Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ivone Nurul Fu`adah
"Masalah perkawinan beda agama memang tidak banyak muncul kepermukaan sebelum berlakunya Undang-undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UUP). Setelah ditetapkannya UUP yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum dan tatacara agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Menurut negara sah apabila menurut agamanya sah. UUP tidak mengatur perkawinan beda agama. Pada kenyataannya ada terjadi perkawinan beda agama. Sebelum berlakunya UUP perkawinan beda agama diatur dengan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, St. 1898 No. 158) selanjutnya disingkat GHR dan Ordonansi Perkawinan Orang-orang Indonesia-Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina, St. 1933 No. 74) atau disingkat HOCI. Perkawinan beda agama dengan cara penundukan diri pada aturan hukum pihak perempuan. Penundukan diri pada hukum perempuan ini dibuat dengan suatu akta otentik. Akta otentik harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan pejabat umum dalam pasal tersebut adalah notaris. Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta. Hal ini diatur dalam Pasal 1 juncto Pasal 15 ayat 1 UUJN. Metode penelitian yang dipakai adalah kepustakaan penelitian hukum (legal research) yang bersifat yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dan analisis data dengan pendekatan kualitatif. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui sejauh mana perkawinan beda agama yang teijadi di Indonesia dikaitkan dengan pembuatan akta pernyataan tunduk ke KUHperdata pada perkawinan beda agama dan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan perkawinan beda agama tersebut. Hasil penelitian ternyata perkawinan beda agama teijadi dan dimungkinkan dilakukan mengacu pada aturan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 66 UUP, Pasal 35 huruf a berserta penjelasannya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan dan yurisprudensi MA No. 1400 K/Pdt/1986.

The problem is the difference between religious marriage is not much appear before the introduction of Law Number 1 Year 1974 on Marriage (hereinafter abbreviated UUP). After UUP which States that marriage is considered legitimate when carried out according to legal procedure religious of each. According to the valid State when the legitimate reiigion. UUP does not set the different religious marriage. In fact, there occurred the marriage is religious. Before the introduction of UUP religious marriage is regulated by intermarriage (Regeling op de Gemengde Huwelijken St. No. 1898. 158) and then truncated GHR ordinance Perkawinan The Indonesian Christians in Java, Minahasa and Ambon (Huwelijksordonnantie Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina, St. No. 1933. 74) or abbreviated HOCI. Marriage is religious in a way bending the rules of law on women. Bending the law on women is made with an authentic letter. Authentic letter must meet the conditions stipulated in article 1868 KUHPerdata. The definition of public official in the notary clause. Notary is a public official who has the authority to make of authentic letter. Notary is a public official who has the authority to make of authentic letter. This is stipulated in Article 1 juncto Article 15 paragraph 1 UUJN. Research method used is literature study law (legal research) of juridical normative, a descriptive analytical, and data analysis with a qualitative approach. The purpose of writing is to know the extent to which marriage is a religious place in Indonesia is associated with the making of a statement of authentic letter to KUHperdata on the subject of marriage is religious and regulations related to marriage are different religions. Results of research that religious marriage is going on and made possible to the rules Switching Rules Article I of the 1945 Constitution, Article 66 UUP, Article 35 letter a with explanation of Law No. 23 Year 2006 about administration of residence and jurisprudence of MA No. 1400 K/Pdt/1986."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26042
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ivone Nurul Fu`adah
"ABSTRAK
Masalah perkawinan beda agama memang tidak banyak muncul kepermukaan
sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disingkat UUP). Setelah ditetapkannya UUP yang menyatakan bahwa
perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum dan tatacara agamanya
dan kepercayaannya masing-masing. Menurut negara sah apabila menurut agamanya
sah. UUP tidak mengatur perkawinan beda agama. Pada kenyataannya ada teijadi
perkawinan beda agama. Sebelum berlakunya UUP perkawinan beda agama diatur
dengan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken, St.
1898 No. 158) selanjutnya disingkat GHR dan Ordonansi Perkawinan Orang-orang
Indonesia-Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijksordonnantie Christen-
Indonesiers Java, Minahasa en Amboina, St. 1933 No. 74) atau disingkat HOCI.
Perkawinan beda agama dengan cara penundukan diri pada aturan hukum pihak
perempuan. Penundukan diri pada hukum perempuan ini dibuat dengan suatu akta
otentik. Akta otentik harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1868
KUHPerdata. Yang dimaksud dengan pejabat umum dalam pasal tersebut adalah
notaris. Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta.
Hal ini diatur dalam Pasal 1 juncto Pasal 15 ayat 1 UUJN. Metode penelitian yang
dipakai adalah kepustakaan penelitian hukum (legal research) yang bersifat yuridis
normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dan analisis data dengan pendekatan
kualitatif. Adapun tujuan penulisan ini untuk mengetahui sejauh mana perkawinan
beda agama yang teijadi di Indonesia dikaitkan dengan pembuatan akta pernyataan
tunduk ke KUHperdata pada perkawinan beda agama dan peraturan perundangundangan
yang terkait dengan perkawinan beda agama tersebut. Hasil penelitian
ternyata perkawinan beda agama teijadi dan dimungkinkan dilakukan mengacu pada
aturan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 66 UUP, Pasal 35 huruf a berserta
penjelasannya UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan dan
yurisprudensi MA No. 1400 K/Pdt/1986.

ABSTRACT
The problem is the difference between religious marriage is not much appear
before the introduction of Law Number 1 Year 1974 on Marriage (hereinafter
abbreviated UUP). After UUP which states that marriage is considered legitimate
when carried out according to legal procedure religious of each. According to the
valid state when the legitimate religion. UUP does not set the different religious
marriage. In fact, there occurred the marriage is religious. Before the introduction of
UUP religious marriage is regulated by intermarriage (Regeling op de Gemengde
Huwelijken St. No. 1898. 158) and then truncated GHR ordinance Perkawinan The
Indonesian Christians in Java, Minahasa and Ambon (Huwelijksordonnantie
Christen-Indonesiers Java, Minahasa en Amboina, St. No. 1933. 74) or abbreviated
HOCI. Marriage is religious in a way bending the rules of law on women. Bending
the law on women is made with an authentic letter. Authentic letter must meet the
conditions stipulated in article 1868 KUHPerdata. The definition of public official in
the notary clause. Notary is a public official who has the authority to make of
authentic letter. Notary is a public official who has the authority to make of authentic
letter. This is stipulated in Article 1 juncto Article 15 paragraph 1 UUJN. Research
method used is literature study law (legal research) of juridical normative, a
descriptive analytical, and data analysis with a qualitative approach. The purpose of
writing is to know the extent to which marriage is a religious place in Indonesia is
associated with the making of a statement of authentic letter to KUHperdata on the
subject of marriage is religious and regulations related to marriage are different
religions. Results of research that religious marriage is going on and made possible to
the rules Switching Rules Article I of the 1945 Constitution, Article 66 UUP, Article
35 letter a with explanation of Law No. 23 Year 2006 about administration of
residence and jurisprudence of MA No. 1400 K/Pdt/1986."
2009
T37554
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yotia Jericho Urbanus
"Penulisan ini membahas mengenai kedudukan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris terhadap pelaku perkawinan beda agama di Indonesia (studi kasus Notaris X di Jakarta Barat). Adanya perkembangan mengenai pengesahan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia dan juga pengalaman Notaris X yang seringkali membuat akta perjanjian perkawinan yang para penghadapnya beda agama menjadi dasar bagi Notaris X untuk membuat akta perjanjian perkawinan bagi Tuan A yang beragama Kristen dan Nyonya B yang beragama Buddha. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X dan mengenai batasan hukum serta langkah hukum bagi seorang Notaris dalam membuat akta perjanjian perkawinan beda agama di Indonesia. Bentuk penelitian ini adalah yuridisnormatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Pada akhirnya akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X ialah batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi ketentuan syarat objektif perjanjian. Selanjutnya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh seorang Notaris tidak boleh bertentangan dengan ketentuan agama, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ternyata dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun seorang Notaris dalam menghadapi akta perjanjian perkawinan beda agama, seorang Notaris harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya.

This writing discusses the legal position of the marriage agreement deed made by a Notary against interfaith marriage actors in Indonesia (case study of Notary X in West Jakarta). The developments regarding the legalization of the registration of interfaith marriages in Indonesia and also the experience of Notary X who often makes marriage agreement deeds where the parties are of different religions becomes the basis for Notary X to make a marriage agreement deed for Mr. A who is a Christian and Mrs. B who is a Buddhist. This raises questions about the position of the interfaith marriage agreement deed made by Notary X including the legal limitations and legal steps for a Notary in making the interfaith marriage agreement deed in Indonesia. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. In the end, the deed of interfaith marriage agreement made by Notary X was null and void because it did not meet the provisions of the objective conditions of the agreement. Furthermore, the marriage agreement deed made by a Notary may not conflict with the provisions of religion, morality and public order as stated in Article 29 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. As for a Notary in dealing with an interfaith marriage agreement deed, a Notary must prioritize the principle of prudence in carrying out his duties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anangia Annisa Putri Abdurahman
"Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah adanya harta bersama serta hubungan hukum antara orang tua dan anak, dimana orangtua bertanggung jawab untuk memelihara, menjaga, serta mencukupi kebutuhan hak – hak dari anak tersebut. Selain itu akibat hukum dari perkawinan akan menimbulkan status hukum dan hak perwalian terhadap seorang anak. Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan beda agama, maka akan menimbulkan akibat yang sangat berpengaruh terhadap hak dan status hukum anak tersebut. Status anak yang dilahirkan dalam perkawinan beda agama kemudian dapat menimbulkan pertanyaan apakah kedudukannya sebagai anak luar kawin atau anak sah. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan termasuk ke dalam golongan anak luar kawin dalam arti sempit mereka tidak memiliki status dan kedudukan yang sama dalam sebuah hubungan peristiwa hukum antara orang tua dengan anak. Kemudian, apakah hal tersebut juga diperlakukan terhadap keberadaan anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama masih menjadi sebuah pertanyaan. Oleh karena itu, Penulis menggunakan dua rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimana pengaturan mengenai perkawinan beda agama menurut peraturan hukum di Indonesia? 2) Bagaimana analisis pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 410/Pdt.G/2022/PN Mks. terhadap anak akibat perkawinan beda agama? Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif yang datanya dikumpulkan dari studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkawinan beda agama dapat dilakukan apabila mengajukannya ke Pengadilan dan telah dicatatkannya oleh pegawai catatan sipil sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Kemudian, mengenai perkawinan beda agama, Undang- Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan secara jelas dan terperinci. Berkaitan dengan anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama, maka dalam hal ini kedudukannya adalah dinyatakan sebagai anak sah dari perkawinan beda agama tersebut dikarenakan secara hukum ketika perkawinan telah dicatatkan dan didaftarkan sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku maka akibat hukum perkawinan tersebut termasuk terhadap anak dinyatakan sah secara hukum.

One of the legal consequences of marriage is the existence of common property and the legal relationship between parents and children, in which parents are responsible, caring for, and satisfying the needs of the rights of the child. In addition, the legal consequences of marriage will result in the legal status and custody of a child. If the child is born from a marriage of different faiths, it will have a significant impact on the rights and legal status of the child. The status of a child born in a marriage of different religions can then raise the question of whether his status as an out-of-marriage or legal child. Children born from unregistered marriages are included in the group of children outside of marriage in the narrow sense they do not have the same status and position in a legal relationship between parents and children. Then, whether it is also treated against the existence of children born from different religious marriages is still a question. Therefore, the author uses two formulas of the problem, namely: 1) How is the arrangement concerning marriage of different religions according to the laws of Indonesia? 2) How to analyze the judge’s consideration in the Makassar State Court Decision No. 410/Pdt.G/2022/PN Mks. against children due to marriage of different religions? The authors use a juridic-normative research method with a qualitative approach whose data is collected from library studies. The results of the study show that a marriage of different religions can be entered into when it is applied to the Court and has been recorded by a civil register officer as described in the Occupation Administration Act. Then, concerning the marriage of different religions, the Marriage Act and the Book of the Perdata Law are not explained clearly and in detail. Related to children born from marriages of different religions, in this case the position is to be declared as a legal child of a marriage of different religion due to the law when the marriage has been recorded and registered as the provisions of the applicable laws, then as a result of the law such marriage includes against the child declared legal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Hairani
"Penelitian ini menganalisis aturan mengenai pembuatan akta keterangan hak mewaris yang dibuat oleh Notaris dalam kasus perkawinan kedua dimana terdapat kesalahan dalam penerapan hukum harta peninggalan pewaris yang tidak menerapkan ketentuan Pasal 180 KUHPerdata. Sengketa yang terjadi diantara para ahli waris menyebabkan harta peninggalan sebagai suatu boedel waris belum terbagi. Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan dengan bentuk penelitian preskriptif dengan memberi saran untuk mengatasi permasalahan yang dibahas berupa adanya contoh pembuatan akta keterangan hak mewaris dengan pembagian yang benar sesuai dengan ketentuan kitab undang-undang hukum perdata untuk pewarisan perkawinan kedua. Analisa yang penulis dapatkan bahwa terdapat akibat hukum terhadap pembuatan akta keterangan hak mewaris yang salah menerapkan pembagian harta perkawinan dan harta peninggalan pewaris dalam perkawinan kedua sehingga menyebabkan kerugian bagi ahli waris lainnya. Bahwa akta keterangan hak mewaris merupakan opini hukum dari Notaris yang didasarkan pada fakta-fakta hukum aktual, sebagai bukti autentik yang memiliki kekuatan mengikat berkaitan dengan pembagian warisan dan hanya bisa dibatalkan oleh hakim. Sehingga Notaris, selaku pembuat akta keterangan hak mewaris diwajibkan untuk selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dan diperlukan pemahaman serta wawasan yang luas mengenai prosedur pembuatan dan isi akta keterangan hak mewaris.

This study analyzes the rules regarding the making of a deed of inheritance rights made by a Notary in the case of a second marriage where there is a wrongly applied inheritance law of the heir who does not adjust article 180 of the Indonesian civil code. This thesis was made because of the conflict occurred among the heirs, which cause the inheritance not to be divided. The research methods used in the writing of this thesis are doctrinal research or library research with a form of the prescriptive method by providing suggestions to solve a problem, in the form of an example of making a deed of inheritance rights with the correct distribution by the provisions of the civil law code for the inheritance of second marriages. The results obtained from this research are the legal consequences for making a certificate of inheritance rights that wrongly applied the distribution of marital assets and inheritance of heirs in second marriages, leading to losses to other heirs. The deed of inheritance rights contains a legal opinion from a Notary based on the actual legal fact, as authentic proof that has binding force related to the distribution of inheritance and can only be canceled out by the judge. So the Notary, as the maker of the deed of inheritance rights is required to adjust the precautionary principle and requires a broad understanding and insight regarding the making and contents of the deed of information on inheritance rights procedures."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surini Ahlan Sjarif
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
346.04 SUR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Surini Ahlan Sjarif
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
346.05 SUR i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Ayu Utami Rusli
"Penggunaan surat kuasa dalam suatu pembuatan akta Notaris baik itu berdasarkan surat kuasa otentik dan surat kuasa di bawah tangan wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 1793 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 38 ayat (2), (3), dan (4) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Dalam hal ini pun tidak terlepas pada penggunaan surat kuasa yang dibuat diluar negeri d i mana wajib memenuhi ketentuan legalisasi yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal setempat dan cap materai oleh Kantor Pos Indonesia, walaupun dalam praktiknya Notaris tetap meminta bukti identitas para pihak dengan tujuan memperkecil timbulnya permasalahan. Selain itu, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) juga termasuk dalam kewenangan Notaris dimana mengenai syarat yang wajib dipenuhinya berpedoman pada ketentuan umum pembuatan akta otentik sesuai dengan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Selama akta Notaris dibuat berdasarkan surat kuasa otentik dan surat kuasa di bawah tangan yang telah memenuhi persyaratan pembuatannya dan dilekatkan pada minuta akta, maka akta tersebut berkekuatan hukum yang sempurna dan mengikat dalam pembuktiannya. Adanya permasalahan atas surat kuasa yang dijadikan «ebagai dasar pembuatan suatu akta, pihak yang merasa dirugikan atas pembuatan akta tersebut dapat mengajukan laporan kepada Majelis Pengawas Notaris, sebagai contoh studi kasus Keputusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor 06/B/Mj .PPN/2009 Tanggal 3 Juni 2009.

Use of power of attorney in a deed making it a good deed by proxy and power of attorney authenticated under the hand must meet the requirements set out in article 1793 Book of the Law of Civil Law, Article 38 paragraph (2), (3), and (4) Public Notary Act Number 30 Year 2004 and the Code of Ethics Notary. In this case also can not be separated on the use of powers of attorney made outside the country where legalization shall comply with the provisions made by the Indonesian Embassy or local Consulate General of stamp duty and stamp by the Post Office Indonesia, although in practice the Notary still require proof of identity parties with the aim to reduce the occurrence of problems. In addition, the manufacture of power of attorney for mortgage charge is also included in the deed whereby the authority of the requirements that must fulfill the general rule-making based on authentic documents in accordance with Public Notary Act Number 30 Year 2004 and article 15 paragraph (1) Law Number 4 Year 1996 on Mortgage of Land With regard to the Goods by Land (UUHT). During the notarial deed is made based on the authentic power of attorney and power of attorney under the hand that has met the requirements of manufacturing and preparing minutes attached to the deed, the deed is a legal binding and perfect binding in proof. The existence of problems over power of attorney which serve as the basis for the making of a deed, a party who feels aggrieved on the making of such deed to submit a report to the Supervisory Council of Notaries, as an example of a case study Notary Central Supervisory Council Decision Number 06/B/Mj.PPN/2009, date 3 June 2009."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T43920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitanova Saputri
"Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 (UUJN) merupakan penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian besar undang-undang yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Pasal 1 UUJN menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan Pasal 15 ayat (2) huruf (g) menyatakan bahwa Notaris berwenang pula membuat akta risalah lelang yang berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHperdata merupakan Akta Otentik. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris (RUUJN) Nomor 30 Tahun 2004 menyiratkan perubahan yang meliputi ketentuan tentang persyaratan dan kewajiban Notaris serta menghilangkan pasal tentang tugas dan kewenangan Notaris terutama berkaitan dengan pembuat akta pada bidang pertanahan dan pembuatan Akta Risalah Lelang.
Perubahan yang diusulkan dalam RUUJN terutama tentang hilangnya kewenangan Notaris membuat Akta Risalah Lelang menarik untuk penulis bahas karena hilangnya pasal tersebut sedikit banyak mengundang persepsi bahwa RUUJN mempersempit ruang lingkup kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum yang mana diketahui bahwa Akta Risalah Lelang adalah Akta Otentik dan Notaris berwenang untuk membuatnya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulis mencoba meneliti dari berbagai sumber serta melakukan wawancara dengan narasumber yang berkompeten di bidang lelang dan kenotariatan dan juga dengan informan untuk mengetahui bagaimana dampaknya RUUJN bagi kewenangan Notaris.
Kesimpulan yang penulis dapatkan, untuk membuat Akta Risalah Lelang harus terlebih dahulu menjadi Pejabat Lelang. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dalam Pasal 8 disebutkan bahwa Pejabat Lelang hanya terdiri dari Pejabat Lelang Kelas I dan II tidak disebutkan secara spesifik seorang Notaris adalah Pejabat Lelang dan berhak membuat Akta Risalah Lelang, sehingga terdapat disharmonisasi antara Pasal 15 ayat (2) huruf (g) dengan Pasal 8 PMK. Namun dihilangkannya pasal dalam RUUJN tersebut tidak serta merta membuat Notaris kehilangan kesempatan untuk menjadi Pejabat Lelang dan tidak berhak membuat Akta Risalah Lelang, kewenangan tersebut tetap ada selama Notaris memenuhi persyaratan dan ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan untuk diangkat menjadi Pejabat Lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf (a) RUUJN.

The Notary Act No. 30 of 2004 (UUJN) is a refinement and a unification of most of the colonial laws governing the notary which is no longer compatible with the development of laws and the needs of the community. In Indonesia, UUJN Article 1 states that the notary is a public official who is authorized to make authentic deeds and Article 15 paragraph (2) letter (g) states that the Notary is also authorized to make auction deeds namely "Risalah Lelang" which under the provisions of Article 1868 Civil Code is an authentic deeds.
Draft Law on Amendments to the Notary Act No. 30 of 2004 (RUUJN) implies changes that include on the requirements and obligations of Notaries and removes provision on the duties and authorities of the Notary primarily with regard deeds in relation to lands and auction. The proposed changes of RUUJN especially about removal of authority on auction deeds and this thesis is focussed on this matter. I’m interested in, analyzing the removal of the article on auction deeds which removes notary’s authorities to write auction deeds because it may narrow the scope of authorities of the notary. By using juridical normative research methods, I examined this matter from various sources and did some interviews to determine the impact of RUUJN to Notary authorities.
I conclude that, as stipulated in the Regulation of the Minister of Finance No. 93/PMK.06/2010 on Implementation Guidelines of Auction, Article 8 states that, auction deeds divided into first class auctioneer and second class auctioneer. This article does not specifically mention that notary is an auctioneer and automatically entitle’s to make auction deeds. So, there is disharmony between Article 15 paragraph (2) letter (g) UUJN with Regulation of the Minister of Finance No. 93/PMK.06/2010. However, the omission of the article in the RUUJN does not necessarily make the loss of the opportunity of notary to become an auctioneer and the lost of the authority to write auction deeds. The authorities remain as long as meet the terms and conditions specified in the law to be appointed as auctioneer as stipulated in article 3 letter (a) RUUJN.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>