Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91506 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hadi Widiatmoko
"Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh nyamuk Aedes (Stegomyia). Demam Denggi (Dengue Fever) dan Demam Berdarah Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DBD/DHF/DSS) terjadi lebih di 100 negara, dimana lebih dari 2,5 milyar manusia berisiko terinfeksi, diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun. Di Indonesia kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi setiap tahun. Pada tahun 1998 dan 2004 terjadi KLB yang cukup ekstrim dibeberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus mencapai 79.480, tahun 2005 dilaporkan 95.000 kasus, dan pada tahun 2006 hingga bulan Nopember tercatat 73.000 kasus. Secara nasional propinsi DKI Jakarta menduduki posisi tertinggi, diikuti oleh propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan (Kusriastuti,2006).
Perumusan masalah: penyakit DBD yang muncul disuatu daerah dipengaruhi oleh dinamika respons antara kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor dengan variabilitas cuaca musiman
Pertanyaan penelitian: 1.Apakah ada hubungan antara variabilitas cuaca musiman dengan perkembangan kasus DBD di DKI Jakarta? 2. Apakah ada perbedaan jumlah rata-rata kasus DBD pada daerah dengan kondisi fisik permukiman yang tidak homogen? 3. Berapa ambang batas variabel cuaca yang signifikan terhadap perkembangan Kasus DBD di DKI Jakarta?
Tujuan umum: membuat model peringatan dini DBD untuk wilayah Jakarta Timur dalam bentuk peta tematik potensi kasus demam berdarah dengue.
Tujuan khusus: 1.Mengetahui pola perkembangan kasus DBD di wilayah Jakarta Timur. .Mengetahui variabilitas cuaca musiman di wilayah Jakarta Timur. 3.Mengetahui kondisi pemukiman yang rentan terhadap munculnya DBD. 4. Mengetahui hubungan antara variabel cuaca musiman dengan kejadian kasus DBD. 5.Membuat model peringatan dini DBD berdasarkan variabel cuaca musiman.
Manfaat penelitian: 1.Pengembangan ilmu pengetahuan hubungan variabilitas cuaca musiman dengan perkembangan kasus DBD, 2. menentukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD, 3. masukan bagi Pemerintah daerah untuk pencegahan, penanganan, dan penanggulangan DBD 4. pengembangan kajian ilmu kesehatan lingkungan.
Penelitian di wilayah Jakarta Timur, dengan pertimbangan wilayah ini cukup mewakili variasi keragamaman dalam arah utara-selatan, dan timur-barat. Metode yang dipergunakan adalah deduktif retrospektif (ex post facto), melalui lima tahap kegiatan, yaitu tahap explorasi, uji homogenitas wilayah pemukiman, pemodelan, validasi, dan pemetaan hasil pemodelan.
Hasil penelitian: kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai pola distribusi yang juling kanan (positively skewed), dan menunjukkan pergeseran usia penderita beresiko tinggi, dari usia 4-11 bulan (1979-1998) menjadi usia 15-44 tahun, dengan kecenderungan jumlah kasus yang juga semakin meningkat. Secara klimatologis suhu udara rata-rata berkisar antara 23-31°C, optimum untuk perkembangbiakan dan aktifitas nyamuk, yaitu antara 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007). Kelembapan relatif udara rata-rata cukup tinggi (>70%) hampir sepanjang tahun. Curah hujan dan hari hujan menunjukkan siklus musiman yang nyata pada periode musim hujan yang berlangsung pada bulan Nopember-April, dan periode musim kemarau yang berlangsung pada bulan Mei-Oktober. Munculnya kasus DBD dapat dijelaskan dengan nilai indeks cuaca musiman (IC_DBD) dengan tingkat akurasi 81%. Nilai ambang batas IC_DBD peringatan dini DBD adalah pada kondisi Potensial (78-104). Nilai IC_DBD, cenderung tinggi pada periode menjelang musim hujan hingga awal musim kemarau (Oktober-Mei) dengan puncaknya terjadi pada bulan Januari. Siklus DBD terjadi pada periode Desember hingga Juli, dengan puncaknya terjadi pada bulan April.
Kesimpulan: 1. kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai pola distribusi yang juling kanan (positively skewed), dan menunjukkan adanya pergeseran usia penderita yang beresiko tinggi terhadap DBD, dari usia 4-11 bulan (1979-1998) menjadi usia 15-44 tahun, dengan kecenderungan jumlah kasus yang juga semakin meningkat; 2. Variasi musiman suhu dan kelembapan udara relatif stabil dan optimum untuk perkembangan nyamuk, kecuali faktor hujan mempunyai siklus yang nyata pada musim kemarau dan penghujan; 3. Rata-rata jumlah kasus DBD pada kondisi permukiman di Jakarta Timur tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%, 4. Variabilitas cuaca musiman dapat dipergunakan sebagai precursor terhadap kasus DBD dengan tingkat akurasi 81% dengan jeda waktu 2 (dua) bulan; 5. Peta potensi DBD mempunyai ambang batas pada kondisi Potensial (78-104) dengan relasi terhadap kasus sebesar 400-599 kasus.
Saran: Model ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah daerah, instansi terkait, peneliti, dan masyarakat luas di daerah endemik DBD sebagai referensi kebijakan pencegahan, penanganan, dan penanggulangan DBD.

Dengue is a disease caused by viruses and transmitted by Aedes mosquito (Stegomyia). Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DBD/DHF/DSS) occurred in more than 100 countries, more than 2,5 billion people at risk and estimated 50 millions people infected every year. In Indonesia, Unusual Event of Dengue Haemorrhagic Fever cases happen annually. In 1998 and 2004 extreme Unusual Events occurred in some of Indonesian provinces with 79.480 cases, in 2005 with 95.000 cases and in January to November 2006 with 73.000 cases. Nationally, DKI Jakarta is at the first level experienced the epidemic, followed by East Java, West Java, Central Java and South Sulawesi (Kusriastuti, 2006).
Problem formulation: The DHF that occurred at a certain area is specifically influence by the dynamical response between environmental conditions that support vector breeding and seasonal weather variability.
Research question: 1. Is there any corresponds between seasonal weather variability and the growth of Dengue Haemorrhagic Fever in DKI Jakarta? 2. Is there any differences in the number of Dengue Haemorrhagic Fever occurrences over non homogeny settlement area ? 3. How much is the threshold of weather variables significance with the growth of Dengue Haemorrhagic Fever in DKI Jakarta?
General purpose: creating a Dengue Haemorrhagic Fever early warning model of East Jakarta area by creating thematic maps of Dengue Haemorrhagic Fever potency.
Special purposes: 1. Understanding the growth pattern of Dengue Haemorrhagic Fever in East Jakarta. 2. Understanding seasonal weather variability of East Jakarta. 3. Understanding the mean number of DHF case that occurred at non homogeny settlement condition, 4. Understanding corresponds between seasonal weather variables and Dengue Haemorrhagic Fever cases. 5. Creating a Dengue Haemorrhagic Fever early warning model based on the seasonal weather variables.
Benefits: 1. Developing the study on the correlation between seasonal weather variability and the growth of Dengue Haemorrhagic Fever cases. 2. Determining prevention and control methods of Dengue Haemorrhagic Fever disease. 3. Giving input for local governments to prevent and control the Dengue Haemorrhagic Fever 4. Developing study on the environment health. Study at East Jakarta area is considering that the area is represents enough for East-West and South-North variability variation. Deductive retrospective (ex post facto) method is used, divided into five stages including exploration, homogeneity test of settlement area, modeling, validation and model mapping.
Results: Dengue Haemorrhagic Fever cases distribution pattern in East Jakarta is positively skewed and shows age shifting of high risk patient, from 4-11 months (1979-1998) to 15 ? 44 years, with tendency to become increased in quantity. Climatologically, the average temperature is at 23-31°C, optimum for mosquito?s activity and growth at about 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007). Average relative humidity is high enough (>70%) almost at the whole year. Precipitation rate and rain days amount clearly shows seasonal cycle at the rainy season period at November to April and dry season period at May to October. The emerging of Dengue Haemorrhagic Fever cases could be explained by seasonal weather index value (IC_DBD) which accuracy reaches 81%. Threshold value of IC_DBD for issuing early warning is at the potential condition (78-104). IC_DBD value is relatively high at the formerly rainy season to the formerly dry season (October to May) and reaches its top value at January. Dengue Haemorrhagic Fever cycle occur at December to July and peak at April.
Conclusions: 1. Dengue Haemorrhagic Fever cases distribution pattern in East Jakarta is positively skewed and shows age shifting of high risk patient, from 4-11 months (1979-1998) to 15 ? 44 years, with tendency to become increased; 2. Seasonal variation of temperature and humidity are relatively stable and optimum for the growth of the mosquito, with exception of clear rain factor at the rainy and dry season; 3. There is no significance differences in the mean number of occurrences of DHF cases at 95% significant level degree ; 4. Possibility of the seasonal weather variability as a precursor for Dengue Haemorrhagic Fever cases with accuracy reached 81% with 2 (two) months break; 5. Threshold for the Dengue Haemorrhagic Fever thematic maps is at the potential condition (78-104) corresponds with 400-599 Dengue Haemorrhagic Fever cases.
Suggestions: This model possible to be utilized and further developed by local governments, related institutions, scientist and society at the endemic area of Dengue Haemorrhagic Fever as a reference for prevention and control policy for the fever."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25027
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Febriyetti
"Penelitian ini bertujuan mencari pola hubungan variasi cuaca secara spasial dengan kejadian DBD. Studi ini merupakan studi ekologi campuran berdasarkan tempat dan waktu yang dilakukan di DKI Jakarta, mengunakan data sekunder kasus DBD dan data cuaca/iklim (curah hujan, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari) tahun 2000-2009. Dilakukan analisis spasial menurut tahun, bulan, kota administrasi dan kecamatan. Pengolahan data spasial yaitu dengan overlay peta antara variabel cuaca hasil interpolasi dengan kasus DBD per kecamatan, dengan grafik untuk data per kota administrasi dan didukung dengan uji statistik korelasi.
Korelasi antara curah hujan, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari dengan kasus DBD, masing-masing r nya adalah 0,515, 0,304, 0,396, -0,082, -0,392 dengan p< 0,05. Berdasarkan kota administrasi Jakarta Pusat, masing-masing memiliki r 0,615, -0,329, 0,378, 0,274, -0,499; Jakarta Utara masing-masing 0,438, -0,360, 0,618, -0,414, 0,320; Jakarta Selatan, masing-masing 0,441, -0,289, 0,392, 0,091, -0,414; Jakarta Barat dan Jakarta Timur hanya menganalis curah hujan, suhu udara, kelembaban dan kecepatan angin, r untuk Jakarta Barat masing-masing 0,497, -0,042, 0,136, -0,280; Jakarta Timur masing-masing 0,502, 0,522. -0,148, 0,293.
Berdasarkan analisis spasial dengan model grafik dan peta overlay, curah hujan dan kelembaban menunjukkan pola hubungan yang sama dengan pola kasus DBD dan suhu udara, kecepatan angin dan lama penyinaran matahari menunjukkan pola hubungan yang berbeda dengan pola kasus DBD. Disimpulkan bahwa variasi cuaca memiliki pola hubungan secara spasial dan berkorelasi secara statistik dengan kejadian DBD di DKI Jakarta.

This study aims to find patterns of weather variations in spatial relationship with the incidence of DHF. This study is based on a mixture of ecology and which takes place in Jakarta, using secondary data of DHF and weather/climate data (rainfall, air temperature, humidity, wind speed and solar radiation) in 2000-2009. Spatial analysis by year, month, city and district administration. Spatial data processing is to overlay a map of interpolated weather variables with DHF cases per district, with graphs for data per city administration and supported by statistical correlation.
Correlation between rainfall, air temperature, humidity, wind speed and solar radiation with DHF cases, each with its r is 0.515, 0.304, 0.396, -0.082, -0.392 with p <0.05. Based in Central Jakarta city administration, each having r 0.615, -0.329, 0.378, 0.274, -0.499; North Jakarta respectively 0.438, -0.360, 0.618, -0.414, 0.320; South Jakarta, respectively 0.441, -0.289 , 0.392, 0.091, -0.414; West Jakarta and East Jakarta only to analyzed the rainfall, air temperature, humidity and wind speed, r for West Jakarta respectively 0.497, -0.042, 0.136, - 0.280; East Jakarta respectively 0.502, 0.522. -0.148, 0.293.West Jakarta respectively 0.497, -0.042, 0.136, -0.280; East Jakarta respectively 0.502, 0.522. - 0.148, 0.293.
Based on spatial analysis with charts and map overlay model, rainfall and humidity showed the same pattern of relations with the pattern of dengue cases and the air temperature, wind speed and solar radiation showed a different pattern of relationships with the pattern of DHF cases. It is concluded that weather variation in spatial patterns and relationships are statistically correlated with the incidence of dengue in Jakarta.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T30820
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muyono
"Penyakit menular yang dibawa oleh vektor yang masih menjadi masalah hingga saat ini adalah penyakit Daman Berdarah Dengue (DBD), yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Sejak ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta penyakit ini cenderung menyebar luas sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Di Sumatera Selatan selama 5 tahun yaitu 1998 - 2002 tercatat rata rata jumlah kasus DBD 1.583 kasus (IR = 66,3/100.000 penduduk) dan CFR 2%, sedangkan Kota Palembang pada kurun waktu yang sama menunjukkan angka kejadian berfluktuasi, tahun 1998 (3022 kasus, CFR 2,94%), lalu tahun 1999 menjadi 1330 kasus (CFR : 2,25%), dan hingga akhir tahun 2002 tercatat sebanyak 1074 kasus (CFR : 1,67%).
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kejadian penyakit DBD, Angka Babas Jentik (ABJ) dan hubungan antara iklim yang meliputi curah hujan, hari hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin dengan kejadian penyakit DBD dan ABJ serta hubungan ABJ dengan kejadian penyakit DBD di Kota Palembang Tahun 1998 - 2002.
Desain penelitian menggunakan studi ekologi time trend dengan memanfaatkan data sekunder yang dikumpulkan dari laporan bulanan Subdin P2P Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Stasiun Klimatologi Kenten Palembang serta menggunakan analisis rata-rata hitung (mean) dan analisis Korelasi Pearson diperoleh hasil sebagai berikut:
Kejadian DBD tertinggi tahun 1998 (3.022 kasus, IR = 2216,41100.000 penduduk dan CFR = 2,94%) dan terendah tahun 2001 (816 kasus, IR = 54,91100.000 penduduk serta CFR terendah tahun 2000 yaitu 1,14%). Sedangkan rata-rata ABJ selama 5 tahun sebesar 83,68%, angka tertinggi tahun 1999 (88,0%) dan terendah tahun 2002 (78%). Gambaran iklim: Curah hujan : rata-rata (227,23 mm), tertinggi Maret (367,16 mm) dan terendah Agustus (88,86 mm); Hari hujan : rata-rata (16,2 hari), tertinggi Desember (22,8 hari) dan terendah Agustus (9,4 hari); Suhu : rata-rata (26,9°C), tertinggi Mei (27,6°C) dan terendah Januari (26,06°C); Kelembaban: rata-rata (84,3%), tertinggi Januari (87,4%) dan terendah September (79,2%); Kecepatan angin: rata rata (3,06 knot), tertinggi September (3,8 knot) dan terendah April (2,03 knot).
Hubungan antara iklim dengan kejadian penyakit DBD diperoleh hasil sebagai berikut: Curah hujan: data tahun 2001, ada hubungan bermakna antara curah hujan dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat; Hari hujan: data tahun 1999, 2002 dan 2002, ada hubungan bermakna antara hari hujan dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat; Suhu udara: data tahun 2002, ada hubungan bermakna antara suhu udara dengan DBD, arah negatif dan tingkat hubungan kuat; Kelembaban udara: data tahun 2001 dan 2002, ada hubungan bermakna antara kelembaban udara dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat; Kecepatan angin: data tahun 1999, ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat. Sedangkan hubungan antara iklim dengan Angka Bebas Jentik dan hubungan antara Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian penyakit DBD tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan.
Untuk mengantisipasi kejadian DBD dimasa mendatang perlu dilakukan pencegahan dengan jalan: mengaktifkan pokja DBD, upaya menggerakkan masyarakat melakukan PSN-DBD, pembagian abate dan ikan predator; peningkatan promosi penanggulangan DBD melalui media massa/elektronik; peningkatan survailence aktif ke rumah sakit minimal seminggu 2 kali dan survailence vektor; serta perlu ditingkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan instansi terkait seperti badan meteorologi dan geofisika, dinas pendidikan, Pemda dan Tim Penggerak PKK.

Contagion disease brought by vector which still become problem till now days is Dengue Disease (DBD), cause by dengue virus which contagious through mosquito vector of Aides aegypli. Since found in Indonesia in the year 1968 in Surabaya and Jakarta this disease tend to widely disseminate in line with the increase of mobility and density.
In South Sumatra during 5 year that is 1998 - 2002 noted an average rate cases of DBD L583 cases (IR = 66,3/100.000 residents) and CFR 2%, while Palembang at the same time show event fluctuation number, year 1998 (3022 cases, CFR 2,94%), then year 1999 becoming 1330 cases (CFR : 2,25%), and till the end of year 2002 noted as much 1074 cases (CFR : 1,67%).
This research aim is to know prescription of DBD disease occurrence, Free Number Larva (ABJ) and relation between climate which covers rainfall, rain day, temperature, dampness and speed of wind with DBD disease occurrence and ABJ also relation ABJ with DBD disease occurrence in Palembang Year 1998 - 2001.
Research design use study of ecology time trend by using secondary data collected from monthly report of Subdin P2P of Palembang City Health Service and Kenten Palembang Climatology Station and also use analysis of mean calculation and Pearson Correlation analysis obtained by following result:
Highest DBD occurrence in year 1998 (3.022 cases, IR = 2216,41100.000 resident and CFR = 2,94%) and lowest in year 2001 (816 cases, IR = 54,9/100.000 resident also lowest CFR in year 2000 is 1,14%). While ABJ mean during 5 year equal to 83,68%, highest number in year 1999 (88,0%) and lowest in year 2002 (78%). Climate Description: Rainfall: mean (227,23 mm), highest in March (367,16 mm) and lowest in August (88,86 mm); Rain day: mean (16,2 day), highest in December (22,8 day) and lowest in August (9,4 day); Temperature: mean (26,9oC), highest in May (27,6oC) and lowest in January (26,06oC); Dampness: mean (84,3%), highest in January (87,4%) and lowest in September (79,2%); Wind speed: mean (3,06 knot), highest in September (3,8 knot) and lowest in April (2,03 knot).
Relation between climate and DBD disease occurrence obtained following result: Rainfall: year 2001 data, there are meaningful relation between rainfall by DBD, positive direction and strong relation level; Rainy day: data of year 1999, 2002 and 2002, there is a meaningful relation between rainy day with DBD, positive direction and strong relation level; Air temperature: data of year 2002, there is a meaningful relation between air temperature with DBD, negative direction and strong relation level; Air dampness: data of year 2001 and 2002, there is a meaningful relation between air dampness by DBD, positive direction and strong relation level; Wind speed: year data 1999, there is a meaningful relation between wind speed by DBD, positive direction strong relation level. While relation between climate with Free Number of Jentik and relation between Free Number of Jentik (ABJ) with DBD disease occurrence is not found a significant relation.
To anticipate DBD occurrence in the next period require prevention by: activating pokja DBD, spraying before infection season, strive to make society do PSN, allotting abate and fish predator; improvement of DBD prevention promotion through mass medialelectronic; improve active surveillance to hospital minimally 2 times in one week; and need to improve cooperation pass program and pass sectored with related institution like geophysics and meteorology, education, Local Government and PICK Activator Team.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Junghans
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di Indonesia dan di beberapa negara yang terletak di daerah tropis maupun subtropis. Meningkatnya kejadian penyakit DBD dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor iklim. Dalam program pemberantasan penyakit DBD faktor iklim belum banyak mendapat perhatian, sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan DBD yang dilakukan belum optimal.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kotamadya Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta, untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor iklim dan kejadian DBD. Faktor iklim yang diteliti meliputi curah hujan, jumlah hari hujan, kelembaban, suhu, kecepatan angin, dan pencahayaan matahari.
Penelitian ini merupakan studi ekologi/studi korelasi populasi dengan menggunakan data sekunder selama 5 tahun (1998-2002) Data jumlah kasus DBD per minggu diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Kotamadya Jakarta Timur, sedangkan data faktor-faktor iklim diperoleh dari Stasiun Meteorologi Jakarta. Data iklim harian selanjutnya dikonversi menjadi data per minggu.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara curah hujan, kelembaban dan jumlah kasus DBD, hubungan yang sedang antara jumlah hari hujan, suhu, pencahayaan matahari dan jumlah kasus DBD, serta hubungan yang tidak bermakna antara kecepatan angin dan jumlah kasus DBD. Bentuk hubungan antara curah hujan, jumlah hari hujan, suhu, kecepatan angin, penyinaran matahari dan jumlah kasus DBD adalah cubic, sedangkan bentuk hubungan antara kelembaban dan jumlah kasus DBD adalah quadratic.

Relationship between Climate and Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Cases in East Jakarta 1998-2002Dengue hemorrhagic fever (DHF) is epidemic disease in Indonesia and some countries in tropical, subtropical and temperate areas of the world. The increasing of DHF cases is caused many factors, and one of them is climate factor. This factor does not get much interested in DHF controlling programs yet, so that the intervention strategy is not optimum.
The research is conducted in East Jakarta, to know whether climate factors are related to DHF cases. The climate factor in the study is rainfall, rain days, humidity, temperature, wind velocity, and sun shine.
This study is an ecological study using secondary data for 5 years (1998-2002). The weekly DHF cases data come from East Jakarta Health Services, and the daily climate data come from Jakarta meteorological station, conversed to weekly data for 5 years in 1998 to 2002.
The study shows that there are a significant relationship between DHF cases and rainfall, rain days, relative humidity, temperature, and sunshine. There is not significant relationship between DHF cases and wind velocity. The model of relationship between climate factors and cases are cubic, except the relationship between humidity and cases is quadratic.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T13044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Alicia
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26532
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sejati
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Persebaran penyakit DBD tergantung pada nyamuk Aedes aegypti yang penyebarannya terutama dipengaruhi faktor lingkungan fisik, yaitu variasi iklim yang terdiri dari curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan variasi iklim dengan kejadian penyakit DBD di Kota Padang selama periode tahun 1995-1999, dengan desain Cross Sectional Study.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Padang dari tahun 1995 -1999, sedangkan data variasi iklim diperoleh dari laporan hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing Padang selama periode 1995-1999. Data diolah untuk mendapatkan informasi frekuensi kasus DBD, Angka Bebas Jentik, hubungan antara variasi iklim dengan Angka Bebas Jentik, dan hubungan antara variasi iklim dengan kejadian penyakit DBD.
Hasil penelitian yang diperoleh di Kota Padang selama periode tahun 1995-1999 adalah jumlah kasus DBD yang tertinggi terjadi tahun 1995, tahun 1996, dan 1998, terdapat 9 kecamatan endemis dan 2 kecamatan sporadis. Rata-rata ABJ di Kota Padang selama periode 1995-1999 masih dibawa angka harapan nasional (berkisar 91-93%).
Hasil Uji Statistik menunjukan tidak adanya hubungan antara curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dengan kejadian penyakit DBD. Tidak ada hubungan antara variasi iklim (curah hujan, suhu udara, dan kelembaban) dengan ABJ, kecuali antara suhu dengan ABJ (p < 0,05; r = -0.310).
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan desain cross sectional study (potong lintang), untuk itu disarankan pada penelitian selanjutnya agar dapat menggunakan data primer dan dengan desain yang lebih baik.

Correlation between Variaed Climate with Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Incident in Padang 1995-1999Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) disease is one of communicable disease that is caused by dengue virus and transmitted by Aedes aegypti mosquito. The spreading of DHF depends on Aedes aegypti mosquito dealing with environment factors physically, such as variaed climate, categorized as like rainfall amount, temperature, and humidity.
This study proposed to find out the correlation between the variaed climate and DHF incidence in Padang City 1996-1999, with cross sectional study design. This study employed secondary data from Dinas Kesehatan Padang City since 1995 - 1999, and variaed climate data is taken from the result of, National Meteorology and Geophysic measurement at Tabing, Padang, 1995-1999.
The data had been analyzed to get the information of DHF case frequency, larva free rate (ABT), correlation between the varied climate, and larva free rate, and correlation between variaed climate factors and DHF case.
The result approachment in Padang City 1995-1999 are the total of the DHF case the highest happened in 1995, 1996, and 1998; 9 endemic subdistrict, and 2 sporadic subdistrict, the average of ABJ in Padang City in 1995-1999 periode remain under National expectation rate (91%, 93%).
The result of Statistical test showed that there is no correlation between rainfall amount, air temperature and humidity, and DHF case. There is no correlation between varied climate (rainfall amount, temperature, and humidity) and larva free rate, except temperature and larva free rate (p< 0,05; r -0,310).
This study employed secondary data with cross sectional design. There for, it is suggested for the further study to employ primary data with a better design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikha Purwandari
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26774
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Yuniarti
"Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam timbul dan penyebaran penyakit DBD, baik lingkungan biologis maupun fisik. Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi dan akan meningkatkan risiko penularan. Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi penyakit endemik di kota-kota besar di Indonesia. Banyak yang menduga bahwa KLB DBD yang terjadi setiap tahun hampir di seluruh Indonesia terkait erat dengan pola cuaca di Asia Tenggara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi Jakarta Timur. Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi ekologi menurut waktu. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2009 dan berlokasi di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur dengan menggunakan data sekunder. Data jumlah kasus demam berdarah dengue yang digunakan berasal dari laporan jumlah tersangka kasus yang tercatat di Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Timur. Data iklim yang digunakan adalah data curah hujan, kelembaban dan suhu udara yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi Kemayoran Jakarta.
Hasil penelitian hubungan kejadian kasus demam berdarah dengue dengan iklim di Kota Adminitrasi Jakarta Timur pada tahun 2004-2008 ini menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kelembaban udara (p=0,01) dan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan curah hujan (p=0,1) dan suhu udara (p=0,28). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa peningkatan kelembaban udara berpengaruh terhadap peningkatan kejadian kasus demam berdarah dengue. Oleh karena itu, diperlukan suatu kerjasama antar lembaga terkait yaitu Dinas Kesehatan dan BMKG sebagai pihak yang berwenang terhadap data kelembaban. Jika terjadi peningkatan kelembaban pihak BMKG disarankan untuk segera menginformasikan kepada dinas kesehatan, agar dinas kesehatan dapat waspada dan segera melakukan kegiatan untuk mengantisipasi kejadian kasus DBD dengan melakukan kegiatan preventif, seperti fogging dan pemeriksaan jentik berkala.

Environment is one of the most important factor in occurance and distribution of DHF, both of biologic and phisycs environment. Climate change can influence to infection disease pattern and will increase spreading risk. Intergovernmental Panel on Climate Change in 1996 predicted that DHF incidence in Indonesia would be tripled in 2070. Dengue hemorrhagic fever (DHF) has become endemic in many big cities in Indonesia. Most people predict that KLB of DHF happened every year almost in all of in Indonesia has strong relation with climate pattern in South East asia.
The objective of this research is to know correlation DHF cases and pattern of the climate variability in East Jakarta. This research uses the design of ecological time trend study. This research was did on May-June 2009 and located in East Jakarta District with used secondary data. Number of DHF cases were used the results indicate that DHF cases have significant related to humidity (pV=0,01) and didn?t have significant related to precipitation (p=0,1) and temperature (p=0,28).
The conclusion of this study is the increase of humidity can influence the occurance of DHF cases. Therefore, cooperation between health office and Geophisycs, Climate and Meteorologic Board is needed. If the increasing of humidity happen. Geophisycs, Climate and Meteorologic Board is suggested to inform to the health office immediately. In order that health office can be aware and the anticipating of DHF cases program can be done immediately by doing preventive program, such as fogging and periodic larva infection.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Ivoretty Sandra
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
S26813
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>