Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 219549 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roro Inge Ade Krisanty
"Gupta dkk (2000) melakukan uji in vitro suseptibilitas spesies Malassezia terhadap obat antijamur ketokonazol, itrakonazol, vorikonazol dan terbinafin. Hasil uji memperlihatkan adanya varfasi suseptibiilitas spesies Malassezia terhadap antijamur tersebut. Walaupun masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan pengamatan in vivo, data ini mungkin dapat menjelaskan perbedaan rata-rata kesembuhan mikofogis pada pasien PV dengan terapi antijamur. Savin di New york dan Budimulja di Jakarta melakukan penelitian efektivitas pengobatan solusio terbinafin 1% yang digunakan 2 kali sehari seiama 1 minggu pada pasien PV. Budimulja dkk melaporkan angka kesembuhan sebesar 65%, sedangkan Savin 70-80%. Belum diketahui secara pasti apakah perbedaan ini semata-mata terkait dengan faktor geografik atau melibatkan faktor-faktor lain.
Selain menggunakan metode biomolekular, identifikasi spesies Malassezia dapat dilakukan dengan teknik biokimia. Guillot memperkenalkan metode biokimia praktis dengan memanfaatkan perbedaan morfologi, toleransi terhadap suhu tinggi, kemampuan aktivitas katalase, serta kemampuan tumbuh pada berbagai media Tweenn. Faergemann melakukan modifikasi metoda Guillot dengan cara menghilangkan tahapan biakan pada media Tween®, dan menggantikannya dengan pemeriksaan difusi Cremophor EL® dan pengamatan aktivitas 13 - g l u kos idase.
Sejauh pengetahuan peneliti, di Indonesia belum pernah dilakukan identifikasi spesies Malassezia pada pasien PV. Hal tersebut menjadikan dorongan bagi peneliti untuk melakukan penelitian
RUMUSAN MASALAH
Di antara tujuh spesies Malassezia, spesies manakah yang ditemukan pada Iesi PV di Poliklinik Divisi Dermatomikologi 1KKK FKUI 1 RSCM ?
TUJUAN PENELITIAN
Identifikasi spesies Malassezia pada pasien PV yang berobat di Poliklinik Divisi Dermatomikologi 1KKK FKUI 1 RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Nurhandayani Zoulba
"ABSTRAK
Latar belakang: Malassezia sp. berperan penting dalam patogenesis dermatitis seboroik DS . Pada penelitian di negara lain didapatkan M.globosa dan M.restricta sebagai spesies predominan pada lesi kulit kepala DS. Belum diketahui pola sebaran Malassezia pada kulit kepala pasien DS di Indonesia dan hubungannya dengan derajat keparahan DS. Tujuan: Mengetahui distribusi spesies Malassezia pada kulit kepala pasien DS serta hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia yang ditemukan. Metode: Studi potong lintang dilakukan di Jakarta dengan cara consecutive sampling. Pada subjek dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pengambilan sisik dari kulit kepala, kemudian ditumbuhkan pada CHROMagar Malassezia, sub kultur pada agar SDA, Tween-60-esculin, dan reaksi katalase. Hasil : Dari 59 spesimen dengan kultur positif, terdapat 72,1 SP dengan DS ringan dan 27,7 dengan DS sedang-berat. Distribusi M.globosa sebesar 52,1 , M.dermatis 23,2 , M.japonica 7,2 , M.pachydermatis 7,2 , M.sympodialis 2,8 , serta M.obtusa dan M.furfur masing-masing 1,4 dari total 69 isolat. Terdapat 4,3 isolat yang tidak teridentifikasi. Tidak didapatkan hubungan antara derajat keparahan DS dengan spesies Malassezia. Simpulan: M.globosa merupakan spesies Malassezia terbanyak yang diidentifikasi pada pasien DS di Indonesia. Perbedaan hasil dengan negara lain diduga terjadi akibat perbedaan cara identifikasi dan lokasi geografis. Spesies Malassezia tidak mempengaruhi tingkat keparahan DS.

ABSTRACT
Background Malassezia sp. plays an important role in the pathogenesis of seborrheic dermatitis SD . In some countries, M. restricta and M. globosa are considered the predominant organisms on SD scalp. There is no data about Malassezia sp. in Indonesian SD scalp and its relationship with severity of illness. Objective To identify the distribution of Malassezia sp. of SD scalp and correlation between severity of SD with the Malassezia sp. Methods This cross sectional study conducted in Jakarta, using consecutive sampling. Anamnesis, clinical examination, and scrapping from the scalp were done to subject. Scales inoculated on CHROMagar Malassezia, Saboraud Dextrose Agar SDA , Tween 60 esculin agar, and catalase reaction.Results There were 72,1 mild SD and 27,7 moderate to severe SD. M.globosa was identified in 52,1 , M.dermatis in 23,2 , M.japonica in 8,7 M.pachydermatis in 7,2 , M.sympodialis 2,8 , while M.obtusa and M.furfur contributes 1,4 out of 69 isolates from 59 specimens with positive cultures. There is 4,3 unidentified isolates. Malassezia species was not related to severity of SD. Conclusion M.globosa is the predominant Malassezia species in Indonesian SD patients. This difference may be attributable to the identification techniques and geographical differences. Malassezia species not related to severity of SD."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Wydya Yenny
"ABSTRAK
Penyebab PV adalah Malassezia spp. atau disebut juga Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ova/a, merupakan jamur serupa ragi yang bersifat saprofit, dalam kondisi tertentu berubah menjadi bentuk miselium yang bersifat patogen. Dalam hal kesembuhan, PV prognosisnya baik tetapi masalah utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Tingkat kekambuhan pada tahun pertama setelah pengobatan 60% dan pada tahun kedua setelah pengobatan 80%. Hal ini terjadi karena Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit, kadang terdapat lebih dalam pada folikel rambut, selain itu juga karena faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Berbagai faktor yang berperan pada penyakit ini antara lain faktor lingkungan yang lembab dan panas, pakaian tertutup, genetik, hormonal, imunodefisiensi, kulit berlemak, malnutrisi, hiperhidrosis, pengobatan dengan kortikosteroid atau imunosupresan, dan penggunaan antibiotika jangka lama, serta pemakaian kontrasepsi oral. Faktor lingkungan yang berperan pada PV antara lain adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Kelembaban kulit dinilai dengan mengevaluasi skin capacitance (SC) dan transepidermal water loss (TEWL). Pada kulit normal SC dan TEWL seimbang, pada kulit lembab SC meningkat sedangkan TEWL berkurang. Pada pasien PV diduga kelembaban kulit tinggi.
Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai hubungan PV dengan kelembaban kulit. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat membantu memberikan asupan dalam penatalaksanaan PV.
Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit. Pada kondisi tertentu bentuk ragi berubah menjadi bentuk miselia yang memberi gambaran Minis PV. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah kelembaban kulit yang tinggi, yang dicerminkan oleh SC dan TEWL.
Perumusan masalah
Apakah ada perbedaan skin capacitance dan transepidermal water loss kulit non-lesi pasien pitiriasis versikolor dengan non-pitiriasis versikolor?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julia R.D. Nizam
"UKSA metode Sabroe dinyatakan positif bila diameter edema akibat penyuntikan serum lebih besar atau sama dengan 1,5 mm dibandingkan dengan diameter edema akibat penyuntikan satin, dan eritema akibat penyuntikan serum sewama dengan eritema akibat penyuntikan histamin. Dengan menggunakan kriteria tersebut, sensitivitas berkisar 65-71 %, dan spesifisitas mencapai 78-81 %.
RW Soebaryo (2002) dengan menggunakan metode tanpa kontrol positif (histamin), melaporkan angka kepositivan UKSA pada 31 pasien dari 127 pasien UK (24,4%). Penulis akan meneliti prevalensi kepositivan UKSA pada pasien UK dengan menggunakan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang dapat rnemberi hasil sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat diperoleh angka morbiditas UA di antara pasien UK secara tepat.
PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
a. Penyebab UK sebagian besar (50-80 %) tidak diketahui (UKI). Sekitar 50% pasien UKI temyata memiliki etiologi autoimun. Untuk membuktikan etiologi autoimun dapat dilakukan pemeriksaan UKSA metode Sabroe yang memberikan angka sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi autoantibodi dalam serum pasien.
b. Gambaran klinis pasien yang memiliki autoantibodi fungsional cenderung lebih parah dibandingkan dengan pasien tanpa autoantibodi.
PERTANYAAN PENELITIAN
a. Berapakah angka kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK di Departemen IKKK RSCM ?
b. Apakah terdapat perbedaan keparahan klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif ?
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui prevalensi kepositivan UKSA metode Sabroe pada pasien UK.
2. Menilai dan membandingkan gambaran klinis antara pasien UK dengan UKSA positif dan pasien UK dengan UKSA negatif."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T 21445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sa`da Barira
"Akne vulgaris (AV) adalah suatu penyakit peradangan kronik folikel pilosebasea dengan gambaran klinis berupa komedo, papul, pustul, nodus, kista, dan jaringan parut. Akne vulgaris merupakan masalah kulit tersering di dunia dan dapat mengenai 85% orang pada kelompok usia 12-24 tahun.2 Walaupun AV bukan merupakan penyakit yang mengancam jiwa serta sebagian besar dapat mengalami resolusi spontan, namun AV dapat menimbulkan gejala sisa berupa jaringan parut yang akan membuat pasien merasa tidak percaya diri, marah, bahkan depresi.
Berdasarkan data rekam medis Paliklinik Divisi Dermatologi Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (IKKK RSCM), terdapat kenaikan insidens AV tipe ringan dari 18,11% pada tahun 2003 menjadi 38,26% pada tahun 2004, AV tipe sedang 28,45% tahun 2003 menjadi 50% tahun 2004, dan AV tipe berat dari 4,23% pada tahun 2003 menjadi 9,14% pada tahun 2004.
Sampai saat ini etiologi AV belum diketahui.3.7 Beragam faktor diduga sebagai etiologi penyakit ini.8 Akne vulgaris merupakan penyakit multifaktorial yang gambaran klinisnya bergantung pada interaksi banyak faktor.9 Empat faktor kunci yang diduga berperan dalam patogenesis AV adalah hiperproliferasi dan hiperkeratinisasi folikular, peningkatan produksi sebum, proliferasi mikroorganisme serta proses inflamasi.
Mikroorganisme yang diduga terlibat dalam patogenesis AV adalah Propionibacterium aches (PA), Staphylococcus epidermidis (SE), dan Malassezia furfur (MF). Propionibactenum acnes merupakan mikroorganisme yang paling dominan dan berperan penting menimbulkan inflamasi pada AV dengan menghasilkan enzim dan faktor kemotaktik serta dapat menstimulasi aktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif. Proporsi kepositivan kuman PA pada pasien AV tipe sedang dan berat sampai saat ini belum diketahui.
Pemberian antibiotik oral bertujuan untuk menurunkan jumlah PA serta menurunkan produksi enzim dan faktor kemotaktik oleh PA, sehingga menurunkan kemungkinan terjadi inflamasi. Antibiotik juga dapat berperan sebagai anti-inflamasi. Antibiotik oral biasanya diberikan pada pasien AV tipe sedang dan berat menurut kiasifikasi yang diadopsi oleh Regional Consensus on Acne Management pada tahun 2003 di Ho Chi Minh City dari artikel yang ditulis Lehmann dkk. (2002). Beberapa antibiotik oral yang digunakan dalam terapi AV adalah tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, azitromisin, doksisiklin, minosiklin, siprofloksasin serta kotrimoksasoi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suri Nurharjanti Harun
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Iman
"Dermatitis Seboroik DS merupakan kelainan inflamatorik kronik pada kulit dengan karakteristik plak eritematosa dan skuama kekuningan berminyak pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea, termasuk kulit kepala. DS umum terjadi pada 1-5 populasi dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup. Sekresi sebum, yang merupakan salah satu faktor DS, memiliki laju yang bervariasi sesuai dengan usia seseorang di mana mencapai puncak pada tiga bulan pertama kehidupan, masa pubertas, dan usia dewasa 30-60 tahun.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui korelasi usia dan skor keparahan DS. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dan mendapatkan sampel dengan metode consecutive sampling sebanyak 87 pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Usia diukur berdasarkan tanggal lahir pada kartu identitas dan skor keparahan DS diukur menggunakan seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Berdasarkan uji normalitas data dan uji korelasi Spearmann yang dilakukan, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa korelasi usia dan skor keparahan DS tidak signifikan p=0,495 ; r=0,074. Rerata usia dalam median yaitu 29,25 12,67-69,75 tahun, sedangkan rerata skor keparahan DS dalam median yaitu 2,25 0,25-21.

Seborrhoeic Dermatitis DS is a chronic inflammatory disorder on skin characterized by erythematous plaque and oily yellowish scales in areas of body with high sebaceous glands, including the scalp. DS occurs in 1-5 of the population and causes negative impact to quality of life. Sebum secretion, one of DS factors, has varrying rates according to age of a person, where the peak incidence is in first three months of life, puberty, and adult age 30 60 years.
Purpose of this study was to know the correlation between age and DS severity score. In this cross sectional study, consecutive sampling method was used and total subjects were 87 patients of Poliklinik Kulit dan Kelamin RSCM. Age was obtained based on date of birth on identity card and DS severity score was measured by seborrheic dermatitis area severity index SDASI.
Based on normality test and Spearmann test which had been done, the result showed that there was no significant correlation between age and DS severity score p=0.495 ; r=0.074. Age in median was 29.25 12.67-69.75 years, while the mean DS severity score in the median was 2.25 0.25-21.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pitiriasis versikolor merupakan penyakit kulit yang menyerang lapisan tanduk kulit. Masyarakat luas menyebut penyakit ini panu. Penyebabnya adalah Malassezia furfur yang nerupakan flora normal pada kulit manusia. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui patogenitas jamur penyebab pitiriasis versikolor serta faktor-faktor yang menyulitkan pengobatan penyakit ini. Pengobatan pitiriasis versikolor seringkali gagal. Faktor penyebabnya antara lain cara pengobatan yang kurang tepat, adanya faktor predisposisi, atau timbul infeksi. "
MPARIN 8 (1-2) 1995
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Thania Deslanthy
"Dermatitis seboroik adalah inflamasi kronik dan superfisial yang bertempatpredileksi di area kulit dengan kandungan sebum yang banyak. Sampai saat ini,berbagai penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui etiologi dan faktor yangmempengaruhi terjadinya dermatitis seboroik. Salah satu etiologi yang sering dikaitkan dengan kejadian dermatitis seboroik adalah kelenjar sebum. Produksi kelenjar sebum yang berlebih mempunyai kaitan dengan dermatitis seboroik. Pada penderita obesitas, aktivasi kelenjar sebasea akan mengalami peningkatan sehinggaterjadi produksi sebum yang berlebih. Sebum yang berlebihan tersebut dapat dicerna oleh jamur Malassezia spp pada kulit kepala sehingga menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang dapat merusak lapisan kulit, terjadi hiperproliferasi, dan kembali meningkatkan sekresi sebum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara indeks massa tubuh dengan skor keparahan dermatitis seboroik dikepala pada pasien Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang. Sejumlah 87 orang pasien DS yang memenuhi kriteria inklusi dantelah diseleksi dengan kriteria eksklusi dimasukan menjadi sampel penelitian dengan metode consecutive sampling. Pada pasien tersebut dilakukan pengukuran IMT dan pengukuran derajat keparahan dermatitis seboroik menggunakan Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan nilai median IMT pada pasien DS sebesar 24,24 16,65 ndash; 41,09 dan nilai median skor keparahan dermatitis sebesar 2,25 0,25-21. Melalui uji korelasi Spearmann, tidak didapatkan korelasi antara IMT dengan keparahandermatitis seboroik p = 0,545, r= -0.066.

Seborrheic dermatitis SD is a chronic and superficial inflammation that havepredilection area in high sebum containing skin. Nowadays, several studies hadbeen conducted to ascertain etiology and factors associatied with seborrheicdermatitis. One of the etiology is activity of sebum gland. The excessice sebumproduction may impact occurency of SD. In obesity patients, excessive sebumproduction occur due to increasing activities of sebaceous glands. In scalp,Malassezia spp will digest sebum, thereby producing unsaturated fatty acid. Thisunsaturated fatty acid can impair skin barrier, trigger hyperproliferation, and evenincrease sebum production.
This study was aimed to determine the correlation between Body Mass Index and Seborrheic Dermatitis Severity Scoring Index in Seborrheic Dermatitis Patient's Scalp at Dermato Venereology Outpatient Policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
This was cross sectional study. A total of 87 SD patients who met the inclusion criteria and selection using exclution criteria were recruited by consecutive sampling. Body mass index was measured in all patient. Severity of SD was measured using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. From 87 patients, the median of IMT was 24.24 16.65 41.09 and median of severity SD was 2.25 0.25 21.
The result from Spearmann correlation test showed that IMT has no correlation with scoring of SDseverity in scalp at Dermato Venereology outpatient policlinic dr Cipto Mangunkusumo Hospital p 0.545, r 0.066.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Widyasari
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Pioderma superfisialis (PS) masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia dengan jumlah kunjungan yang masih tinggi di Poliklinik
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PKK-RSCM). Saat ini
pengobatan topikal lini pertama adalah asam fusidat 2% sedangkan penggunaan
mupirosin 2% dibatasi. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan resistensi
terhadap asam fusidat 2% dan mupirosin 2%. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan efektivitas mupirosin 2% dengan asam fusidat 2% terhadap
kesembuhan klinis PS di PKK-RSCM.
Metode: Uji klinis acak buta ganda dilakukan terhadap 42 pasien PS usia 12-59
tahun di PKK-RSCM. Setelah pemeriksaan bakteriologis, setiap subjek
mendapatkan satu jenis krim antibiotik untuk dioleskan selama tujuh hari. Evaluasi
klinis didasarkan pada pengurangan luas lesi dan skala nyeri. Pemeriksaan biakan
dan resistensi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Universitas
Indonesia.
Hasil: Efektivitas krim mupirosin (kelompok M) adalah 83,3% dan krim asam
fusidat (kelompok AF) 40% (p=0,048), sedangkan persentase penurunan luas lesi
kelompok M sebesar 83,5% dan kelompok AF 60,7% (p=0,041). Tidak ditemukan
efek samping subjektif maupun objektif pada kedua kelompok. Pada biakan kuman,
54,8% sampel ditemukan 2 jenis kuman, jenis terbanyak adalah S.aureus dan
S.pyogenes. Sebagian besar S.aureus (78,8%, 75,8%) dan S.pyogenes (50%,94,4%)
memiliki kepekaan intermediet terhadap mupirosin 2% dan asam fusidat 2%.
Kesimpulan: Krim mupirosin 2% lebih efektif daripada krim asam fusidat 2%
terhadap PS.
Kata kunci: mupirosin 2%, asam fusidat 2%, kesembuhan klinis, luas lesi, skala
nyeri

ABSTRACT
Background and objectives: Superficial pyodermas (SP) are common health
problem in Indonesia with high incidence in the Dermatovenereology Outpatient
Clinic Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (DV-CMH). Current guidelines endorses
2% fusidic acid as the first line topical therapy, while 2% mupirocin is reserved for
certain condition. Past studies demonstrated increasing resistance to 2% fusidic acid
and 2% mupirocin. This study aims to compare the effectiveness of 2% mupirocin
and 2% fusidic acid in SP treatment in our institution.
Methods: A double-blind randomized controlled trial was conducted on 42 SP
patients aged 12-59 years old in DV-CMH. Following bacteriologic examination,
each subject received a random antibiotic cream for seven days. Clinical evaluation
was determined by reduction of lesion size and pain scale. Bacteriologic culture and
susceptibility test were performed in Clinical Microbiology Laboratory University
of Indonesia.
Results: The effectiveness in 2% mupirocin group (M) was 83,3% and in 2%
fusidic acid group (FA) 40% (p=0,048). Lesion size decrease was 83.5% in M group
and 60.7% in FA group (p=0,041). No side effects were observed in both treatment
groups. At the bacteria culture , 54.8 % of the samples found two types of bacteria,
most types are S.aureus and S.pyogenes. Most of S.aureus (78,8%, 75,8%) and
S.pyogenes (50%,94,4%) have an intermediate susceptibility to 2 % mupirocin and
2% fusidic acid.
Conclusion: The 2% mupirocin cream was more effective than 2% fusidic acid
cream in SP treatment.
Keywords: 2% mupirocin, 2% fusidic acid, clinical cure, lesion size, pain scale
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>