Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18831 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shutaro Hongo
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui kecendurungan alih fungsi sejarah lahan adat dari tahun 1930-2007 dan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan luas, manfaat, resiko atau kendala terhadap masyarakat di Kampung Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur.
Metode penelitian dilakukan dengan menyusuri sejarah dari literatur yang tersedia, melakukan wawancara langsung kepada tokoh-tokoh adat, tokoh formal pemerintahan, tokoh masyarakat lainnya dengan memanfaatkan kuesioner sebagai pemandu wawancara jumpa responden.
Tipe reponden bagi ke dalam responden kunci, responden kasus dan responden spontan. Untuk mengetahui luas lahan adat dan posisi geografis dilakukan pendataan melalui alat Global Position System (GPS), kemudian dianalisis dengan program komputer sistem arcview dan sistem surfer.
Catatan penting hasil penelitian bahwa pada tahun 1930 luas Kampung Barong Tongkok 5243 Ha, yang mempunyai luas lahan adat Maleo 544,5 Ha dan tenam 329,5 Ha dan sisanya merupakan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai perladangan warga suku Dayak Tonyooi. Masa kolonial Belanda (1930-1941), pembangunan fasilitas umum yaitu sekolah dasar dibangun oleh kolonial Belanda, dan mengembangkan sistem perdagangan hasil hutan non-kayu untuk menambah pendapatan uang tunai, sebab pendapatan dari hasil pertanian hanya dapat dimanfaatkan kebutuhan sendiri (subsistens), kebijakan pemerintah Belanda membawa dampak peningkatan penduduk di Barong Tongkok dan para pedagang dari luar Kalimantan bermukim di Melak, karena dibangunnya jalan transportasi dari Melak ke Barong Tongkok. Kebijakan itu berpengaruh terhadap pembukaan lahan hutan untuk ladang 1% pertahun.
Pada masa pra kemerdekaan (1945-1950) terjadi peperangan antara tentara Jepang dan sekutu (Australia) menyerang Barong Tongkok sehingga menghancurkan lamin/rumah panjang. Kehancuran lamin menyebabkan awal berkurangnya komunikasi hukum-hukum adat karena mereka membangun rumah tunggal. Masa pembangunan di Kalimantan Timur (1960-2000) Kehadiran transmigran (1964) sebagai sekarelawan bertujuan untuk membantu keamanan konfrontasi dengan Malaysia dan penyediaan tenaga kerja pengembangan pembangunan pertanian, namun mempunyai dampak kecemburuan tentang pemberian hak pemilikan lahan pertanian bersertifikat, ini memicu orang dayak ingin mempunyai lahan bersertifikat dan pada suatu saat dapat dijual.
Pada tahun 1975 kehadiran Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mempunyai dampak positif dan negatif. Terutama penyediaan tenaga kerja, pembukaan isolasi peningkatan, permintaan kebutuhan pangan namun dampak negatif adalah berkurangnya pendapatan dari hasil hutan dan penurunnya kualitas lahan pertanian karena terbatasnya lahan usaha ladang, pada masa itu mengurangi luas hutan primer untuk lahan hutan 7,5% pertahun. Pada tahun 1982 ? 1995 pemerintah membangun proyek perkebunan karet utuk mengatasi ekstensifikasi perladangan namun proyek ini tidak dapat mengatasi peningkatan pendapatan.
Pada masa reformasi dan otonomi daerah (2001-2007) pembangunan fasilitas perkantoran pemerintah, rumah sakit, jalan, kantor kepolisian, kantor pengadilan dan kejaksaan serta peningkatan jumlah penduduk dari akibat terbukanya fasilitas jalan raya provinsi yang menghubungkan Samarinda-Kutai Barat, di masa era reformasi menurunkan luas lahan primer 19% petahun untuk perladangan. Di masa itu pula, komunikasi bisnis makin berkembang peluang penjualan lahan adat secara sadar dan seksama disepakati dapat dijual sehingga dari tahun 2000 - 2007 terjual luas lahan 270 Ha yang dapat memenuhi kebutuhan hidup 3000 jiwa dengan pendapatan uang tunai 4,2 juta rupiah/tahun/jiwa, pemasukan dana segar kepada lembaga adat dan kepala kampung masing-masing sekitar 135 juta rupiah/tahun serta pemerintah kabupaten dan kecamatan 405 juta rupiah/tahun.
Faktor penyebab penurunan luas lahan adat adalah (1) ekonomi rakyat semakin menurun sehingga memaksa untuk menjual tanah ulayat yang menjadi tanah pribadi. (2) Kebutuhan pembangunan fasilitas publik yang harus dibangun tanah ulayat sehingga menurunkan luas lahan adat. (3) Pesatnya jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan daya dukung lahan produktifitas hasil pertanian, sehingga masyarakat menjual sebagian tanah. (4) rusaknya ekosistem sumber daya hutan akibat dari eksploitasi hutan yang tidak berbadasarkan kaidah ilmiah, yang berakibat timbulnya kebakaran sehingga berdampak kurangnya pendapatan dari hasil hutan. Sulit memperoleh hasil buruan protein hewani, madu, rotan kulitkulit binatang, obat-obatan baik fauna dan flora.
Dampak positif lainnya pembangunan fasilitas publik pendidikan menjadi meningkat, pelayanan kesehatan tersedia baik, transportasi perdagangan lancar, komunikasi masyarakat lebih baik dan lancar, pengetahuan dan informasi nasional serta internasional dapat diketahui oleh seluruh masyarakat.

The purpose research is to know the historical function exchanges of the ethnic land in the year 1930-2007 and the factors caused in wide reducing, usage, risk or problem to the people in Barong Tongkok village, Kutai Barat sub district, East Kalimantan province.
The research method was conducted by the present literature study, direct interviewing to the top of ethnic, government officials, other people using questionnaire as the interviewing direction to the volunteer.
The volunteer types were divided by the central volunteer, cases volunteer and spontaneous volunteer. It used data information Global Position System (GPS) to know the ethnic land wide and the geographic position, and then analyzed by the system computer arc view and surfer system programs.
The research result of important evidence was in the year 1930 the wide of Barong Tongkok village has 5243 ha, where the land Maleo ethnic has 544.5 ha, Tenam has 329.5 ha and the other was the forest which use area as the people plantation Dayak Tonyooi ethnic. In the Netherlands colonialism era (1930-1941), the social facility was developed by Netherlands colonialism, and it developed the non timber forest products trade system to add the income money cash because the income of agriculture products was only use to the demand itself (subsistent). The Netherlands government policy made impact to the people income in Barong Tongkok and the outside Kalimantan seller who live in Melak because the street transportation development from Melak to Barong Tongkok. The policy give impact to the forest land opening for plantation 1% every year.
In the pre freedom era (1945-1950) was happened the war between Japan and United (Australia) attacked to Barong Tongkok which caused the lamin/long house destroying. The lamin destroying caused to early reducing of the custom laws communication because they built single home. In the East Kalimantan development (1960-2000), the transmigrates presence (1964) as volunteer was purposed to help the confrontation safety with Malaysia and to supply the workers of agriculture development, but it has suspicious impact about the giving of the property right agriculture land with certificate which caused the Dayak people want to have the land?s certification which can be sold sometimes.
In the year 1975, the presence of the Right of Forest Effort has positive and negative impacts, such as the workers supplying, the increasing of isolation opening and the demand on need food but the negative impact was reducing income from forest products and decreasing of the agriculture land quality caused the limitation land of plantation effort, then in that time which caused the wide of primary forest for plantation 7.5% every year. In the year 1982-1995, the government built the plantation rubber project to solve the plantation ekstensification, but this project can?t solve the increasing income.
In the reformation and district autonomy (2001-2007) the development government office facility, hospital, street, police office, judgment and prosecutor office, and increasing of people amount which caused from the opening of province railways facility which connect Samarinda-Kutai Barat, was decrease the wide of primary forest 19% every year for plantation. In that time, the business communication grows more than before; the custom land selling opportunity consciously and clearly was agreed and can be sold, so that in the year 2000-2007 was sold the land 270 ha in wide, which can fulfill the life goods 3000 people by cash money income 4.2 billion rupiahs/year/person, the fresh money income to the custom council and each the head village 135 billion rupiahs/year, and the sub district government and district 405 billion rupiahs/year.
The caused factor of the wide custom land decreasing were (1) the people economics will decrease, so it push the society to sell the custom land be private land. (2) The development goods of public facility must be built the custom land so it decreases of the custom land. (3) The imbalance between the growing total amounts of people with the land supporting effort for agriculture productivity, so the people sell their land. (4) The ecosystem damage of forest effort source caused from the forest exploitation which didn't based on the scientific toolkit, that cause to burning then it impact to decrease income from forest product. It's difficult to get the meat from hunting animal, honey, rattan, animal skin, medicine, flora and fauna.
The other positive impact were the development of education public facility being increased, the health service?s good, the trade transportation?s fluent, the people communication?s good and fluent, the knowing national and international information can be know by all of the people."
2009
T26017
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Puji Nur Rahmawati
Yogyakarta: Kepel Pess, 2017
394.4 NEN u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Kelentangan is a kind of music used in a sequence of Belian Sentiu ceremony, one of healing rites of Dayak Benuaq Society led by the pemeliatn. The ceremony can be held when Kelentangan does also come. Kelentangan itself has two meanings, as an instrument or as an ensemble. The performance of Kelentangan in Belian Sentiu ceremony is a representation of the myth about belief toward ghosts and the Dayak Benuaq ancestor?s spirits. The performance of Kelentangan has a very important role in the healing procession or also known as ngawat. All of Kelentangan performances in the Belian Sentiu ceremony are meaningful and contain symbolical meanings in it. They functioned normatively as social adjustment in Dayak Benuaq of Tanjung Isuy, in individual and environmental, and spiritual relationships. The later concerned with ghosts and the ancestors? spirits."
JKSUGM 1:1 (2014) (2)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentius Dyson P.
"Dari hasil penelitian kami mengenai sistim gotong ro_yong tolong menolong di desa Juhan Asa, maka dapat kami ta_rik kesimpulan bahwa dari tujuh jenis tolong menolong yang ditemukan di Jawa oleh Koentjaraningrat (1961 : 29) hanya ada lima jenis saja tolong menolong yang berlaku di desa ,tersebut, yaitu : a. gotong royong tolong menolong dalam peristiwa }cematian dan bencana lain seperti sakit parah atau rumah terbakar, b. gotong royong tolong menolong yang ne1ibat semua penduduk desa untuk mengerjakan proyek yang tegunaanny a dirasakan oleh semua penduduk desa, c. gotong ,royong tolong menolong dalam upacara dan pesta, d. gotong 'royong tolong menolong dalam kegiatan sekitar rumah tang-!a, dan e. gotong royong tolong menolong dalam kegiatan pertanian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1979
S12087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murni
"Pengobatan beiiatnt sentiyu merupakan pengobatan alternatif dari sejumlah pengobatan yang dikenal oleh orang Dayak Benuaq. Pengobatan ini dilandasi oleh pengetahuan orang dayak Benuaq mengenai konsep sakit - sehat, penyebab dan klasifikasi penyakit. konsep betiatnt sentiyu, proses dan pelaku yang terlibat dalam pengobatan serta faktor predisposisi sehingga pengobatan ini masih dipraktekkan.
Penelitian yang mengambil lokasi di Desa Tanjung Isuy, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur dilakukan pada 25 Oktober - 4 November 1999. Pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif melalui pengamatan, pengamatan terlibat, dan wawancara mendaiam. Penyakit yang diderita oleh seseorang bagi orang Dayak Benuaq adalah akibat perilaku individu tersebut dalam menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Penciptanya, manusia dengan alam lingkungan sekitar tempat tinggalnya, atau hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ketidakharmonisan hubungan akan menyebabkan penyakit di derita oleh seseorang atau sekelompok orang. Oleh sebab itu, pelt' dilakukan pengobatan beliatnt sentiyu sebagai upaya penyembuhan penyakit tersebut Penyakit (illness) oleh orang Dayak Benuaq dibagi dalam dua klasifikasi yakni penyakit berat (rotate tahapt) dan penyakit ringan. (rotatn ele).
Konsep pengobatan beliatnt sentiyu berawal dari kerasukan (sentiyu = kerasukan) mengenal sejumlah pelaku yakni : pemeliatnt (penyembuh tradisional), rotatn ("pasien"), penu'ung (pemusik), dan pengugu/pengegugu garu (orang yang membantu pemeliatnt menyiapkan segala perlengkapan upacara). Pengobatan beliatnt sentiyu erat terkait dengan sistem religi asli orang Dayak Benuaq.
Tahapan dalam proses pengobatan beliatnt sentiyu diawali dengan pemeriksaan terhadap rotant oleh pemeliatnt dengan cara : (i) kakaap (meraba tubuh rotatn yang dirasakan sakit); (ii) nyegook (mengisap bagian kepala rotatn); (iii) nyentaau ("mendiagnosa" dengan menggunakan Jilin di dalam mangkuk untuk mengetahui penyakit rotatn); (iv) tafsir mimpi (menanyakan mimpi yang pernah dialami oleh rotatn atau keluarganya); (v) ngentaas (memanggil roh kelelungan para pengentaas ); (vi) melihat hati dan limpa babi. Ramuan-ramuan tumbuhan dan hewan digunakan bersamaan atau terpisah dari pengobatan beliatnt sentiyu.
Pelaksanaan pengobatan beliatnt sentiyu dapat dilakukan pada pagi, slang, sore, maupun malam hari, balk di lou (rumah panjang) maupun di rumah rotatn. Lamanya waktu pengobatan tergantung pads tingkat keparahan suatu penyakit. Demikian pula, jumlah pemeliatnt yang terlibat dalam sebuah pengobatan beliatnt sentiyu. Biaya yang dikeluarkan untuk suatu penyelenggaraan pengobatan beliatnt sentiyu tergantung pada ringan atau beratnya penyakit den lamanya proses pengobatan.
Beliatnt sentiyu merupakan fakta pengobatan tradisional yang masih dipraktekkan oleh orang Dayak Benuaq dengan segala segi positif mauptm negatifnya. Penelitian laboratorium terhadap sejumlah ramuan tumbuhan dan hewan yang digunakan dalam pengobatan nil perlu dilakukan, sehingga dapat diketahui manfaat atau bahayanya bagi kesehatan. Kerjasama lintas sektoral antara Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, dan Departemen Pendidikan Nasional perlu diupayakan agar pengobatan beliatnt sentiyu dapat dikembangkan sebagai aset pariwisata dengan retail melakukan pembinaan guna meningkatkan derajat kesehatan pada Orang Dayak Benuaq.

Beliatnt Sentiyu : Alternative Medicine of the Dayak Benuaq People (A Study of the Dayak Benuaq People at Tanjung Isuy village, Jempang Subdistrict, West Kutai District, East Kalimantan 1999)
One of the healing systems among the Dayak Benuaq is beliatnt sentiyu. Concepts of illness and health, the classification of disease and their causes, the actors involved in the healing process and predisposition factors are elements of this healing system.
The study was carried out at Tanjung Isuy village, Jempang subdistrict, East Kalimantan from 25 OCtober to 4 November 1999. Participant observation and in-depth interviews were used as data collection method.
An illness is perceived as a result of a person's behavior in maintaining a hatsnonious relationship between said person and his/her's creator, the natural environment ar his/her fellow man. An inharmonious relationship will cause one or a group of people to suffer illness. Among the Dayak Benuaq, illness is divided into `severe' illness (rotatn tahapt) and `light' illness (rotatn ele).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T4611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Susyanthi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25159
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Susyanthi
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37505
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini bertujuan unuk mengetahui permasalahan spesifik KAT yang sudah diberdayakan serta kebutuhan pelayana sosial yang masuh diperlukan dilokasi pemukiman KAT...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hery Susanto
"Kabupaten Kutai Kartanegara seluas 2326.310 hektar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur, memiliki Kawasan Budidaya Kehutanan lKBK seluas 1.619.238 hektar atau sekitar 59,39 % dari luas kabupaten. Sedangkan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) di kabupaten tersebut seluas 1.107.072 hektar, yang di dalamnya termasuk hutan rakyat dengan luas 16.710,34 hektar atau sekitar 1,51 % dari luas KBNK.
Guna mengembangkan hutan rakyat, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Kartanegara telah menetapkan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 31 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat/Hutan Milik. Pasal 4 Ayat (1) Perda tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan hutan rakyat mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pengolahan, pemasaran dan pengembangan dengan tata cara pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Bupati.
Permasalahan kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara hingga saat ini adalah sebagai berikut : (1) Kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara barn dijabarkan melalui Tata Cara Pemberian Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) Rakyat yang tertuang dalam Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 180.188IHK-11012002; (2) Kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara pada aspek kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, pemasaran dan pengembangannya dilakukan melalui bimbingan teknis kepada petani hutan rakyat namun implementasinya tidak dilakukan secara keseluruhan clad aspek-aspek kegiatan pengelolaan hutan rakyat tersebut di atas.
Hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara hingga kini masih menghadapi beberapa masalah teknis, yaitu : (1) Pengelolaan hutan rakyat belum berkembang secara luas karena pengelolaannya masih bersifat parsial; (2) Pemanfaatan hutan rakyat terutama pengembangan tanaman kayu jenis Akasia dan Sengon, setelah masak tebang menghasilkan pendapatan yang sangat kecil karena harga jual yang diperoleh petani tidak sesuai dengan biaya pemeliharaanya, sehingga hampir tidak ada petani yang tertarik untuk melakukan penanaman kembali; (3) Pengelolaan hutan rakyat belum mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari.

Kutai Kartanegara Regency with 2,726,310 hectares is one of regencies in East Kalimantan Province, having Kawasan Budidaya Kehutanan KBK (Forest Preservation Area) as large 1,619,238 hectares or around 59.39% of this regency. And the Non-Forestry Conservation Area (KBNK) in this regency is 1,107,072 hectares which include private forest with 16.710,34 hectares or about 1,51 % of non-forestry conservation area.
In order to develop this private forest, The Regional Government and Local House of Representatif (DPRD) of Kutai Kartanegara Regency has stipulated policies on Regional Regulation (Perda) on Number 31 12000 pertaining to Management on Private Forest. Article 4 point (1) of this regulation explains that management of private forest is include planting, maintaining, harvesting, processing, usage, marketing and developing activities with code of conducts that has been regulated by Head of Regency's decree.
Matters pertaining to private forest management policies in the Regency of Kutai Kartanegara are, thus far, as follows: (1) Management policy is just about spelled ant trough the IPPK harvest and utilization license for private timber set out by decision of the regency No. 180.188IHK-11012002; (2) Private forest management policy at Kutai Kertanegara Regency on the aspects of planting, cultivation, harvesting, utilization, management, marketing and development are implemented by technical guidance to private forest fanner, but it didn't implemented as a whole in terms of such management.
The private forest at the Kutai Kartanegara region up to present day is still facing some technical problems, such as (1) Private forest Management has not yet deve-loped significantly due to to its partial management. (2) Private forest utilization ,especially the development of acacia, and sengon, after ready for logging, does not result in proper revenues to the forester due to its cheap selling price, which does not correspond to its plantation Cost, which almost no foresters interested to replant them. (3) A conserved private forest management is still far from realization.
Such problems indicated that there are gaps between the implementation and management policy, so that it causes private forest in the region is not yet developing as expected. To find ant why it is so happen and how the implantation on the management policy of private forest in Kutai Kertanegara should be made. And then a recommendation to develop the management should be proposed. The Evaluation will be based on Prince analysis approach, taking into account some criterion (Dunn,2000), such as : effectiveness, efficiency, adequacy, participation, responsiveness, appropriateness.
Formulation of research is drawn up as follows: (I) How the management policy is implemented? (2) What is the result of implementation? (3) Are there any gap between the implementation and the management policy of private forest? (4) What any factors that shall afflict such gap?
The purpose of this research are: (1) To find out the policy and its implementation at research location; (2) To evaluate the implementation policy of private forest; (3) To inductivity the gap between implementation and management policy of private forest; (4) To identify any factors that cause gap in the implementation and management policy of private forest.
Research is carried out with qualitative-descriptive method. Selection of respondents is made with purposive sample. This technique applies considering limitations of time, energy and money and that one could not take larger and further sample (Arikunto, 2002).
Respondents for this Research include decision makers and social figures that are concerned with the private forest management such as: Bupati ("municipal ruler or regent"), Forestry Officials, Bappeda, DPRD Kutai Kartanegara Regency (Local House of Representatives), specialists or experts in forestry field, NGO-s, forest industrialists, and press whereas the respondent sampling is drawn from the private forest farmers under two-stage cluster sample technique.
The research conclusions are as follows: (1) Management policy for private forest No. 31/2000, until today is just spelled out by regent's decision No. 180.1881HK-110/2002 on the procedure of licensing in 1PPK. Implementation policy of forest management in Kutai Kertanegara regency give more priority to planting, cultivation and farm operations to develop private forest than other aspects; (2) Implementation result of forest management on the planting aspect in the frame work of preserving and developing private forest have a good assessment, but the processing of get bad rating. Whereas timber marketing and utilization by means IPPK realization, replanting post-felling of timber get bad rating; (3) There are a gap between the implementation and management policy of private forest in Kutai Kertanegara Regency, that is in the management, marketing, utilization by means of IPPK realization and replanting post-felling of the result is deficient; (4) Factors affecting the gap between implementation of management policy give more priority to planting, cultivation and development assistance of private forest; lack of technical guidance relating to management and marketing operations; lack of socialization relating to utilization by means of IPPK realization capital shortage for farm operations; lack regulation in log trade; extreme minimum in the result of log sale; and the orientation still rely on the utilization of natural forest in relation to private forest.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>