Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15777 dokumen yang sesuai dengan query
cover
H.S. Suhaedi
"Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak sosioligis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara, yang menempati posisi terendah dalarn sejarah stratifikasi sosial masyarakat, telah mengalami mobilitas sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat Banten saat ini.
Permasalahan penelitian ini, yaitu bagaimana mobilitas sosial jawara dapat terjadi dan apakah yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mobilitas sosialnya. Mobilitas sosial mengacu kepada perubahan status baik yang berkaitan dengan individu maupun kelompok. Aspek-aspek historis untuk itu menjadi permasalahan panting untuk dapat menjelaskan bagaimana sebuah perubahan terjadi. Untuk mengelaborasinya, dan dalam upaya mendapatkan sebuah pemahaman dan gambaran yang bersifat holistik terhadap obyek kajian, lebih tepat apabila dilakukan dengan pendekatan historis yang meliputi situasi sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan aspek-aspek lainnya yang dipandang menjadi indikator yang turut mempengaruhi mobilitas sosial jawara.
Metode penelitian adalah studi kasus dengan paradigma kualitatif. Sumber data primer dari individu yang merepresientasikan sebagai tokoh jawara atau individu yang merepresentasikan dirinya dalam kelompok, organisasi, atau masyarakat. Adapun pola mobilitas sosial yang dikaji meliputi mobilitas sosial vertikal dan mobilitas sosial horizontal serta aspek-aspek yang mempengaruhinya.
Berdasarkan hasil analisis menunjukan bahwa; pertama, aneksasi kesultanan oleh pemerintahan kolonial Belanda selain telah meruntuhkan struktur politik tradisional juga memberikan pengaruh terhadap melemahnya status sosial bangsawan dalam struktur sosial masyarakat. Perubahan tersebut mempengaruhi Penguasaan terhadap sumber-sumber kekuasaan tidak lagi didasarkan kepada status sosial kebangsawanan seseorang.
Kedua, pada awal abad ke 19, sebagian terbesar masyarakat pedesaan di Banten telah mengalami dampak sistem komersialisasi, kapitalisasi sistem agraria, proses birokratisasi, edukasi, dan inovasi-inovasi Iain yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial. Rakyat beserta para pemimpinnya terancam kepentingan dan kedudukannya sehingga mempengaruhi keresahan sosial dan munculnya sikap anti kolonial. Kebijakan-kebijakan pemerintahan kolonial mengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak atas tanah dan pekenjaannya. Kondisi tersebut diperparah dengan kebijakan pajak yang sangat tinggi dan sangat memeberatkan masyarakat kecil secara umum. Dalam kondisi tersebut jawara dipandang sebagai tokoh yang dapat memberikan perlindungan dan perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap praktek kolonialisasi.
Ketiga, untuk memperluas kekuasaannya, pasca berakhirnya kolonialisasi jawara melakukan metamorfosa tubuh dengan melakukan peran-peran sosial politik. Jawara menjadi centeng atau keamanan tradisional pada sentra-sentra ekonomi atau masyarakat. Padajabatan pemerintahan menjadi jaro atau kepala desa.
Keempat, kekerasan menjadi salah satu strategi untuk rneningkatkan mobilitas sosial jawara. Kehormatan yang diterima jawara dari masyarakat adaiah kehormaian yang bercampur dengan rasa ketakutan. Karena begitu dominannya rasa takut yang luar biasa sehingga kekuasaannya cenderung diikuti.
Kelima, motif dari tindakan sosial-politik jawara memiliki orientasi kuat terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi.
Keenam, dalam mengembangkan mobilitas sosialnya, jawara melakukan pola mobilitas vertikal dan horizontal. Secara vertikal, jawara melakukan mobilitas intragenerasi yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya sebagai seorang jawara. dan secara horizontal, jawara mengembangkan mobilitas dengan meningkatkan peran-peran sosial-politiknya.
Ketujuh, mobilitas sosial jawara selain didukung oleh faktor-faktor budaya, juga didukung oleh struktur politik orde baru. Struktur politik orde baru memberikan peluang akses politik dan ekonomi jawara. Partai politik menjadi instumen untuk memperluas otoritas kekuasaan jawara.
Kesimpulan teoritik, mobilitas jawara mengalami proses yang cukup komplek dan tidak cukup menggunakan satu pendekatan teori. Oleh karena itu teori kekuasaan Lenski yang menempatkan power (kekuasaan) sebagai dimensi utama dalam mempengaruhi stratifikasi sosial perlu dimodifikasi dengan teori Weber tentang posisi ekonomi, status sosial dan partai yang turut menentukan stratifikasi sosial. Persebaran kekuasaan melalui partai politik sangat strategis dan efektif memperluas pengakuan terhadap kepemimpinan jawara dan secara langsung mempengaruhi dimensi privilise dan prestise jawara. Penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi akibat kekuasaan yang dimilikinya, bagi jawara menumbuhkan sifaf-sifat altruisme yang tidak hanya memiliki hubungan yang bersifat parsial dengan dimensi privilise. Adanya sikap jawara untuk bekerjasama atau adanya perhatian terhadap kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, bagi jawara memiliki hubungan langsung dengan kepentingan prestise dan memiliki dimensi politis yang cukup kental untuk memperkuat otoritas kekuasaannya. Sikap altruisme jawara tidak hanya muncul satu arah yang berhubungan dengan dimensi privilise sebagaimana dijelaskan Lenski.
Kekerasan jawara telah melahirkan generasi penakut terhadap masyarakat Banten secara keseluruhan. Untuk itu dipandang perlu bagi semua pihak, terutama pemerintah daerah memberikan perhatian kepada kualitas pendidikan yang berorientasi kepada pemahaman sivil society bagi jawara. Mengingat para jawara banyak yang bergerak di bidang usaha jasa, pemerintah daerah perlu mengadakan pembinaan secara intensif manejemen usaha profesional dan modern. Pemerintah daerah dipandang perlu membuat peraturan daerah Komisi Tranparansi dan Partisipasi (KTP). Perlu juga membuat peraturan daerah tentang visi yang berkaitan dengan capaian target pembangunan Banten ke depan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21469
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanny Sri Lestari
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Wahono
Jakarta: Prenada, 2010
338.9 SAT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
H.M.A. Tihami
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya ketertarikan pada masih lekatnya sebutan kyai dan jawara sebagai pemimpin bagi orang Banten. Beberapa literatur yang ditulis oleh orang Belanda, seperti Meijer (1949) den Loze (1933), dan yang ditulis oleh orang Indonesia, seperti Sartono Kartodirdjo (1966) dan A. Hamid (1987), memperlihatkan bahwa kedua pemimpin tersebut telah berpengaruh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan dalam cerita rakyat dikatakan, kedua pemimpin tersebut ada sejak zaman kesultanan Banten yang pertama (kira-kira pada abad ke-16).
Keberadaannya yang sudah lama, dan tetap sampai sekarang, menunjukkan betapa lestarinya kedua pemimpin tersebut. Kelestarian inilah yang menjadi pendorong untuk segera dicaritahu mengapa-nya. Kemudian dipilihlah desa Pasanggrahan sebagai lokasi penelitian, karena di desa ini pernah ada kyai (meninggal tahun 1985) pendiri Satuan Karya Ulama Indonesia dan ada jawara pendiri Persatuan Pendekar Persilatan Banten. Dalam struktur organisasi Satuan Karya (Satkar) Ulama itu terdapat Departemen Pemuda dan Pendekar, yang berarti sebagai isyarat adanya kesatuan antara kyai (ulama) dan jawara (pendekar).
Kelestarian kyai dan jawara dalam kepemimpinan masyarakat diduga mempunyai kaitan dengan keseluruhan pengetahuan masyarakat tentang agama dan magi yang diacunya. Kepemimpinan kyai tentu berkaitan dengan agama; dan kepemimpinan jawara tentu berkaitan dengan magi, sebab magi menjanjikan kekuatan yang dibutuhkan oleh jawara.
Untuk memperoleh jawaban dari mesalah tersebut dilakukanlah pendekatan struktural fungsional, yaitu pendekatan yang memandang sistem-sistem sosial budaya yang menekankan bahwa struktur-struktur yang diamati itu menunjukkan fungsi-fungsi dalam suatu struktur tertentu. Artinya, elemen-elemen dalam suatu struktur terjalin dalam suatu jaringan sistem. Dan setiap elemen terdiri dari elemen-elemen yang lebih kecil yang juga terjalin dalam suatu jaringan sistem. Dalam hal ini, agama dan magi dipandang sebagai elemen-elemen yang satu sama lain saling memberi dan menerima sumbangan, sehingga elemen-elemen tersebut terjaring dalam satu jaringan sistem (sistem budaya).
Kemudian, berdasarkan teori aksi (theory of action) menurut Talcott Parsons, hubungan sistem tersebut diturunken pada sistem sosial yang ternyata diperlihatkan oleh perilaku kepemimpinan kiyai dan jawara. Jadi sistem sosial (perilaku kepemimpinan) ini ternyata ditentukan oleh sistem budaya; namun juga sistem sosial mempengaruhi sistem budaya. Hubungan antara sistem budaya dan sistem sosial ini disebut dengan hubungan sibernetik. Jadi kelestarian kepemimpinan kiyai dan jawara itu disebabkan karena perilaku keduanya dalam kepemimpinan, masing-masing merupakan elemen dalam sistem sosial yang mempunyai hubungan sibernetik dengan agama dan magi dalam sistem budaya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atu Karomah
"Jawara merupakan salah satu dari entitas dari masyarakat Banten yang cukup terkenal. Ia dikenal bukan saja karena pengaruh kharismanya yang melewati batas-batas geografis, tetapi juga budaya kekerasan yang melekat padanya. Sehingga ia dikenal sebagai subculture of violence dalam masyarakat Banten.
Sebagai subkultur kekerasan, jawara memiliki motif-motif tertcntu dalam melakukan kekerasan. Mereka pun mengembangkan gaya bahasa atau tutur kata yang khas, yang terkesan sangat kasar (sompral) dan penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat. seperti berpakaian hitam dan memakai senjata golok.
Kekerasan yang dilakukan jawara pada umumnya dimaknai oleh yang bersangkutan sebagai upaya pembelaan terhadap orang yang dipandang melakukan pelecehan harga diri yang menyebabkan yang bersangkutan merasa malu. Pelecehan terhadap harga diri diinterpretasikan oleh kalangan jawara sebagai pelecehan terhadap kapasitas dan kapabilitas diri dan ini sangat terkait dengan peran dan status sosial di masyarakat. Karena itu pelecehan terhadap harga diri dipahami sebagai pelecehan terhadap peran dan statusnya di masyarakat.
Batasan tentang pelecehkan harga diri itu memang tidak tegas karena itu sering dinterpretasikan secara subyektif oleh pelakunya. Sehingga yang menyebabkan kasus pelecehan harga diri itu berbagai macam seperti tuduhan pencurian, gangguan terhadap istri atau pacar, balas dendam atau kekalahan dalani politik desa atau persaingan bisnis. Dalam konteks ini kekerasan yang dilakukan jawara memang sangat terkait denngan "konstruksi maskulinitas" dalam budaya masyarakat.
Kekerasan yang dilakukan jawara selain sebagai sarana untuk mempcrtahankan harga diri, kekerasan juga dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial lebih tinggi sebagai seorang jawara yang disegani dalam lingkungan komunitas mereka. Sehingga mereka biasa menjadi pimpinan jawara (bapak buah) dengan memiliki sejumlah pengikut (anak buah). Bahkan dengan posisi dan status sosial ini mereka pula dapat meraih kedudukan formal dalam lingkungan institusi formal seperti menjadi jaro, kepala desa, bahkan untuk menjadi bupati atau wali kota.
Mendapat gelar sebagai seorang jawara yang disegani merupakan kebanggaan tersendiri bagi yang menyandangnya. Karena dengan gelar tersebut, ia bisa menaikan posisi tawarnya ketika berhubungan dengan pihak lain. Ia bisa mendesakan segala keinginan baik secara halus maupun dengan kekerasan. Oleh karena itu dalam konsep kebudayaan diantaranya mengenai sistem komunikasi, kekerasan yang dilakukan jawara dianggap sebagai sarana untuk mengkomunikasi simbol-simbol tentang sikap dan perilaku pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14337
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Yulita
"ABSTRAK
Istilah yang agak umum bagi golongan "tukang pukul" dan seorang yang suka berkelahi oleh masyarakat Indonesia disebut jagoan. Jagoan bernada lebih positif ketimbang istilah preman pada masa kini.
Jagoan adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang berpengaruh dan disegani di kampungnya, orang yang kuat, tukang pukul dan pemberani.
Dalam masyarakat Bekasi, jawara dianggap lebih tinggi tingkatannya dari pada jagoan. Jawara dianggap sebagai pendekar, ksatria yang ditokohkan masyarakat Bekasi sebagai orang yang suka memberi perlindungan dan keselamatan secara fisik terhadap masyarakat, juga dianggap sebagai orang yang dituakan atau sesepuh.
Penelitian ini mengangkat permasalahan peranan jawara pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di daerah Bekasi. Semangat nasionalisme yang dimiliki para jawara akibat pengaruh kelompok-kelompok pemuda di Jakarta dan pemimpin-pemimpin nasionalis Indonesia.
Kelompok-kelompok pemuda, pemimpin-pemimpin nasionalis, dan para jawara bahu membahu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mereka ditujukan untuk melawan tentara Jepang dan tentara Belanda yang ingin bercokol kembali di wilayah Indonesia.
Karena semangat revolusionernya, maka aksi-aksi yang dilakukan para jawara berekses pada perampokan-perampokan dan pembakaran Gereja Wetan di Kampung Sawah yang oleh mereka dianggap sebagai kaki tangan kolonial Belanda.

ABSTRAK
The rather common term for faction " bouncer" and a pugnacious by Indonesia society referred as a champion. The champion impressing more positive compared to freeman term at present day.
The champion is mention for the society member having an effect on and respected in his kampong, one who the strength, bounce and brave.
In Bekasi society, jawara is assumed as someone who has higher level than a champion. Jawara is considered to be a hero, chevalier who is figured by Bekasi society as one who likes to give safety and protection in physical to society. He is also considered to be someone who old or doyen.
This research is carefully examined the jawara's role from Bekasi in the Indonesian Revolution. The spirit of nationalism was possessed by the champions influenced by the young man groups and the nationalist leaders in Jakarta.
The young man groups, the nationalist leaders, and jawara-jawara were in cooperative to defend the country. Their struggle intended to against Japanese military and the restoration of the Dutch colonialism.
Because of The of spirit of revolutionary so many kinds of bad action there were robberies and the burning of the Catholic Church in Kampong Sawah that it was regarded to back up the Dutch colonialism.
"
2007
T17232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Nina H.
Jakarta: LP3ES, 2004
959.823 LUB b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Artika Ningtyas
"Penelitian ini menjelaskan tentang peran jawara dalam perjuangan kemerdekaan di Bekasi periode 1947-1949. Periode 1947-1949 adalah masa terpenting membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya mempertahankan kemerdekaan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Di Bekasi kemunculan Jawara memberikan pemahaman yang berbeda dari yang sebelumnya, jika masa kolonial dikenal sebagai kaki tangan tuan tanah, sedangkan pada masa revolusi Jawara mengalami pergeseran peran menjadi pemimpin yang memimpin rakyat dalam melawan Belanda. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dan pendekatan teori kharismatik dan teori revolusi. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan para Jawara dalam masa perjuangan kemerdekaan mampu mendorong masyarakat di Bekasi sekitarnya melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Sekutu. Dampak yang dihasilkan dari peranan para Jawara menjadikan keamanan Bekasi tetap stabil.

This study explains the role of champions in the struggle for independence in Bekasi in the period 1947-1949. The period 1947-1949 was the most important period to form the Unitary State of the Republic of Indonesia. Efforts to maintain independence involve all elements of society. In Bekasi, the emergence of Jawara gave a different understanding from the previous one, if the colonial period was known as an accomplice of landlords, while during the revolution Jawara experienced a shift in role to become a leader who led the people against the Dutch. This research uses historical methods and approaches to charismatic theory and revolutionary theory. The findings of this study show that the leadership of the Jawara during the struggle for independence was able to encourage people in surrounding Bekasi to fight against the Dutch and the Allies. The impact resulting from the role of the Jawara makes Bekasi's security remain stable."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>