Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123656 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Fadil Azmi
"Ideologi bekerja melalui bahasa oleh karena itu mempelajari ideologi berarti mempelajari cara-cara di mana makna (pemberi makna) secara terus menerus menjalankan relasi dominasi. Hassan Hanafi menyebut teks sebagai praktik ideologi, dalam hal ini teks pun bersifat arbiter karena merupakan pilihan penulisnya pada satu maksud tertentu dari keragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa mendatang. Tujuan penulisan teks tidak lain bersifat etis dan ideologis, disebut etis karena penulisan suatu momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan keinginan memberi petunjuk tertulis kepada generasi mendatang, sementara ideologis karena teks merupakan sarana efektif untuk mewariskan kekuasaan. Bahasa kebijakan dalam Undang-undang pars dicurigai sebagai sebuah teks yang mengalami dinamika kepentingan antara kepentingan penguasa, kepentingan pemilik media dan kepentingan publik. Penelitian ini menyandarkan diri pada paradigma konstruktivisme. Alasannya adalah sebuah bahasa kebijakan, baik itu Undang-undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982 dan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 merupakan hasil dari proses pembentukan realitas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode yang digunakan dalarn penelitian ini adalah Hermeneutika Habermas. Hermeneutika memberikan fokus pada teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Adapun Hermeneutika Habermas merupakan hermeneutika kecurigaan karena berkepentingan untuk menyingkap tabir-tabir ideologis dibalik sebuah teks. Penelusuran data maupun analisis dilakukan pada tiga level pemahaman: Pemahaman langsung terhadap alam material dengan menginterpretasikan isi teks kebijakan, Pemahaman Manusia lain dengan meneliti pemahaman para penafsir terhadap teks kebijakan dan Pemahaman atas kebudayaan dengan meneliti fenomena regulasi kebijakan dikaitkan dengan situasi dan kondisi sosial dan ekonomi politik yang berlaku pada saat pembuatan teks kebijakan. Dari seluruh proses penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 dan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak terlepas dari sejumlah faktor individu dan faktor sosial dalam dimensi situasi dan zaman yang melingkupinya. Pada Undan-gundang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982, kekuasan terhadap kebebasan pers sepenuhnya tergantung kepada pemerintah, tidak hanya terhadap makna kebebasan pers itu sendiri, tapi juga undang-undang ini memberikan "kekuasaan penuh" kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kehidupan pers serta penempatan para birokrasi pada lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengontrol kehidupan pers. Pada Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999, terlihat kuatnya "ideologi Pasar" pada kehidupan pers. Kekuasaan terhadap pers sepenuhnya tergantung pada pasar, kuat dugaan kehidupan pers menjadi monopoli konglomerasi media, pers lebih banyak menyajikan berita-berita yang di inginkan masyarakat dibandingkan berita-berita yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pada kondisi ini, pers belum mampu menjalankan fungsinya sebagai ruang publik dalam proses demokratisasi yang dinamis. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Undang-undang Pers No.40 tahun 1999, bukan merupakan UU lex specialis derogat lex generalis terhadap undang-undang lain seperti yang di kemukakan sebagian kalangan pers, dikarenakan undang-undang ini hanya mengatur tiga hal yang dapat dituduhkan terhadap pelanggaran jurnalistik yakni norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tidak bersalah, di luar ketiga haI ini Undang-undang ini membuka diri diberlakukannya Undang-undang lain, di samping itu juga Undang-undang ini tidak memenuhi syarat untuk menjadikan dirinya sebagai lex specialis, yakni Rezim hukumnya tidak sama dan serumpun dengan undang-undang yang mau di lex specialrs-km, tidak adanya satu perbuatan dilarang oleh dua aturan yang berbeda dan tidak ada ancaman hukum dari lex specialis yang jauh lebih berat dari lex generalis. Kebebasan kehidupan pers, pada akhirnya merupakan keinginan semua pihak agar ruang publik sebagai wahana pengimplementasian kehidupan demokratis yang dinamis dapat berjalan, tetapi tentu saja kebebasan ini tidak boleh hanya sebatas kebebasan yang dimonopoli oleh segelintir orang, tetapi harus dibumikan menjadi kenyataan yang memberikan realitas kesempatan bagi semua elemen masyarakat dalam mengakses seluruh informasi yang dibutuhkannya. Kepentingan publik harus menjadi prioritas media massa, karenanya kebebasan pers harus didasarkan pada paradigma etis, norma hukum dan profesionalisme para jurnalis dalam menyajikan pemberitaannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Aisyah Lailiyah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T36816
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Yuliawiranti S.
"Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Mengenai pengertian "kemerdekaan pers" itu sendiri di dunia terdapat bermacam-macam konsep dan persepsi yang berbeda, tergantung dari latar belakang, sistem sosial dan sistem politik, serta filsafat yang mendasarinya. Bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia yang merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia adalah pelaksanaan yang bersifat partikularistik relatif artinya bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dalam konteks kemerdekaan pers ini pemberlakuannya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, jadi bukan pelaksanaan yang tidak terbatas tetapi pelaksanaan yang bebas bertanggung jawab. Karena terdapat rambu-rambu yang harus ditaati yang membatasi kemerdekaan pers itu sendiri. Rambu-rambu itu adalah pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Jurnalistik. Perkembangan kemerdekaan pers di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Amandemen UUD 1945 masih belum maksimal karena selama kurun waktu dua tahun terakhir kemerdekaan pers di Indonesia mengalami kemunduran citranya di mata dunia internasional."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Alfredo
"Dalam kehidupan dunia mode rn d an serba kompleks, masyarakat memili ki kebutuhan a kan i n formasi yang sangat tinggi mengingat informasi merupakan media untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, hiburan dan bahkan sebagai kontrol sosial bagi masyarakat. Bagi bidang usaha pers yang bergerak dalam kegiatan jurnalistik, penyajian suatu informasi dalam bentuk berita seringkali menjadi masalah, manakala penulisan dan pemuatan berita ternyata dirasakan merugikan suatu pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan hukum khususnya dalam hal penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Adapun penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik inilah yang kadangkala sulit untuk dibuktikan oleh karena tidak terdapat maksud yang jelas dengan definisi dari penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik dalam Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana hukum sehinga pada akhirnya hakim sendirilah yang akan menentukan batasan tertentu dalam praktek pengadilan mengenai penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Dalam dunia pers sendiri, adanya suatu undang-undang tentang pers dan kode etik jurnalistik sebenarnya telah menjadi suatu rambu-rambu bagi para pelaku bidang jurnalistik agar dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tidak melakukan pemberitaan yang bersifat menghina atau melanggar hukum. Sehubungan dengan pemuatan suatu berta yang bersifat menghina atau mencemarkan nama baik terdapat beberapa cara penyelesaian, baik melalui media hak jawab terhadap suatu berita, penyelesaian melalui Dewan Pers maupun melalui proses peradilan, baik pidana maupun perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
"Dalam melaksanakan profesinya, seorang wartawan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini karena kebebasan pers penting demi tegaknya negara hukum yang demokratis, bahwa press as a fourth estate. Mengingat sejarah Indonesia sebagai negara bekas jajahan dimana hukum yang digunakan masih merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang memang ditujukan untuk meredam segala bentuk pergerakan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis, maka dianutlah kriminalisasi pers. Hal ini tetap terus dipertahankan setelah Indonesia merdeka, hanya rezim yang melakukannya berbeda. Pers terus berada dibawah cengkeraman kekuasan pemerintah yang mempertahankan status quonya. Kebebasan pers pun masih jauh dari kenyataan.
Paradigma kebebasan pers di Indonesia baru mulai berubah seiring era Reformasi, dimana terbit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dihapuskan aturan mengenai izin terbit pers atau SIUPP sehingga tidak mungkin ada lagi pers yang dibreidel. Khusus mengenai penyelesaian permasalahan berkaitan dengan pers, dalam UU tersebut diaturlah penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Mediasi melalui Dewan Pers. UU Pers ini mempunyai ketentuan pidana, walau disisi lain tak ditutup kemungkinan penggunaan pasal-pasal KUHP. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, dimana ternyata dalam prakteknya kemudian banyak permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers diselesaikan dengan jalur hukum pidana, tanpa menempuh jalur-jalur yang telah tersebut dalam UU Pers itu. Timbul perdebatan apakah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut lex specialis atau tidak sehingga dapat/tidak digunakan mengecualikan pasal-pasal KUHP. Hal ini memicu resistensi kalangan pers yang kemudian memperjuangkan untuk diakuinya UU Pers sebagai lex specialis dan dipergunakannya jalur-jalur selain hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan berkaitan dengan pers. Dimana hukum pidana dalam perkara pers haruslah diletakkan sebagai ultimum remedium atau tuntutan yang lebih ekstrim lagi untuk mendekriminalisasi pasal-pasal KUHP terhadap pers. Hal ini selain mengikuti perkembangan dunia internasional yang telah lama menghindari penyelesaian permasalahan pers melalui jalur pidana, juga bahwa dalam konteks karya jurnalistik sebenarnya tidak ada suatu kebenaran mutlak. Selain itu bukankah kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara, mengemukakan pendapat dan berekspresi seharusnya dilindungi oleh negara? Disinilah kemudian timbul pertanyaan besar, apakah perjuangan masyarakat pers tersebut memang mungkin untuk dilakukan? Bagaimana hal tersebut bila dikaji dari sudut pandang akademis? Hal-hal itulah yang coba dijawab dalam tesis ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1995
R 343.0998 IND u
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Robby Permana Amri
"Hak dari pers untuk menyatakan pendapatnya secara bebas namun hal itu harus dihubungkan dengan hak publik untuk mendapat pelayanan dengan menerima suatu pemberitaan yang fair dan benar, agar publik dapat mengadakan suatu penilaian yang sehat tentang persoalan-persoalan umum yang dihadapi. Di pihak lain, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan (restriksi) terhadap kebebasan pers menjadi suatu pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan positif. Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus-kasus penghinaan. Delik penghinaan adalah delik aduan, oleh karena itu pada umumnya hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dan orang yang merasa dirugikan, dalam penegakan hukum kasus penghinaan melalui pemberitaan media massa, seringkali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sedangkan di sisi lain, masih terdapat cara yang dapat ditempuh selain menggunakan KUHP, yaitu dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang didalamnya mengatur mengenai penegakkan hukum atas kasus penghinaan di media massa dengan cara memberikan hak jawab, hak koreksi dan mediasi melalui dewan pers. pengaduan ke dewan pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda pertama ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU pers dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui dewan pers, dan bukan melalui jalur hukum pidana atau hukum perdata. Kedua, banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakkan kode etik jurnalistik. Dengan indikator banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

The presses serve the right to express their opinions freely, but it must be connected with the public's right to services to receive fair and true reports, so that the public may hold a sound judgment on issues commonly encountered. On the other hand, freedom of the press raises crucial issues about the extent to which restrictions on freedom of the press is acceptable become conflict between the principle of press freedom and the principle of equality before the law and the principles of a democratic state based on the law, whether pure freedom of the press or press which will remain in positive limits will be adopted. The indications are many cases that have sprung up and been brought to the level of formal trial and essentially they are dealing with the press in defamation (libel) cases. Offense of defamation is a crime by complaint; therefore, in general, it can only be prosecuted if there is a complaint and person who felt aggrieved. Defamation cases through mass media are often enforced using the Criminal Code as the legal basis for settling the cases. While on the other hand, there are ways that can be taken in addition to using the Criminal Code, namely by using the Law No. 40 of 1999 regarding the Press, which also regulates the law enforcement on defamation through mass media by providing the right to reply, the right to correct and mediation through the press council. The complaint to the press council can be seen from two different sides. First, it shows increased awareness of various parties to resolve the problems of media publication and enforcement of journalistic ethics by using the mechanisms as provided in the Law regarding the press and journalistic ethics. In the other words, it can be seen as increased awareness of various parties to resolve publication disputes through the press council, and not through the criminal law or the civil law. Second, many complaints to the press council shows that there are many problems with our journalism; there are many problems in the process of enforcement of journalistic ethics. Many complaints to the press council indicated that there many offenses committed by mass media and there are many parties who feel aggrieved by them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>