Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86641 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Dewi Kuntarti
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25623
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Kuntarti
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25462
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Clarina A.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5956
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlia Anggraini
"Penemuan teknologi pemisahan atom menjadi nuklir tetap menjadi sumber inspirasi dan juga kekhawatiran, karena penemuan teknologi nuklir ini di satu sisi dapat memberikan solusi ke banyak negara untuk dijadikan sumber energi, namun disisi lain teknologi nuklir ini dapat dijadikan senjata nuklir yang sangat mematikan. Di bulan Juli 2005, Presiden George W. Bush Jr. dan Perdana Menteri Manmohan Singh melakukan pertemuan bilateral yang mencapai kesepakatan bahwa kedua negara menyetujui untuk bekerjasama dalam mengembangkan program teknologi energi nuklir. Kesepakatan antara Amerika dan India tersebut menunjukkan adanya perubahan kebijakan di bawah pemerintahan Presiden Bush, dimana sebelumnya pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton, pemerintah Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi ekonomi kepada India ketika negara tersebut melakukan uji coba senjata nuklir di tahun 1998. Sanksi ekonomi tersebut sendiri telah dicabut setelah serangan 911 karena India mendukung kebijakan luar negeri Presiden Bush, namun demikian pemerintah Amerika tetap tidak bisa memberikan bantuan dalam hal teknologi nuklir yang bertujuan damai karena terbentur oleh undang-undang Amerika yang tidak membolehkan memberi bantuan program nuklir kepada negara yang tidak menandatangani Perjanjian Non Proliferasi Nuklir. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini bersifat deskriptif yang menggambarkan bagaimana perubahan politik luar negeri Amerika Serikat. terhadap program nuklir yang dimiliki oleh India.

The discovery of atom fission technology into nuclear has become an inspiration yet at the same time the source of worry, since nuclear could be a source of energy and a lethal weapon. On July 2005, President George W. Bush Jr. met Prime Minister Manmohan Singh on a bilateral meeting and they agreed to a cooperation between two countries which include nuclear cooperation. These cooperation showed a change on American foreign policy under the presidency of George Bush, Jr, where previously under the Clinton administration, American government dropped sanctions to India when they did nuclear tests in 1998. These sanctions had been lifted after the 911 event, since India has been fully supported on President Bush Jr?s foreign policy. Even so American government still could not give aid to India regarding nuclear program because of the American law that prohibit aid to countries who are not a signatory parties to the Non Proliferation Treaty. This is a descriptive research that try to describe how the change of united states? foreign policy under the presidency of George W. Bush Jr. toward Indian nuclear program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martina Safitry
"ABSTRAK
Dalam sejarah dipaparkan bahwa Inggris, Eropa bahkan Amerika mendukung realisasi proyek zionisme. Tetapi dukunganya tidak sekuat dan strategis Amerika Serikat. Terlebih lagi pada era George W Bush, yang mana idiosyncratic pemimpin Amerika ini berasumsi bahwa dunia ini anarki, sehingga harus diimbangi dengan cara menambah power agar Amerika dapat survive. George W Bush juga membantu dalam mengangkat wibawa zionisme, yaitu dengan mendoktrin sejumlah pandangan negatif terhadap Arab dan kaum muslim dalam emosi publik Amerika dan kebudayaannya, yang secara langsung atau tidak langsung, menyebabkan keberpihakan mereka kepada Israel dan gerakan zionisme.
Arti panting hubungan Amerika Serikat dengan Israel dapat dianalogikan dengan membangun satu sekutu yang tepat, baik dan ideal secara moral untuk menentang kekuatan lain yang menjadi lawan Amerika, yakni anti demokrasi dan komunis. Pola ini dapat disetarakan pula dengan pemikiran persekutuan Amerika-Israel sebagai kubu yang benar melawan pihak lain yang salah.
Untuk menguatkan hubungannya ini Israel menggunakan suatu lembaga lobi di Gedung Putih yang biasa dikenal dengan AIPAC. Lobi Israel memiliki tujuan untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah terkait dengan keamanan dan eksistensi Israel, yang secara umum diketahui bahwa Amerika sebagai sebuah negara adidaya tentu sangat berpengaruh, karena bagi siapa saja yang mengambil peran untuk mempengaruhi Amerika, keuntungan akan didapatkan. Namun ternyata ada beberapa peristiwa atau fakta dimana lobi tidak berperan.
Fakta-fakta yang dikemukakan dalam penelitian ini, menunjukan bahwa yang abadi adalah faktor kepentingan suatu negara, karena Amerika Serikat mempunyai kepentingan ideologi, politik, ekonomi dan pertahanan di Timur Tengah serta mencari sparing partner, dalam hal ini adalah Israel untuk mewujudkan misinya di Timur Tengah. Agar misi tersebut dapat terealisir Amerika Serikat harus mempertahankan eksistensi Israel dari acaman dunia Arab.

ABSTRACT
Historically, it is exposed that England, Europe even USA support the realization of Zionist project. But the support is not as strong and strategic as USA. Mostly in George W bush era, which idiosyncratic of this US leader assumed this world is anarchy, so must be balance by maximizing power so America can survive, George W Bush also helps and rises Zionism prestige, by doctrine amount of negative view about Arab and Moslem in American public emotion and culture directly or indirectly. It causes their side with Israel and Zionist movement.
Important meaning of USA affairs with Israel can be analogized by building a right good and ideal alliance morally to against other force which become USA enemy, democracy opponent and communist. This pattern also can be paralyzed with American-Israel alliance perspective as the right entrenchment against the wrong one.
To empower this affair, Israel uses a lobby institution in White House, known as AIPAC. Israel's lobby has objectives to influence American foreign policy in Middle East. It related with Israel security and existence, commonly known USA as powerful country obviously so influenced. For any one take part to influence USA, they'll get the advantage. But there are some evidence or facts where lobby couldn't take part.
The facts show the eternal is a country's interest factor, and for this research USA has ideology, politic, economy, and defense interest in Middle East and finding sparing partner, in this case Israel. To bring the mission in become reality, USA must defenses Israel's existence from Arabic world threat .
"
2007
T20724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisari Dyah Paramita
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS dalam konflik Israel-Palestina khususnya pada saat masa Presiden Bush, serta menjelaskan faktor-faktor eksternal dan internal AS yang berubah dan tidak dapat diabaikan pada saat itu sehingga membuat AS melakukan adaptasi dalam perilakunya. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah perilaku kebijakan AS sebagai satu-satunya negara yang mengalami perubahan secara signifikan dalam doktrin dan kebijakan luar negerinya setelah peristiwa serangan teroris tanggal 11 September 2001.
Adaptasi perilaku AS, merupakan respon AS terhadap perkembangan di lingkungan eksternalnya yaitu peningkatan eskalasi konflik di wilayah pendudukan di Palestina, adanya tekanan dari negara-negara asing termasuk dari negara-negara yang merupakan "sekutu dekat" AS di kawasan serta strategi ofensif yang dijalankan oleh Perdana Menteri Israel Ariel Sharon sejak tahun 2001. Di samping itu, adaptasi perilaku AS tersebut juga merupakan respon AS atas perkembangan di lingkungan internalnya yaitu adanya keprihatinan anggota Kongres/Senat serta publik domestik AS, adanya kekhawatiran kehilangan momentum positif proses perdamaian di Timur Tengah serta adanya kekhawatiran menurunnya koalisi global anti terorisme di kalangan Pemerintah AS.
Pembahasan mengenai permasalahan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran sebagai alat analitis.Dengan menggunakan pendapat Rosenau yang mengaitkan antara tindakan suatu negara terhadap lingkungan eksternalnya dengan respon terhadap aksi dari lingkungan eksternal dan internal serta penjelasan bahwa kebijakan luar negeri perlu dipikirkan sebagai suatu proses adaptif, pendekatan sistem politik David Easton, Mochtar Mas'oed dan Hoisti mengenai komponen kebijakan luar negeri serta teori yang dikemukakan Howard Lentner bahwa dalam mencapai tujuan politik luar negerinya, suatu negara mengalami serangkaian penyesuaian yang tetap yang terjadi di dalam negara maupun antara negara dengan situasi yang dihadapi, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah adaptasi perilaku AS diwujudkan dalam beberapa penyesuaian kebijakan luar negeri AS mengenai konflik Israel-Palestina, yang mencapai puncaknya pada peluncuran roadmap pembentukan dua negara sebagai penyelesaian terhadap konflik Israel-Palestina pada tanggal 30 April 2003. Dalam roadmap disebutkan bahwa realisasi pengakhiran konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai dengan penghentian kekerasan dan tindakan terorisme, dengan pemimpin Palestina yang mampu secara tegas mengambil tindakan melawan tindakan teror dan mampu untuk membangun demokrasi berdasarkan toleransi dan kemerdekaan, kesediaan Israel untuk melakukan apa yang diperlukan bagi berdirinya negara Palestina dan diterimanya oleh kedua pihak suatu wilayah pemukiman sebagaimana telah diatur dalam roadmap tersebut.
Peluncuran roadmap perdamaian merupakan wujud adaptasi kebijakan Presiden Bush pada tingkat perilakulaksi dalam konflik Israel-Palestina, dimana sebelumnya Presiden Bush selalu menolak thrill tangan langsung untuk menggerakkan proses perdamaian. Presiden Bush kini mengulurkan tangannya langsung dengan meletakkan kapasitas dan pengaruh AS untuk membuka kembali solusi politik yang selama lebih dari dua tahun tertutup rapat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa kedaulatan akan selalu paradoksal.
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi ?manusia? dan ?negara?, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan.
Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.

Sovereignty is a paradox: on the one hand it seems impossible to be truly sovereign, but on the other hand there is a desire to be always sovereign. Sovereignty is an irony: for the sake of achieving the sensation of sovereignty, states are willing to do violence upon itself and others. Sovereignty has always had two faces: gloomy face and furious face. The present study begins its discussion by questioning the reason why states perseveringly insist on attaining sovereignty even it requires violence, both upon its own self and towards other states. The strategy undertaken to address this question is by tracking back the genesis of modern state sovereignty on the Westphalia Peace Treaty 1648. The findings will be the answer of why sovereignty will always be paradoxical.
By Combining Jacques Lacan?s Psychoanalysis and Michel Foucault?s Genealogy, the author first designs an analytical framework that fits this tracking of sovereignty genesis, which is what to be called Psychogenealogy. Psychogenealogy could understand how a regime of truth is inseparable from the unconscious desires of its parties/participants and also how that regime could manage to shove aside other regimes of truth on its time. The next thing being done is exploring he macro-subjectivity thesis that is often to be the basic assumption for modern state theorizing. The result of this exploration will be able to go beyond this thesis of macro-subjectivity by arguing that the state in its essence truly is a macro-human, and not a mere analogy. This could only be done by what the author called ?lingusticizing? the ?human? and ?state?, which is by construing that the two is just an effect of language.
Next, with help of the concept of fascism from Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subjection of Judith Butler and abjection of Julia Kristeva, the author outlines some concepts that will be a significant influence on the understanding of the sovereignty itself: the sovereignty itself, sovereignty paradox, sovereign commodification, commodity of sovereignty and sovereignty logic. By this present study, the author concludes that the paradoxical nature of sovereignty is hereditary since the idea of sovereignty emerges circa 12th Century. Sovereignty, as a concept, arisen out of kings? anxiety at that moment toward a sense of integrated and autonomous self. It was this anxiety that provoke fantasy construction of sovereignty, which in its turn would be hard-fought. Modern state is the result of that hard-fought. So, this study stresses from the very outset that sovereignty is always functions to fulfill an ideal fantasy toward an integrated and autonomous self. And as history testifies, the fantasy is always the kings? fantasy, and not the people?s. That one can say that in its very basic, state is founded only to realize and manifest the kings? fantastic desire toward sovereign self. Fascistic nature embedded in those kings has always made them pereseveringly hard-fought their sovereignty. It is done by invoking universalities as its basis of sovereignty practices. These universalities eventually functions as commodity of sovereignty. This is the very logic of sovereignty?that is that the sovereign will always commodifies universalities to justify and perpetuate its sovereign existence.
By this understanding of the nature of sovereignty, the author carries on to take account toward the practice of sovereignty of the United States in this present era of Global War on Terror. By the US case the author shows that the core of the conception of sovereignty, that is the ideal fantasy of self-hood, has not changed yet from its Westphalian version. This, in the end, renders irrelevant any conversation about contemporary sovereignty. Thus, contemporary sovereignty is always contemporary sovereignty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Latuconsina, Muahammad Zein
"Tesis ini menganalisa tentang ?Permasalahan Arus Migrasi Ilegal sebagai Ancaman Keamanan Amerika Serikat pada masa Pemerintahan George Walker Bush jr? Runtuhnya tembok Berlin menandai sebuah perubahan besar-besaran dalam studi keamanan yang selama perang dingin didominasi oleh studi keamanan konvensional yang melihat ancaman hanya datang dari sektor militer dan politik. Berakhirnya perang dingin menandai kemunculan isu-isu baru seperti migrasi illegal dan terorisme yang akhirnya bagi beberapa negara menjadi permasalahan kemanan baru. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis dengan menggunakan teori sekuritisasi yang dikembangkan oleh Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap De Wilde dari Copenhagen School.

This thesis analyzes the "problem of illegal migration flows as a Security Threat to the reign of George Walker Bush Jr in the United States? The fall of the Berlin Wall marked a massive change in security studies during the Cold War that was dominated by conventional security studies which looked at threats only come from the military and political sector. The end of Cold War marked the emergence of new issues such as illegal migration and terrorism which become new security problems for some countries. This thesis uses qualitative research methods with analytical descriptive design. This thesis uses the theory of securitization which is developed by Barry Buzan, Ole Waever and Jaap De Wilde from the Copenhagen School."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27983
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shelfie Prihatini
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5796
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Herti Afriani
"Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu pertama mendeskripsikan dan menjelaskan strategi kesantunan yang digunakan oleh Presiden George Walker Bush sepanjang tahun 2006; kedua, mengidentifikasi pertalian antara strategi kesantunan yang digunakan Presiden Bush dan implikaturnya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan ancangan pragmatik. Ancangan pragmatik digunakan untuk menganalisis bagaimana tuturan tersebut memengaruhi penutur dan petuturnya di dalam komunikasi.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Presiden Bush di dalam teks pidato politik berbahasa Inggris menggunakan empat strategi dari lima strategi yang dirumuskan Brown dan Levinson, yaitu strategi bertutur terus terang tanpa basa-basi (BTTB); bertutur terus terang dengan basa-basi kesantunan positif (BTBKP); bertutur terus terang dengan basa-basi kesantunan negatif (BTBKN), dan bertutur secara samar-samar (BS).
Secara keseluruhan, strategi yang paling sering digunakan adalah strategi bertutur terus terang dengan basa-basi kesantunan positif (62, 96 %) karena Presiden Bush ingin menunjukkan penghargaan, rasa solidaritas, simpati, dan persahabatan serta kcinginan yang sama.Tujuannya adalah untuk mempertahankan stabilitas di antara sesama sehingga dapat terjalin persahabatan dan kedekatan diantara Presiden Bush dengan mitra tutur baik di dalam maupun di luar negeri. Pertalian strategi bertutur ini dengan implikaturnya, yaitu strategi bertutur dengan menggunakan strategi BTTB, BTBKP, BTBKN, dan BS (sarat dengan kesantunan) memiliki implikatur yang kuat, artinya petutur dari Presiden Bush bisa memahami maksud tuturan Presiden Bush.
Selain itu, tuturan Presiden Bush mengandungi efek kontekstual yang banyak, yang diperoleh dengan mengeluarkan usaha paling sedikit atau dengan waktu paling pendek. Secara politis, dalam urusan dalam negeri, tuturan Presiden Bush memiliki maksud meminta dukungan, dan memengaruhi petutur. Ia juga ingin menunjukkan bahwa kebijakannya sesuai dengan kepentingan rakyat Amerika Serikat. Dalam urusan luar negeri, tuturannya menginfonnasikan bahwa is sebagai Presiden dari sebuah negara adidaya memiliki kebijakan yang ditujukan untuk kebaikan seluruh manusia di dunia.

This research has two aims: firstly to describe and elaborate President George Walker Bush's politeness strategies during 2006; secondly to identify the relation between the strategy and its implicatures. This research is a qualitative with pragmatic approach. This approach is adopted to analyze how an utterance can influence the speakers and hearers in a communication.
The result shows that the English texts of President Bush's politics speeches adopted four of the five strategies formulated by Brown and Levinson. Those strategies are direct language without compliments or bald on record without redressive action (BTTB), direct language with positive politeness or FTA on record with redressive action (BTBKP), and direct language with negative politeness or FTA on record with redressive action (BTBKN), and FTA of record (BS) strategics.
Overall, President Bush mostly adopted direct language with positive politeness strategy (62. 96%) to show the hearers his appreciation, sense of solidarity, sympathy and friendship as well as common intention. His aim is to maintain the stability among conversational participants in order to form friendship and establish close relations with the hearers both domestically and internationally. The relations of those strategies, i.e. the strategies using BTTB, BTBKP, BTBKN, and BS (politeness laden) have strong implicature. This suggests that the hearers understand the meaning of President Bush's speeches.
In addition, his speeches contain many contextual effects with minimum efforts or shortest time. Politically, in his domestic policy, Presiden Bush's speeches have a meaning to get support, and influence the hearers. He also needs to show that his policy is appropriate with United States's needs. In his international policy, his speeches inform that he has a beneficial policy which is purposed for all persons in the world.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T25185
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>