Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105656 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifda Suryati
"Asma merupakan salah satu penyakit alergi respiratorik kronis paling sering ditemukan pada anak dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di masyarakat. Prevalens asma pada anak bervariasi, di Amerika Serikat berkisar antara Penelitian di beberapa kota di Indonesia yang dilakukan antara tahun 1991-2002 mendapatkan prevalens asma pada anak berkisar antara 347,4%.
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan suatu pola yang berkesinambungan antara proses sensitisasi terhadap alergen dengan perkembangan dari perjalanan penyakit alergi yang dikenal dengan allergic march. Allergic march secara klinis berawal sebagai alergi kulit (dermatitis atopi) dan selanjutnya dengan bertambah usia menjadi alergi saluran napas (asma dan rinitis alergi).
Dermatitis atopi (DA) merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang paling umum ditemui pada anak dan manifestasi penyakit ini sering terlihat pada masa bayi. Prognosis DA biasanya baik tetapi penyakit ini merupakan salah satu risiko untuk menderita asma. Penelitian Cafarelli, dkk menemukan riwayat DA pada anak dengan asma sebesar 38% dan penelitian oleh Zimmerman, dkk 42,2%. Sepanjang pengetahuan penulis, prevalens riwayat dermatitis atopi pada anak dengan asma di Indonesia belum pemah diteliti maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui prevalensi riwayat dermatitis atopi pada anak dengan asma dan karakteristik pasien."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21357
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Halim
"Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak.
Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.
Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851).
Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.

Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak.
Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851).
Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R A Myrna Alia
"ABSTRAK
Beberapa dekade terakhir terjadi peningkatan prevalens penyakit alergi di berbagaibelahan dunia. Data prevalens asma, rinokonjungtivitis dan dermatitis atopik untuk anakusia 6-7 tahun di Indonesia adalah 2,8 , 3,6 dan 3,7 didapat dari penelitianInternational Study of Asthma and Allergies in Childhood ISAAC fase III di Bandungtahun 2002 sehingga dibutuhkan data prevalens terbaru. Penelitian ini ditujukan untukmendapatkan data prevalens asma, rinokonjungtivitis dan dermatitis atopik pada anak 6-7 tahun di kota Palembang sebagai bagian dari data nasional di Indonesia serta faktorfaktorlingkungan yang berhubungan. Studi deskriptif dengan desain potong lintangtelah dilakukan pada anak sekolah dasar SD kelas 1 usia 6-7 tahun yang tersebar di 96SD di Palembang dengan menggunakan instrumen kuesioner inti dan lingkunganISAAC. Sebanyak 4007 subjek memiliki data kuesioner inti yang lengkap dimasukkandalam perhitungan prevalens penyakit alergi, sedangkan 2045 subjek dengankelengkapan data kuesioner inti dan lingkungan dilakukan analisis untuk melihatadanya hubungan faktor lingkungan dan prevalens penyakit alergi. Prevalens asma,rinokonjungtivitis dan dermatitis atopik secara berturut-turut adalah 4,2 ,4,5 dan4,4 . Analisis multivariat menunjukkan bahwa dengan faktor lingkungan yangberhubungan dengan asma adalah penggunaan parasetamol 12 bulan terakhir palingtidak sebulan sekali [p=0,007; RO=5,10 IK95 1,56-16,73 ] dan frekuensi menontonTV 3-5 jam [p=0,014; RO=3,09 IK95 1,26-7,60 ]. Faktor lingkungan yangberhubungan dengan asma berat adalah frekuensi truk dan bus melintas hampirsepanjang hari [p=0,004; RO=3,25 IK95 1,45-7,26 ] dan ibu merokok tahun pertamakehidupan anak [p=0,027; RO=4,00 IK95 1,17-13,72 ]. Prevalens rinokonjungtivitisberhubungan dengan pajanan antibiotik pada tahun pertama kehidupan [p=0,003;RO=1,94 IK95 1,25-3,03 ], pajanan hewan ternak pada tahun pertama kehidupan[p=0,009; RO=2,08 IK95 1,20-349 ], frekuensi truk dan bus melintas hampirsepanjang hari [p=0,013; RO=1,94 IK95 1,15-3,27 ] dan penggunaan parasetamol 12bulan terakhir paling tidak sebulan sekali [p=0,008; RO=4,99 IK95 1,52-16,41 ].Dermatitis atopik berhubungan dengan pajanan antibiotik pada tahun pertamakehidupan [p=0,013; RO=1,71 IK95 1,12-2,62 ] dan frekuensi makan sayur ge;3 kaliseminggu [p=0,004; RO=0,47 IK95 0,28-0,79 ]. Prevalens penyakit alergi pada anakusia 6-7 tahun di Palembang ternyata tidak begitu berbeda dengan data prevalensISAAC fase III di Bandung. Faktor-faktor lingkungan yang secara bermaknaberhubungan dengan penyakit alergi perlu diteliti lebih lanjut untuk diteliti pengaruhnyaterhadap kejadian penyakit alergi.ABSTRACT
In recent decade, prevalence of allergic disease is increasing worldwide. The Indonesianprevalence of asthma, allergic rhinoconjunctivitis and atopic dermatitis in 6 7 years oldgroup were 2,8 , 3,6 , and 3,7 respectively. These data were derived from phasethree International Study of Asthma and Allergies in Childhood ISAAC conducted 15years ago 2002 in Bandung. Studies to determine latest prevalence of allergic diseasesin Indonesia are in order. Our study aimed to determine the prevalence of asthma,allergic rhinoconjunctivitis and atopic dermatitis in Palembang as a part of our nationaldata and their association with environmental factors. This cross sectional study usingISAAC core and environmental questionnaire was conducted in 96 primary school inPalembang. The eligible subjects were 6 7 years old first grader. Four thousand andseven subjects with complete core questionnaire data were included in prevalencecalculation whereas 2045 subjects with complete core and environmental questionnairedata were included in bivariate and multivariate analysis. Prevalence of asthma, allergicrhinoconjunctivitis and atopic dermatitis were 4,2 , 4,5 and 4,4 respectively. Thecurrent use of paracetamol at least once a month p 0,007 OR 5,10 95 CI 1,56 16,73 and duration of TV viewing 3 5 hours a day p 0,014 OR 3,09 95 CI1,26 7,60 were associated with increased risk of asthma. High frequency of truck traffic p 0,004 OR 3,25 95 CI 1,45 7,26 and maternal smoking in the child rsquo s first yearof life p 0,027 OR 4,00 95 CI 1,17 13,72 were associated with increased risk ofsevere asthma. Factors associated with increased risk of allergic rhinoconjunctivitiswere early antibiotic exposure p 0,009 OR 2,08 95 CI1,20 349 , early farmanimal exposure p 0,009 OR 2,08 95 CI 1,20 349 , high frequency of trucktraffic p 0,013 OR 1,94 95 CI 1,15 3,27 , and current use of paracetamol at leastonce a month p 0,008 OR 4,99 95 CI 1,52 16,41 . Early antibiotic exposure p 0,013 OR 1,71 95 CI1,12 2,62 was associated with increased risk of atopicdermatitis whereas frequent consumption of vegetable ge 3 times a week was inverselyassociated with atopic dermatitis p 0,004 OR 0,47 95 CI 0,28 0,79 . Prevalenceof allergic disease in children 6 7 years old group in Palembang are similar to previousprevalence data from ISAAC phase III. Further study to determine the associationbetween these environmental factors and prevalence of allergic disease is required."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Molly Dumakuri Oktarina
"Latar belakang: Dermatitis atopik DA merupakan penyakit inflamasi kulit kronik tersering pada anak terutama pada bayi. Salah satu faktor yang berperan pada DA adalah terjadinya defek pada sawar kulit. Pemakaian pelembab pada DA merupakan komponen kunci pada perawatan dasar kulit.
Tujuan: Mengetahui efek pemakaian pelembab untuk mencegah terjadinya dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat penyakit alergi keluarga.
Metode: Penelitian uji klinis terkontrol dengan alokasi random yang dilaksanakan di RSIA Budi Kemuliaan, Jakarta selama periode Mei 2015 ndash; Mei 2016.
Hasil: Subyek terdiri dari 44 bayi kelompok perlakuan yang mendapat pelembab dan 35 bayi kelompok kontrol. Sebanyak 24 subjek lost to follow up selama pemantauan 6 bulan. Bayi kelompok kontrol lebih cepat mengalami DA dibanding kelompok perlakuan median waktu 2 bulan vs 4 bulan; hazard ratio 13,01; p=0,02 IK 95 = 1,50-112,94 . Analisis statistik perbedaan efek pelembab kelompok kontrol dan perlakuan adalah p=0,138; RR=2,26 0,83 ndash;6,14.
Simpulan: Secara analisis statistik tidak ada perbedaan efek pelembab untuk mencegah dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat penyakit alergi keluarga di Jakarta, Indonesia antara kelompok yang tidak menggunakan pelembab dan kelompok yang menggunakan pelembab.Walaupun demikian, waktu kejadian dermatitis atopik pada kelompok yang tidak menggunakan pelembab lebih cepat dibanding kelompok yang menggunakan pelembab. Kata kunci: dermatitis atopik, bayi baru lahir, pelembab

Background: Atopic dermatitis AD is the most common chronic inflammatory skin disease in children particularly in baby. Skin barrier deffect is one of the important factor in AD. Application of moisturizer is a key in basic skin treatment.
Objective: To investigate the effect of moisturizer to prevent atopic dermatitis AD in high risk baby for AD history of AD in parent or siblings.
Methods: We performed a clinical trial with allocation random in RSIA Budi Kemulian Jakarta on May 2015 May 2016.
Result: Forty four babies were allocated in moisturizer group and 35 babies in control group. There were 24 subjects were lost to follow up in 6 months period. Subjects in control group developed AD earlier compared to those of in moisturizer group median time 2 months vs 4 months hazard ratio 13.01 p 0,02 95 CI 1.50 112.94 . Statistical analysis in incidence of AD between two groups is p 0.138 RR 2.26 0.83 ndash 6.14.
Conclusion: There were no statistically difference in incidence of AD after 6 months follow up between moisturizer and control group but AD developed earlier in control group compared to moisturizer group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Widowati Soebaryo
"ABSTRAK
TUJUAN (1) Menentukan peningkatan risiko terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K; (2) Menetapkan gejala Minis DA-K tertentu yang berperan pada perkembangan DA-K menjadi DK-T dan dipengaruhi oleh faktor imunogenetik HLA kelas I; (3) Menetapkan efek imunitas selular disertai dengan peningkatan kadar IgE yang mempengaruhi perkembangan DA-K menjadi DK-T; (4) Menetapkan jenis HLA kelas I tertentu yang menentukan peningkatan derajat risiko terjadinya DK-T; (5) Menentukan derajat sakit DK-T pada individu dengan DA-K sebagai akibat pajanan oleh deterjen.
TEMPAT PENELITIAN Berbagai lokasi di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo; Makmal Terpadu RSCM-FKUI; Labotratorium Transplantasi Makmal Terpadu RSCM-FKUI.
SUBJEK PENELITIAN Pekerja kebersihan lantai (PKL)
RANCANGAN PENELITIAN Merupakan penelitian analitik dengan (A) membandingkan pengaruh faktor intrinsik yang terdiri atas faktor individu, faktor imunogenetis, dan faktor imunologis pada responden dengan (DA-K(+)) terhadap responden (DA-K(-)) yang terpajan deterjen untuk terjadinya DK-T. Desain yang diterapkan ialah studi kasus kontrol; (B) melakukan pengamatan selama 5 bulan terhadap sejumlah responden (yang bekerja kurang dari 2 bulan) terhadap perkembangan patogenesis DA-K menjadi DK-T akibat pajanan dengan deterjen. Desain yang diterapkan ialah studi longitudinal prospektif (terbatas).
HASIL Diantara 220 PKL yang memenuhi syarat, sebanyak 136 menderita DK-T. (1)
Pada lingkup gejala klinis didapatkan DA-K merupakan faktor risiko intrinsik terjadinya DK-T, peningkatan skor DA-K diikuti oleh peningkatan skor DK-T dengan korelasi cenderung linear. Ditemukannya riwayat atopi pada diri maupun keluarga berupa asma bronkial dan rinitis alergik merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T, sedangkan adanya riwayat dermatitis atopik meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Keratosis pilaris, hiperlinearitas palmaris, dan xerosis merupakan gejala Minis primer DA-K yang meningkatkan risiko terjadinya DK-T. (2) Pada lingkup faktor imunologis didapatkan peningkatan kadar IgE dalam serum pada kadar yang lebih rendah sebagai akibat pajanan dengan antigen lingkungan pada kelompok kasus. Sel Th CD3+CD4+ dan rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ CD3+CD8+), serta sel NK (CDI6+CD56+) berperan pada derajat sakit DK-T. Se! MC (CD 16+CD56+) teraktivasi oleh sitokin yang dikeluarkan keratinosit sebagai akibat kerusakan sawar kulit oleh deterjen, (3) Pada lingkup faktor imunogenetis didapatkan temuan HLA-B15 lebih banyak pada kontrol dengan nilai p < 0.05 dan RR < 1; terlihat kecenderungan bersifat protektif dengan fraksi etiologik sebesar 60 %. HLAB53 didapatkan pada derajat sakit berat sehingga diperkirakan merupakan petanda untuk derajat sakit berat pada DK-T.
(4) Lingkup faktor risiko ekstrinsik mendapatkan waktu pajanan ? 2jam/hari meningkatkan risiko terjadinya DK-T. Perbedaan derajat sakit DK-T lebih terlihat pada pH < 10, dan peningkatan pH menaikkan risiko terjadinya DK-T. (5) Analisis studi diagnostik menggunakan uji McNemar menunjukkan xerosis merupakan prediksi Minis terjadinya DK-T dengan sensitivitas 40 % dan spesifisitas 70 %, dan HLA-B15 berperan sebagai faktor proteksi. (6) Pengamatan longitudinal prospektif terbatas yang dilaksanakan selama 5 bulan terhadap responden baru yang bekerja < 2 bulan menemukan bahwa seluruh responden menderita DK-T pada akhir pengamatan. Responden DA-K(+) mempunyai kecendrungan menderita DK-T lebih awal dibandingkan dengan responden DA-K(-).
KESIMPULAN (I) Sesuai dengan peningkatan skor atopi yang diikuti dengan peningkatan skor DK-T, maka dapat disimpulkan bahwa DA-K merupakan risiko intrinsik untuk terjadinya DK-T (2) beberapa gejala klinis primer meningkatkan risiko terjadinya DK-T, terutama riwayat pemah menderita dermatitis atopik pada diri atau keluarga dan ditemukannya xerosis kutis karena xerosis akan menyebabkan kerusakan sawar kulit sehingga mempermudah masuknya bahan iritan ke dalam kulit (3) sel Th CD4+, rasio sel Th : Ts (CD3+CD4+ 1 CD3+CD8+), dan sel NK (CD16+CD56+) meningkatkan risiko terjadinya DK-T derajat berat. Kerusakan sawar kulit akan mengaktifkan sel NK(CD16+CD56+) sebagai respons terhadap sitokin yang diproduksi akibat kerusakan keratinosit (4) HLA-B15 merupakan faktor proteksi untuk terjadinya DK-T dan HLA-B53 cenderung merupakan petanda untuk menderita DK-T berat (5) xerosis kutis dapat berperan sebagai prediktor Minis untuk terjadinya DK-T pada individu dengan DA-K (6) pajanan deterjen bersifat basa yang terjadi ? 2 jam/hari dalam waktu 5 bulan menyebabkan DK-T pada seluruh responden yang bekerja tanpa alat pelindung dengan kecenderungan menderita DK-T lebih awal pada responden DA-K(+) dibandinglcan dengan responden DA-K(-).

ABSTRACT
TITLE Clinical prediction of hand dermatitis in person with atopic skin diathesis
PURPOSE To identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors of the pathogenesis of hand dermatitis
SETTING Several different parts of Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Makmal and Tranplantation Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta.
STUDY SUBJECTS Cleaning service workers
METHODS An analytical study comprises of two parts have been conducted as follows : (1) Case-control study to identify the role of intrinsic and extrinsic risk factors in the pathogenesis of hand dermatitis (2) Limited longitudinal (prospective) study was performed among workers who have done the work less than 2 month, to find out the immunopathogenesis of hand dermatitis in persons with atopic skin diathesis.
The clinical sign of atopic skin diathesis consisted of the history of atopic diseases in oneself or history in the family, pityriasis alba, Dennie-Morgan line, Hertoghe sign, kheilitis, keratosis pilaris, food intolerance, palmar hyperlinearity, white dermographism, xerosis, and reduce itch threshold were evaluated to found out the clinical risk factors.
Immunological factors such as IgE in the blood was examined by Micro particle Enzyme Immunoassay (META) and cellular immunity by flow-cytometry was preformed at the Makmal Laboratory, Faculty of Medicine of the University of Indonesia, Jakarta. Immunogenetic factors such as HLA type I was examined by microlymphocytotoxicity at the Makmal Transplantation Laboratory, Medical Faculty of the University of Indonesia, Jakarta. Statistical analysis was performed mostly with the chi-square method.
RESULTS Two hundred twenty out of 241 cleaning service workers were involved in this study. Ninety four out of 136 who suffered from hand dermatitis were recruited as the case and 84 workers who were normal (without hand dermatitis) served as the control group. (1) Atopic skin diathesis was proved as an intrinsic risk factor for hand dermatitis in the case-control study conducted. Keratosis pilaris, kheilitis, hiperkeratosis palmaris, and xerosis were found significantly as the intrinsic risk factors for hand dermatitis by using the multivariate analysis. (2) Statistical analysis of the immunological factors stated that T lymphocyte CD3+ and Natural Killer cell were proven to be the immunological risk factors for hand dermatitis. Keratinosit, after exposed to irritant, produced and released different kinds of cytokine, - included epidermal derived natural killer cell activating factor, which could activate Natural Killer cells. Increasing value of the blood IgE was observed with the mean value higher in the case group than in the control group (by using the one-sided t test) with the p value < 0.05 after the logarithmic transformation. (3) Statistical analysis of the immunogenetic factor revealed HLA-B 15 was found higher in the control group than in the case group with p value 0.022 assuming a protective factor (OR < 1) for hand dermatitis with a high (60%) etiologic fraction.
(4) Exposure time ? 2 hours/day was statistically significant as an extrinsic risk factor for hand dermatitis. Low pH (< 10) clearly showed the difference between the severe and the mild form of hand dermatitis. (5) Longitudinal study with 5 month observation period consisted of 18 cleaning service workers entering the job less than 2 month, resulted in hand dermatitis for all workers by the end of the observation period. (6) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis.
CONCLUSION: (1) Atopic skin diathesis was found to be an intrinsic risk factor for hand dermatitis (2) Kheilitis, keratosis pilaris, hiperlinearis palmans, and xerosis were clinical risk factors for hand dermatitis (3) T cell CD3+ and NK cell CD16+CD56+ were the immunological risk factors for hand dermatitis (4) the immunogenetic risk factors showed that HLA-B 15 was considered having a protective role and HLA-B53 was considered as the sign of the severe from of hand dermatitis (5) Xerosis cutis could be considered as the clinical predictor for hand dermatitis in person suffering from atopic skin diathesis (6) longitudinal prospective study revealed that all the newly-working workers (less then 2 month starting the work) by the end of 5 month observation period suffered from hand dermatitis with the tendency that hand dermatitis appeared earlier in person with atopic skin diathesis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
D382
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
616.51 DER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Agung Ngurah Sugitha Adnyana
"Latar Belakang: Bayi berat lahir rendah(<2500 gram) atau prematur merupakan salah satu kondisi bayi risiko tinggi. Keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif merupakan salah satu gangguan yang sering dijumpai pada anak dengan riwayat berat lahir rendah/prematur. Bayi berat lahir rendah lebih sering disertai dengan kondisi medis yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan.
Tujuan: Mendapatkan prevalens dan faktor risiko keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak usia 12-18 bulan dengan riwayat berat lahir rendah.
Metode: Rancangan penelitian adalah potong lintang untuk menilai perkembangan bahasa dan kognitif dengan menggunakan alat skrining Capute scales pada anak usia 12-18 bulan yang mempunyai riwayat berat lahir rendah. Sampel diambil secara konsekutif di poliklinik anak RSUP Sanglah Denpasar, Agustus 2015-April 2016.
Hasil Penelitian: Subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini sebanyak 160 orang. Usia rerata subyek adalah 15,69 (SB 2,19) bulan. Prevalens keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak dengan riwayat berat lahir rendah sebesar 28,1%. Analisis multivariat didapatkan berat lahir <1500 gram merupakan faktor risiko terjadinya keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif (visio-motor) sebesar 10,2 kali lebih banyak dibandingkan berat lahir 1500-<2500 gram (RP 10,260; IK95% 2,265-46,478; P 0,003).
Simpulan: Prevalens keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif pada anak usia 12-18 bulan dengan riwayat berat lahir rendah sebesar 28,1%. Bayi berat lahir <1500 gram sebagai faktor risiko keterlambatan perkembangan bahasa dan kognitif.

Background: Low birth weight (LBW) (<2500 g) or premature baby is one of thehigh-risk conditions. Language and cognitive developmental delay is one of the disorders are often found in children with low birth weight/preterm. Infant with low birth weight more frequently accompanied by a medical condition that affects growth and development.
Objective: To find the prevalence and risk factors of language and cognitive developmental delay in children aged 12-18 months with low birth weight.
Methods: A cross-sectional study design was to assess language and cognitive development by using Capute scales screening tool in children aged 12-18 months who have low birth weight. Samples are taken consecutively in a child outpatient clinic Sanglah Hospital Denpasar, August 2015-April 2016.
Results: Subjects who meet the inclusion and exclusion criteria in the study of 160 people. The average age of the subjects was 15.69 (SD 2.19) months. Prevalence of language and cognitive developmental delay in children with low birth weight was 28.1%. On multivariate analysis, obtained birth weight <1500 g is a risk factor for language and cognitive (visio-motor) developmental delay of 10.2 times more often than the birth weight 1500 to <2500 g (PR 10.260; 95%CI from 2.265 to 46.478; P 0.003).
Conclusions: The prevalence of language and cognitive developmental delay in children aged 12-18 months with low birth weight is 28.1%. Birth weight <1500 g is risk factor of language and cognitive developmental delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadianty
"[ABSTRAK
Tujuan Menganalisis peran riwayat atopi pada keluarga terhadap risiko kejadian alergi obat Metode Penelitian kasus kontrol dengan menggunakan data retrospektif pasien rawat inap dan rawat jalan Divisi Alergi dan Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2012 hingga 2014 yang didiagnosis alergi obat Kelompok kontrol adalah anak yang berdasarkan anamnesis tidak pernah mengalami alergi obat dengan usia dan diagnosis utama yang sama dengan subjek Hasil Sebanyak 29 38 2 dari 76 subjek yang mengalami alergi obat memiliki riwayat atopi pada keluarga dan hanya terjadi pada 16 subjek 21 1 pada kelompok kontrol OR 2 3 IK 95 1 13 4 75 Lima dari 6 kasus 83 3 dengan alergi obat berat sindrom Steven Johson nekrolisis epidermal toksik dan syok anafilaksis memiliki riwayat atopi dalam keluarga Riwayat atopi pada ibu merupakan faktor risiko yang dapat berpengaruh pada kejadian alergi obat OR 2 25 IK 95 1 01 5 087 Jika faktor perancu human imunodeffciency virus sepsis dan keganasan dikeluarkan terdapat 20 dari 46 pasien 43 5 anak dengan alergi obat memiliki riwayat atopi dalam keluarga sehingga masih terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat atopi pada keluarga dengan alergi obat walaupun dengan power penelitian yang lebih rendah Subjek yang memiliki penyakit atopi tidak memiliki risiko lebih tinggi terhadap kejadian alergi obat dibandingkan dengan subjek yang tidak memiliki penyakit atopi Simpulan Pada penelitian ini subjek dengan risiko atopi pada keluarga memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya alergi obat dibandingkan dengan anak non atopi Subjek dengan riwayat atopi pada ibu memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya alergi obat dibanding dengan riwayat atopi pada ayah dan saudara kandung Kata kunci alergi obat riwayat atopi keluarga faktor risiko ABSTRACT Objective To analyze the role of atopy in the family in child with drug allergyMethods A case control study using retrospective data of inpatient and outpatient clinic Allergy and Immunology Division at Child Health Departement and Dermatovenereology Departement Control group were children who have never experienced drug allergy matched for age and primary diagnosis with the subjectResults A total of 29 subjects 38 2 of 76 patients with drug allergies have family history of atopy compared to 16 subjects 21 1 in the control group OR 2 3 95 CI 1 13 to 4 75 Five in 6 cases with severe drug allergy Steven Jhonson syndrome necrolysis epidermal toxic and anaphylactic shock had a family history of atopy Mother rsquo s atopy plays more important role OR 2 25 95 CI 1 01 to 5 087 compare to father rsquo s and sibling rsquo s atopy After all of confounding factors human immunodeficiency virus sepsis and malignancy were taken out there were 20 in 46 43 5 pasien with drug allergy have family history of atopy so the corelation between history atopy in family still found but power of study decreased Atopy subject were not in a greater risk of drug allergy compare with non atopy subject Conclusions In this study subject with family history of atopy were at greater risk for drug allergy compared to non atopic children Children with a history of atopy mothers have a higher risk for the occurrence of drug allergy history of atopy compared with the father and sibling Keywords drug allergy atopic family history risk factors;Objective To analyze the role of atopy in the family in child with drug allergyMethods A case control study using retrospective data of inpatient and outpatient clinic Allergy and Immunology Division at Child Health Departement and Dermatovenereology Departement Control group were children who have never experienced drug allergy matched for age and primary diagnosis with the subjectResults A total of 29 subjects 38 2 of 76 patients with drug allergies have family history of atopy compared to 16 subjects 21 1 in the control group OR 2 3 95 CI 1 13 to 4 75 Five in 6 cases with severe drug allergy Steven Jhonson syndrome necrolysis epidermal toxic and anaphylactic shock had a family history of atopy Mother rsquo s atopy plays more important role OR 2 25 95 CI 1 01 to 5 087 compare to father rsquo s and sibling rsquo s atopy After all of confounding factors human immunodeficiency virus sepsis and malignancy were taken out there were 20 in 46 43 5 pasien with drug allergy have family history of atopy so the corelation between history atopy in family still found but power of study decreased Atopy subject were not in a greater risk of drug allergy compare with non atopy subject Conclusions In this study subject with family history of atopy were at greater risk for drug allergy compared to non atopic children Children with a history of atopy mothers have a higher risk for the occurrence of drug allergy history of atopy compared with the father and sibling Keywords drug allergy atopic family history risk factors;Objective To analyze the role of atopy in the family in child with drug allergyMethods A case control study using retrospective data of inpatient and outpatient clinic Allergy and Immunology Division at Child Health Departement and Dermatovenereology Departement Control group were children who have never experienced drug allergy matched for age and primary diagnosis with the subjectResults A total of 29 subjects 38 2 of 76 patients with drug allergies have family history of atopy compared to 16 subjects 21 1 in the control group OR 2 3 95 CI 1 13 to 4 75 Five in 6 cases with severe drug allergy Steven Jhonson syndrome necrolysis epidermal toxic and anaphylactic shock had a family history of atopy Mother rsquo s atopy plays more important role OR 2 25 95 CI 1 01 to 5 087 compare to father rsquo s and sibling rsquo s atopy After all of confounding factors human immunodeficiency virus sepsis and malignancy were taken out there were 20 in 46 43 5 pasien with drug allergy have family history of atopy so the corelation between history atopy in family still found but power of study decreased Atopy subject were not in a greater risk of drug allergy compare with non atopy subject Conclusions In this study subject with family history of atopy were at greater risk for drug allergy compared to non atopic children Children with a history of atopy mothers have a higher risk for the occurrence of drug allergy history of atopy compared with the father and sibling Keywords drug allergy atopic family history risk factors, Objective To analyze the role of atopy in the family in child with drug allergyMethods A case control study using retrospective data of inpatient and outpatient clinic Allergy and Immunology Division at Child Health Departement and Dermatovenereology Departement Control group were children who have never experienced drug allergy matched for age and primary diagnosis with the subjectResults A total of 29 subjects 38 2 of 76 patients with drug allergies have family history of atopy compared to 16 subjects 21 1 in the control group OR 2 3 95 CI 1 13 to 4 75 Five in 6 cases with severe drug allergy Steven Jhonson syndrome necrolysis epidermal toxic and anaphylactic shock had a family history of atopy Mother rsquo s atopy plays more important role OR 2 25 95 CI 1 01 to 5 087 compare to father rsquo s and sibling rsquo s atopy After all of confounding factors human immunodeficiency virus sepsis and malignancy were taken out there were 20 in 46 43 5 pasien with drug allergy have family history of atopy so the corelation between history atopy in family still found but power of study decreased Atopy subject were not in a greater risk of drug allergy compare with non atopy subject Conclusions In this study subject with family history of atopy were at greater risk for drug allergy compared to non atopic children Children with a history of atopy mothers have a higher risk for the occurrence of drug allergy history of atopy compared with the father and sibling Keywords drug allergy atopic family history risk factors]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parmitasari
"Latar belakang. Saat pandemi COVID-19 terjadi, penderita asma dianggap memiliki peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19. Timbul pertanyaan apakah persiapan khusus terhadap kondisi klinis yang berat mungkin dibutuhkan bagi pekerja di lokasi terpencil. Objektif. Studi ini berusaha menjawab apakah terdapat peningkatan risiko perawatan intensif (Intensive Care Unit/ ICU) pada pekerja dengan COVID-19 yang memiliki riwayat asma. Metode. Pencarian literatur dilakukan melalui database PubMed, Scopus dan ProQuest, serta pencarian manual. Kriteria inklusi adalah tinjauan sistematis, studi kohort, studi retrospektif, studi cross sectional, COVID-19, asma, dan ICU. Kemudian dilakukan telaah kritis terhadap lietratur berdasarkan Center of Evidence-Based Medicine, Oxford University, Critical Appraisal for Prognostic Studies and Systematic Reviews. Hasil. Tiga studi tinjauan sistematis dan tiga studi kohort retrospektif ditemukan. Tinjauan sistematis oleh Sunjaya, et al. (2021) dan Husein, dkk. (2021), serta studi kohort retrospektif oleh Calmes, MD, et al. (2021) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada risiko perawatan di ICU untuk penderita asma dibandingkan non-asma (RR 1.19; CI 95%: 0.93 – 1.53; p= 0.16), (RR= 1.64, 95%CI = 0.67-3.97; p=0,27), dan (OR = 1,4 (95% CI = 0,64-3,2); p = 0,39). Tinjauan sistematis oleh Liu (2021), menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam prevalensi asma antara pasien ICU dan non-ICU (RR, 1,19; 95% CI, 0,92-1,54; P = 0,17; I2 = 48,6%;). Studi kohort oleh Choi, et al (2020) menunjukkan bahwa asma bukan merupakan faktor prediktif masuknya ICU pada pasien COVID-19 (OR 0,656 (95%CI= 0,295 – 1,440); nilai p =0,302). Sebaliknya, studi kohort oleh Jin, MMed, et.al (2020) menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan asma memiliki proporsi masuk ICU yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Kesimpulan. Pekerja COVID-19 dengan asma tidak memiliki risiko masuk ICU yang lebih tinggi.

Background. As the COVID-19 pandemic occurs, those with asthma were thought to have an increased risk of infection. Question arisen whether special preparation for severe clinical outcomes might be needed for remote site workers. Objective. The study sought to answer whether an increased risk of an ICU admission for COVID-19 patients among workers who have a history of asthma exist. Method. A literature search was conducted through PubMed, Scopus and ProQuest databases, as well as hand searched. The inclusion criteria were systematic review, cohort study, retrospective study, cross sectional study, COVID-19, asthma, and ICU. Then, they were critically appraised based on Center of Evidence-Based Medicine, Oxford University, Critical Appraisal for Prognostic Studies and Systematic Reviews. Result. Three systematic review studies and three retrospective cohort studies were found. Systematic reviews by Sunjaya, et al. (2021) and Hussein, et al. (2021), also retrospective cohort study by Calmes, MD, et al. (2021) showed no significant difference in risk requiring admission to ICU for asthmatic compared to non-asthmatic (RR 1.19; CI 95%: 0.93 – 1.53; p= 0.16), (RR= 1.64, 95%CI = 0.67-3.97; p=0.27), and (OR = 1.4 (95% CI = 0.64-3.2); p =0.39), respectively. Systematic review by Liu (2021), showed no significant difference in asthma prevalence between ICU and non-ICU patients (RR, 1.19; 95% CI, 0.92-1.54; P =0 .17; I2 = 48.6%;). Cohort study by Choi, et al (2020) showed asthma was not a predictive factor for ICU admission in COVID-19 patients (OR 0.656 (95%CI= 0.295 – 1.440); p value =0.302). Contrary, cohort study by Jin, MMed, et.al (2020) showed that COVID-19 patients with asthma had a higher proportion of ICU admission than those who do not have. Conclusion. COVID-19 workers with asthma does not have a higher risk of ICU admission."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>