Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170475 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arinto Bono Adji Hardjosworo
"ABSTRAK
Objektif: infark miokard perioperatif merupakan salah satu komplikasi pada CABG. Prediksi untuk terjadinya komplikasi tersebut dan deteksi dini pada fase paska operasi sangat penting dilakukan untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Penelitian kaii ini dilakukan untuk mencari Faktor-faktor predisposisi terjadinya infark miokard perioperatif serta peran troponin T sebagai biomarker prediktor dan deteksi dini komplikasi tersebut.
Metoda: empat puluh enam pasien yang akan menjalani CABG saja dan untuk pertama kali secara elektif diobservasi secara prospektif. Data faktor predisposisi, faktor intraoperasi dan paska operasi pada periode perioperatif dicatat. Diagnosis infark perioperatif ditegakkan berdasarkan EKG dan nilai CK-MB. Nilai troponin T diambil pada 24 jam preoperasi, 1 dan 6 jam setelah total revaskularisasi.
Hasil : enam pasien (13%) teridentifikasi mengalami infark. perioperatif. Mortalitas terjadi pada 1 orang (2,1%) yaitu pada kelompok infark. Faktor preoperasi yang mempunyai hubungan bermakna untuk terjadinya infark adalah EuroSCORE dan angina tidak stabil. Pada fase intraoperasi, faktor yang teridentifikasi bermakna adalah konversi OPCAB ke on pump karena gangguan hernodinamik dan adanya gangguan hemodinamik signifikan preinsisi. Walaupun kurang bermakna, teknik CABG on pump memiliki prosentase infark yang lebih tinggi (19%) dibandingkan dengan teknik OPCAB (7%). Pada CABG on pump, penggunaan CPB, klem silang aorta, waktu iskemia lebih lama pada kelompok infark dan kardioplegia juga lebih sering diberikan. Morbiditas berupa penambahan lama waktu intubasi (p=0,009) dan lama penggunaan inotropik juga terjadi pada kelompok infark (61 jam) dibandingkan non infark (15 jam). Troponin T pada infark sudah berbeda secara bermakna 6 jam setelah revaskularisasi dengan nilai rerata 1 ng/ml (p=0,002). Nilai troponin T preoperatif juga sudah berbeda preoperasi antara kelompok infark dan non infark (0,01 vs 0,02 ng/ml) walaupun secara statistik kurang bermakna. Kenaikkan troponin T juga berkorelasi positif dengan lama pemakaian inatropik, lama intubasi, dan kadar CK-MB paska operasi.
Kesimpulan: infark miokard perioperatif meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pada fase perioperatif. Empat faktor teridentifikasi sebagai faktor resiko. Trapanin T mampu mengidentifikasi terjadinya infark perioperatif 6 jam paska operasi dengan nilai 1 ng/ml. Terdapat kemungkinan untuk memprediksi resiko terjadinya infark perioperatif dengan pemeriksaan troponin T preaperasi apabila terjadi kenaikkan di alas 0,02 ng/ml."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Dina Liastuti
"Penelitian ini meneliti tentang selisih antara tagihan dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin biaya kesehatan terhadap pelayanan kasus Infark Miokiard Akut di RSJPDHK serta selisih antara tagihan dengan klaim menggunakan tarif INA-CBG`s. Tujuan dari penelitian adalah untuk dapat memperoleh data karakteristik, mutu layanan dan permasalahan biaya dan pembayaran klaim terhadap RS oleh para penjamin/pembayar. Penelitian ini mendapatkan 5472 pasien Infark Miokard Akut selama periode 1 Januari 2009 sampai 31 Desember 2012 terdiri dari laki laki 81,5% dan perempuan 18,5%, rata-rata usia 56,3 tahun rentang usia yang lebar (21-97 th vs 26-96 th). Sebagian besar berasal dari DKI Jakarta (51%), Tingkat keparahan I 46%, Tingkat II 47,4%, dan Tingkat III 5,9%. Lebih dari separuh pasien (54,64%) mendapat tatalaksana intervensi PTCA atau bedah jantung (CABG), sedangkan 44,54% pasien dirawat tanpa tindakan intervensi non bedah maupun bedah. Penelitian mendapatkan 43,7% pasien dengan jaminan Askes, dan hanya 2,9 % dijamin dengan Jamkes yang dibayar dengan sistem INA-CBG`s. Lama rawat pasien rata rata 7,71±6,30 hari, 87,8, % keluar RS dengan status sembuh. Kesimpulan : Mutu layanan IMA di RSJPDHK tidak dibedakan berdasarkan jenis penjamin, dan adanya selisih antara tagihan RS dengan klaim yang dibayar oleh para penjamin berhubungan secara bermakna dengan kode diagnosis, jumlah tindakan sekunder, lama rawat dan tingkat keparahan penyakit. Penelitian mendapatkan nilai selisih dalam simulasi perhitungan antara tagihan terhadap klaim dengan sistem INA-CBG`s.

The Study examined the differences between the published rates and the CBG rates among patients with acute myocardial infarction (AMI) in National Cardiovascular Center (NCC) Harapan Kita. The purpose of this study is to examine whether there is quality and other differences among AMI patients paid by difference payers and payment levels. This study analyzed medical records of patients with AMI during the period of January 1, 2009 until December 31, 2012. The study found 5,472 patients with AMI consisting of 81.5% males and 18.5% females with the mean age of 56.3 years (range between 21-97 years vs. 26-96 years). Most of the patients were from Jakarta (51%). On severity levels, 46% patients were in severity level I, 47.7% severity level II, and 5.9% level III. More than half (54.6%) patients were treated with intervention (PTCA) or surgical procedures (CABG), while 44.4% patients were treated conventionally. We found that 43.7% of patients were covered by Askes, and only 2.9% were Medicaid (Jamkesmas) that were paid on DRGs. The average length of stays was 7.7 days and 87.8% were discharged in a good recovery. There was no difference in quality of treatment by difference payers or payment system although there was significant discrepancy in charges among difference payers. This differences in charges were associated differences in diagnoses, the number of secondary procedures, length of stays, and severity of the cases. It is concluded that the doctors provided the same quality of services among AMI patients, regardless of payers` status or charges."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Arintawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi gagal jantung semakin meningkat per tahun, 60-70% disebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Beberapa faktor risiko penyebab gagal jantung yaitu DM, hipertensi, obesitas, sindrom metabolik, dan aterosklerosis. Patofisologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan banyak sistem, terjadi hipermetabolisme yang dapat menyebabkan penurunan
berat badan dan memicu terjadinya malnutrisi. Keadaan gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama membutuhkan penanganan segera di RS untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama, berusia antara 41 hingga 70 tahun, dan tiga diantaranya dengan riwayat DM tipe II. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi, tiga pasien memiliki status gizi obesitas dan satu pasien berat badan normal. Masalah berkaitan erat pada nutrisi keempat pasien adalah hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan, serta defisiensi mikronutrien. Perhitungan kebutuhan energi basal (KEB) dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict dengan faktor stres sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta. Komposisi makronutrien diberikan menurut
rekomendasi Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) dan American Heart Association (AHA), pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien. Pemberian suplementasi mikronutrien juga diberikan
kepada keempat pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, analisis toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional.
Hasil: pemantauan selama di RS, keempat pasien menunjukkan perbaikan klinis, peningkatan toleransi asupan, perbaikan kadar elektrolit dan peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi medik yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama.

ABSTRACT
Background: The prevalence of heart failure increase annually, 60-70% due to coronary heart disease (CHD). Some of the risk factors associated with heart failure are diabetes, hypertension, obesity, metabolic syndrome, and atherosclerosis. The phatophysiology of heart failure is very complex and involves many systems. The occurance of hypermetabolism can lead to weight loss and triger malnutrition. The state of acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction require immediate treatment in hospital to avoid further complications.
Methods: This series of case report describes four cases of patients with acute myocardial heart failure, due to old infarction, aged between 41 to 70 years old, and three of them with a history of type 2 diabetes melitus. All patients required nutritional support, three patients had nutritional status of obese and one patient was normal in weight. The problems which closely linked to all nutrition of the four patients were hypoalbuminemia, electrolyte disturbances, impaired renal function, impaired liver function, fluid inbalance, and micronutrient deficiencies. Basal Energy Requirement was calculated using Harris Benedict formula with stress factors corresponding clinical condition and comorbidities. Macronutrients composition was given according to the recommendation of the Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) and the American Heart Association (AHA), while the provision of proteins was
tailored with the kidney function of each patient. Micronutrients supplementation was also given to four patients. Patient monitoring parameters included subjective complaints, hemodynamic, analysis tolerance
of intake, laboratory tests, anthropometric, fluid balance and functional capacity.
Results: During the monitoring period in the hospital four patients showed clinical improvement, increased tolerance of intake, improved electrolyte levels and increased functional capacity.
Conclusion:Adequate medical nutrition therapy can improve the clinical condition of patients with acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sjahrir Nurdin
"Telah dilakukan penelitian terhadap beberapa variabel dari penderita-penderita infark miokard akut pertama, dalam hubungannya sebagai prediktor terhadap kejadian
komplikasi gagal jantung dengan uji statistik secara analisis univariat. Penderita terdiri dari 85 (82,52%) pria dan 18 (17,48%) wanita dengan infark miokard akut pertama yang dirawat di-Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta antara
1 Januari 1991 sampai dengan 31 Desember 1992. Umur penderita berkisar antara 30 tahun sampai dengan 95 tahun (rata-rata 57,20 ± 14,06 tahun). Dari 103 penderita yang masuk dalam penelitian ini, 60 orang (58,25%) yang mengalami komplikasi gagal jantung akut. Sisanya 43 orang (41,75%) tanpa komplikasi
gagal jantung akut berfungsi sebagai kontrol. Kelas gagal jantung akut yang terjadi terdiri dari : 35 orang (30,3%) Killips 2, 7 orang (11,7%) Killips 3 serta 18 orang (30,0%) Killips 4. Dari 13 macam variabel yang diuji secara univariat , hanya variabel frekuensi denyut jantung yang kemaknaannya <0.05.
Sebagai kesimpulan bahwa:
1. Aplikasi klinik dari penelitian ini bagi dokter di daerah bila tidak ada peralatan penilai fungsi ventrikel , maka frekuensi denyut jantung lebih dari 85 kali permenit pada saat pertama pemeriksan merupakan tanda awal yang perlu dipantau. Tentu saja parameter yang lain perlu diperhatikan. 2. Variabel-variabel lainnya (lokasi infark miokard di anterior, hematokrit > 48 vol.%, riwayat diabetes melitus, umur, rasio kolesterol total/HDL 5, hipertrofi ventrikel kiri, riwayat hipertensi, kadar kolesterol total > 240 mg/dl, rasio kardio toraks > 55%, terapi trombolitik, riwayat nyeri dada dan kadar serial enzim CKMB 160 IU/L) statistik belum bermakna.
Saran diperlukan suatu penelitian prospektif dengan jumlah sample yang besar."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aminah Noor
"ABSTRAK
Kebarhasilan BPK (Bedah Pintas Koroner) dalam mancapai
revaskularisasi dipengaruhi kekerapan IMP (Infark Miokard
Perioperatif). Dalam penelitian prognostik ini dioari faktor-faktor
yang diduga berperan dalam kekencapan IMP pada BPK dengan tujuan pencegahan. Penelitian bersjiat retrospektji terhadap 171 penderita
yang menjalani BPK di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta antara Maret
1986 sampai dengan Februari 1989. Penderita yang dimasukkan dalam
penelitian ini adalah yang mempunyai data EKG serial, enzim miokard
(CK dan CKMB) pra dan pascabedah. Penderita BPK disertai badah
katup, aneurismektomi dan ventricular venting'tidak diikut
sertakan. Seratus tigapaluh satn penderita (76,6%) memenuhi
persyaratan paenelitian ini terdiri atas 126 lak-1aki dan 5 wanita
dengan usia antara 31-72 tahun (rata-rata 53 (kurang lebih) 7,5 tahun).
Kriteria IMP adalah timbulnya gelombang Q haru atau pelebaran Q lama yang menetap disertai puncak enzim CKMB dalam 24 jam pertama
>/40 IU dan fraksi CKMB > 5%. Perubahan EKG pada segmen ST,
gelombang T atau gangguan kcnilu]»:si menetap enzim
dianggap suatu oedera miokard dan diduga nnmg}'.:i.n IMP. Kekerapan IMP berdasarkan kriteria EKG dan enzim adalah 16 olang (12,2%),
penderita yang diduga IMP adalah 10 orang (T,6%) dan bulgan IMP
adalah 131 orang (80,2%).
Tujuh belas variabel prabedah, 6 variabel bedah dan 5 variabel
pasczabedah diuji secam univariat dengan tabulasi silang untuk
mejihat huhmgan antara variahel tersebut dengan hasil akhjr, yaitu
IMP dan rmmgkin IMP.
Variahal prognostik yang bannalcna secara univariat adalah jumlah 'gra_'Et'(p = 0,003), Jana klein aorta (p = 0,G17),1ama mesin pintas jantnmg-paru (p = 0,032), pemakaian IABP ('intra aortic balloon pump') (p = 0,002) dan parakaian dobutaruin (p = 0012). Variabel prognostiki.ndepende.n prabedah dan intra bedah diuji secara analisis lmnltivariat logistik regresi polikotern dan yang terhadap kejadian IMP adalah usia > 50 tahun (OR 4,26), 'graft' >3 (GR 6.26) dan lama klem aorta )B5 menit (OR 3,03). Satu-satunya varzialzuel yang terbukti palling terhadap kejadian yang diduga IMP adalah 'graft' 3(or 2,28). Analisis multivariat manunjukkan bahwa variabel laina klem aorta (GR 4,52} graft (OR 2,73) dan umur (OR 9.22) be antara penderita IMP bila dibandingkan panderita yang diduga IMP.
Disimpulkan bahwa pada penderita dengan kebutuhan 'graft' yang
lebih dari 3, usia >50 tahun dan lama krem aorta 85 menit, risjko
untuk kejadian IMP menjadi lebih besar. Sehingga penderita yang
demikian perlu perhatian khusus saat intrabedah dan pascabedah.
Penderita yang diduga IMP sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti radionuklid rnaupun ekokardiografi. Karena faktor yang berperan tidak sama seperti halnya IMP, perlu dilakukan penalitian prospektif dengan mengeksplorasi faktor-faktor lain seperti peranan iskemi perioperatif, perubahaan hemodinamik perioperatif, paranan obat anestasi dan teknik pnroteksi miokard."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Siswanti E
"Aterosklerosis bersama trombosis merupakan dua faktor penting terjadinya infark miokard. Beberapa faktor resiko konvensional seperti hipertensi diabetes mellitus, obesitas dislipidemia, merokok serta riwayat keluarga berperan untuk terjadinya infark miokard, tetapi ternyata 25% - 50% kejadian infark miokard tak bisa diterangkan dengan faktor resiko tersebut, Faktor resiko kejadian iskemik akut lainnya telah ditemukan berdasarkan studi epidemiologis yaitu: fibrinogen, penghambat aktivator trombosit I, lipoprotein a, antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus, lekosit dan viskositas darah Antibodi antifosfolipid yang antara lain terdiri dari antibodi antikardiolipin (ACA) dan antikoagulan lupus (LA), mempunyai hubungan erat dengan trombosis. Antibodi antikardiolipin yang terdiri dari isotype IgG, IgM, dan IgA, merangsang terjadinya trombosis dengan menghambat aktivasi protein C, mengikat fosfolipid membran trombosit serta menghambat produksi prostasiklin oleh sel endotel, sehingga timbul peningkatan agregasi trombosit, vasospasme, peningkatan aktivasi koagulasi dan akhirnya menimbulkan trombus. prospektif terhadap 46 penderita infark Telah dilakukan penelitian miokard usia muda ( laki laki < 55 tahun, perempuan < 65 tahun) di Rmah Sakit Jantung Harapan Kita, untuk melihat kadar ACA. Didapatkan peninggian ACA pada 13 penderita (28,3% ), dimana pada 8 penderita isotype IgG yang tinggi, 5 penderita isotype IgM yang meninggi dan tidak ada satupun yang meninggi keduanya. Tidak terdapat perbedaan antara kelompok ACA tinggi dan ACA normal dalam usia, faktor resiko, kadar HDL, LDL dan trigliserid, sedang nilai kolesterol total dan IgG ACA serta IgM ACA berbeda bermakna (p<0,05) Dalam pemantauan kejadian reinfark miokard, angina pektoris tak stabil atau meninggal yang dilakukan selama 10 16 bulan, didapatkan pada kelompok ACA normal 3 orang ( 9,7% ) dan pada kelompok ACA tinggi 3 orang (28,3%) Hasil ini menunjukkan kadar ACA yang lebih tinggi pada penderita infark menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk terjadinya reinfark dan kematian, dan dapat menunjukkan prognosis pasca infark (RR = 2,54, p>0,05). Selanjutnya, untuk mendapat informasi lebih baik perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan pemeriksaan titer ACA dilakukan secara serial."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
"Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita.

ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Susanto Kosasih
"ABSTRACT
The incidence of coronary teart disease including acute myocardial infarcticn (AMI) is increasing in Indcnesia. Arrhythmia is the most frequent complication that may cause death. Recent studies revealed a close association between Mg and K levels and tte risk of arrhytrrnia in NWI. This study was ccnducted to determine the patterns of plasma and erythrocytes Mg levels and serum potassium levels of patients with PMI and Fngina Pectoris (PP), within 40 hours after the diagnosis was established, and to find out whether the patterns of those electrolytes in cne group differ from the patterns in the other group of patients. Qnother objective of this study was to elucidate the correlation between the electrolyte levels and the evidence of arrhythmia in PMI. Tre subjects for this study were patients with AMI and patients with P as control group, admitted to the ICCIJ Ciptomangtrukusumo Hospital. The diagnosis of DMI was established according to IA-D criteria, including clinical signs and symptoms, ECB patterns and cardiac enzyme levels. Blood samples were collected for the determination of plasma Mg levels, erythrocytes Mg levels and serum K levels at time of diagnosis (0 hour) and sub-sequently B hours, 16 hours, 24 hours, 32 hours and 40 hours after the establishment of diagnosis. This study included 31 patients with FNI, Consisting of 13 patients without arrhythmia (group II) and 1B patients with arrhythmia (group III). Group II consisted of 12 males and 1 female, aged 37-67 years (Yi = 53,1 years; SD = 6,B). Group III included 14 males and 4 females, aged 35-B5 years Ki = 58,1 years; SD 1O,5). Group I as ccntrol group consisted of 12 patients with symptoms of AP, of which B were males and 4 were females, aged 35-57 years (§= 50,1 years; SD= 6,B). The interval between AMI or AP attack and the time of diagnosis in group I was 3-6 hours (Y = 4,16 I1:urs, SD = O,°20); in group II the interval was 2-6 hours (F= 4,07 rcurs, E.D= 1,1-4), while in group III the interval was 2-6 hours (m?= 4,05 hours, SD = 1,2). Arhythnia in grcnp III was detected between 0 hour (at time of diagnosis) to 24 hours after diagnosis; 6 patients (55,372) at time of diagnosis, 6 other patients (25,314) at 8 hours, 4 patients (22,2A) at 16 hours, and only in 2 patients (11,1Z) at 24 tours after the diagnosis. Plasma Mg, erythrocyte Pkg and serum K levels in patients with PP were relatively constant during the study, showing a plateau pattem. .The mean levels of plasma Mg, erythrocyte Mg and serum K in DP patients were 2,25 mg/dL, 5,136 mg/CL and 3,74 |m|.:1/dL ruspectively in PHI without arrhytrrnia patients, the mean plasma Mg level at O hour (i = 1,96 mg/dL; SD = O,1B) was lower than the levels in AP patients (Y = 2,17 mg/dL; SD = 0,24), but the difference was not significant. The plasma Mg levels showed a si nificant decrease compared to the level at 0 hour, reacted its lowest level at 16 hours (i=1,74 mg/dL)§ SD = 0,2O), followed by an increase of its level starting from 24 to 40 hours, forming a parabolic pattern. In GMI without arrhytrmia patients, the mean erythrocyte Mg level at 0 hour (i = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) was significantly lower than its level in AP patients (Y = 5,36 mg/dL; SD = 0,27). The pattern of erythrocyte Mg levels during 40 hours observation showed a constant increase starting from 8 hour to 40 hour (F = 5,42 mg/dL; SD = 0,34), forming a linear inclination. Erythrocyte Mg levels showed a significant increase compared to the levels at 0 hour, starting from 24 hours to 40 hours after diagnosis. The change in plasma Mg levels in the AMI without arrhythmia group did not run concurrently with the change in erythrocyte Mg levels. In AMI without arrhythmia the mean serum K level group at time of diagnosis (E = 4,33 mmol/dl.; SD = O,34) was significantly higher compared to the mean level in the AP patients (i°= 3,69 mmol/dL; SD I 0,26). The pattern of serum K levels in this group, declined starting at B hours, reached its lowest level at 32 hours (i = 4,03 nrnol/dL; SD 0,32); followed by an increase, but its level at 40 hour is significantly lower compared to its level at time of diagnosis. There was a significant difference between the serum K level at 24 hours and 32 fours and its level at time of diagnosis. This study revealed that in AMI without arrhythmia patients there was a significant decrease in plasma Mg, serum K and erythrocyte Hg levels during 40 hours after diagnosis. There was a significant difference in the electrolyte patterns between AMI and AP patients groups at the same time of observation. The decrease in plasma Mg levels in AMI with arrhythmia patients followed the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but the levels in arrhythmia patients were consistently and significantly lower. The arrhythmia risk in AMI patients tend to be higher in patients showing low plasma Mg levels. Erythrocyte Mg levels in AMI with arrhythmia patients follcned the same pattern as that found in patients without arrhythmia, but their levels in arrhythmic patients were consistently higher. This study failed to proof the efficacy of erythrocyte Ng level determinations to predict arrhythrmia in AML patients. The pattern of serum K levels in AMI with arrhythmia followed the same pattern as that found in AMI without arrhythmia, but the levels in AMI with arrhythmia were consistently lower. The arrhythmia risk tend to be higher in AMI patients showing low serum K levels. The determination of plasma Ng and serum K levels at time of diagnosis might be used to predict arrhythmia in AMI. The arrhythmia risk increase if plasma Mg level is lower than 2,0 mg/dL and or serum K level is lower than 4,0 mmol/dL at time of diagnosis. The risk tend to be greater for combined hypomagnesemia and hypokalemia compared to one. The frequency of arrhythmia in AMI did not correlate well with the decrease in erythrocyte Mg levels, but there was a good correlation between arrhythmia and the decrease in plasma Mg and serum K levels.

ABSTRAK
Di Indonesia penyakit jantung koroner termasuk infark miokard akut (IMA) cenderung meningkat dari tahun ke tahm dengan komplikasi terbanyak berupa gangguan irama jantung (GIJ) yang dapat menyebabkan kematian. Akhir-akhir ini para peneliti menghubungkan penurunan kadar K dan Mg sebagai salah satu 'faktor' risiko terjadinya GIJ pada IMG. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pola perubahan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada penderita infark miokard akut dan angina pectoris (PP) selama 40 jam sejak diagnosis ditegakkan serta hubungan perubahan kadar elektrolit tersebut dengan timbulnya GIJ pada IMG. Subyek penelitian adalah penderita infark miokard akut dan sebagai kontrol diambil penderita angina pectoris, yang dirawat di ICED RSIM. Diagnorsis ditegakkan berdasarkan kriteria N-D, yaitu keadaan klinis, gambaran E16 dan pemeriksaan ensim kardiak. Perneriksaan kadar Mg plasma, Mg eritrosit dan K serum dilakukan secara serial sebanyak 6 kali pengambilan. Pengambilan pertama setelah diagnosis clitegakkan disebut jam ke 0 selanjutnya jam ke 8 jam ke 16, jam ke 24, jam ke 32 dan jam ke 40. Didapatkan 31 penderita IMA kelompok kasus terdiri dari 13 panderita tidak mengalami GIJ (kelompok II) dan 1B penderita mengalami GIJ (kelompok III). Kelompok kontrol (kelompok I) terdiri dari 12 penderita IDP. Kelornpok I terdiri dari B orang pria dan 4 orang wanita dengan usia berkisar- antara 35-57 tahun, E = 50,1 tarun (SD = 6,B). Kelompok II terdiri 12 penderita pria dan 1 penderita wanita dengan usia berkisar' antara 37 - 67 tahun , Y = 53,0 (SD = 6,B). Kelornpok III terdiri dari 14 orang pria dan 4 orang wanita dengan usia ber-kisar' antara 35 - S5 tafun, i = 53,1 tahan (SD = 10,5). Selang waktu terjadinya serangan IVA dan FP sampai diagnosis ditegakkan diruang ICU untuk kelompok I berkisar' antara 3 - 6 jam, Y = 4,16 jam (SD = O,90). Lhtuk kelompok II berkisar antara 2 - 6 jam, a? = 4,07 jam (SD = 1,14), kelcmpok III herkisar' antara 2 - 6 jam, ?R = 4,05 jam (SD = 1,I2). ldaktu terjadinya GIJ pada kelompok III berkisar antara jam ke O sampai jam ke 24 setelah diagnosis ditegakkan. Dar-i 18 penderita yang mengalami EIJ, 6 orang (I5,3 Z) terjadi jam ke 0, 6 orang (BJ Z) terjadi pada jam ke B, pada 4 orang (22,2 Z) terjadi pada jam ke 16 dan hanya 2 orang (11,1 Z) terjadi pada jam ke 24. Pala kadar Pg plasma, Mg eritrosit dan K serum pada gderita PP salama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan membentuk pola yang mendatar. kadar rata- rata Mg plasma , Vg eritrosit dan K ser-um pada kelornpok AP berturut turut 2,25 mg/dl., 5,56 mg/dL dan 3,74 mmol/L. Kaclar' rata-rata rt; plasma pender-ita IMG tang BL] pada jam ke 0 (x = 1,96 mg/dl.; SD = 0,1B) Iebih rendah dibanding panderita DF? (7 = 2,17 mg/dL; SD = O,24), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. Pola kadar Mg plasma pada pendarita IMG tanpa GIJ menunjukkan penurunan dan mencapai kadar- rata-r-ata terendah pada jam ka 16 (52 = 1,74 mg/dI_; SD = 0,2O) yang secara statistik ber-becla ber-makna dibanding jam ke 0, kenudian diikuti peningkatan kambali mulai jam ke 24 dan maningkat tems sampai jam ke 40, sehingga mambentuk pola parabolik. Kadar rata-rata Mg aritrorsit pada penderita IPR tang; GIJ pada jam ka O (YZ = 5,22 mg/dL; SD = 0,32) lebih rendah secara bermakna dibanding kelmpok PP (7 = 5,86 mg/dL.; SD = 0,27?). Pala kadar' Mg eritrosit selama 40 jam menunjukkan peningkatan yang dimulai pada jam ke B dan terus meningkat sampai jam ke 40 (Y = 5,42 mg/dl.; SD = 0,ZS4), nembentuk pola linier maningkat. Kadar Mg eritrosit meningkat berrnakna mulai jam ke 24 sampai jam ke 40 setelah diagnosis ditegakkaw dibancling jam ke 0. Perubahan kadar' I?q plasma pada kelompok IMA tanpa GIJ tidak paralel dengan pola psrubahan kadar Mg eritrosit. Kadar rata-rata K serum penderita IMA tang BL] pada jam ke 0 (i = 4,33 rmol/L ; SD = O,34) lebih tinggi sscara beramakna ditnanding kelompok »9P ( 5? = 3,69 nmol/L; SD = O,26). Pola kadar' K serum pada penderita IMQ tanpa GIJ menunjukkan penurunan dirrulai pada jam ka B dan mencapai kadar terendah pada jam ke 32 (i = 4,03 mmol/L; SD O,32), kemudian rneningkat kembali pada jam ke 40, tetapi masih lebih randah secara bermakna dibanding jam ke 0. Penurunan kadar pada jam ke 24 dan 32 berbeda bermakna ds-ngan jam ke O. Dari hasil pa1e1itian ini. dapat dibuktikan bahwa pada IMQ gang QQ terjadi penurunan kaclar Mg plasma, K serum dan Mg eritrcrsit secara bermakna selama 40 jam setelah diagnosis ditegakkan. Didapatkan pula perbedaan antara parubahan pola kadar- elektrolit tersetut salama 40 jam pada penderita dibandingkan dangan kelompok ¢P dalam waktu yang sama. Pala penurunan kadar' Hg plasma pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IFR tanpa GIJ, tetapi kadarnya pada pendarita IMA dengan GIJ selalu lebih rendah secara bermakna. Kadar Mg plasma yang rendah, canderung meningkatkan r-isiko terjaclinya GIJ pada IMQ. Pola kadar mg eritrosit pada penderita IMA dengan GIJ sama dengan penderita IMQ tanpa GIJ, akan tetapi kadarnya pada pender-ita IPR dengan GIJ selalu lebih tinggi. Dari penelitian ini tidak terbukti kadar- M3 aritrosit dapat digunakan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya GIJ. Pola kadar K serum pada penderita IMA dengan GIJ sarna dengan penderita IHA tanpa GLJ, tetapi kadarnya pada penclerita IMQ dengan GIJ selalu lebih rendah. Kadar' l< serum yang rendah, cenderung meningkatkan risiko terjadinya GIJ. Kadar Mg plasma kurang dari 2,0 mg/dl dan K serum kurang dari 4,0 n-mol/L pada jam ke O sa-telah diagnosis ditegakkan, kemmgkinan dapat dipakai untuk memperkirakan akan terjadinya GIJ. Bila penderita IM4 mengalami hipomagrresemia disertai hipokalemia, risiko terjadinya EIJ lebih besar dibandingkan bila hipnmagnesia atau hipmkalemia saja. Persentase GIJ pada penderita INQ tidak menunjukkan perubahan dengan penurunan kadar' Mg eritr-cnsit, tetapi pawurunan parameter Mg plasma dan serum dapat manujukkan hubungan yang cukup baik."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>