Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147368 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"One of the efforts foe water quality management is water pollution. The effort needs accurate water quality measurements which should be done by certified laboratories...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Lian Kautsar
"Masalah pencemaran lingkungan sungai di kota DKI Jakarta, telah menunjukkan gejala yang cukup serius. Salah satu penyebab dari pencemaran tersebut adalah air buangan dari limbah perkantoran. Gedung The City Center (TCC),. merupakan gedung perkantoran yang terletak di Jakarta Pusat. Gedung ini telah mempunyai IPAL dengan sistim lumpur aktif dan telah berupaya menjaga kualitas air limbah buangan nya memenuhi baku mutu air limbah sesuai permen LHK RI No. 68/Menlhk/Setjen/kum.1/8/2016. Sejak tahun 2020, telah terjadi pandemi COVID-19 sehingga debit air olahan menurun hingga kurang dari 50% dari total desain kriteria debit. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan debit resirkulasi lumpur aktif . Tujuan dari penelitian ini mengevaluasi efisiensi penyisihan BOD dan COD dalam kurun waktu tahun 2017 hingga bulan Maret 2021, mengatur debit resirkulasi lumpur aktif pada masa pandemi COVID-19 dan mengevaluasi efisiensi penyisihan BOD dan COD. Data BOD dan COD pada kurun waktu 2017 hingga bulan Maret 2021 dikumpulkan dari data sekunder. Pengaturan debit resirkulasi lumpur dilakukan dari kondisi maksimum resirkulasi sampai dengan kondisi resirkulasi terendah yaitu pada 176 m3/hari, 206 m3/hari dan 236 m3/hari. Pada tiap variasi debit, dilakukan pengambilan sampel lumpur di tanki pengukuran, sampel air limbah influent di bak grit chamber dan sampel air limbah effluent di bak effluent. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu tinggal 24 jam dan 48 jam. Sampel lumpur di tanki pengukuran diukur MLSS, sampel influent dan effluent dikur kadar BOD dan COD. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa debit resirkulasi lumpur yang optimum terjadi pada 206 m3/hari dengan waktu tinggal 24 jam. Jumlah MLSS di tangki aerasi sebesar 4435.97 mg/L dan , Nilai Food to mass ratio (F/M ratio) sebesar 0.008374 kg BOD/kg. Pada kondisi optimum, effisiensi penyisihan BOD dan COD masing – masing sebesar 95.60% dan 96.73%. Pada kondisi pandemi COVID-19, dengan mengatur debit resirkulasi lumpur, efisiensi penyisihan BOD dan COD lebih tinggi dibanding tanpa pengaturan debit resirkulasi dengan efisiensi penyisihan rata –rata BOD dan COD masing masing 94% dan 93%

The problem of river environmental pollution in the city of DKI Jakarta, has shown quite serious symptoms. One of the causes of this pollution is wastewater from office waste. The City Center (TCC) building. is an office building located in Central Jakarta. This building already has an WWTP with an activated sludge system and has made efforts to maintain the quality of its wastewater discharge to meet the wastewater quality standards according to the Indonesian LHK Regulation No. 68/Menlhk/Setjen/kum.1/8/2016. Since 2020, there has been a COVID-19 pandemic so that the treated water discharge has decreased to less than 50% of the total design discharge criteria. Therefore, it is necessary to regulate the activated sludge recirculation discharge. The purpose of this study were evaluate the efficiency of BOD and COD removal from 2017 to March 2021, setting the activated sludge recirculation discharge during the COVID-19 pandemic and evaluate of removal efficiency of BOD and COD . BOD and COD data for the period of 2017 up to March 2021 were collected from secondary data. Sludge recirculation discharge settings are carried out from the maximum recirculation conditions to the lowest recirculation conditions at 176 m3/day, 206 m3/day and 236 m3/day. For each discharge variation, a sample of sludge was taken in the measurement tank, a sample of the influent wastewater taken in the grit chamber and a sample of the effluent wastewater taken in the effluent tank. Sampling were carried out at detention time of 24 hours and 48 hours. Sludge samples in the measurement tank were measured MLSS, influent and effluent samples measured oncentration of BOD and COD. The results of the study showed that the optimum sludge recirculation discharge occurred at 206 m3/day with detention time of 24 hours. The amount of MLSS in the aeration tank is 4435.97 mg/L and the value of Food to mass ratio (F/M ratio) is 0.008374 kg BOD/kg. Under optimal conditions, the removal efficiency of BOD and COD is 95.60% and 96.73%, respectively. In the COVID-19 pandemic conditions, by setting the sludge recirculation discharge, the removal efficiency of BOD and COD were higher than without the setting of recirculation discharge with an average removal efficiency of 94% for BOD and 93% for COD respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angka M. Yusuf
"Limbah konstruksi merupakan konsekuensi dari berkernbangnya industri konstruksi di Indonesia Dengan adanya limbah konstruksi maka dalam suatu proyek perlu mengeluarkan biaya pengelolaan. Sehingga Iimbah konstruksi selain dapat menurunkan kualitas lingkungan di dalam proyek maupun di sekitar proyek, juga dapat menambah biaya tidak perlu yang menjadi beban kontraktor.
Penerapan strategi minimisasi limbah konstruksi dapat menangani masalah limbah konstruksi. Strategi minimisasi limbah konstruksi dapat diterapkau dalam 4 area konstruksi yaitu: perencanaan pengelolaan proyek, pra konstruksi, kegiatan luar Iokasi proyek, kegiatan di dalam Iokasi proyek. Dengan studi kasus yang dilakukan dapat diketahui sejauh mana penerapan yang telah dilakukan kontraktor dan manfaat dari penerapan strategi minimisasi limbah konstruksi pada area perencanaan pengelolaan proyek dan kegiatan di dalam lokasi proyek konstruksi bagi kontraktor.
Penerapan strategi minimisasi limbah konstruksi pada proyek berbeda-beda tergantung dari kebijakan kontraktor itu sendiri. Melalui penelitian ini telah diketahui bahwa penerapan strategi minimasi limbah konstruksi yang dilaksanakan beberapa kontraktor BUMN sudah baik. Namun strategi minirnasi limbah konstruksi akan dapat berjalan lebih baik lagi apabila didukung oleh suatu sistim manajemen khusus, seperti housekeeping management pada PT PP dan environmental management system pada PT WASKITA. Karena dengan penerapan strategi minimasi yang baik dapat mengurangi total biaya pengelolaan limbah di proyek."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S35160
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Mukhlisina Ramadhan
"Terkenalnya Kota Pekalongan sebagai “The World City of Batik” membawa konsekuensi meningkatnya permintaan pasar yang mendorong peningkatan produksi. Hal tersebut menyebabkan masalah pencemaran lingkungan hingga sekarang akibat limbah hasil produksi industri batik yang dibuang sembarangan tanpa melalui tahap pengelolaan atau penetralisiran limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Usaha pemerintah memberikan sosialisasi, pembuatan regulasi, dan membangun Instalasi Pembuangan Air Limbah Komunal (IPAL) ternyata belum dapat menyelesaikan masalah pencemaran limbah batik. Pengetahuan dan perilaku aktor industri batik menjadi salah satu penyebab pencemaran limbah batik. Tulisan ini menggunakan teori rational choice (Bennet, 1980) dan ecological tragedy (Henley, 2008) serta metode etnografi untuk melihat bagaimana pengetahuan dan perilaku ekologi aktor usaha batik mikro, kecil, dan menengah terkait limbah “batik” di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia. Kesimpulan dari tulisan ini adalah pengetahuan dan perilaku aktor industri tersebut belum dapat mendukung pengelolaan limbah yang lebih baik karena pengetahuan mereka yang minim atau tidak tahu sama sekali, memiliki pengetahuan namun memilih tidak melakukan pengelolaan limbah, dan memiliki kemauan atau keinginan untuk mengelola limbah namun kemampuan mereka terbatas.

Pekalongan City known as "The World City of Batik" has led to an increase in market demand, which has led to an increase in production. This has caused environmental pollution problems until now due to the waste produced by the batik industry which is disposed of carelessly without going through the waste management or neutralization stage first before being discharged into the river. Government efforts to provide socialization, make regulations, and build a Communal Wastewater Disposal Installation (IPAL) have not been able to solve the problem of batik waste pollution. The knowledge and behavior of batik industry actors is one of the causes of batik waste pollution. This paper uses rational choice theory (Bennet, 1980) and ecological tragedy (Henley, 2008) as well as ethnographic methods to see how the ecological knowledge and behavior of micro, small and medium batik business actors related to "batik" waste in Jenggot Village, South Pekalongan Subistrict, Pekalongan City, Central Java, Indonesia. The conclusion of this paper is that the knowledge and behavior of these industry actors have not been able to support better waste management because they have minimal knowledge or do not know at all, have knowledge but choose not to carry out waste management, and have the willingness or desire to manage waste but their abilities are limited."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecep Aminudin
"Pencemaran udara dapat disebabkan oleh berbagai sumber, antara lain dari aktifitas industri. Untuk mengatasi persoalan pencemaran udara, termasuk dari industri, pemerintah di berbagai negara, termasuk di Indonesia, mengeluarkan berbagai macam kebijakan untuk mengendalikannya. Namun demikian, penelitian mengenai efektivitas dari kebijakan yang telah ditetapkan masih sangat kurang dilakukan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah berusaha untuk: (1) mengetahui efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di DKI Jakarta, Indonesia, (2) mengetahui efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di NSW, Australia. (3)mengetahui perbandingan efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di DKI Jakarta dengan di New South Wales.
Penelitian ini menggunakan pendekatan expost facto terhadap data sekunder berupa laporan-laporan badan-badan pemerintah di kedua negara yang diterbitkan antara tahun 1990 - 2006 dan hasil-hasil penelitian lain yang relevan. Analisa dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif untuk menentukan nilai (1-5) dari masing-masing parameter efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran udara industri. Parameter untuk mengukur efektivitas kebijakan terdiri dari parameter produk kebijakan (policy output), parameter hasil antara kebijakan (intermediate outcomes) dan parameter hasil akhir kebijakan (end outcomes). Nilai rata-rata dari semua parameter kemudian dimasukan dalam skala efektivitas untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran udara industri dan masingmasing lokasi penelitian. Kategori tingkat efektivitas yang ditetapkan dalam penelitian ini, mulai dari yang terendah, adalah: tidak efektif, belum efektif, potensial efektif, cukup efektif, sangat efektif.
Dengan sistem negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, kebijakan pengendalian pencemaran udara industri yang berlaku di Jakarta berada pada level nasional dan level daerah. Kebijakan pengendalian pencemaran, termasuk pencemaran udara industri, dimulai pada tahun 1980-an. Instrumen kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di tingkat nasional maupun di tingkat daerah hampir lama dan lebih menitikberatkan pada pendekatan atur dan awasi atau command and control. Sementara itu, pendekatan ekonomi belum banyak dikembangkan baik di level nasional maupun di level daerah. Evolusi pengaturan pencemaran di Indonesia bergerak ke arah desentralisasi dengan penguatan peran pemerintah daerah dalam pengendalian pencemaran danpenjabaran kebijakan pengendalian pencemaran untuk berbagai macam media termasuk udara.
Sementara itu, dengan sistem negara Australia yang berbentuk federal, di NSW kebijakan pengendalian pencemaran udara industri lebih banyak berada di tangan negara bagian. Sedangkan pemerintah federal hanya mengembangkan kebijakan umum seperti ketentuan tentang baku mutu udara ambien. Kebijakan pengendalian pencemaran udara, termasuk dari sumber industri, dimulai pada tahun 1960-an. Selain itu, instrumen ekonomi dalam bentuk load based licensing juga sudah mulai dikembangkan di tingkat negara bagian NSW disamping penyempurnaan pada pendekatan command and control. Evolusi pengaturan pencemaran udara industri di Australia, khususnya di NSW bergerak ke arah integrasi pengendalian pencemaran antara sate jenis media dengan media lainnya, dan mulai berperannya pemerintah federal dalam upaya pengendalian pencemaran.
Terkait dengan tujuan penelitian, dari studi ini diketahui bahwa di DKI Jakarta produk kebijakan (policy output) berupa pendayagunaan berbagai macam instnunen kebijakan (mixed policy instrument) masih lemah, kondisi basil antara kebijakan (intermediate outcomes) berupa perilaku penaatan industri terhadap kebijakan masih rendah dan hasil akhir kebijakan (end outcomes) berupa beban emisi dari industri dan kualitas udara ambien di daerah industri juga masih belum baik. Sedangkan di New South Wales, produk kebijakan (policy output) berupa pendayagunaan berbagai macam instrumen kebijakan (mixed policy instrument) cukup kuat, kondisi hasiI antara kebijakan (intermediate outcomes) berupa perilaku industri terhadap kebijakan cukup tinggi dan hasil akhir kebijakan (end outcomes) berupa beban emisi dari industri dan kualitas udara ambien juga cukup baik.
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan: (1)kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di DKI Jakarta termasuk dalam kategori belum efektif (2)kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di New South Wales termasuk kategori potensial efektif. (3)kebijakan pengendalian penemaran udara industri di New South Wales lebih efektif dibanding kebijakan pengendalian pencemaran udara industri di DKI Jakarta.
Untuk mengurangi kesenjangan tingkat efektivitas di Jakarta dibandingkan di New South Wales perlu dilakukan perbaikan strategi kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah, penguatan upaya penegakan hukum, serta perhatian politik yang cukup dari penentu kebijakan.

The main sources of urban air pollution are come from transportation and industrial activity. To overcome the problem, the governments in the world are trying to formulate and implement policy to control industrial air pollution in various policy approaches. However, the research about the effectiveness of that policy is still rare. The aims of this research are: (1) To know about the effectiveness of industrial air pollution control policy in Jakarta, Indonesia, (2) To know about the effectiveness of industrial air pollution control policy in New South Wales, Australia. (3) To compare the effectiveness of industrial air pollution control policy in Jakarta and New South Wales.
This research is based on ex-post facto approach which uses secondary data from the report of government agency in bath countries that issued between 1990 - 2006 and another research report which are relevant with this thesis. The analysis is based on quantitative and qualitative method to find the value for each research indicator in 1-5 scale. The average value fromall indicator then classified into the effectiveness scale index to know the degree of the effectiveness. This research divide the effectiveness scale, from lower to higher, are: not effective, not yet effective, potentially effective, sufficiently effective and very effective.
With the Indonesian unitary state system, the air pollution control policy is on the hand of local as well as the central government. The pollution control policy, including pollution from industry, was begin in 1980-s. The policy instrument that had been applied in national and local level are very similar and give more emphasize on command and control approach. Meanwhile, the economic instrument are still under developed. The evolution of pollution control in Indonesia are moving from centralized to decentralized system and the empowering of local government role in protecting environment Indonesia also at the stage of elaborating the environment protection policy in various kind of pollution media, including air pollution, from general principle and regulation of environmental protection.
Meanwhile, with the Australian federal system of the state, air pollution control policy in NSW is heavily on the hand of the state. While the federal government only developing general policy such as ambient air quality standard. The air pollution control policy in Australia was begin in 1960-s. The economic instrument in the form of load based licensing are developed in NSW since 1997 beside the reformation of the enforcement system. The evolution of pollution control in Australia, especially in NSW, are moving from media specific to more integrated and multimedia approach. Australia also at the stage of empowering the federal government to take responsibility for controlling pollution especially on national significant pollution issues.
Related with the objective of the research, this study found that, in Jakarta, the utilization of mixed policy instrument as a policy output are weak, the condition of the compliance behavior of industry as an intermediate policy outcome is low and the emission load and the ambient air quality in industrial area as end policy outcomes is not so good. Meanwhile, in New South Wales, the utilization of mixed policy instrument as a policy output are strong, the condition of the compliance behavior of industry as an intermediate policy outcome is high and the emission load and the ambient air quality in industrial area as end policy outcomes are relatively better than in Jakarta.
The conclusion of this research are, generally the effectiveness level of industrial air pollution control policy in Jakarta are not yet effective, while the effectiveness level of industrial air pollution control policy in New South Wales are potentially effective. So the effectiveness of industrial air pollution control policy in New South Wales is one level higher than in Jakarta.
To fill the effectiveness gap in Jakarta which is lower than in New South Wales, it is a need to reform the policy strategy, strengthening institutional capacity, strengthening law enforcement efforts, and adequate political support from the policy makers."
Depok: 2006
T17904
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Putri
"Polusi udara merupakan permasalahan global yang berdampak negatif terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Telah diketahui bahwa polusi udara dapat dikurangi dengan upaya bioremediasi, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman pohon. Tanaman pohon dapat merespons polusi udara secara fisiologis. Respons fisiologis tersebut dapat diketahui dari nilai indeks air pollution tolerance index (APTI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat toleransi dan perbedaan respons fisiologis enam spesies tanaman pohon (Mangifera indica, Pterocarpus indicus, Cerbera odollam, Pometia pinnata, Syzygium myrtifolium, dan Swietenia macrophylla) di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur dan Kampus UI Depok terhadap cekaman polusi udara berdasarkan nilai APTI. Pengukuran parameter lingkungan dan nilai APTI dengan parameter relative water content, pH ekstrak daun, kandungan asam askorbat, dan kandungan klorofil total dilakukan pada enam spesies tanaman pohon di kedua lokasi penelitian. Hasil uji APTI menunjukkan tanaman M. indica termasuk ke dalam kategori toleran terhadap polusi udara dengan nilai APTI tertinggi di Kawasan Industri Pulogadung yaitu sebesar 9,79 ± 0,13. Sementara itu, P. indicus termasuk ke dalam kategori sensitif terhadap polusi udara dengan nilai APTI terendah di Kampus UI Depok yaitu sebesar 6,59 ± 0,18. Hasil uji APTI tersebut menunjukkan bahwa spesies yang toleran memiliki nilai RWC dan kandungan asam askorbat yang tinggi, sedangkan spesies yang sensitif memiliki nilai RWC dan kandungan klorofil total yang rendah.

Air pollution is a global problem that negatively affects living things and the environment. It is well known that air pollution can be reduced by bioremediation, one of which is by utilizing tree plants. Tree plants can respond to air pollution physiologically. The physiological response can be known from the value of the air pollution tolerance index (APTI). This study aims to find out the tolerance levels and physiological response differences of six tree plants species (Mangifera indica, Pterocarpus indicus, Cerbera odollam, Pometia pinnata, Syzygium myrtifolium, and Swietenia macrophylla) in Pulogadung Industrial Estate, East Jakarta and UI Campus in Depok towards air pollution based on APTI values. Measurements of environmental parameters and APTI values with relative water content parameters, leaf extract pH, ascorbic acid content, and total chlorophyll content were conducted in six species of tree plants at both research sites. APTI test results showed that M. indica plants fall into the category of air pollution tolerance with the highest APTI value in the Pulogadung Industrial Estate at 9.79 ± 0.13. Meanwhile, P. indicus is included in the category of sensitive to air pollution with the lowest APTI score at UI Depok Campus which is 6.59 ± 0.18. The APTI test results showed that tolerant species had high RWC values and high ascorbic acid content, while sensitive species had low RWC values and low total chlorophyll content."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuapetel, Jones Victor
"Catalytic converter adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengontrol emisi gas buang sebagai penyebab polusi terutama pada kendaraan. Gas buang terdiri dari gas-gas karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO), hidrokarbon (HC) dan kandungan gas lainnya. Konversi emisi gas buang dalam catalytic converter disamping tergantung pada performans katalis dalam bentuk honeycomb juga tergantung pada distribusi aliran gas dalam penampang.
Untuk meningkatkan keseragaman distribusi ini maka dapat digunakan kombinasi screen dengan porositas 0,87 dan honeycomb dimana kecepatan aliran bisa diperlambat sehingga residence time lebih lama yang tentunya meningkatkan performans honeycomb. Hasil yang diinginkan adalah fenomena dinamika aliran yang lebih terdistribusi merata sehingga dapat meningkatkan proses konversi emisi gas buang. Metode yang digunakan adalah simulasi pada komputer yang menggunakan software Fluent/UNS sementara analisa numerik dilakukan dalam bentuk eksponensial yang ditransformasikan dalam bentuk grid.
Hasil simulasi menunjukkan fenomena aliran yang lebih terdistribusi merata sehingga meningkatkan proses konversi emisi gas buang.

Catalytic converter is a method to reduce the level of pollutants in the exhaust, especially on vehicle. Emission exhausts gases containing carbon dioxide (CO2), carbon monoxide (CO), nitrogen oxide (NO), unburned hydrocarbon (HC), and other gases. Conversion of the emission in the catalytic converter besides to depend on performance of catalyst as honeycomb also depending on gas stream distribution in the channel of the converter.
To increase the distribution, combination of screen with 0.87 porosity and honeycomb are used to reach this condition and flow velocity can be slowly so that residence time is longer. The combination also can increase performance of honeycomb of catalytic converter. The method to be used is simulation analysis was under the use of computer programming soft ware Fluent/UNS, while the numerical analysis was done by exponential forms that were transformed into grid shape.
Result of simulation to indicate the mode of stream more distributed and increasing conversion process of the emission exhaust gases."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
T9154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Fadli
"ABSTRAK
Selama mengikuti kuliah di arsitektur, saya sering mendengar bahwa
masyarakat tradisional lebih baik dalam menyelesaikan masalah ruang hidupnya daripada
masyarakat modern. Untuk mengetahui kebenarannya, saya menganalisa dan
membandingkan hasil pengamatan langsung dan studi pustaka mengenai efisiensi
penyelesaian masalah pengudaraan pada bangunan vernakular dan modern. Hasil
penelitian sederhana ini menunjukkan arsitektur modern lebih baik dalam
mengatur pengudaraan di dalam namun lebih buruk dalam mempertahankan
kebersihan udara luar bangunan dari arsitektur vernakular. Arsitektur modern
tengah membenahi masalahnya dengan alam dan manusia, sebagai pemegang
keputusan, perlu melakukan hal yang sama demi menciptakan lingkungan yang
sehat bagi makhluk hidup di dunia.

Abstract
During my study of arhitecture, I often heard traditional people solve
their environment problem better than modern people. To prove that, I analyze
and compare the results of my observation and research about vernacular and
modern building effectiveness in airing. This research show that modern
architechture can control indoor air health better but much worse in keeping the
outdoor air health than vernacular architecture. Modern architecture still in
process to correct its relationship with nature and human, as a decision maker,
need to do the same thing to create a better world for all living being."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43629
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianti Sugiarta
"Pencemaran air sekarang ini semakin bertambah dengan semakin meningkatnya penggunaan bahan-bahan kimia, baik dalam proses industri maupun pada pertanian. Senyawa organik merupakan salah satu polutan air pada sumber air minum. Senyawa organik tersebut diantaranya adalah senyawa aromatik, senyawa hidrokarbon terklorinasi, dan senyawa aromatik terklorinasi.
Penemuan fotokatalitik dapat menjadi alternatif dalam pemurnian air, karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu hasil reaksi tidak berbahaya untuk lingkungan dan proses dapat dihentikan dengan mudah atau diatur.
Pada penelitian ini reaksi fotokatalitik dengan Ti02 yang diimmobilisasi pada pelat titanium diterapkan untuk degradasi senyawa 2,4-diklorofenol. Immobilisasi TiO2 pada pelat titanium dilakukan dengan metode sol gel dari dua prekursor, yaitu titanium diisopropoksi bisetilasetoasetat (TAA) dan titanium diisopropoksi bisasetilasetonat (TEA). Pemeriksaan lapisan tipis Ti02 pada pelat titanium dilakukan dengan TLC-scanner dan difraksi sinar X. Kristal Ti02 hasil dari kedua prekursor sama, yang terbesar adalah anatase (72,15% untuk TEA dan 70,45% untuk TAA).
Proses degradasi 2,4-diklorofenol dilakukan dibagi dalam tiga bagian yaitu variasi perlakuan dengan UV dan katalis, perlakuan dengan bias potensial dan perlakuan dengan penambahan hidrogen peroksida. Proses fotokatalitik dengan Ti02 dan UV dapat menurunkan konsentrasi 2,4-diklorofenol 43,46% (TEA) dan 48,65% (TAA). Tetapi tidak terjadi mineralisasi sempurna karena ion klorida yang dihasilkan hanya 0,4075 ppm (TEA) dan 0,4206 ppm (TAA). Sebagian besar 2,4-diklorofenol terdegradasi hanya sampai membentuk senyawa intermediet yang masih mempunyai 2 atom klor.
Bias potensial dan penambahan H202 dilakukan untuk meningkatkan hasil degradasi yang dicapai, yaitu dengan menghambat terjadinya rekombinasi lubang positif dan elektron yang terbentuk pada proses fotokatalitik. Penurunan konsentrasi 2,4- diklorofenol pada variasi perlakuan ini (UV/BP-TAA : 38,93%, UV/H2OrTAA : 53,42%, UV/BP/H2C>2-TAA : 39,62%) tidak berbeda secara berarti dengan perlakuan UV dan katalis (UV-TAA : 48,65% dan UV-TEA : 43,46%). Ion klorida yang dihasilkan yaitu UV/BP-TAA : 2,540 ppm, UV/H202-TAA : 0,928 ppm, UV/BP/H202-TAA : 4,106 ppm. Konsentrasi ion klorida yang dihasilkan ini lebih besar daripada perlakuan UV dan katalis (UV-TAA). Dapat disimpulkan bahwa bias potensial dan penambahan H202 pada reaksi fotokatalitik dapat meningkatkan proses mineralisasi 2,4-diklorofenol."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mokhamad Dyans Lazuardy
"Salah satu unsur yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan umat manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan adalah udara, namun seiring denganberkembangnya kehidupan manusia maka semakin banyak pencemaran yang dihasilkannya, salah satu hasil pencemaran yang umum terjadi dalam masyarakat adalah polutan dari asap rokok. Partikel dari asap rokok tersebut dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia. Salah satu cara untuk mengurangi pencemaran udara akibat asap rokok adalah dengan mendepositkan partikel-partikel dari asap rokok tersebut sehingga kebersihan udara sekitar dapat tetap terjaga. Oleh karena itu dibuatlah suatu alat uji untuk mendepositkan partikel-partikel tersebut dengan menggunakan gaya thermophoresis dan metoda untuk mengukur jumlah partikel-partikel tersebut. Gaya thermophoresis adalah gaya yang terjadi pada partikel yang disebabkan adanya gradien temperatur. Alat uji ini dinamakan thermal precipitator dimana partikel asap rokok yang melewati alat ini akan tersaring sehingga pencemaran udara yang diakibatkan oleh asap rokok ini dapat teratasi.

One of most important element to maintain a life from humans, animals and plants is an air, but within time, human life has change a lot and created more pollution, one of the pollution that is happening among the society is the pollutant from tobacco smoke. The particles from the smoke could cause so much distraction on human health. In order to reduce air pollution caused by tobacco smoke, the particles from the tobacco smoke should be deposited so then the surround air quality can be keep clean and healthy. Therefore, it needs to be built a device to deposits the particles using a thermophoretic force and method to measure it. Thermophoretic force is a force that applied on a particle because of a temperature gradient. This device called Thermal Precipitator where the particles from tobaccos smoke when passing through this device will be filtered so the pollution can be handled."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2009
S50983
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>