Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98382 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zukhradi Setiawan
"Tesis ini mengambil tema tentang proses penyelesaian konflik politik antara RI dengan GAM melalui dialog. Konflik ini menarik diteliti lebih jauh untuk mengetahui mengapa konflik ini tidak kunjung usai, terutama sekali ketika konflik coba diselesaikan melalui pendekatan dialog. Adapun penelitian ini difokuskan terhadap kegagalan proses implementasi Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Faktor-Faktor apa saja sebenarnya yang menjadi penyebab kegagalan perjanjian.
Sejumlah teori digunakan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut meliputi teori konflik dan penyebabnya; resolusi konflik melalui bantuan pihak ketiga; teori konsensus; dan teori tentang integrasi nasional. Penelitian ini sendiri bersifat deskriptif analitis di mana data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) baik secara langsung maupun dengan mengirimkan pertanyaan kepada narasumber yang relevan dalam penelitian ini. Keseluruhan narasumber tersebut berjumlah 6 orang (2 orang dari pihak Indonesia, 3 orang dari pihak GAM, dan 1 orang dari HDC).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada empat faktor penyebab kegagalan CoHA. Pertama, karena GAM tetap ingin merdeka. Kedua, peran pihak ketiga yang tidak efektif Ketiga, ambiguitas kebijakan pemerintah pusat dalam penyelesaian konflik. Keempat, belum tercapainya konsensus antara pihak RI dan GAM.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini berdampak terhadap penguatan sejumlah besar teori yang digunakan kecuali terhadap teori integrasi nasional yang dirasakan perlu adanya penyempurnaan. Teori ini sebelumnya menyebutkan bahwa salah satu penyebab gerakan disintegrasi bangsa karena sentralisasi pemerintah pusat sehingga dibutuhkan kebijakan desentralisasi untuk meredam gerakan tersebut. Adapun bentuk penyempurnaan dari teori tersebut adalah dengan memberikan penjelasan lanjutan yang mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi baru akan berhasil meredam konflik apabila para pelaku kebijakan menjalankan secara sungguh-sungguh kebijakan desentraliasasi dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Dengan Cara seperti ini kemungkinan besar bibit-bibit disintegrasi bisa diredam.

This thesis brought the theme of the process of political conflict solution between Indonesia and GAM through dialogs. This conflict is interesting to be discussed further to know why this conflict continuous on, especially when this conflict is tried to be solve through dialog approach. This research focused on the failure of CoHA's, Cessation of Hostilities Agreement, implementation process. What factors became the cause of agreement failure.
Several theories were used in this research. These theories comprised of conflict and its cause theory; conflict resolution through third party assistance; consensus theory; and national integration theory. This research used descriptive analysis where the primary data collected through in-depth interview (both directly and sent the questioners) with relevant sources in this research, There were 6 people acted as sources (2 Indonesian actors, 3 GAM members, and I from HDC).
From this research finding, there were four causing factors contributed to CoHA failure. First, GAM still demand an independence. Second, the third party's role was not effective. Third, the ambiguity of central government's policy in solving the conflict. Fourth, there was no consensus reached between Indonesia and GAM.
The conclusion reached from this thesis' result affect the strengthening of majority theories being used except on the theory of national integration which needs a revision. This theory explained that government centralization is one of the main reasons why disintegration movement occurred; thus, decentralization policy is needed to force it down, The revision can be accomplished by adding a further explanation which argue that movement will be eliminated if the decentralization policy are implemented seriously, furnished with the accountability and transparency principles. Then the roots of disintegration can be forced down.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Zulkarnaen
"Dengan metode kualitatif, penelitian ini mengkaji permasalahan bagaimana dan mengapa Henry Dunant Centre (HDC) dapat terlibat untuk memfasilitasi penyelesaian konflik di Aceh antara Pemerintah Indonesia dan GAM serta menganalisa penyebab berbagai kegagalannya. Kecuali dalam konteks pembicaraan sejarah konflik di Aceh, penelitian ini mengambil periode mulai dari awal tahun 2000 sampai diberlakukannya status Darurat Militer di Aceh, Mei 2003. Dalam hubungan internasional, peran diplomasi resmi (official) atau diplomasi track one tidak selamanya berhasil dalam menyelesaiakan konflik, terutama konflik internal. Anarkisnya situasi konflik internal membuat diplomasi resmi sering mengalami frustrasi dalam menyelesaiakan kasus yang ada. Karena itu, konflik internal biasanya diselesaikan tidak melalui lembaga-lembaga resmi internasional tetapi oleh organisasi non pemerintah (NGO) yang dikenal sebagai un-official diplomay atau track two diplomacy. Fleksibilitas dan sifat netral membuat NGO lebih mudah terlibat dan diterima oleh semua pihak tanpa terikat pada protokoler atau ketakutan tiadanya pengakuan terhadap kedaulatan maupun legitimasi. Fokus konsentrasi NGO yang penuh terhadap masalah yang ia hadapi membuatnya lebih mampu memahami permasalahan yang ada dan relatif tidak terbebani oleh keterbatasan waktu. Resiko yang dihadapi ketika peran fasilitasi atau mediasi yang ia lakukan gagalpun tidak terlalu berat, baik bagi NGO itu sendiri maupun bagi pihak-pihak yang terlibat konflik. Alasan inilah yang menjadikan mengapa NGO, seperti HDC, lebih mudah diterima sebagai aktor pihak ketiga untuk menyelesaikan konflik internal daripada aktor resmi lain, seperti PBS, organisasi regional atau antar negara. Kegagalan peran pihak ketiga dalam memediasi konflik pada dasarnya bukanlah karena ketidakmampuannya bertindak sebagai pihak penengah, tetapi karena tiadanya political will dari pihak-pihak yang terlibat konflik itu sendiri dan dukungan maupun tekanan masyarakat internasional untuk menyelesaikan konflik yang ada. Ini karena dalam konflik internal ada kelaziman umum dimana para pemimpin kelompok bersengketa memiliki sifat patologi yang lebih senang mengobarkan propaganda perang total yang mengutamakan kemenangan mutlak dan menafikan kemungkinan kompromi atau dialog dengan lawannya daripada menyelesaiakan dengan cara damai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malya Nova Imaduddin
"Penelitian bertujuan untuk menganalisis bagaimana peran pemerintah dan mantan kombatan GAM dalam penyelesaian konflik pasca konflik Aceh. Hasil penelitian menemukan bahwa pertama, pemerintah sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Peran pemerintah dalam penyelesaian konflik dengan melakukan cara kolaborasi atau kerjasama dan kompromi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik. Namun demikian, masih ada beberapa program kegiatan dan bantuan dari pemerintah yang belum terealisasikan, masih ada beberapa pihak pemerintah yang mengunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Kedua, mantan kombatan juga sudah menjalankan perannya dalam menjaga perdamaian setelah pasca konflik Aceh sesuai dengan isi perjanjian dalam MoU Helsinski. Namun demikian, masih ada beberapa mantan kombatan yang menunjukkan adanya rasa ketidakpuasan akan peran pemerintah dalam hal penegakan hukum hak asasi manusia, lambang dan bendera dan ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Ketiga, masih terjadi konflik-konflik kecil diantara pihak pemerintah dan mantan kombatan yang disebabkan oleh konflik internal dalam demokrasi pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh perlu menerjemahkan secara operasional kerangka penyelesaian konflik dalam menjaga perdamaian dengan skema yang dipahami oleh seluruh stakeholder melalui workshop dan pelatihan-pelatihan guna memudahkan sinergi dan kolaborasi pada seluruh level pemerintahan di provinsi dan kabupaten/kota.

The study aims to analyze how the role of government and GAM ex combatants in conflict resolution post conflict Aceh. The results of the study found that firstly, the government has performed its role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. The role of government in resolving conflicts by way of collaboration or cooperation and compromise on the parties to the conflict. However, there are still some programs of activity and assistance from the government that have not been realized, there are still some government parties that use the authority for personal interests. Secondly, ex combatants have also exercised their role in maintaining peace after the post Aceh conflict in accordance with the content of the agreement in the Helsinski MoU. Nevertheless, there are still some ex combatants demonstrating a sense of dissatisfaction with the role of the government in terms of human rights law enforcement, symbols and flags and injustices in the equitable distribution of development. Third, there are still small conflicts between the government and ex combatants caused by internal conflicts in Aceh 39 s democratic government. Therefore, the Aceh Government needs to translate operational conflict resolution framework in keeping peace with a scheme understood by all stakeholders through workshops and trainings to facilitate synergy and collaboration at all levels of government in provinces and districts.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihite, Hanna Martua Stephanie
"Penelitian ini membahas mengapa Pemerintah Kabupaten Karawang gagal dalam upaya penyelesaian konflik agraria melalui mediasi, dengan mengambil studi kasus sengketa tanah di tiga desa di Telukjambe, Karawang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan kegagalan Pemerintah Kabupaten Karawang disebabkan terlambat dalam melakukan upaya mediasi dan konflik sudah masuk dalam ranah yuridis. Selanjutnya adalah karena sudah ada hasil putusan sidang yang memenangkan salah satu pihak yang berkonflik dan pemerintah tidak bisa mengintervensi hasil putusan. Penyebab yang terakhir karena pemerintah tidak mengerti adanya perbedaan kepentingan dan kekuasaan dari kedua pihak yang berkonflik.Kata kunci:Konflik agraria, konflik berkepanjangan, peran pemerintah.

This study discusses why the Karawang district government failed in the effort to solve agrarian conflict through mediation, by taking a case study of land dispute in three villages in Telukjambe, Karawang. This research is qualitative descriptive interpretive. This study found that the failure of the Karawang district government was cause by not being able to issue a meaningful policy in the effort to resolve the conflict due to being late in mediation efforts and the conflict had entered the juridical domain. The next cause is because there has been a trial verdict that won one of the conflicting parties and the government could not intervene in the decision. The last cause is that the government doesn rsquo t understand the different interests and powers of the two conflicting partiesKey words Agrarian conflict, prolonged conflict, the roles of government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suradi
"Tesis ini merupakan suatu gambaran terjadinya konflik di Aceh, sebab - sebab terjadinya konflik dan solusi bersama penyelesaian konflik. Konflik yang terjadi di Aceh mempunyai latar belakang perrnasalahan yang unik, dari memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sampai mempertahankannya hingga pembangunan pengisi kemerdekaan sampai sekarang konflik di Aceh masih terjadi.
Konflik yang terjadi di Aceh berawal dari tidak ditepatinya janji yang pernah diucapkan oleh Presiden pertama RI Ir.Soekamo yang telah merealisasi bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Aceh akan dianugerahkan sebagai daerah istimewa dan mempunyai hak-hak yang sesuai dengan daerahnya. Anugerah sebagai daerah istimewa karena daerah Aceh dianggap sebagai modal dan motor dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga memperjuangkan kedaulatan kemerdekaan di dunia internasional. Konfrensi memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional setelah kemerdekaan menelan biaya yang cukup besar. Sementara biaya pengembalian pemerintah pusat ke Yogyakarta tahun 1948 juga cukup besar, semua biaya tersebut didapat dari sumbangan masyarakat Aceh sebagai simpatisan dan sekaligus sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Cikal bakal kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan perintis dari pembentukan Negara Kesatuan ini bermula dari tokoh pejuang Aceh yang ingin mempersatukan seluruh wilayah RI dalam satu kesatuan yang utuh dan besar. Setelah Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya, harapan untuk menjadi negara yang berdaulat adil dan makmur tidak dirasakan oleh masyarakat Aceh. Aceh di jadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) semasa Orba, kekayaan alam di bawa ke pusat semua ini menambah penderitaan masyarkat Aceh, hingga akhirnya mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Konflik yang berkepanjangan menjadi sorotan bagi para elit politik dan pemerintah pusat. Solusi - solusi yang pernah di tempuh oleh pemerintah pusat maupun GAM untuk mengatasi dan mengakhiri konflik dilaksanakan. Namun semuanya tidak membuahkan hasil, karena pihak yang berkonflik tidak konsekuen dalam mematuhi semua perjanjian bersama perdamaian. Hingga perjanjian kesepakatan bersama juga di saksikan oleh Henry Dunant Centre (HDC) juga telah dilaksanakan namun belum berhasil. Harapan untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh terus dilaksanakan, dan ini menjadi dambaan dari masyarakat Aceh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamaruddin
"Penelitian ini berfokus pada kemampuan manusia secara individu maupun kelompok dalam mengkonstruksi realitas proses transformasi konflik Aceh pasca MoU Helsinki. Termasuk penelitian kualitatif dengan disain interpretatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruksionisme. Permasalahan utama adalah bagaimana realitas proses transformasi konflik dari perjuangan bersenjata menuju perjuangan politik kasus Gerakan Aceh Merdeka-GAM Pasca MoU di konstruksikan oleh informan, bagaimana komunikasi dibangun oleh para pihak dalam proses transformasi konflik Aceh serta bagaimana dan mengapa kendala- kendala mesti dapat di selesaikan.
Model operasional penelitian menggunakan perspektif komunikasi budaya terutama tentang konsep-konsep konstruksi realitas, interaksionis simbolik, proses dialektika, identitas, etnisitas dan resolusi-transformasi konflik. lnforman terdiri dari mantan GAM, korban konflik, BRA, intelektual/akademisi, peace builder dan tokoh masyarakat Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, partisipan observasi dan analisis dokumen sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada standar dan pendapat para peneliti kualitatif dengan paradigma konstruksionisme- interpretive.
Analisis hasil wawancara, partisipan observasi dan analisis dokumen bahwa: Fase awal transformasi yang ditandai dengan pengalaman sejarah, dari kegagalan HDC, Gempa dan tsunami, hadimya IMC, lahir MoU Helsinki, proses decommissioning dan pembubaran sayap militer GAM dengan membentuk KPA serta penarikan TNI/Polisi non organik berhasil dilakukan. Lahirnya BRA sebagai wadah reintegrasi menimbulkan dan menyisakan berbagai permasalahan. UUPA suksesnya Pilkada dengan calon Independen, lahirnya partai lokal sebagai bagian dari road map to peace proses dan Pemilu legislatif secara demokratis dimenangkan partai lokal mantan GAM relatif mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan sosial, budaya dan politik di Aceh.
Kendala proses transformasi; pemahaman sejarah keacehan masih kurang, mutual trust terus merosot di Aceh, implementasi MoU dan BRA-PKK setengah hati, kurangnya penerimaan mantan GAM oleh Militer, milisi dan sebaliknya, peran KPA yang berlebihan dalam masyarakat Aceh, keterbatasan pemerintah Irwandi-Nazar mengatasi budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, perbedaan penafsiran self government, terhambatnya pembentukan KKR, isu ALA-ABAS serta peran peace builders relatif kurang, penerapan trust building. Dialektika realitas tersebut menjadi persoalan sosial, politik, budaya dan hukum.

This study is focused on the human ability, as individual or group, in constructing the reality of conflict transformation process in Aceh post MoU in Helsinki. This is qualitative study with interpretative design using an approach of constructionism paradigm. The main problem is how the reality of conflict transformation from armed-struggle to political struggle in case ofthe Aceh Freedom Movements (GAM) post MoU constructed by informant, how the communication is established by the person in charge in the process of conflict transformation in Aceh also how and why the obstacles should be solved.
The operational model of this study was using the perspective of cultural communication, especially regarding the concepts of reality construction, symbolic interactionism, dialectic process, identity, ethnicity, and resolution-transformation of the conflict. informants consist of former GAM members, the victims ofthe conflict, BRA, academician, peace builder, and prominent figures in Aceh’s community. The data collection was done by interview, observation of the participants, and document analysis; while the data analysis was done by referring to the standard and the opinion of the qualitative researchers.
The analysis of interview result, stated that the initial phase marked by the history experiences, the failure of HDC, earthquake and tsunami, the present of IMC, MoU Helsinki, decommissiomng process, the dissolution of GAM military wings by forming KPA, and the success of the pulling of non-organic TNI/Police. The establishment of BRA as an umbrella for the reintegration produces and leaves several problems. UUPA the success of Pilkada with independent candidates, emerging of local parties as a part of road map to peace process, and legislative general election which held democratically and won by local party that consist of former GAM'member is relatively be able to create a new space for the hegemony circulation in social, cultural, and political aspects in Aceh.
Obstacles of transformation process; the lack of understanding regarding to history of Aceh, the decline of mutual trust in Aceh, the implementation of MoU and BRA that is still half-hearted, lack of acceptance of fomtcr GAM members by the Indonesian military, military and vice versa, the over role of KPA in Aceh’s community, the limitedness of Irwandi Nazar’s govemment in overcoming KKN, the different opinion in translating the meaning of seygovemnrent, the impeded of the KKR formation, issue about ALA-ABAS, andthe lack of peace builders roles and the implementation of trust building as well. The dialectic of those realities has become a social, politics, cultural, and law problems.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33952
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soureka, Andy Felix
"Negara-negara dalam sistem dunia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis didalamnya, atau dalam arti lain merupakan negara multi etnis. Proses pertumbuhan sosial dan modernisasi yang dilakukan banyak negara didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan budaya dan etnis dalam suatu negara bangsa akan cenderung menghilang selain didukung dengan berkurangnya perhatian dari segi-segi ekonomi dan sosial serta kehidupan politik pada unsur etnis yang menjadi unit sistem dalam negara bangsa.
Bagaimanapun dapat dijelaskan bahwa `kegagalan' pembangunan suatu negara tidak hanya disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dibidang tehnik, finasial maupun dibidang ekonomi. Karena kegagalan tersebut dapat dihubungkandengan pengaruh kompleksitas budaya dan etnis dalam membangun suatu negara bangsa. Sebagai bagian dari suatu negara, berbagai ikatan kelompok masyarakat memiliki pengaruh yang kuat dalam setiap aspek kehidupan bernegara dimana ikatan-ikatan masyarakat tersebut memiliki kepentingan yang berbeda dan patut diperhitungkan dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan negara.
Penelitian ini mencoba mengeksplorasi hambatan-hambatan yang muncul dengan adanya tuntutan ikatan masyarakat yang hidup di irlandia Utara terutama untuk mencapai stabilitas wilayah Irlandia Utara yang telah lama mengalami krisis berupa konflik komunal yang berkepanjangan sehingga menciptakan konflik teritorial. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data empirik termasuk latar belakang sejarah lrlandia sendiri dalam literatur-literatur dan buku-buku walaupun muncul kendala berupa keterbatasan sumber.
Hambatan utama yang menjadi inti permasalahan dalam penyelesaian krisis berkepanjangan di Irlandia Utara tersebut lebih difokuskan dalam permasalahan cara pandang dalam kehidupan bernegara yang demokralis, di mana perbedaan tersebut memiliki implikasi yang bersifat multi-dimensi mengingat adanya kecenderungan yang muncul dan menjadi hambatan tersendiri dalam penyelesaian krisis di Irlandia Utara. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh internal maupun eksternal di wilayah Irlandia Utara dapat mempengaruhi proses penyelesaian konflik di Irlandia Utara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Suntoro
"ABSTRAK
Pengaduan masyarakat ke Komnas HAM RI dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan, baik dalam aspek kuantitas dan kualitas. Jika sebelumnya aktor non-negara dalam hal ini korporasi tidak terlalu menonjol, justru dalam waktu 5 (lima) tahun terkahir pengaduan terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh sektor ini memiliki tren yang meningkat, baik dalam industri pertambangan, perkebunan, kehutanan, minyak, dan gas. Dengan semakin menguatkan peran korporasi dan disisi lain negara semakin sulit melakukan kontrol terhadap entitas ini, maka pendekatan HAM untuk memastikan perlindungan dan pemulihan terhadap masyarakat, khususnya yang terdampak menjadi relevan-tidak sekedar menuntut penghormatan korporasi terhadap peraturan perundang-undangan semata."
Jakarta : Komnas HAM , 2018
300 JHAM 14 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hernadi
"Seiring dinamika perubahan konstelasi politik yang dinamis dan tuntutan masyarakat terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat, maka diperlukan kesiapan dan dukungan jajaran staf dalam hal ini Sekretariat Jenderal DPR yang mempunyai skill, kapasitas dan integritas. Untuk memenuhi kebutuhan staf yang mempunyai keahlian, kemampuan dan responsiv terhadap perubahan, maka diperlukan adanya pembelajaran organisasi. Learning organization dibentuk atas lima aspek yaitu pembelajaran, organisasi, manusia, pengetahuan dan teknologi. Kelima aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Namun dalam pelaksanaannya proses learning organization sering mengalami kendala. Salah satu kendadala klasik dalam pembelajaran organisasi adalah budaya organisasi yang tidak kondusif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerapan learning organization di lingkungan Biro Administrasi & Kepegawaian dan Biro Kesekretariatan Pimpinan Setjen DPR RI ditinjau dari 5 aspek sistem pembelajaran yaitu dinamika pembelajaran, transformasi organisasi, pemberdayaan manusia, pengelolaan pengetahuan dan penerapan teknologi. Disamping itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauhmana budaya organisasi (culture of learning) telah mendukung diterapkannya learning organization di lingkungan Biro Administrasi & Kepegawaian dan Biro Kesekretariatan Pimpinan Setjen DPR RI.
Model penelitian menggunakan pendekatan deskriftif korelasional dengan metode studi kasus dan analisis deskriftif kualitatif. Penelitian dilakukan dengan metode kuisioner dengan jumlah responden masing-masing biro sebanyak 30 orang yang terdiri dari pejabat eselon II, eselon III eselon IV dan staff. Alasan mengambil Biro Administrasi & Kepegawaian karena Biro ini berhubungan langsung dengan pengembangan sumberdaya manusia dan kebijakan pembelajaran sedangkan Biro Kesekretariatan Pimpinan karena biro tersebut berhubungan langsung dengan pelayanan agenda agenda kegiatan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Instrumen yang digunakan adalah Learning Organization Profile untuk mengukur tingkat penerapan learning organization dan instrument culture of learning untuk mengukur tingkat dukungan budaya terhadap penerapan learning organization. Untuk mengukur variable-variabel tersebut digunakan kuisioner dengan model skala Likert. Sedangkan analisis yang dipakai menggunakan LOP (learning organization profile) dari M.Marquardt untuk mencari nilai rata rata penerapan learning organization Setjen DPR RI kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian Marquardt atas 500 organisasi di dunia. Untuk menganalisis budaya organisasi (culture of learning) dilihat dari prosentase jawaban responden terhadap pertanyaan sejauhmana dukungan budaya terhadap penerapan learning organization.
Dari analisis atas hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendapat penerapan learning organization di Biro Administrasi & Kepegawaian dan Biro Kesekretariatan Pimpinan sudah diterapkan pada bagian - bagian tertentu dengan hasil nilai rata-rata adalah 20.08 dan berada pada range katagori cukup/fair walaupun masih dibawah rata-rata hasil penelitian Marquardt yaitu 22.00. Sedangkan untuk hasil analisis budaya menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa budaya belajar sudah cukup baik/kondusif untuk penerapan learning organization.

Application of Learning Organization by Cultural Approach, Case study at the Bureau of Administration and Personnel and the Bureau of Leadership secretariat of the Secretariat General of the House of Representatives Along with the dynamic changes of political constellation and people's demand to good performance of the House of Representatives, it is needed readiness and support from the employee line of the Secretariat General of the House of Representatives with a certain exent of skills, capacity and integrity. In order to fulfill the needs of providing employees who are skillful, capable and responsive to the changes, it should conduct learning organization. Learning organization is formed by five aspects, namely learning, organization, human being, knowledge and technology. The five aspects assemble as a unity which is inseparable. In its implementation, the process of learning organization is hindered. One of the classic obstacles to the learning organization is an unconducive culture of organization.
The research intends to analyze what extent of application of learning organization at the Bureau of Administration and Personnel and the Bureau of Leadership secretariat of the Secretariat General of the House of Representatives by implementing the five aspects of learning system, i.e. dynamic of learning, transformation of organization, human empowerment, knowledge management and application of technology. The research is also aimed at comprehending to what extent of culture of learning has supported the application of learning organization at the Bureau of Administration and Personnel and the Bureau of Leadership secretariat of the Secretariat General of the House of Representatives.
The research utilized a model of correlational-descriptive approach accompanied by a method of case study and a qualitative descriptive analysis. The research was carried out by disseminating questionnaires to a number of respondents at the two Bureaus. From each Bureau, 30 employees were treated as a sample, comprising the officials of Second, Third and Forth levels and the staffs. The reason why the Bureau of Administration and Personnel was chosen as an area of sample because the Bureau performed the works related directly to the human resources development services and the learning policies. While the Bureau of Leadership secretariat performed the works related directly to the services of setting up the Agenda of activities to the Leadership of the House and to the members of the House of Representatives.
The instrument used by the research was Learning Organization Profile which was applied as tools to measure the level of application of learning organization and the instrument of culture of learning was used as tools to measure the level of cultural support to the application of learning organization. To measure the variables, it used the questionnaires of the Likert scale model. The analysis of LOP (learning organization profile) of M. Marquardt was used as tools to seek the median of learning organization applied at the Secretariat general of the House of Representatives, then it was compared to the result of research conducted by Marquardt to 500 organizations in the world. While the culture of learning was analyzed through the percentage of response conveyed by the respondents to the questions of what extent of the cultural may support the application of learning organization.
Based on the analysis to the results of the research, it showed that most of respondents were of the opinion that the Bureau of Administration and Personnel and at the Bureau of Leadership secretariat have applied learning organization at certain sections, with median of 20.08 and it stayed at the "fair" range category. It is below the average median of 22.00 resulted by the research conducted by Marquardt. While the analysis to the culture showed that most of respondents agreed to the opinion that the culture of learning at the two Bureaus has been good/conducive to the application of learning organization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Taufiq A.
"Tesis ini membahas tentang Penerapan dan Pelaksanaan Ketentuan Konvensi New York 1958 Sehubungan dengan Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam era globalisasi kepastian hukum dalam penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional sangatlah dibutuhkan dalam hukum penyelesaian sengketa. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (?UU 30/1999?) sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang arbitrase khususnya arbitrase internasional serta untuk memperbaiki hukum penyelesaian sengketa arbitrase di Indonesia sebelum diundangkannya UU tersebut, tetap belum dapat memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958. Hal ini dikarenakan UU 30/1999 tidak mengakomodir penuh ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di wilayah Negara Republik Indonesia. Dimana, di satu sisi, Indonesia merupakan Negara anggota Konvensi New York 1958, dan kewajiban internasional yang timbul dari penandatanganan serta peratifikasian ketentuan-ketentuan Konvensi New York 1958 tersebut, seharusnya diterapkan secara utuh dalam ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase nasional Indonesia sehingga dapat memberikan predictability, stability, dan fairness kepada pelaku usaha penanaman modal serta bisnis dan perdagangan internasional.

This thesis analyzes The Application and Enforcement of New York 1958 Provisions Related to Law of Settlement of Disputes Before Arbitration Provisions Under Law No. 30 Year 1999. In the era of globalization, legal certainty within investment also international business and commercial trade is very important towards the law of settlement of disputes. The enactment of Law Number 30 Year 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Settlement (?Law 30/1999?) as regulation which specifically regulates arbitration especially international arbitration, and to repair the law of settlement of disputes before arbitration in Indonesia in previous state before the enactment of that Law, still cannot provide legal certainty in the enforcement of foreign arbitral awards as addressed by New York Convention 1958. This condition is due to the Law 30/1999 that does not completely accommodate the recognition and enforcement of foreign arbitral awards within the territory of the Republic of Indonesia. Whereas, in the other side, Indonesia is one of the contracting state of New York Convention 1958 and the international liabilities which arisen from the signing and ratification of the Convention, shall be applied completely within the national law of settlement of disputes before arbitration of Indonesia, thus, the related law will provide predictability, stability and fairness towards the investor and the international business and commercial trade actor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28053
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>