Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101031 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hutabarat, Ramly
Jakarta: UI-Press, 2007
PGB 0295
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Hayati
"The adoption of Law Number 22 Year 1999 led to the expansion of regional governments? autonomy,
applying autonomy in the broadest sense of the word, by focusing merely on ?decentralization?,
while disregarding the principle of de-concentration. Governmental affairs submitted based on
decentralization refer to authority by attribution, whereas de-concentration refers to authority by
delegation. Prior to the reform era, the management of mining was based on Law Number 11 Year
1967, whereby the basis of management authority was the classification of excavated materials
namely category a, category b, and category c. Subsequently, with the implementation of the
reform era, Law Number 11 Year 1967 was negated by the adoption of Government Regulation
Number 75 Year 2001, granting mining management authority to the Minister, Governor, Regent
or Mayor concerned in accordance with their authority respectively. As a result of the above, the
concept as provided for in Law Number 11 Year 1967 became inapplicable. This continued to be the
case up to the adoption of Law Number 4 Year 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which in
principle adopts the concept which has been adjusted to the concept of granting autonomy to the
regional government as set forth in Law Number 22 Year 1999.
Berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak pembesaran otonomi
pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten dan Kota, dengan diterapkannya otonomi seluasluasnya,
dimana asas yang diterapkan hanya ?desentralisasi? semata, tanpa penerapan asas
dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang diserahkan berdasarkan desentralisasi merujuk
pada kewenangan atribusian, sedangkan dekonsentrasi merujuk pada kewenangan delegasian.
Sebelum era reformasi pengelolaan pertambangan didasarkan pada Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967, dimana kewenangan pengelolaan didasarkan pada penggolongan bahan galian
golongana, golongan b, dan golongan c. Kemudian setelah berlangsungnya era reformasi, Undangundang
Nomor 11 Tahun 1967 ternegasikan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Menteri,
Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangan masing-masing. Dengan demikian konsep
sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi tidak dapat diterapkan. Hal
ini berlangsung sampai terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, yang pada dasarnya menganut konsep yang disesuaikan dengan konsep
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Reksodiputro
Jakarta: Universitas Indonesia, 1990
345.05 MAR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Sunggul Hamonangan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas pembatasan hak-hak politik ASN (PNS) dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Sebagai warga negara Indonesia, maka ASN juga mempunyai hak-hak sipil dan poitik yang dilindungi oleh konstitusi. Seorang ASN tidak dapat menjadi pengurus suatu partai politik namun untuk menggunakan hak politiknya dalam pemilu yaitu hak dipilih dan memilih untuk jabatan politik/publik adalah dilindungi konstitusi. Pengisian jabatan politik oleh seorang ASN melalui mekanisme pemilu adalah suatu yang wajar dan terlindungi sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Seorang ASN mempunyai hak politik dan hak konstitusional jika ingin maju sebagai Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Sehingga seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan antara profesi seorang ASN dengan profesi lainnya, misalnya Advokat, Notaris, Dokter, dan lain-lain dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Namun dengan berlakunya UU No. 5 tahun 2014 Tentang ASN tersebut, telah membatasi hak seorang ASN dalam mempergunakan haknya sebagai warga negara yang ingin berpartisipasi dalam mengisi jabatan-jabatan publik dengan diwajibkannya seorang ASN untuk menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Dengan demikian ketentuan Pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014, yang membedakan profesi seorang ASN dengan Profesi lainnya bersifat diskriminatif, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28i ayat (2) UUD 1945. Padahal, dalam kedudukannya sebagai warga negara maka ASN juga mempunyai hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi. Ada beberapa hak asasi manusia yang dimiliki oleh ASN sebagai warga negara dan ada pula hak-hak politik yang melekat pada individu ASN tersebut, namun dengan berlakunya Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 hak-hak tersebut menjadi dibatasi dan melanggar hak asasi maupun hak politik ASN.

ABSTRACT
This thesis discusses restrictions on political rights ASN (PNS) of Article 119 and Article 123 paragraph (3) of Act No. 5 In 2014 about ASN. As a citizen of Indonesia, the ASN also have civil rights and political exclusion that is protected by the constitution. An ASN can not take charge of a political party but to use their political rights in the election, namely the right of elected and to vote for political office / public are constitutionally protected. Charging political office by an ASN through the mechanism of elections is a natural and protected all done in good faith and through the mechanisms set out in the legislation. An ASN having political rights and constitutional rights if it is to go forward as President and Vice President; chairman, deputy chairman and members of the House of Representatives; chairman, deputy chairman and members of the Regional Representative Council; governor and vice governor; regent / mayor and deputy regent / deputy mayor. So there should be no difference in treatment between an ASN profession with other professions, for example Advocate, Notary, doctors, and others in filling public positions. However, with the enactment of Law No. 5 2014 On the ASN, has limited rights to use the ASN in their rights as citizens who wish to participate in filling public positions with an ASN mandatory to declare in writing to resign as a civil servant since registering as a candidate. Thus the provisions of Article 119 and Article 123 paragraph (3) of Act No. 5 In 2014, the ASN distinguishes a profession with other professions is discriminatory, contrary to Article 28D paragraph (1), Article 28i paragraph (2) of the 1945 Constitution In fact, in his capacity as a citizen, the ASN also has rights human rights is protected by the constitution. There are some human rights that are owned by the ASN as citizens and some political rights attached to the ASN individual, but with the application of Article 119 and Article 123 paragraph (3) of Act No. 5 In 2014 these rights be restricted and violated the human rights and political rights ASN.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Qurrata Ayuni
Jakarta: UI Publishing, 2024
342 QUR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
JHHP 1-2 (1-2) 2003/2004
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nashriana
"Topik ini membahas tentang hak-hak yang sekarang mendominasi debat politik di Amerika Serikat. Apakah pemerintah menghormati hal-hak warga negaranya moral dan politik. Pada dasarnya itu hanya hak milik pribadi seseorang. Hal ini ada karena hak asasi manusia harus mencapai tujuan akhir dengan mengikuti UU moral. Dalam hal ini kanan adalah fundamental. Oleh karena itu, satu-satunya orang yang dibimbing dirinya untuk mencapai tujuan yang ingin anda gunakan kehendak bebas yang dimiliki. Dalam hubungan ini harus membedakan antara hak konstitusi (hak konstitusi) dan hak yang lahir dari hukum (legal rights). Hak konstitusi (hak konstitusional) adalah hak dijamin dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak-hak hukum (hak hukum) yang timbul berdasarkan undang-undanga asuransi dan peraturan dibawahnya (peraturan perundang-undangan bawahan). Hak asasi manusia sejak diadopsi konstitusi pada tahun 1945, ia menjadi hak konstitusi, sedangkan hukum hak muncul karena pengaturan hukum, seperti hak untuk alat pengukuran dikirimkan disediakan oleh pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Meteorologi."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 6 (2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Daryani
"Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam KUHAP sejalan dengan pengakuan hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan demikian seorang tersangka dan terdakwa tidak dapat dianggap bersalah sebelum dinyatakan oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan pasti. Perlindungan tersangka dan terdakwa dari kesewenangan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus dapat dilaksanakan dalam peradilan pidana. Namun kesenjangan hak tersangka dan terdakwa dapat terjadi baik secara normative maupun empiris, hal ini dapat disebabkan rumusan undang-undang yang tidak jelas, atau persepsi penegak hukum dan pencari keadilan yang berbeda terhadap hak* tersebut. Penelitian normative dan empiris dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak-hak tersangka dan terdakwa dan para penegak hukum serta pencari keadilan dalam proses peradilan pidana diwilayah pengadilan. Rendahnya pelaksanaan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana sebagian besar terjadi pada tahap praadjudikasi, yaitu pada proses penyidikan yang dilaksanakan oleh polisi, kemudian menyusul pada tahap pemeriksaan penuntutan oleh jaksa penuntut umum. Pada tahap adjudikasi yaitu pada tahap pemeriksaan di pengadilan kesenjangan hak tersebut agak rendah. Adapun banyaknya atau tingginya tersangka dan terdakwa tidak menggunakan hak-haknya pada tahap praadjudikasi, karena penegak hukumlah yang menetukan sekali apakah hak tersebut dapat digunakan atau tidak. Pada umumnya penegak hukum karena orientasi terhadap tugas dalam proses peradilan pidana, maka kurang memberikan kesempatan kepada tersangka dan terdakwa. Penegak hukum lebih menekankan pada hasil dari pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, dengan anggapan walaupun hak-hak tersangka dan terdakwa kurang mendapat tempat pada saat pemeriksaan yang dilakukan oleh mereka, tetapi hak tersebut barulah menjadi penting dan dapat digunakan pada saat yang tepat, yaitu sidang pengadilan di mana tahap ini adalah tahap penentuan di dalam rangkaian proses peradilan pidana. Disamping itu kesenjangan hak tersangka dan terdakwa dalam bentuk inkonkrito disebabkan oleh kurangnya partisipasi pencari keadilan dalam usahanya untuk menggunakan haknya tersebut. Hal ini disebabkan pendidikan (kurangnya pengetahuan dan pemahaman hak-hnk normative) , factor ini ekonomi dan sekaligus sebagai indikasi rendahnya kesadaran hukum pencari keadilan menyebabkan rendahnya pelaksanaan hak-hak tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan pidana di Jakarta pada tahap praadjudikasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iralda Nur Titania
"Penelitian ini menganalisis aspek hukum ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan atau affirmative actiondalam pemilihan umum di Indonesia dari perspektif hak asasi manusia. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Meskipun UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mewajibkan partai politik mencalonkan minimal 30% perempuan, tidak adanya sanksi tegas menjadikan ketentuan ini kurang efektif. Analisis dilakukan menggunakan kerangka hukum internasional seperti CEDAW dan Deklarasi Beijing, serta teori keterwakilan deskriptif dan substantif. Penelitian membandingkan praktik di Indonesia dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Filipina, dan Jerman yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam partisipasi politik perempuan. Temuan menunjukkan pentingnya penerapan sanksi, dukungan finansial dan logistik, serta kampanye kesadaran untuk meningkatkan efektivitas kebijakan afirmatif. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan dengan dengan menekankan kepastian hukum dan implementasi yang efektif, sambil mempertimbangkan tantangan kultural dan struktural yang masih dihadapi. Diperlukan penguatan kebijakan afirmatif, peningkatan pendidikan politik, dan perubahan persepsi budaya tentang peran perempuan dalam politik.

This research analyzes the legal aspects of the 30% women's representation quota or affirmative action in Indonesian elections from a human rights perspective. This paper is compiled using doctrinal research methods. Although Law No. 7 of 2017 on General Elections requires political parties to nominate a minimum of 30% women, the absence of strict sanctions makes this provision less effective. The analysis is conducted using international legal frameworks such as CEDAW and the Beijing Declaration, as well as theories of descriptive and substantive representation. The research compares practices in Indonesia with other countries such as the United States, Philippines, and Germany that have shown significant progress in women's political participation. Findings indicate the importance of implementing sanctions, financial and logistical support, and awareness campaigns to increase the effectiveness of affirmative policies. Increasing women's political participation can provide human rights protection for vulnerable groups by emphasizing legal certainty and effective implementation, while considering the cultural and structural challenges that still exist. Strengthening affirmative policies, enhancing political education, and changing cultural perceptions about women's roles in politics are needed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>