan per kapita dan jenis kelamin anak.
Perlu sosialisasi masalah KEP kepada pengambil kebijakan di lokasi penelitian agar penanggulangannya diprioritaskan; perlu penyuluhan tentang cars mempersiapkan penyapihan, perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan memotivasi beternak (ayamlitik), perlu penyuluhan kepada pemuka masyarakat agar anak perempuan lebih diperhatikan (sesuai dengan matrilineal).

Factors Related to Under Five Years Children's Nutritional Status in West Sumatera in 2001 (Secondary Data Analysis)Protein Energy Malnutrition (PEM) among under five years children has been one of health problems burdening the developing countries, including Indonesia. PEM among under five years children is a direct consequence of lack of nutrient intake and poor health status due to infectious diseases, and an indirect consequence of family sustenance, child rearing pattern, health care service, the environment, and under five years children's internal factors. Prevalence of PEM in West Sumatera showed negative trend. From 1995 to 2000 the PEM prevalence increased from 15.26% to 23%, and worsened with the economic crisis.
This research aimed to find out what factors were related to under five years children's nutritional status in West Sumatera in 2001. The research design used was cross sectional. The data were results from the Study of Method Development of Impoverished Communities Identification in Urban and Rural Areas in Indonesia (Study Pengembangan Metode Identifikasi Kelompok Masyarakat Miskin di Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia) conducted by Nutrition Research and Development Center (Puslitbang Gizi) and National Development Planning Board (Bappenas). The population was families with under five years children in the researched area in West Sumatera. The sample was families with under five years children, numbering to 821 families, 802 of whom were fit to be analyzed. The nutritional status was calculated based on WFA index standard reference from WHO-NCHS, and the nutrient intake was calculated using semi quantitative food frequency method.
The dependent variable was the nutritional status, while the independent variables were socioeconomic (energy intake per capita, protein intake per capita, income per capita, percentage of expenses on food, ability to afford medical assistance, poverty line), sociodemographic (child's age, child's sex, mother's age, number of family members, number of under five years children in the family), and environmental (physical condition of the house, family toilet facilities, and drinking water facilities). The data analysis comprised univariate analysis with frequency distribution, mean, median, deviation standard, minimum-maximum; bivariate analysis with chi-square; and multivariate analysis with multiple logistic regression.
The prevalence of PEM was found at 25.9% (18.8% moderately malnourished, 7.1% severely malnourished). Variables significantly related to under five years children nutritional status were energy intake per capita, protein intake per capita, income per capita, child's age, child's sex, and physical condition of the house. Furthermore, multivariate analysis showed that variables correlatively related to under five years children's nutritional status were protein intake per capita, income per capita, child's age, and child's sex.
After being controlled with variables of protein intake per capita, income per capita, and child's sex, the risk of suffering from PEM among under five years children aged 37-59 months was 8.34 times higher than that among babies aged 0-6 months; among under five years children aged 13-36 months it was 10.23 times higher than that among babies aged 0-6 months; and among babies aged 7-12 months it was 182 times higher than that among babies aged 0-6 months.
The followings need to be done in dealing with PEM: first, socializing PEM issue to decision makers in the researched area so that its management is prioritized; second, educating mothers about proper weaning; third, empowering the people's economy by encouraging them to raise chickens or ducks; and fourth, educating the local leaders to pay more attention to little girls welfare (which is in accordance with the local matriarchal custom).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11364
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Purwanto
"Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia hingga saat ini masih sangat tinggi dimana Tetanus neonatorum merupakan salah satu penyebab utama kematian bayi yang menempati urutan ke-5 (SKRT 1995). Upaya untuk mengeliminisasi tetanus neonatorum terus dilakukan Departemen Kesehatan dengan target menurunkan insiden menjadi < 1 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2000.
Salah satu strategi Departemen Kesehatan mencapai Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) adalah meningkatkan cakupan imunisasi TT ibu hamil. Namun evaluasi tahun 1999/2000 menunjukkan cakupan yang masih rendah. Oleh karena itu Depkes mulai mengembangkan intensifikasi imunisasi TT kepada wanita usia subur (WUS). Hingga tahun 2000, Kabupaten Serang melaporkan cakupan imunisasi TT WUS > 3 kali mencapai 77,3%. Salah satu Puskesmas yang memiliki cakupan imunisasi TT WUS rendah adalah Puskesmas Anyer.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi TT WUS di Puskesmas Anyer, dengan menggunakan desain survei cross sectional. Responden terdiri dari 300 orang wanita usia subur. Variabel yang diteliti meliputi faktor umur, pendidikan, status perkawinan, pengetahuan, sikap, pekerjaan, persepsi tentang jarak, anjuran, dan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan/imunisasi TT.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa variabel mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik dengan status imunisasi TT WUS (p<0,05). Variabel yang mempunyai hubungan bermakna tersebut adalah umur (OR=3,60), status perkawinan (5,60), pengetahuan (3,60), sikap (4,45), anjuran petugas kesehatan (2,63), anjuran petugas non kesehatan (7,14) dan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan (2,89). Sementara variabel persepsi tentang jarak, tingkat pendidikan, dan status pekerjaan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik (p>0,05).
Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah pengetahuan, umur, status perkawinan dan anjuran petugas non kesehatan. Diantara ke empat variabel tersebut, status kawin merupakan variabel yang paling besar mempengaruhi status imunisasi TT WUS.
Mengacu pada hasil penelitian, maka untuk meningkatkan cakupan imunisasi TT WUS disarankan agar penjangkauan sasaran melalui kegiatan sweeping perlu dipertahankan mengingat kegiatan yang bersifat mass campaign masih dirasakan cukup efektif. Selain itu upaya sosialisasi TT WUS melalui media penyuluhan yang tepat bagi kelompok sasaran antara, seperti kader dan perangkat desa perlu dibuat mengingat pengaruhnya kepada sasaran utama program cukup besar. Untuk mempercepat tercapainya target jangka panjang yaitu dihentikannya imunisasi TT ibu hamil, maka perlu dilakukan pentahapan target TT WUS sehingga status imunisasi TT5 mendekati l00%. Penyesuaian jadwal dengan mengadopsi konsep interval minimal pada pelaksanaan imunisasi TT rutin pada ibu hamil sangat diperlukan untuk meningkatkan perlindungan individu sekaligus untuk meningkatkan efisiensi imunisasi TT.

Factors Contributed To Tetanus Toxoid Immunization Status among Child Bearing Age Women in Anyer Puskesmas Service Area, District Of Serang, In the Year 2001Infant mortality rate is considerably still high in Indonesia where Neonatorum tetanus as the fifth major cause of infant deaths in Indonesia (Household Health Survey 1995). The Ministry of Health has been adopting various efforts to eliminate tetanus neonatorum targeted reducing of neonatal tetanus incidence rate down to below 1 per 1000 live births by the end of 2000.
One of the strategies in the Ministry of Health in order to eliminate neonatal tetanus is achieving high coverage of routine tetanus-toxoid (TT) immunization for pregnant women. Annual evaluation still shows low level of coverage up till the fiscal year 1999/2000, therefore the implementation of program acceleration of TT immunization targeting child-bearing age women (CBAW) as a new approach. By the year 2000, 77.3% of CBAW in Serang District health service area have received TT immunization minimum 3 doses. Anyer is one health centers of health centers in Serang District which reports the lowest coverage.
The objective of this study is to identify the factors contributing to TT immunization status of CBAW in Anyer puskesmas service area, using cross sectional study design. This survey included 300 CBAW. The study factors are age, educational level, marriage status, knowledge, attitude, job, perception about distance, motivator and need for health services/TT immunization.
The study shows several variables are having significant relationship with TT status of CBAW (p<0.05). Those variables are age, (OR=2.014), marriage status (OR= 3.286), knowledge (OR=2.626), and non-health motivator (OR=2.268). Other variables such as distance, attitude, need of health service, health motivator, education level, and job in this study do not show significant influence to TT status (p>O.05).
Thesis study recommends, sweeping of TT CRAW in a mass campaign is an effective approach in increasing the coverage and cadres or village administrators are the important motivators. The program long term goals in terminating TT immunization for pregnant women requires a good plan of TT CBAW until all or almost all of CBAW achieve the TT-5 status. Adjusting the TT immunization schedule by adopting the minimum-interval concept into the routine immunization for pregnant women is needed to increase the individual protection, as well as to increase the efficiency of TT immunization.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T5751
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>