Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77798 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indarto
"Penelitian ini berfokus pada Pembinaan Karier Polri, disini penulis mendeskripsikan Birokrasi Neopatrimonial Pada Pembinaan Karier Bintara Pokes X. Dimana terdapat sinyalemen adanya praktek patrimonial pada birokrasi Indonesia. Praktek patrimonial pada suatu birokrasi legal formal tersebut dikenal dengan istilah birokrasi neopatrimonial. Sebagai salah satu birokrasi publik di Indonesia, Polri patut diduga juga melakukan praktek patrimonial khususnya pada pembinaan karier personel Bintaranya. Personel berpangkat Bintara merupakan jumlah terbanyak dan terpenting pada Birokrasi Polri. Kegagalan membina karier Bintara Polri dapat menggagalkan organisasi mencapai tujuannya. Peneliti berusaha mencari tahu apakah benar pembinaan karier Bintara Pokes X mendeskripsikan adanya suatu birokrasi neopatrimonial. Beberapa pemikiran mengenai Birokrasi neopatrimonial merujuk pada tiga fitur utama yaitu adanya suatu birokrasi cangkokan, adanya suatu kondisi ketidak jelasan dan juga adanya clientelism. Ketiga fitur tersebut digunakan peneliti untuk menelaah pembinaan karier Bintara Pokes X. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena memberikan ruang gerak yang lebih besar dalam mengeksplorasi masalah tersebut. Sedangkan metode pengumpulan datanya dilakukan melalui Studi literatur, Observasi dan Wawancara mendalam. Hasil penelitian menggambarkan adanya suatu pembinaan karier yang dijalankan dengan dua rule, yaitu mengacu pada aturan formal legal dan aturan personal informal. Adanya dua rule yang menjadi acuan menempatkan kondisi pembinaan karier menjadi tidak jelas. Baik tindakan maupun pengambilan keputusan tidak dapat diduga dan dikalkulasikan sebelumnya. Untuk mengatasinya, beberapa Bintara membangun hubungan personal dan informal dengan atasannya. Terjalinlah hubungan atasan bawahan yang saling menguntungkan. Bawahan memberikan pelayanan dan loyalitas pada atasan, sebagai ganti pemberian rasa aman dalam berkarier. Hubungan tersebut menjadikan praktek Binkar bertumpu pada aturan personal dan informal dengan bungkus aturan legal formal. Pada akhirnya, praktek tersebut melahirkan suatu daur neopatrimonial. Kesimpulan penelitian menunjukkan kebenaran adanya suatu deskripsi birokrasi neopatrimonial pada pembinaan karier Bintara Pokes X. Berkenaan dengan kesimpulan tersebut, Polri disarankan untuk membenahi beberapa aspek. Faktor yang melatar belakangi praktek neopatrimonial seperti gaji, kesejahteraan personel dan kecukupan anggaran kesatuan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Penciptaan kondisi kepastian dalam berkarier dengan secara konsisten mengacu pada formal rule yang telah ditetapkan adalah hal penting lainnya yang juga harus diperhatikan."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24554
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Iskandar
"Kebijakan Pemerintah mengenai otonomi daerah yang diundangkan dalam Undang Undang No. 22 tahun 1999, berdampak pada bergulirnya isu Putera Daerah. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas tugas Polri, beberapa konsep dalam rangka pemberdayaan potensi masyarakat telah dikembangkan, diantaranya merekrut putera daerah untuk dididik sebagai anggota Polri. Konsep ini dikenal sebagai local boy for local job.
Fungsi polisi adalah memelihara keteraturan dan ketertiban masyarakat, sehingga polisi diharapkan untuk senantiasa berinteraksi dengan warga masyarakat yang dilayaninya. Penelitian ini ingin menunjukkan corak kegiatan yang dilaksanakan oleh Polisi Putera Daerah pada satuan fungsi Samapta Polres Metro Jakarta Selatan. Sehingga diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi pembinaan kwalitas sumber daya anggota Polri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif atau etnografi, ditujukan pada anggota Bintara Remaja Polisi Putera Daerah Jakarta yang bertugas pada Satuan Fungsi Samapta Polres Metro Jakarta Selatan. Yang ditempatkan pada unit Patroli Kota sebanyak 15 orang, Kompi Pengendalian Massa sebanyak 42 orang dan Penjagaan Markas sebanyak 13 orang.
Yang dapat disimpulkan dari tesis ini adalah : Keberadaan Polisi Putera Daerah yang bertugas pada Satuan Fungsi Samapta Polres Metro Jakarta Selatan cocok dengan warga komuniti masyarakat yang dilayaninya melalui simbol-simbol kebudayaan yang dapat dengan mudah dimengerti. Polisi Putera Daerah dalam hal ini berfungsi menjembatani kepentingan kepolisian dengan warga masyarakat yang dilayaninya dengan menerapkan bahasa yang komunikatif dan simbol-simbol kebudayaan yang cocok untuk saling berkomunikasi."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S8560
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fannya Ayu Permatasari
"ABSTRAK
Kelelahan dan stres merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada pekerja dalam berbagai bidang industri, salah satunya yaitu bidang pelayanan masyarakat, seperti polisi. Kelelahan kerja merupakan respon subjektif terhadap perasaan lelah yang berkepanjangan, penurunan kapasitas, dan efisiensi kerja yang berakibat pada penurunan kinerja kerja. Stres kerja merupakan respon yang terjadi terhadap tuntutan dan tekanan kerja yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kelelahan kerja dengan stres kerja pada anggota kepolisian Polres X. Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional pada 132 anggota kepolisian Polres X yang diambil dengan tehnik Accidental Sampling. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu kuesioner Fatigue Severity Scale dan Subjective Self Rating Test. Hasil analisis uji Chi-Square menunjukkan terdapat hubungan antara kelelahan kerja dengan stres kerka pada anggota kepolisian Polres X P = 0,007, = 0,05 . Hasil analisis Odds Ratio menunjukkan pekerja yang mengalami kelelahan kerja berisiko 2,628 kali mengalami stres. Hasil ini merekomendasikan peningkatan upaya pengelolaan atau manajemen kelelahan kerja untuk meminimalisir terjadinya stres kerja.

ABSTRACT
The Correlation of Work Fatigue with Work Stress on Police Officers. Fatigue and stress are the most common health problems for workers in various industries. The one area of industry which has a high possibility of work fatigue and stress is the field of community service, such as police. Work fatigue is a subjective response to prolonged fatigue, decreased capacity, and worked efficiency which is resulting in a decrease on work performance. Work stress is a response that occurs to the demands and pressures of work that are not accordance with the knowledge and ability possessed by workers. The research aimed to identify the correlation of work fatigue with work stress on police officers in Polres X. Study design of Cross Sectional was used by the research. Participants were 132 police personnel of Polres X and taken by Accidental Sampling technique. Work fatigue was identified by questionnaires of Fatigue Severity Scale, while work stress was identified by questionnaires of Subjective Self Rating Test. Analysis of Chi Square test showed that there was correlation between work fatigue and work stress on police officers in Polres X P 0,007, 0,05. This result recommends improvement of work fatigue management efforts to minimize the occurrence of work stress."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohendra Asoka
Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carmia Pratiwi Santoso
"

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.

Pendahuluan: Suatu keadaan ketika karyawan hadir secara fisik di tempat kerja, tetapi mengalami penurunan kinerja dikenal dengan istilah presenteeism. Di Indonesia belum ada penelitian yang memberikan gambaran mengenai stressor kerja yang terjadi pada Polisi yang dihubungkan dengan presenteeism dan dibandingkan dari fungsi tugas nya. Penelitian pada polisi di Swedia berusaha mencari hubungan karakteristik pekerjaan dengan presenteeism dimana didapatkan hasil sebesar 47 % anggota polisi yang dilaporkan mengalami presenteeism. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stressor kerja dengan presenteeism terkait status kesehatan pada polisi dengan memperhatikan perbedaan antara polisi tugas operasional dan pembinaan.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang perbandingan (comparative cross-sectional) menyertakan 220 polisi di Polres X sebagai responden yang dipilih dengan convenience sampling. Responden terdiri dari petugas polisi dari departemen administrasi dan departemen operasional dengan jumlah yang sama. Data dikumpulkan dengan menggunakan empat kuesioner yang telah divalidasi. Presenteeism dinilai dengan Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) versi Indonesia, stressor kerja dengan Survei Diagnosis Stres (SDS), stres dengan Self-Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), dan stressor bukan akibat kerja dengan Holmes and Rahe, juga karakteristik sosiodemografi dengan kuesioner Identitas Responden. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik.

Hasil: Proporsi Presenteeism pada anggota polisi di Polres X yang memiliki presenteeism tinggi (high presenteeism) adalah sebesar 65,9%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara fungsi tugas dan presenteeism terkait status kesehatan dengan nilai p <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), juga stressor kerja beban kerja kualitatif dengan nilai p = 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73) yang menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap presenteeism pada polisi. Sedangkan variabel lainnya tidak ditemukan berhubungan.

Kesimpulan: Polisi dengan fungsi tugas operasional memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami presenteeism dibandingkan dengan polisi fungsi tugas pembinaan. Polisi dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori sedang-berat memiliki risiko lebih tinggi menjadi presenteeism dibandingkan dengan stressor kerja beban kerja kualitatif kategori ringan.


Introduction: A situation when an employee is physically present at work, but has decreased work performance is known as presenteeism. In Indonesia there are no studies that provide an overview of work stressor that occur in police related to presenteeism and compared to their task function. Research among Swedish police officer in 2011 found a relationship between job characteristics and presenteeism in which 47% of police officer reportedly experienced presenteeism.This study was aimed to know the relationship between work stressor and presenteeism related to health status of police by observing the difference between operational and administrative police.

Method: This research used a comparative cross sectional design with 220 police officer from a District Police Office as respondents selected by convenience sampling. The respondents consisted of the same number of the police officer from Administrative and Operational Department. Four validated questionnaires were used. Presenteeism was identified using with Stanford Presenteeism Scale-6 (SPS-6) Indonesian version, work stressor with Survey Diagnostic Stress (SDS), stress with Self Reporting Questionnaires-20 (SRQ-20), and non work stressor with Holmes and Rahe, as well as sociodemographic characteristics with questionnaire of respondents. The statistical test used was Chi-Square with a multivariate analysis using logistic regression test.

Result: The proportion of high presenteeism among the police was 65,9 %. This study show statistically significant relationship between operational task function with presenteeism related to health status with the result of p-value is <0,001; OR = 0,22; 95% CI (0,11-0,42), so does qualitative workload work stressor with the result of p-value is 0,008; OR = 0,30; 95% CI (0,12-0,73). It showed a statistically significant related to presenteeism among the police. Meanwhile, other variables were not significantly related to presenteeism.

Conclusion: The police with operational task function has a lower risk for presenteeism compared to the police with administrative task function. The police with moderate-severe category work stressor qualitative workload has a higher risk for presenteeism compared to mild category work stressor qualitative workload.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hashella Kostan
"Kebijakan reformasi birokrasi pada instansi pemerintahan mendorong pegawai ASN pada level eselon tiga ke bawah untuk segera melakukan peralihan jabatan menuju jabatan fungsional. Tidak terkecuali Instansi X, yang saat ini sedang didorong untuk memenuhi target proporsi 60% pejabat fungsional hanya dalam kurun waktu satu tahun. Target ini idealnya hanya dapat dicapai apabila karyawan secara proaktif menunjukkan perilaku keterlibatan karier. Berdasarkan studi awal yang dilakukan, salah satu hambatan yang dihadapi pegawai ASN di Instansi X adalah keterbatasan informasi terkait kebijakan, pola karier, dan proses peralihan jabatan. Oleh karena itu, penelitian ini hendak meneliti pengaruh kualitas informasi karier di organisasi terhadap perilaku keterlibatan karier pegawai ASN. Variabel kejelasan karier dipilih sebagai variabel mediator sejalan dengan teori proses pencarian informasi. Penelitian ini melibatkan sampel penelitian sebanyak 211 pegawai ASN level eselon 3,4, ataupun 5 yang belum berstatus jabatan fungsional. Uji mediasi dilakukan menggunakan metode statistik regresi menggunakan macro PROCESS oleh Hayes pada aplikasi SPSS. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan langsung antara variabel persepsi akan kualitas informasi dengan perilaku keterlibatan karier tidak signifikan (β=0.02, p>.05). Meskipun demikian, hubungan tidak langsung antara keduanya melalui mediator kejelasan karier terbukti signifikan (β=0.28, p<.05), begitupun dengan hubungan total antara kedua variabel (β=0.30, p<.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel kejelasan karier memediasi penuh hubungan antara persepsi akan kualitas informasi karier dan perilaku keterlibatan karier.

National bureaucratic reform policies that apply to government agencies compel echelon III, IV, and V civil service workers to transfer into functional positions. Institution X is no exception. In fact, Institution X was expected to fulfill the 60% functional position proportion target merely in a span of one year. To achieve this target, it was essential for civil servants at Institution X to proactively engage in their own career development. However, based on the preliminary study conducted, information inadequacy regarding the organization’s career policy was considered as one main obstacle during the position transfer process. This study was then conducted to examine the effect of perceived career-related information quality on civil servants’ career engagement. Career clarity was chosen as mediator variable between the two based on the information search process theory. 211 Institution X’s echelon III, IV, and V civil servants who have not held functional positions were recruited as participants of the study. Mediation analysis was performed using regression statistical method using macro PROCESS by Hayes in SPSS. The result showed that the direct effect between perceived information quality and career engagement is not significant (β=0.02, p>.05). However, indirect effect between the two is found significant (β=0.28, p<.05), along with the total effect (β=0.30, p<.05). In summary, career clarity fully mediated the relationship between perceived career-related information quality and career engagement."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Rabi Ah Fatih
"ABSTRAK
Perubahan tren karier ditandai dengan munculnya pandangan karier modern yaitu sikap karier protean yang membuat perusahaan perlu memperhatikan cara penanganan karyawan dengan sikap karier tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan sikap karier protean pada Generasi X dan Generasi Y. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan Protean Career Attitude Scale untuk mengukur dimensi self-directed dan dimensi value-driven. Penelitian ini dilakukan pada 106 karyawan Generasi X lahir tahun 1981-1995 dan 164 karyawan Generasi Y lahir tahun 1965-1980 di berbagai sektor pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua generasi tersebut pada dimensi self-directed p = 2.57, p < .05, d = .332 dan dimensi value-driven p = 3.10, p < .05, d = .391 . Implikasi lebih lanjut dari hasil tersebut didiskusikan dalam penelitian ini.

ABSTRACT
Changes in career trends are characterized by the emergence of a modern career view called protean career attitude that made companies needed to put attention on how to manage employees with those attitude. This study aimed to examine the differences in protean career attitude in Generation X and Generation Y. This study is a quantitative research using Protean Career Attitude Scale to measure self directed dimensions and value driven dimentions. The study was conducted on 106 Generation X employees born in 1981 1995 and 164 Generation Y employees born in 1965 1980 in various work sectors. The result of this research showed that there was a significant difference between those two generations in the dimension of self directed p 2.57, p .05, d .332 and value driven p 3.10, p .05, d .391. The implication of this result was discussed further in this study."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiati
"Salah satu faktor penting untuk mencapai tingkat produktivitas kerja yang tinggi adalah pembinaan sumber daya manusia. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai, pembinaan motivasi dan menciptakan rasa aman dalam bekerja.
Pembinaan sumber daya manusia ini ditujukan pada individu/kelumpok dalam suatu organisasi sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Salah satu bidang tugas yang mempunyai peranan besar dalam pembangunan termasuk pembangunan bidang sumber daya manusia adalah profesi pustakawan. Disadari bahwa perpustakaan merupakan sarana untuk mencerdaskan bangsa, maka profesi pustakawan perlu mendapat pembinaan. Melalui SK Menpan No. 18 Eakin 1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pustakawan, pustakawan dikategorikan sebagai pejabat fungsional dengan link dan kewajibannya antara lain mendapatkan kenaikan pangkat melalui pengumpulan angka kredit. Pemda DKI Jakarta sudah melaksanakan penilaian angka kredit bagi pustakawannya. Berdasarkan pengamatan di lapangan pembinaan kepangkatan melalui penetapan angka kredit belum berjalan lancar. Atas dasar pengamatan tersebut di atas, maka perlu diteliti mengenai pelaksanaan penetapan angka kredit dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam rangka pengembangan dan pembinaan karier pustakawan dengan pemacuan prestasi.
Penelitian merupakan penelitian eksplanatif dengan rancangan cross sectional yang menggunakan cara-cara observasi, kuesioner, wawancara mendalam, dan pengkajian dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan pada kelompok pustakawan di Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum Pemda DKI dan perpustakaan Unit-unit di lingkungan Pemda DKI Jakarta, dengan jumlah responden 100 orang.
Dari hasil penelitian ini terlihat adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara pustakawan Perpustakaan Nasional dengan pustakawan di lingkungan Pemda DKI Jakarta dalam beberapa hal yaitu : latar belakang pendidikan perpustakaan, motivasi menjadi pustakawan, lama jarak waktu kenaikan pangkat. Ditemukan pula bahwa sebanyak 37 % pustakawan belum pernah naik pangkat dan 45 % pustakawan berniat meninggalkan jabatan pustakawan, yang menggambarkan bahwa pembinaan karier melalui penilaian perolehan angka kredit di lingkungan Perpustakaan belum berhasil.
Atas dasar temuan di atas perlu dilakukan upaya pendidikan dan latihan, menjalankan mekanisme umpan - balik terhadap penilaian usulan penetapan angka kredit pustakawan, oleh Tim Penilai Angka Kredit, dan konversi angka kredit pada nilai yang lebih besar serta menyetarakan besarnya tunjangan jabatan dengan jabatan fungsional yang lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Saut Panggabean
"Tesis ini membahas pengaruh persepsi anggota yang bertugas di bidang operasional Polres Metro Jakarta Timur tentang pengawasan dan pengembangan karir terhadap efektifitas kerja anggota tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif dan dilengkapi dengan penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara tak berstruktur.
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh persepsi tentang pengawasan dan pengembangan karir terhadap efektifitas kerja anggota, sekalipun pada beberapa fungsi kategori pengaruh tersebut sangat rendah bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada.
Penelitian ini menyarankan agar pengawasan dan pemeriksaan yang dilaksanakan memiliki standar yang baku, Personil Tim Wasrik seyogyanya relatif tetap (tidak berganti-ganti) dan personil Polri yang memiliki keahlian di bidangnya, Wasrik seyogyanya bukanlah sekedar rutinitas organisasi dari satuan atas ke satuan bawah, Pengembangan karir sebaiknya dilakukan dengan rencana yang baku dan tidak dikotori dengan suap guna mewujudkan organisasi yang bersih dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.

This tesis discusses the influence of perception of members who served in operational areas of The Metro Police Station Jakarta Timur on supervision and career development of effective work such member. This research is descriptive quantitative research design and equipped with qualitative research using unstructured interviews.
Results showed that the influence perception about supervision and career development of effective work of members, although in some categories of function are very low influence can even be said almost nothing.
This research suggested that the supervision and inspection standards that have implemented the standard. The supervision and inspection Team personnal should be relatively fixed (not changing), The supervision and inspection Team personnal are national Police personnal who have expertise in their field, the implementation should not just routine supervision and inspection of organization of top unit to bottom unit. Career development should be done with standard plan and not littered with bribes in order to realize a clean organization of elemen of corruption, collution and nepotism.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29689
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>