Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182982 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manalu, Sonniaty Natalya
"Istilah Child Abuse sering diartikan sebagai perlakuan salah terhadap anak, kekerasan terhadap anak, kejahaian terhadap anak atau penganiayaan dan penelantaran (Child abuse and Neglect). Dalam tesis ini seringkali istilah-istilah tersebut dipergunakan secara bergantian.
Child abuse seringkali terjadi karena adanya anggapan bahwa anak merupakan bagian dari keluarga, sehingga hal tersebut merupakan masalah intern keluarga. Disisi lain, anak juga merupakan anggota dari masyarakat dan sebagai anggota, anak tergolong lemah baik dari segi fisik maupun dalam pemenuhan haknya. Sehubungan dengan hal itu, anak selayaknya mendapatkan perlakuan yang baik dengan memenuhi berbagai kebutuhannya, baik yang bersifat fisik, psikis, maupun sosial. Pada kenyataannya masih banyak warga masyarakat belum menyadari tentang hal tersebut, sehingga anak juga mendapatkan perlakuan buruk dari orang tua atau orang dewasa lainnya. Kondisi ini menimbulkan dampak pada anak sehingga memerlukan perhatian dan penanganan yang serius.
Tesis ini bertujuan untuk mengctahui gambaran tentang dampak yang ditimbulkan pada anak yang mengalami peristiwa perlakuan salah baik terhadap aspek fisik, psikis maupnm sosial. Fenomena ini diambil karena child abuse dalam bentuk kekerasan terhadap anak mempakan masalah yang semakin marak Menumt data dari Yayasan Kesejahteran Angk Indonesia (YKAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) setiap tahun kasus child abuse ini mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas, ironisnya kesiapan dari segi sarana dan prasarana untuk membantu para korban masih sangat terbatas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualilatif dengan metode lebih ditekankan pada verstehen, yaitu memberi penekanan interpretatif terhadap pemahaman informan penelitian Pemilihan informan dilakukan dengan non probability sampling yang meliputi keluarga korban, staf dan pendamping dari lembaga yang menangani korban, psikolog yang ditunjuk oleh lembaga untuk menangani korban serta guru korban. Untuk mengumpulkan data dari penelitian ini digunakan teknik ?indepth interview observasi partisipan dan studi dokumentasi. Ketiga teknik ini digunakan untuk saling melengkapi sehingga dapat mengungkap realitas sosial dari berbagai jawaban informan.
Hasil penelitian memmjukkan bahwa bentuk kekerasan yang dialami oleh informan adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis/emosional serta penelantaran fisik dan psikis/ emosional. Masing-masing informan menunjukkan indikator terhadap terjadinya semua bentuk 'child abuse tersebut diantaranya memar, biru pada bagian tubuh tertentu,kekurangan gizi,pakaian lusuh dan kotor dan lain-lain. Faktonfaktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap informan dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu faktor keluarga, faktor anak,faktor budaya,dan faktor sosial. Untuk kasus kekerasan seksual, kedua keluarga informan sudah melakukan langkah yang tepat dan cepat yaitu melaporkan kejadian tersebut ke ketua RT dan selanjutnya ke kepolisian. Sementara untuk kasus kekerasan fisik, hanya keluarga dari salah satu informan yang melaporkan sedangkan informan yang lain tidak. Kondisi ini terjadi karena masih ada anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan bagian dari pendisiplinan sehingga wajar dilakukan. Pada umumnya kasus kekerasan fisik diikuti dengan kekerasan dan penelantaran psikis/emosional dan ini pun dialami oleh kedua informan Sedangkan untuk kasus penelantaran fisik, kondisi sosial ekonomi yang rendah menjadi alasan.
Kedua informan dalam penelitian ini mengalami semua bentuk child abuse yang menimbulkan dampak baik pada aspek fisik, psikis dan juga sosial. Untuk dampak fisik dari kasus kekerasan seksual tidak begitu memprihatinkan karena yang terjadi adalah pencabulan dan menimbulkan Iuka luar saja. Begitu juga dengan dampak fisik dari kekerasan fisik yang tidak banyak meninggalkan bekas dan seiring waktu telah hilang. Kondisi yang sangat memprihatinkan adalah dampak psikis/emosional dan sosial dari perlakuan salah tersebut. Walaupun tidak meninggalkan bekas seperti Iuka fisik tapi untuk waktu sekarang ini sudah terlihat dari gangguan atau penyimpangan perilaku informan. Perilaku seperti berbohong,mencuri, kabur dari rumah, cara bicara dan sikap yang kasar, telah tampak pada salah satu informan. Beberapa upaya seperti terapi bermain, konseling, supporting group yang telah dilakukan selama 2 tahun untuk membantu pemulihan informan, tidaklah cukup untuk dapat memulihkan khususnya kondisi psikis dan sosialnya. Ini menunjukkan bahwa proses pemulihan dari dampak ini memerlukan waktu yang cukup lama. Penanganan secara komprehensif sangat dibutuhkan, khususnya dalam kasus seperti yang dialami oleh ke dua infonnan. Apabila hal ini tidak dilakukan maka untuk jangka panjangnya akan menimbulkan masalah yang lebih serius lagi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adisti Fathimah Soegoto
"Theraplay merupakan suatu intervensi yang berdasarkan pada teori attachment dan bertujuan untuk mcningkatkan hubungan yang positif antara anak dau pengasuh. Terdapat empat dimensi dalam theraplay, yaitu structuring, engaging, challenging, dan nurlming. Theraplay antara lain dapat diterapkan pada anak yang agresifl mengalami ADHD, atau mengaiami maltreatment.
Dalam Tugas Akhir ini, theraplay dibenkan kepada anak Iaki-laki berusia 7 tahun yang mengalami Child Mallreatmenl dari kedua orangtua, herupa physical abuse dan emotional abuse. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, fheraplay terbukti efektif dalam meningkatkan interaksi positif antara orangtua dan anak yang mengalarni child maltreatment.
Penerapan sesi theraplay yang berlangsung selama tiga bulan dilakukan dalam rangkaian dua scsi pre-intervention assessmen! menggunakan Marschak Interaction Method, scpuluh scsi llzeraplqv, dan satu sesi post-intervention assessmen: untuk melihat perubahan kualitas hubungan antara orangtua dan anak. Setelah mengikuti theraplay, Frekuensi Ibu dalam melakukan emotional abuse dan physical abuse menjadi berkurang. [bu merasa hubungannya dengan anak menjadi lebih baik dan Iebih menyenangkan.

Theraplay is an intervention which based on attachment theory. The main focus of this therapy is to develop and enhance relationship between caregiver and child. There are four dimensions on theraplay: structuring, engaging, challenging, and nurturing. Theraplay can be applied in many cases, such as on aggresive child, child with ADHD, or child who experiences maltreatment.
In this final project, theraplay was given for a 7 years old boy, who had been maltreated by his parents, physically and emotionally. Based on previous researches, theraplay is proven success to improve parent child interaction for children who had been maltreated by their parents.
The theraplay treatment carried out for thrcc months and consists of three sequences, which are pre-intervention assessment using Marschack Interaction Method, ten sessions of theraplay intervention, and post-intervention assessment using Marschack Interaction Method. Post-intervention assessment was held to see the change of quality in the relationship between the parent and the child. After the theraplay treatment had been given, the Eequency of physical and emotional maltreatment, decrease, and positive interaction between mother and child was established.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34207
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Maisura
"Penelitian ini bertujuan menggambarkan anger style yang dimiliki remaja yang pernah mengalami child abuse. Anger style adalah cara seseorang mengkomunikasikan kemarahan yang ia miliki pada orang lain. Pembentukan anger style dipengaruhi oleh pengalaman, situasi dan lingkungan remaja. Anger style remaja juga dipengaruhi dari observasi dan hasil belajar yang terus-menerus dari pola asuh orangtua. Remaja yang pernah mengalami child abuse akan mempelajari tingkah laku pelaku abuse yang menggunakan kekerasan sebagai solusi permasalahan. Hal ini mengarah pada akibat negatif yaitu remaja yang pernah mengalami child abuse cenderung mengembangkan anger style yang merugikan dirinya dan lingkungan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa partisipan yang diwawancarai memiliki anger style yang berpotensi merugikan dirinya dan lingkungan dengan variasinya masing-masing.

This research focusing about anger style in adolescence who had experiencing child abuse. Anger style is a way people communicate their anger to others. The shaping of anger style was influenced by adolescence experience, situation and environment. Anger style in adolescence was also influenced by observation and the continuation of learning form parenting style. Adolescence who had experiencing child abuse tend to learn the behavior of perpetrator who used violence to solve problems. This will lead to negative impact such as adolescence who have experienced child abuse tend to develop anger style that can damage them and people around them. This research is qualitative research with descriptive design. The result of research showed that participants who had been interviewed had developing anger style that can potentially damage him or herself and society.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
362.76 RIZ a
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aldevino Jesaja Terloit
"Anak jalanan merupakan sebagian dari anak-anak yang hidup dan tumbuh di negara ini dan menjadi harapan bangsa dimasa yang akan datang. Sebagai generasi penerus, kondisi anak jalanan di Indonesia sangat memprihatinkan. Selain hilangnya perlindungan dari keluarga, penganiayaan-penganiayaan (abuses) yang mereka alami baik di rumah maupun di jalanan sangat beragam, bahkan sudah menjadi kebiasaan atau hal yang biasa. Berbagai tulisan dan penelitian menunjukkan bahwa hilangnya perlindungan dan kekerasan yang dialami anak memberi dampak tertentu terhadap kepribadian mereka. Dampak penganiayaan {abuse) terhadap kepribadian anak jalanan ini yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian.
Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada konsep diri anak jalanan khususnya anak jalanan usia remaja, atau secara umum masalah yang ingin dijawab melalui peneltian ini: Bagaimanakah konsep diri anak jalanan usia remaja yang mengalami abuse ?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantjtatif. Alat ukur yang digunakan adalah semantic differential yang terdiri dari 35 pasangan kata sifat bipolar yang dipasangkan pada konsep diri real, konsep diri sosial dan konsep diri ideal. Dari alat ukur tersebut akan diperoleh skor yang menunjukkan apakah konsep diri subyek positif atau negatif. Subyek dalam penelitian ini ada 60 orang yang terdiri 30 subyek yang mengalami abuse dan 30 subyek yang tidak mengalami abuse. Kedua kelompok kemudian diperbandingkan untuk memperoleh gambaran mengenai konsep diri anak jalanan yang mengalami abuse.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri real dan konsep diri sosial pada kedua kelompok. Sedangkan pada konsep diri ideal kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan, artinya kedua kelompok ternyata memiliki konsep diri ideal yang positif. Sedangkan pada perbandingan antara konsep diri real dengan konsep diri sosial pada masing-masing kelompok, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep diri real dan konsep diri sosial pada kedua kelompok. Namun antara konsep diri real dan konsep diri ideal terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok.
Disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada konsep diri real antara anak jalanan yang mengalami abuse dan tidak mengalami abuse. Artinya anak jalanan yang mengalami a bus e cenderung menggambarkan dirinya secara negatif misalnya dengan mengatakan mereka pesimis, tidak menarik, tergantung pada orang lain, tidak berharga, lemah, mudah frustrasi, bodoh, dibenci oleh teman, tidak dicintai oleh keluarga dan sebagainya dibandingkan subyek yang tidak mengalami abuse. Pada konsep diri sosial juga diperoleh hasil yang sama, yaitu anak jalanan yang mengalami abuse meyakini bahwa gambaran orang lain mengenai dirinya lebih negatif dibandingkan anak jalanan yang tidak mengalami abuse. Untuk konsep diri ideal tidak ada perbedaan yang signifikan, artinya baik anak jalanan yang mengalami abuse maupun anak jalanan yang tidak mengalami abuse memiliki konsep diri yang diinginkannya positif. Sedangkan perbedaan antara konsep diri real dengan konsep diri sosial ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri real dengan konsep diri sosial baik pada anak jalanan yang mengalami abuse maupun pada anak jalanan yang tidak mengalami abuse. Namun untuk konsep diri real dengan konsep diri ideal ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara konsep diri real dan konsep diri ideal pada kedua kelompok di atas.
Disarankan agar dalam penelitian selanjutnya, subyek ditambah jumlahnya, subyek perempuan juga diikursertakan, dan dilakukan wawancara untuk menunjang hasil penelitian kuantitatif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S3065
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra
"ABSTRAK
Ketika anak berada dalam tahap middle childhood, seringkali terjadi masalah dalam hubungannya dengan orangtua karena orangtua yang mengalami kesulitan dalam mengubah pola asuh atau berperan sesuai dengan tuntutan perkembangan anak. Pada tahap middle childhood sudah mampu mengembangkan sikap dan persepsi tertentu terhadap tingkah laku dan pola asuh orangtuanya. Pada anak dengan orangtua yang menerapkan pola asuh premisif hal ini menjadi penting. Dalam pemeriksaan psikologis, hal-ha! ini dapat terungkap melaiui alat bantu seperti tes proyeksi. Salah satu tes yang
efektif adalah Children Apperception Test. Penelitian ini berusaha melihat apa saja pandangan, perasaan dan kebutuhan terhadap orangtua yang temngkap melalui CAT pada anak yang mengalami masalah dalam hubungan mereka dengan orangtua, yaitu pola asuh yang permisif.
Hasil yang diperoleh adalah anak memandang bahwa hubungan mereka dengan orangtua kurang hangat, dan beberapa subyek memandang tokoh otoritas sebagai tokoh yang tidak berdaya. Anak merasakan kesedihan ketika berpisah dengan orangtua, dan senang ketika bersama orangtua. Kepada tokoh otoritas yang pernah memberikan hukuman kepada mereka, anak mengembangkan dua pilihan perasaan, yaitu merasa takut dan cemas terhadap tokoh tersebut atau merasakan agresi pada tokoh itu Kebutuhan yang terungkap adalah bahwa
sebagian besar subyek menginginkan kedekatan dengan orangtuanya.
Secara umum hasil penelitian ini bersesuaian dengan karakteristik anak middle chilhood. Hal yang menarik adalah anak memandang hubungannya dengan Orangtua cenderung kurang hangat, di mana hal ini sedikit berbeda dengan penjelasan teori bahwa orangtua yang permisif adalah orangtua yang responsif dan tidak menerapkan kendali, bukan orangtua yang tidak responsif. Kedekatan anak dengan orangtua tampak hanya pada hubungan fisik dan bukan emosional."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Mylynda Puteri
"Wilayah Jakarta Timur memiliki angka kekerasan anak tertinggi dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta lainnya. Kekerasan yang dialami anak akan mempengaruhi perkembangan psikososialnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan psikososial remaja yang pernah mengalami kekerasan di wilayah Jakarta Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif dengan desain studi cross sectional. Sampel penelitian merupakan remaja berusia 11-20 tahun yang pernah mengalami kekerasan berjumlah 385 responden menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian menggunakan kuesioner ICAST versi Bahasa Indonesia dan Y-PSC 35 yang disebarkan secara daring. Hasil penelitian menunjukan bahwa remaja yang pernah mengalami kekerasan di wilayah Jakarta Timur mayoritas tidak mengalami gangguan perkembangan psikososial, tetapi angka remaja yang mengalami gangguan perkembangan psikososial cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat terutama orang tua perlu lebih peka terhadap paparan kekerasan pada anak yang akan berpengaruh pada perkembangan psikososialnya. Pelayanan isu kesehatan mental anak juga perlu ditingkatkan untuk mengurangi risiko terganggunya perkembangan psikososial anak.

The East Jakarta region has the highest rate of child violence compared to other DKI Jakarta regions. Violence experienced by children will affect their psychosocial development. This research aims to determine the psychosocial development of adolescents who have experienced violence in the East Jakarta area. The research method used is descriptive quantitative with a cross sectional study design. The research sample was adolescents aged 11-20 years who had experienced violence totaling 385 respondents using purposive sampling techniques. The research used the Indonesian version of the ICAST questionnaire and Y-PSC 35 which were distributed online. The research results show that the majority of adolescentswho have experienced violence in the East Jakarta area do not experience psychosocial development disorders, but the number of adolescents who experience psychosocial development disorders is quite high. Based on research results, society, especially parents, need to be more sensitive to children's exposure to violence which will affect their psychosocial development. Services for children's mental health issues also need to be improved to reduce the risk of disrupting children's psychosocial development."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rofiqoh
"Kejang demam pada anak merupakan pengalaman traumatik dan menyebabkan kecemasan pada orang tua. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu pada anak yang mengalami kejang demam. Desain yang digunakan adalah cross sectional, dengan sampel 95, analisis data menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan 82 (86,3%) responden mengalami cemas berat. Faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu pada anak yang mengalami kejang demam adalah frekuensi kejang demam pada anak, sedangkan yang tidak berhubungan adalah jumlah anak hidup, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, paparan informasi serta dukungan keluarga. Faktor paling dominan berhubungan dengan kecemasan ibu pada anak yang mengalami kejang demam adalah pengetahuan. Disarankan meningkatkan pengetahuan tentang kejang demam untuk menurunkan kecemasan ibu pada anak kejang demam.

Febrile convulsion in child is a traumatic experience and causes anxiety for parents. This research aimed to identify factors related to anxiety of mothers who have a child with febrile convulsion. Design used was a cross sectional study, with total sample 95. The data was analyzed using multiple logistics regression. The result showed that 82 (86,3%) of the mothers experienced severe anxiety. The factors correlated with mother’s anxiety due to children convulsion was the frequency of convulsion. On the other hand, factors that were not correlated were number of child, level of education, occupation, income, mothers knowledge, information exposure and family support. The dominant factor related to mother’s anxiety that a child with febrile convulsion is mothers knowledge. It is suggested that improving mothers’ knowledge about febrile convulsion is beneficial to reduce their anxiety."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afia Fitriani
"Komunikasi pada Anak yang Mengalami Autistic Disorder Anak yang mengalami Autistic Disorder memiliki hambatan dalam tiga ranah utama yaitu, interaksi sosial timbal balik, komunikasi, dan pola tingkah Iaku repelitif (Ginanjar, 200_8). Tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik anak autis al-can mudah Bustrasi dan menunjukkan gangguan perilaku karena kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication .Slystam (PECS) rnerupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengajarkan cara berkomunikasi yang praktis kepada individu gang memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi dengan menggunakan kartu-ka11u bergambar (Bondy & Frost, 2001).
Program intervensi dalam tugns akhir ini diberikan pada D, anak laki-Iaki dcngan Autistic Disorder yang berusia 7 tahun. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D me-lalui modilikasi perilaku dengan metode Pictu:-e lnlwlzange Cotmuunication System (PECS) sampai fase kedua dari enam fase PECS. I-lasil menunjukkan bahwa berdasarkan perbandingan data dasar dan evaluasi, kemampuan komunikasi D dengan menggunakan PECS menunjukkan peningkatan kcberhasilan sebesar 30%. Hasil ini didukung oleh prosedur intervensi yang terstruktur, jelas, dilaksanakan secara intensifl serta pembexian prompt yang membantu pemahaman instruksi. Kcndala pelaksanaan program antara lain, pilihan benda yang digunakan dalam intervensi, keadaan ruangan, kondisi D yang belum pcrnah mendapatkan intervensi, serta usia D. Sccara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa program intervensi ini cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi D.

Children with Autistic Disorder have deficits in three major domains, which are social interaction reciprocity, communication, and repetitive and stereotyped patterns of behavior (Ginanjar, 2008). Without fine communication skills, autistic children may easily frustrated and then show disturbing behavior because their needs are not understood (Mangunsong, 2009). Picture Exchange Communication System (PECS) is an alternative method using picture cards to teach a practical way to communicate for individuals with speech and language limitations (Bondy & Frost, 2001).
Intervention program in this final project is given to D, a 7 years old child with Autistic Disorder. The purpose is to improve D’s communication skills by behavior mcdilication using Picture Exchange Communication System (PECS) method up to the second phase from total six phase. Results shows that based on the comparision between baseline and evaluation data, D’s communication skills using PECS indicates 30% increase of success. Supportive factors of this result were clear and structured intervention procedure, carried out intensively, and additional prompt to aid instruction understandings Unfortunately, choices of items used in the intervention, room settings, D’s age and not ever received any intervention before became the hindrance factors. Overall, this intervention program is quite effective to improve D’s communication skills.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
T34137
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Purkon Patoni
"Merawat anak leukemia merupakan pengalaman kehilangan pada ibu . Kesenjangan antara harapan dan kenyataan ditambah kondisi relapse menyebabkan ibu mengalami dukacita kronis (Chronic sorrow) dan mempengaruhi perawatan kepada a naknya. Penelitian kualitatif fenomenologi deskriptif ini bertujuan menggali pengalaman ibu merawat anak penderita LLA yang mengalami relapse. Wawancara mendalam pada 10 partisipan dan analisis data dengan Metode Colaizzi, menghasilkan tujuh tema salah satunya adalah perjuangan yang sia sia-sia. Ibu berjuang keras dan mengorbankan segalanya untuk menyembuhkan anaknya. Namun, saat anak mengalami relaps, perjuangan mereka menjadi sia sia-sia dan mereka harus berjuang kembali. Rasa takut kehilangan anak semakin men ingkat, terutama setelah melihat kegagalan pengobatan orang lain. Meski begitu, ibu akhirnya menerima keadaan dan memilih untuk melanjutkan pengobatan anak mereka. Mereka mengumpulkan kekuatan dan harapan untuk menghadapi penderitaan ini, menyadari bahwa melanjutkan pengobatan adalah yang terbaik untuk anak mereka. Perawat diharapkan dapat berkolaborasi dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan berkesinambungan pada anak dan orang tua tua.

Caring for a leukemic child is an experience of loss for the mother. The gap between expectations and reality plus the relapse condition causes mothers to experience chronic sorrow and affects the care of their children. This descriptive phenomenological qualitative research aims to explore the experience of mothers caring for children with relapsed leukemia. In-depth interviews with 10 participants and data analysis using the Colaizzi Method, resulted in seven themes, one of which was a futile struggle. Mothers struggle hard and sacrifice everything to cure their children. However, when the child relapses, their struggle becomes futile and they have to fight again. The fear of losing their child increases, especially after seeing other people's treatment failures. Even so, mothers eventually accept the situation and choose to continue their child's treatment. They gather strength and hope to face this suffering, realizing that continuing treatment is best for their child. Nurses are expected to collaborate in providing comprehensive and continuous nursing care to children and parents."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldine Abigail Theophilus
"Anak merupakan peristiwa traumatis yang sangat menyakitkan bagi orang tua yang ditinggalkan. Perjuangan dalam memaknai peristiwa kehilangan tersebut dapat memunculkan pertumbuhan positif atau post-traumatic growth pada beberapa orang tua. Tidak semua individu yang melalui peristiwa traumatis pasti mengalami post-traumatic growth sehingga pemahaman akan faktor sosial dan faktor individual yang memengaruhi kemunculan post-traumatic growth menjadi penting. Penelitian ini melihat peran persepsi dukungan sosial dan forgiveness dalam memprediksi post-traumatic growth pada orang tua yang mengalami kematian anak. Responden penelitian ini adalah 38 orang tua yang mengalami kematian anak dalam enam tahun terakhir. Responden diminta untuk mengisi alat ukur Heartland Forgiveness Scale (HFS), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), dan Post-traumatic Growth Inventory (PTGI). Hasil analisis metode regresi berganda antara persepsi dukungan sosial dan forgiveness terhadap PTG menunjukkan hasil yang signifikan (R2 = 0,223, p < 0,05). Dari kedua prediktor, hanya persepsi dukungan sosial (β = 0,448, F(2, 35) = 5,034, p < 0,01) yang secara signifikan memprediksi post-traumatic growth, sedangkan forgiveness (β = 0,087, F(2, 35) = 5,034, p > 0,05) tidak signifikan dalam memprediksi post-traumatic growth. Persepsi dukungan sosial yang positif dapat membantu orang tua untuk memaknai kehilangan yang dialami secara lebih efektif dan berdampak pada kemunculan

The death of a child is a traumatic experience for the parents of the deceased. Nevertheless, the struggle to make meaning out of the loss experienced may induce positive changes, known as post-traumatic growth, among some bereaved parents. Post-traumatic growth does not happen in all individuals after encountering a traumatic event, hence effort to understand the social and individual factors which influence post-traumatic growth is much needed. This study aims to investigate the role of perceived social support and forgiveness in predicting post-traumatic growth among bereaved parents. A total of 38 parents who experienced child loss in the last six years completed the Heartland Forgiveness Scale (HFS), the Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), and the Post-traumatic Growth Inventory (PTGI). Multiple regression analyses showed that perceived social support and forgiveness significantly predicted post-traumatic growth (R2 = 0,223, < 0,05). Among the two predictors, perceived social support significantly predicted post-traumatic growth (β = 0,448, F(2, 35) = 5,034, p < 0,01), whereas forgiveness did not (β = 0,087, F(2, 35) = 5,034, p 0,05). It is found that higher perceived social support helps parents to cope with the loss more effectively and effects the emergence of post-traumatic growth."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>