Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165912 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mururul Aisyi
"Thalassemia merupakan kelainan herediter sintesis hemoglobin yang pertama kali digambarkan oleh Cooley dan Lee pada tahun 1925. Setelah tahun 1940 baru diketahui karakter genetik yang sebenarnya dari penyakit ini. Penyakit ini merupakan suatu bentuk homozigot dari kelainan genetik resesif, yang pada keadaan heterozigot menunjukkan manifestasi hematologis lebih ringan. Kondisi homozigot dengan manifestasi klinis yang berat tersebut dikenal sebagai thalassemia mayor, sedangkan bentuk heterozigot dinamakan thalassemia minor.
Thalassemia merupakan kelainan genetik tersering di dunia. Kelainan ini terutama ditemukan pada daerah sabuk yang melingkar dari Mediterania ke Timur Tengah, India, Birma dan Asia Tenggara. Di Indonesia, frekuensi pembawa gen penyakit ini sekitar 5%, sehingga dapat diperkirakan akan didapatkan 5000 kasus baru per tahun. Karena adanya penyebaran penduduk, penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan di dunia.
Masalah pada penderita thalassemia sangat kompleks dan memerlukan penanganan yang menyeluruh dan terpadu. Masalah yang mungkin timbul dapat berupa anemia kronik sampai kepada kelainan berbagai organ tubuh baik sebagai akibat proses penyakit tersebut maupun efek samping pengobatannya. Di samping masalah medis tersebut di atas penyakit ini juga menimbulkan masalah psikososial yang besar baik bagi penderita maupun lingkungannya. Isolasi sosial, rasa percaya diri yang rendah, prestasi akademik rendah, depresi dan ketakutan akan kematian lebih dini merupakan beberapa dampak yang dapat ditimbulkan akibat perjalanan kronik penyakit Dengan demikian penatalaksanaan penderita thalassemia seyogyanya bersifat holistik baik dare aspek fisis medis maupun psikososial.
Pendapat bahwa anak-anak thalassemia lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan dengan anak normal telah diterima selama bertahun-tahun. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin terlibat tetapi sejauh ini belum didapatkan hasil yang memuaskan. Kerentanan terhadap infeksi didapat akibat penyakitnya sendiri atau akibat pengoba tan dan tindakan dalam perjalanan penyakit thalassemia. Selain kondisi kelebihan besi dan anemia berat, peningkatan kerentanan terhadap infeksi tersebut diamati terjadi lebih sering pada pasien dan pasca splenektomi.
Komponen utama imunitas terhadap infeksi bakteri adalah sistem fagositosis dan proses opsonisasi yang terkait dengan imunoglobulin dan komplemen. Faktor-faktor ini ditemukan tidak berfungsi secara adekuat pada penderita thalassemia khususnya yang telah menjalani splenektomi atau dengan penimbunan zat besi. Splenektomi menyebabkan hilangnya organ dengan fungsi fagositosis dan produksi antibodi. Penderita asplenik berisiko tinggi mendapat infeksi fulminan oleh bakteri berkapsul. Kelebihan besi menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri yang membutuhkan besi untuk pertumbuhannya. Di sisi lain, timbunan besi merusak sel limfosit dan menghambat fungsi-fungsinya terutama aktivitas neutrofil dan monosit terhadap bakteri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Priatno
"Latarbelakang : Splenektomi pada kelainan hematologi cukup sering ditemukan dalam pelayanan kesehatan bedah. Splenektomi juga sering dihubungkan dengan peningkatan resiko sepsis pascasplenektomi yang merupakan suatu keadaan yang immune compromise. Pada penelitian kami melakukan analisis terhadap pasien yang dilakukan splenektomi pada berbagai kelainan hematologi pada periode Januari 2000 - April 2010, yang difokuskan pada indikasi, komplikasi dan outcome splenektomi. Metode : Penelitian dilakukan secara deskriptif retrospektif. Sembilan belas pasien dilakukan splenektomi atas indikasi : Idiopathic Thrombocytopenic Purpura / ITP ( 1 pasien ), Talasemia HbE ( 13 pasien ), Non Hodgkin Malignant Lymphoma! NHML ( 3 pasien) and Chronic Myeloid Leukemia / CML 2 pasien). Hasi/ : Indikasi splenektomi adalah anemia Refrakter (68%), limfoma spleen primer (16%), painful splenomegali (11%) dan trombositopenia resisten terhadap terapi steroid (5%). Splenektomi pada ITP dan talasemia bermamfaat mengurangi kebutuhan transfusi serta resikonya, menghilangkan efek mekanik splenomegali dan mencegah resiko krisis sekuestrasi akut. Didapatkan morbiditas pada 4 pasien ( dari 19 kasus ) dan mortalitas pada 4 pasien (dari 19 kasus ), mortalitas lebih tinggi pada kasus keganasan hematologi. Simpukln : Dengan persiapan perioperatif yang baik, splenektomi adalah aman dan bermamfaat pada kelainan hematologi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T58811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosdiana
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Infeksi merupakan penyebab kematian yang penting pada thalassemia. Peningkatan risiko infeksi disebabkan oleh banyak faktor antara lain karena kelebihan besi dan splenektomi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan fungsi fagositosis monosit pada pasien thalassemia mayor pasca splenektomi dan non splenektomi serta mengetahui hubungan fungsi fagositosis monosit dengan kadar feritin serum.
Metode: Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik RSCM, Jakarta pada September 2013 ? Februari 2014. Desain penelitian potong lintang, dengan subjek penelitian pasien thalassemia mayor, terdiri dari 58 subjek pasca splenektomi dan 58 subjek non splenektomi yang telah dilakukan macthing umur dan jenis kelamin. Dilakukan pemeriksaan fagositosis monosit menggunakan E.coli yang telah diopsonisasi dan dilabel FITC sebagai target, (PhagotestTM) dan diperiksa dengan flow cytometry BD FACSCalibur. Kadar feritin serum diperiksa dengan Cobas e 601.
Hasil: Median fagositosis monosit pada 58 subjek pasca splenektomi 5,03 (0,17 ? 22,79) %, dan pada 58 subjek non splenektomi 7,09 (0,11 ? 27,24) %, dan nilai p > 0.05. Kadar feritin serum pada subjek pasca splenektomi 6.724 (644,60 ? 21.835) ng/mL dan subjek non splenektomi 4.702,50 (1.381 ? 14.554) ng/mL, dan nilai p < 0.05. Hasil uji korelasi fungsi fagositosis monosit dengan kadar feritin didapatkan r = 0.13 (nilai p = 1.00).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara fungsi fagositosis monosit pada pasien thalassemia mayor pasca splenektomi dan non splenektomi. Kadar feritin serum pada pasien thalassemia mayor pasca splenektomi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan non splenektomi. Tidak didapatkan hubungan antara fagositosis monosit dengan kadar feritin serum.

ABSTRACT
Background : Infection is an important cause of death in thalassemia. Increase of risk of infection could be due to iron overload and post-splenectomy. The study aimed to determine the difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized and non- splenectomized patients with thalassemia major, and the correlation of phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.
Methods : The study was conducted in Department of Clinical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta, in September 2013 ? Februari 2014. It was a cross sectional study. The study subjects consisted of 58 post-splenectomized patients and 58 non-splenectomized patients with age and sex matching. Phagocytosis function of monocyte was determined using E.coli opsonized and labelled with FITC as target, (Phagotest TM) and was measured by flow cytometry BD FACSCalibur. Serum ferritin level was measured using Cobas e 601.
Result : Median phagocytosis of monocyte was 5,03 (0,17 ? 22,79) %, in 58 post- splenectomized subjects and 7,09 (0,11 ? 27,24) % in non-splenectomized subjects; p value > 0.05. Serum ferritin level was 6.274 (644,60 ? 21.835) ng/mL in post-splenectomized subjects and 4.702,50 (1.381 - 14.554) ng/mL in non-splenectomy subjects; p value < 0.05. The correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level was r = 0.13 ( p value = 1.00).
Conclusion : There was no statistical difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized subjects and non-splenectomized subjects. Serum ferritin level in post- splenectomized was higher than non-splenectomized subjects. There was no correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.;Background : Infection is an important cause of death in thalassemia. Increase of risk of infection could be due to iron overload and post-splenectomy. The study aimed to determine the difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized and non- splenectomized patients with thalassemia major, and the correlation of phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.
Methods : The study was conducted in Department of Clinical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta, in September 2013 – Februari 2014. It was a cross sectional study. The study subjects consisted of 58 post-splenectomized patients and 58 non-splenectomized patients with age and sex matching. Phagocytosis function of monocyte was determined using E.coli opsonized and labelled with FITC as target, (Phagotest TM) and was measured by flow cytometry BD FACSCalibur. Serum ferritin level was measured using Cobas e 601.
Result : Median phagocytosis of monocyte was 5,03 (0,17 – 22,79) %, in 58 post- splenectomized subjects and 7,09 (0,11 – 27,24) % in non-splenectomized subjects; p value > 0.05. Serum ferritin level was 6.274 (644,60 – 21.835) ng/mL in post-splenectomized subjects and 4.702,50 (1.381 - 14.554) ng/mL in non-splenectomy subjects; p value < 0.05. The correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level was r = 0.13 ( p value = 1.00).
Conclusion : There was no statistical difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized subjects and non-splenectomized subjects. Serum ferritin level in post- splenectomized was higher than non-splenectomized subjects. There was no correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level., Background : Infection is an important cause of death in thalassemia. Increase of risk of infection could be due to iron overload and post-splenectomy. The study aimed to determine the difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized and non- splenectomized patients with thalassemia major, and the correlation of phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.
Methods : The study was conducted in Department of Clinical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta, in September 2013 – Februari 2014. It was a cross sectional study. The study subjects consisted of 58 post-splenectomized patients and 58 non-splenectomized patients with age and sex matching. Phagocytosis function of monocyte was determined using E.coli opsonized and labelled with FITC as target, (Phagotest TM) and was measured by flow cytometry BD FACSCalibur. Serum ferritin level was measured using Cobas e 601.
Result : Median phagocytosis of monocyte was 5,03 (0,17 – 22,79) %, in 58 post- splenectomized subjects and 7,09 (0,11 – 27,24) % in non-splenectomized subjects; p value > 0.05. Serum ferritin level was 6.274 (644,60 – 21.835) ng/mL in post-splenectomized subjects and 4.702,50 (1.381 - 14.554) ng/mL in non-splenectomy subjects; p value < 0.05. The correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level was r = 0.13 ( p value = 1.00).
Conclusion : There was no statistical difference of phagocytosis function of monocyte between post-splenectomized subjects and non-splenectomized subjects. Serum ferritin level in post- splenectomized was higher than non-splenectomized subjects. There was no correlation between phagocytosis function of monocyte and serum ferritin level.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aminah Waluyo
"Eklamsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang sejak tahun 1997 ditangani secara serius di RSU Fatmawati Jakarta. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Eklamsia di kalangan penderita Pre Eklamsia di RSU Fatmawati Jakarta tahun 2000. Metode Studi ini menggunakan rancangan cross sectional. Data diperoleh dari catatan rekam medis pasien, dengan menggunakan formulir pengumpulan data yang dirancang secara khusus oleh peneliti. Inklusi dari sampel penelitian adalah pasien yang didiagnosa oleh Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi sebagai penderita Pre Eklamsia atau Eklamsia Eksklusi sampel yaitu pasien dengan file rekam medis yang tidak dapat memberikan informasi data penelitian secara lengkap, atau yang mempunyai riwayat hipertensi. Analisa multivariat dengan menerapkan regresi logistik dan derajat kepercayaan 75 % serta ukuran dampak potensial. Hasil. Besarnya kejadian Eklamsia di RSU Fatmawati Jakarta pada tahun 2000 adalah 11,80 %. Ada hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel usia, atau paritas atau hyperplasentosis, atau ANC, atau pemberian obat anti kejang sebelum dirujuk dengan kejadian Eklamsia di kalangan penderita Pre Eklamsia. Pemberian obat anti kejang sebelum dirujuk mempunyai nilai prediksi terbesar diantara variabel kontributor yaitu sebesar 51,15 %, dengan p = 0,0000, OR = 0,0499 dan 95 % C I = 0,0142 - 0,1756. Kesimpulan. Pemberian obat anti kejang sebelum dirujuk merupakan faktor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap kejadian Eklamsia, dalam bentuk pencegahan. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan untuk memberikan pengobatan anti kejang sebelum merujuk pasien Pre Eklamsia ke rumah sakit guna menurunkan kejadian Eklamsia.

Factors Related with Prevalence Eclampsia Among Pre Eclampsia Patients at Fatmawati General Hospital in Jakarta, 2000The Eclampsia is one of important complication of pregnancy; it was managed properly at Fatmawati General Hospital in Jakarta since 1997. This study has been conducted in order to analysis some factors related to Eclampsia among Pre Eclampsia patients at Fatmawati General Hospital in Jakarta 2000. A cross sectional study was applied to achieve objective of the study, using the medical records as source of data. The study population were pregnant women with Pre Eclampsia cases who diagnosed by obstetricus gynaecologist as Eclampsia or Pre Eclampsia. The cases whose medical record is not completely filled in, and or who has hypertension history, were excluded. Multivariate logistic regression analysis method was used to analysis the exposure-outcome relationship. Some of study results, is following The prevalence of Eclampsia at Fatmawati General Hospital Jakarta in 2000 are percentage such as 11,80 %. There were significant relationships statistically between age, parity, hypcrpiacentosis, ANC and anti convulsion treatment before referring with Eclampsia. The last variable is the strongest predictor for each and be biggest contributing factors. The value is 51,15 % with p = 0,0000, OR = 0,04999 and 95 % C I = 0,0142 - 0,1756. According to the study result it was recommended to give anti convulsion treatment to Pre Eclampsia patients before they were referred to the hospital, in order to reduce the occurrence of Eclampsia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T10015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guruh Aryo Cahyo
"Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit tidak menular yang disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah dan disertai gangguian kandungan karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat kurang berfungsinya insulin. Perencanaan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular khususnya diabetes mellitus sangat diperlukan. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan pemantauan pada Kota Depok secara menyeluruh maka dapat dilakukan pengecekan kesehatan dan deteksi dini oleh petugas kesehatan, agar penyebaran penyakit tidak menular tidak bertambah pesat setiap saatnya. Menurut American Diabetes Association (ADA), diabetes mellitus secara etiologis terbagi menjadi kedalam empat tipe, diantaranya adalah DM Tipe 1, DM Tipe 2, DM Tipe Gestasional, dan DM Tipe Lainnya. Namun IDF pada tahun 2011 hanya mengklasifikasikannya kedalam 3 tipe utama, yaitu DM Tipe 1, DM Tipe2, dan DM Tipe Gestasional. Faktor risiko pada Diabetes mellitus, dibagi menjadi faktor risiko yang dapat diubah dan faktor risiko yang tidak dapat diubah. Faktor risiko yang dapat diubah meliputi berat badan, pola hidup, dan status kesehatan. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi usia, jenis kelamin, tinggi badan, dan riwayat keluarga. Diharapkan faktor risiko dan deteksi dini dapat memudahkan petugas dalam menganalisis persebaran penyakit Diabetes Mellitus dan memantau perkembangannya, menjadikan sarana untuk merekam dan menyimpan informasi mengenai demografi, populasi, dan tren perilaku, mengidentifikasi dan menyelidiki hubungan dan komplikasi antar penyakit tidak menular, seerta sebagai bahan perencanaan untuk mengetahui hubungan Hipertensi dengan kejadian Diabetes Mellitus dan menangani masalah kesehatan di masyarakat.

Diabetes Mellitus is a non-communicable disease caused by a chronic metabolic disorder with multiple etiologies characterized by high blood sugar levels and is accompanied by disturbances in carbohydrate, lipid, and protein content as a result of the lack of functioning of insulin. Planning in the prevention and control of non-communicable diseases, especially diabetes mellitus, is needed. Therefore, to be able to carry out monitoring in Depok City as a whole, health checks and early detection can be carried out by health workers, so that the spread of non-communicable diseases does not increase rapidly every time. According to the American Diabetes Association (ADA), diabetes mellitus is etiologically divided into four types, including type 1 diabetes, type 2 diabetes, gestational type diabetes, and other types of diabetes. However, in 2011 IDF only classified it into 3 main types, namely DM Type 1, DM Type 2, and DM Type Gestational. Risk factors for Diabetes mellitus, are divided into risk factors that can be changed and risk factors that cannot be changed. Modifiable risk factors include body weight, lifestyle, and health status. While risk factors that cannot be changed include age, gender, height, and family history. It is hoped that risk factors and early detection can facilitate officers in analyzing the spread of Diabetes Mellitus and monitoring its progress, making it a means to record and store information on demographics, population and behavior trends, identify and investigate relationships and complications between non-communicable diseases, as well as planning materials. to determine the relationship of hypertension with the incidence of Diabetes Mellitus and to handle health problems in the community.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ucu Supriatna
"Penyakit Campak merupakan penyakit akut dengan angka serangan tinggi. Penyebabnya adalah Virus. Menyerang kelompok umur di bawah 14 tahun. Hasil Penyelidikan Epidemiologi pada beberapa KLB campak menunjukan banyaknya ditemukan kasus campak dengan komplikasi. Sementara itu di dapat pula informasi bahwa terdapat perilaku/kebiasaan masyarakat yang memandikan penderita pada saat anak tersebut panas dengan keyakinan mereka akan mempercepat proses penyembuhan.
Penelitian kasus kontrol ini bertujuan untuk hubungan perilaku orang tua memandikan penderita saat panas/demam dengan terjadinya komplikasi pada penderita campak usia 9 bulan sampai < 14 tahun di kabupaten Majalengka.
Dari hasil penelitian terbukti ada hubungan diantara kedua variabel tersebut. Juga didapat hubungan terjadinya komplikasi dengan karakteristik pemberi jasa pengobatan serta umur penderita.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengembangkan kerangka konsep faktor risiko terjadinya komplikasi pada penderita campak serta mekanisme perjalanan penyakit yang dapat digunakan dalam intervensi pencegahan mulai dari Primer sampai dengan Tersier.
Diakhir penelitian ini beberapa saran diajukan guna perbaikan program serta peningkatan status kesehatan masyarakat dan agar diterapkan terutama di Iingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka.
Daftar Pustaka; 21 (1986 - 2000)

Relationship of Parents Behaviour to Take a Bath the Patient when They were Fever and Complication in Measles Patient, 9 Month to < 14 Years Old in MajalengkaMeasles is acute disease with high attack value. The cause of this is virus. Attacks age group below 14 years old. Result of epidemiology research in few measles outbreak investigation shows that a lot of case with complication. Mean while there is an information that people behavior to take a bath the patient when they are fever with a conviction that it will speed up the recovery process.
Research of this control case is for relationship. Parents behavior with the complication on the patient 9 month to < 14 years old in Majalengka.
From the result of the research was proven that. There is a relationship between those two variables, and there is a relationship, between complication with the characteristic medical service and the age of patient.
Based on research result, researcher build up the concept of framework in risk factor o complication on the patient and disease way make recharims that can be use in preventive intervention start from primer to terrier.
In the end on this research a few advice was offered for program recovery and the raised of public health status and it will be use especially in Health Department in Majalengka.
( Literature : 21, 1986 - 2000 )"
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T8379
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rana Maimunah
"Angka MMR Indonesia masih dikategorikan tinggi di antara negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Disparitas antarwilayah urban dan rural menjadi tantangan Indonesia untuk pemenuhan pelayanan kesehatan ibu yang adekuat dalam mengurangi AKI. Upaya safe motherhood meninjau pemahaman penyebab kematian ibu yang diusung empat pilar penting. Laporan data SDKI 2017 menyatakan bahwa hampir 70 persen kelahiran hidup mengalami satu atau lebih komplikasi saat persalinan sebagai penyebab langsung, serta jumlah wanita multipara yang mengalami komplikasi sebesar 2 kali lipat dari wanita bukan multipara yang mengalami komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian komplikasi selama persalinan pada wanita multipara yang tinggal di daerah urban dan rural Indonesia berdasarkan data SDKI 2017. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan populasi adalah seluruh wanita usia 15-49 tahun Indonesia yang memiliki riwayat kelahiran hidup lebih dari dua kali (multipara) dan masuk dalam kategori tinggal di daerah urban dan rural Indonesia. Seluruh subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi menjadi sampel penelitian, sebanyak 4.822 wanita untuk urban dan 5.011 wanita untuk daerah rural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan determinan kejadian komplikasi persalinan pada wanita multipara urban dan rural. Bagi wanita urban, pendidikan rendah, mengalami komplikasi kehamilan, usia saat persalinan <20 tahun, jarak kelahiran <2 tahun, memiliki masalah jarak ke fasilitas kesehatan, persiapan persalinan yang baik, dan tidak ada penggunaan kontrasepsi dinyatakan memiliki risiko yang signifikan secara statistik dengan komplikasi persalinan pada wanita multipara. Sedangkan, bagi wanita rural, tidak ada otonomi wanita terkait pelayanan kesehatan ibu, mengalami komplikasi kehamilan, usia saat persalinan <20 tahun/20-35 tahun, jarak kelahiran <2 tahun, memiliki masalah jarak ke fasilitas kesehatan, ANC yang didapat tidak memenuhi 5T, persiapan persalinan yang baik, dan lokasi persalinan bukan di fasilitas kesehatan dinyatakan memiliki risiko yang signifikan secara statistik dengan komplikasi persalinan pada wanita multipara. Tindakan deteksi dini selama kehamilan dengan risiko tinggi diperlukan disertai dengan perbaikan akses dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu yang lebih baik, khususnya di daerah rural.

Indonesia's MMR is still categorized as high compared to other Southeast Asian countries. Disparities between urban and rural areas pose a challenge for Indonesia in providing adequate maternal health services to reduce the MMR. Safe motherhood efforts review the understanding of the causes of maternal deaths supported by four important pillars. The SDKI 2017 data report states that nearly 70 percent of live births experience one or more complications during childbirth as a direct cause, with the number of multiparous women experiencing complications being twice that of non-multiparous women. This study aims to identify factors associated with the occurrence of complications during childbirth among multiparous women living in urban and rural areas of Indonesia based on SDKI 2017 data. This research uses a cross-sectional design with the population being all women aged 15-49 years in Indonesia who have a history of giving birth more than twice (multiparous) and fall into the category of living in urban and rural areas of Indonesia. All subjects who meet the inclusion and exclusion criteria become the research sample, comprising 4,822 women for urban areas and 5,011 women for rural areas. The results show that there are differences in factors influencing childbirth complications among urban and rural multiparous women. For urban women, low education, experiencing pregnancy complications, age at delivery <20 years, birth spacing <2 years, having problems accessing healthcare facilities, adequate delivery preparation, and non-use of contraception were statistically significant risk factors for delivery complications among multiparous women. Meanwhile, for rural women, lack of women's autonomy regarding maternal healthcare, experiencing pregnancy complications, age at delivery <20 years/20 – 35 years, birth spacing <2 years, having problems accessing healthcare facilities, inadequate ANC meeting the 5Ts, adequate delivery preparation, and non-delivery location at a healthcare facility were statistically significant risk factors for delivery complications among multiparous women. Early detection measures during high-risk pregnancies are needed, along with improving access and enhancing the quality of maternal health services, especially in rural areas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingrat Padmosari
"Kejadian Komplikasi Obstetri merupakan masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensinya yang tinggi dan merupakan salah satu faktor utama penyebab kematian ibu. Secara holistik, kejadian komplikasi obstetri dapat disebabkan oleh faktor medis (kualitas program dan layanan kesehatan ibu) dan faktor-faktor lain yang ada dalam konteks kewilayahan (kebijakan desentralisasi, pertumbuhan ekonomi, faktor lingkungan). Oleh karena itu, diperlukan studi/analisa lebih lanjut untuk mengetahui determinan yang berpengaruh terhadap kejadian komplikasi obstetri baik dari aspek individu maupun aspek kontekstual.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan dari faktor komposisional (level individu) serta determinan kontekstual (level kabupaten/kota) terhadap kejadian komplikasi obstetri di 20 Kabupaten. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pendekatan analisis multilevel untuk mengestimasi efek kontekstual, sehingga dapat ditentukan prioritas intervensi program terhadap kejadian komplikasi obstetri. Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder Riskesdas 2013, Studi Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu di 100 Fasilitas Kesehatan tahun 2012 dan data BPS Tinjauan Regional berdasarkan PDRB Kabupaten/Kota tahun 2010-2013, dengan melibatkan 2066 orang Wanita Usia Subur berusia 15-49 tahun) yang memiliki riwayat kehamilan, persalinan dan nifas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi Kejadian Komplikasi Obstetri di 20 Kabupaten adalah 30,1%. Tampak adanya perbedaan peranan di level individu dan level kabupaten/kota. Pada level individu, variabel yang berperan cukup besar terhadap kejadian komplikasi obstetri di 20 Kabupaten adalah kunjungan ANC (aOR: 3,17, 95% CI 1,29-7,76). Pada level Kabupaten, variabel yang berperan adalah kualitas pelayanan antenatal di rumah sakit (IOR: 0,291-1,287), kualitas pelayanan pascasalin di rumah sakit (IOR: 0,610-2,776), dan pertumbuhan ekonomi (IOR: 0,759-3,916). Namun determinan kejadian komplikasi obstetri masih didominasi oleh peran faktor risiko di level individu.
Intervensi program kesehatan ibu dilakukan dengan memfokuskan pada perubahan perilaku sehat di tingkat individu, namun sejalan dengan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu di tingkat Kabupaten sehingga secara otomatis menarik minat dan kesadaran masyarakat untuk datang ke fasilitas kesehatan dalam mencari pelayanan KIA yang bermutu.

Obstetric complications is a public health problem, because of its high prevalence and one of the main factors that caused maternal mortality. Holistically, obstetric complications caused by medical factors (quality programs and maternal health services) and other factors that exist within the territorial context (decentralization policy, economic growth, environmental factors). Therefore, a further analysis was needed to find the determinants that affects obstetric complications from the aspect of individual and contextual level.
The aims of this study was to search the role of compositional factors (individual level) as well as contextual determinants (districts level) in determine obstetric complications in 20 districts. This study used a cross-sectional design with multilevel analysis approach to estimate the effects of contextual factors, so it can determined intervention programa of obstetric complications. The study was conducted by using secondary data of Riskesdas 2013, the Quality of Maternal Health Care Assessment in 100 health facilities in 2012, and Regional Review based on Districts GDP in 2010-2013, involving 2066 Woman at Reproductive Age (15-49) who already have their history on pregnancy, childbirth and post-partum.
The results showed that the prevalence of Obstetric Complications in 20 districts is 30.1%. There was a different role from the individual level and the districts level that influence an obstetric complications. At the individual level, the variable that contribute greatly to the prevalence of obstetric complications in 20 districts is antenatal care (aOR: 3,17, 95% CI 1,29-7,76). At the district level, the variable that played role was the quality of antenatal care in hospitals (IOR: 0,291-1,287), the quality of postnatal care in hospitals (IOR: 0,610-2,776), and economic growth (IOR: 0,759-3,916). However, determinants of obstetric complications were still dominated by the role of individual level risk factors.
Intervention on maternal health programmes must be carried out by focusing on healthy behavior changes at the individual level, but in line with the improvement of the quality of maternal health services at the district level so that automatically can attract the interest and awareness of the community to obtain the better quality of maternal health services in health facilities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T44787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arwinda Nugraheni
"Kematian neonatal dini merupakan penyumbang kematian bayi dan perinatal yang merupakan indikator derajat kesejahteraan dan kesehatan bangsa. Angka kematian bayi dan perinatal di Indonesia masih tergolong tinggi dibanding negara Asia lainnya. Komplikasi kehamilan diduga menjadi faktor kuat kematian neonatal dini. Penelitian bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh adanya komplikasi kehamilan dan setiap jenis komplikasi kehamilan serta ingin mengetahui PAR (Population Attributle Risk) terhadap kematian neonatal dini di Indonesia pada anak yang lahir 2002-2007 terhadap kematian neonatal dini setelah dikendalikan seluruh confounding. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah crossectional dengan analisis multivariat complex sample cox regression. Sampel penelitiansebanyak 13893 dari 33 provinsi Indonesia yang diambil dengan metode Stratified two-stage cluster design.
Hasil analisis menunjukkan komplikasi kehamilan terhadap kematian neonatal dini dimodifikasi oleh berat lahir. Peneliti membuat dua model untuk membuktikan pengaruh komplikasi kehamilan terhadap kematian neonatal dini. Pada model pertama, PR komplikasi kehamilan terhadap kematian neonatal dini pada strata berat lahir <2000 gram sebesar 28,74 (95%CI: 10,21-81,02) PAR 13,92%, pada stratum ≥2000 gram sebesar PR 1,03 (95%CI: 0,32-3,34) PAR 11,94%. Pada model kedua, PR prematuritas memiliki risiko tertinggi PR 3,98 (95%CI 1,36-11,63) dengan PAR 8,1%. Diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat berperan aktif dalam penurunan dan penanggulangan komplikasi kehamilan sedini mungkin dengan Antenatal care.

Early neonatal death is a contributor to infant and perinatal mortality that is an indicator of well-being and health degree in the nation. Infant and perinatal mortality rate in Indonesia is still higher than other Asian countries. Complications during pregnancy may be a strong factor of early neonatal death. This study want to determine how much influence and PAR of complication during pregnancy to early neonatal death in Indonesia after adjusted all confounding. This study used the cross-sectional design study with complex samples cox regression to multivariat analysis. There were 13893 respondents from 33 provinces in Indonesia were taken by stratified two-stage cluster sample technique.
The Results indicated that there are effect modification of Complication during pregnancy and birth weight to early neonatal death. This study created 2fixed models in multivariat analysis. In the first model, PR complication during pregnancy with birth weight <2000 gr 28,74(95%CI 10,21-81,02) PAR 13,92, complication during pregnancy with birth weight ≥2000 gr PR 1,03 (95%CI 0,32-3,34) PAR 11,94. In third model, only proven premature has significant to be early neonatal death risk with PR 3,98 (95%CI 1,36-11,63) PAR 8,1%. Health ministry and public can improve efectiveness of ANC to reduce complication during pregnancy and premature.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Widoretno
"Pencegahan infeksi merupakan tindakan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit infeksi dari pasien ke tenaga kesehatan dan sebaliknya, sehingga perpindahan mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi dapat dihilangkan. Bidan merupakan profesi tenaga kesehatan yang mempunyai peranan penting dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) . Dalam melaksanakan tindakan pertolongan persalinan, bidan selalu terpapar dengan darah dan cairan tubuh pasien yang meningkatkan risiko tertular penyakit, sehingga perlu melakukan prosedur pencegahan infeksi dengan benar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku dalam melaksanakan prosedur pencegahan infeksi oleh bidan di kabupaten Lampung Timur tahun 2012. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan besar sampel 152 orang.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa bidan yang melakukan pencegahan infeksi saat melakukan pertolongan persalinan hanya sebesar 32,2%. Ada hubungan antara sikap dan motivasi dengan perilaku pencegahan infeksi ( p < 0,005), serta tidak ada hubungan antara pengetahuan, pelatihan dan pengawasan dengan perilaku pencegahan infeksi (p > 0,005).
Disarankan memberikan sosialisasi tentang keselamatan kerja dan pentingnya pelaksanaan pencegahan infeksi untuk mengubah sikap bidan yang negatif terhadap pencegahan infeksi. serta untuk menumbuhkan motivasi yang positif dari bidan perlu perhatian dari dinas kesehatan maupun dari organisasi dengan menimbulkan kepuasan kerja, memberikan penghargaan atas prestasi kerja dan kesempatan meningkatkan karir bagi yang berprestasi.

Prevention of infection is an act to prevent the occurrence of infectious disease transmission from patient to health worker and otherwise, so that the transfer of microorganisms that can cause infection can be eliminated. Midwives are health professionals who have an important role in the decline in maternal mortality rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR). In implementing the measures help labor, the midwife is always exposed to blood and body fluids of patients increases the risk of contracting the disease, so it needs to perform properly the infection prevention procedures.
Objektive of this research is analysis behavior in executing prevention procedure of infection by midwife in Lampung Timur district the year 2012. Research design applied is cross sectional with sample amount 152.
Result of this research showed that midwife doing prevention of infection when doing help of copy only equal to 32,2%. There is relation between attitude and motivation with behavior of prevention of infection ( p < 0,005), and there is no relation between knowledge, training and observation with behavior of prevention of infection ( p > 0,005).
Suggested gives socialization about working safety and the importance of execution of prevention of infection to sing different tune negative midwife to prevention of infection and grow motivation which are positive from midwife needs attention from on duty health nor organizational by generating job satisfaction, gives appreciation to labour capacity and opportunity increases career for having achievement.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>