Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192193 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sitti Syahar Inayah
"Masyarakat Adat memiliki kearifan Iokal dalam berinteraksi dengan Iingkungannya. Salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia yang mempunyai kearifan Iokal tersebut adalah masyarakat suku Ammatoa yang bermukim di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Masyarakat Ammatoa mempunyai pandangan tersendiri terhadap Iingkungan hidup utamanya hutan.
Untuk mengungkap makna hutan bagi masyarakat Ammatoa digunakan Teori lnteraksionisme Simbolik sebagai alat analisis. Tujuannya untuk melihat bagaimana Teori Interaksi Simbolik menjelaskan makna hutan sebagai objek sosial Adapun alat analisis strategi ketua adat menjaga makna digunakan strategi komunikasi yaitu pola kontrol lingkungan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif model interaksi simbolik. Etnografi menjadi pilihan metode penelltian. Data diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi berperanserta. Adapun unit analisisnya adalah tindakan individu-individu yang berinteraksi sosial. lnforman berjumlah 16 orang dipilih dengan menggunakan teknik purposive atau snowball sampling Puto Palasa dipilih menjadi informan karena jabatannya sebagai ketua adat. Puto Beceng dipilih sebagai informan disebabkan kedudukannya sebagai Galle Puto, salah satu unsur adat yang bertugas menjaga hutan. lnforman lainnya adalah Puto Nungga, salah seorang tokoh masyarakat bertugas membakar kemeyang dalam setiap upacara adat.
Masyarakat Ammatoa lebih melihat hutan dari segi manfaat dan fungsinya. Karena itu pulalah hutan mempunyai makna sesuai dengan manfaat dan kegunaannya sebagai penyedia air dan tempat melakukan upacara yang sakral. Makna tersebut dibawa dari, atau muncul dari interaksi sosial dengan sesamanya. Hutan keramat tidak berubah fungsi dari generasi ke generasi karena memang dijaga. Sementara hutan batas bisa berubah, ketika dilakukan upacara pernbuka hutan batas, maka hutan itu tidak sakral Iagi dan boleh diambil hasilnya secara terbatas. Hutan di luar kawasan Ammatoa berfungsi ekonomis. Pemahaman tentang hutan didapatkan dari pasang ri kajang (pesan-pesan dari kajang). lnteraksi mereka dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penting diantaranya bahasa, warna pakaian, rumah dan pohon dande.
Ammatoa sebagai ketua adat mendapat tugas utama dari Tuhan menjaga hutan. Ammatoa dibantu oleh pemangku adat yaitu Galla Puto yang tugas utamanya menjaga hutan. Masyarakat diminta menjaga hutan dengan menekankan imbalan yang akan didapatkan. Adapun dalam penegakan aturan, Ammatoa cenderung menggunakan strategi kontrol Iingkungan dengan level pengendalian.
Dalam Teori Interaksi Simbolik, makna sebagaimana benda tersebut di bawa dari, atau muncul dari interaksi sosial dengan sesamanya. Hal ini sejalan makna hutan bagi masyarakat Ammatoa muncul dari interaksi dalam masyarakat tersebut. Mereka bertindak terhadap hutan sesuai dengan makna tersebut. Makna dipelihara, dan dimodifikasi melalui, proses interpretasi yang digunakan orang dalam berhubungan dengan benda yang dihadapi. Premis ini ditemukan pula dalam makna hutan bagi masyarakat Ammatoa. Ada hutan yang maknanya tidak berubah karena makna tersebut memang sengaja dipelihara Ada pula hutan yang berubah maknanya sesuai konteksnya yaitu hutan batas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Sutisna
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI, 2001
634.95 MAM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zihan Syahayani
"Penelitian ini membahas mengenai resentralisasi tata kelola hutan di Indonesia. Permasalahan yang dikaji adalah tentang mengapa urusan kehutanan kembali disentralisasi berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 23 Tahun 2014 dan bagaimana seharusnya resentralisasi tata kelola hutan yang integratif dan berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, perundang-undangan dan konseptual yang berkaitan dengan sentralisasi dan desentralisasi urusan kehutanan di Indonesia. Jawaban yang diperoleh dari hasil penelitian, pertama, Pemerintah melakukan resentralisasi urusan kehutanan karena kerusakan sumber daya hutan yang semakin parah di era kebijakan desentralisasi diterapkan. Pada praktiknya penyelenggaraan desentralisasi selama ini, baik sebelum maupun setelah rezim UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, hanya menambah beban ekonomi biaya tinggi, dikarenakan pemerintah kabupaten/kota tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan benar dan justru menjadi pusat suap dalam hal perizinan kehutanan. Kedua, kebijakan resentralisasi tata kelola hutan yang integratif dan berkelanjutan seharusnya dibangun dengan pendekatan bioregion dan pembangunan berkelanjutan, lintas batas administratif managing transboundary resourches , serta penyelenggaraan prinsip tata kelola hutan yang baik good forest governance.
Kebijakan resentralisasi demikian mensyaratkan beberapa unsur antara lain: 1 transparansi dan akuntabilitas; 2 partisipasi; dan 3 koordinasi dan supervisi. Pada tataran implementasi, penyelenggaraan resentralisasi tata kelola hutan yang integratif dan berkelanjutan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 akan menemui beberapa tantangan. Pertama, tantangan untuk mempercepat proses pelaksanaan pengukuhan hutan, khususnya dalam hal penentuan tata batas, agar tidak kalah cepat dengan proses perambahan. Kedua, tantangan kelembagaan KPH dan cabang dinas provinsi di tingkat kabupaten/kota, menyangkut pula aspek kesiapan sumber daya manusia dan pendanaan. Ketiga, penguatan peran stakeholder, khususnya pemerintah provinsi. Selain itu juga penguatan peran masyarakat adat atau lokal dan masyarakat sipil, misalnya dalam memberi masukan atau review perizinan.

This research aims to analyse about re centralization of forest governance in Indonesia. The problem is focused on why forestry affairs are re centralized based on Law Number 23 Year 2014 on Regional Governance Law No. 23 2014 and how re centralization of integrative and sustainable forest governance should be. This type of research is normative legal research that has a prescriptive nature. This research use a historical, legal and conceptual approach related to the centralization and decentralization of forestry affairs in Indonesia. The answer of the research is the first one, The Goverment do re centralization because the increasingly severe damage to forest resources in the era of decentralization policies. In practice the implementation of decentralization so far, both before and after the regime of Law No. 22 1999 on Regional Governance, only adds to the burden of high cost economy, because the district city government does not perform proper supervisory functions and instead becomes the center of bribery in forestry licensing. The second one, integrative and sustainable forest management decentralization policies should be developed with bioregion and sustainable development, managing transboundary resourches, and good forest governance principles approach.
The concept of re centralization has several elements including 1 transparency and accountability 2 participation 3 coordination and supervision. At the implementation level, re centralization of integrative and sustainable forest governance based on Law No.23 2014 will meet some challenges. The first one, the challenge to accelerate the implementation process of forest empowerment, especially in terms of setting boundaries, so as not to lose quickly with the process of encroachment. The second one, the challenges of KPH empowerment and branches of provincial services at the district city level, concerning aspects of human resource and funding readiness. The third one, strengthening the role of stakeholders, especially the provincial government. In addition, strengthening the role of indigenous or local peoples and civil society, for example in giving input or review of permissions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T50266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nengah Bawa Atmadja
"Hutan Kera Sangeh adalah kawasan hutan asli yang diperkirakan telah ada sekitar abad ke XVII, dan terus bisa bertahan kelestariannya sampai sekaranq. Bahkan sejalan dengan adanya kenyataan bahwa Bali sebaaai salah satu daerah tujuan wisata, maka hutan tersebut berkembang pula menjadi Objek wisata yang terkenal di Bali. Meskipun demikian, kelestarian hutan tersebut tetap terjaga. Penael c l aan obyek wisata tersebut sepenuhnya ditangan oleh Desa adat Sangeh. Kelestarian Hutan Kera Sangeh disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kepercayaan masyarakat setempat bahwa hutan itu adalah milik dewa, sehingga Desa adat Sangeh berusaha melindunginya agar dewa tidak memarahi mereka, dengan Cara membuat aturan-aturan tertentu yang mengatur hubungan antar manusia dengan hutan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, perlindungan tersebut di sebabkan pula oleh kepercayaan mereka bahwa mata air yang terdapat di Yeh Mumbul, yang sangat berguna untuk pengairan pada Subak Sangeh di anggap bersumber di Hutan Sangeh. Karena itu perlindungan terhadap hutan tersebut berarti pula perlindungan terhadap air yang mereka butuhkan. Peranan Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia, tidak bisa pula di abaikan dalam memperkuat posisi Hutan Kara Sangeh, yaitu melalui penetapan hutan itu sebagai hutan yang dilindungi, dengan status cagar alam, sejak tahun 1919. Selanjutnya, pemanfaatan hutan itu sebagai obyek wisata justru memperkuat usaha masyarakat setempat untuk menjaga kelestariannya, sebab mereka melihat kelestarian Hutan Kara Sangeh berarti pula mereka menjaga kelestarian sumber finansial yang sengat berguna bagi Desa Adat Sangeh maupun warganya.
Perkembangan Hutan kera Sangeh sebagai obyek wisata, dieebabkan oleh daya tarik yang dimilikinya, yaitu bersumber dari lingkungan alam dan pura-pura yang ada di dalamnya, terutama Pura Bukit Sari. Hal ini diperkuat pula oleh keterbukaan masyarakat setempat terhadap kunjungan wisatawan dan penyediaan fasilitas pariwisata yang dibutuhkan, baik yang di prakarsai oleh Desa adat Sangeh beserta warganya, maupun yang disediakan oleh pemerintah daerah. Obyek wisata tersebut sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara sejak tahun 1900-an. Kunjungan wisatawan ke obyek tersebut terus meningkat, dan sejalan dengan itu maka desa adat pun manatanya secara bertahap sehingga akhirnya mencapai tahap kemapanan.
Pengelolaan obyek wisata itu sepenuhnya ditangani oleh Desa adat Sangeh. Agar desa adat bisa berperan seperti apa yang diharapkan, yakni menangani bidang adat dan agama, serta sekaligus sebagai pengelola Qbyek wisata, maka desa adat Sangeh melakukan pembaharuan kelembagaan, yakni menambah organ-organ baru dalam struktur pemerintahan Desa Adat, yang meliputi LKMD Adat, Seksi Pengelola Obyek wisata, Seksi pembangunan Pura Bukit Sari, PT Bank Desa Sangeh, dan LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Selain itu, desa adat juga membentuk organisasi bisnis sejenis, yakni Perkumpulan Pedagang dan Perkumpulan Tukang Foto Langsung Jadi, lengkap dengan awig-awignya. Selanjutnya, sebagai pengelola obyek wisata, desa adat memainkan beberapa peranan, yakni : (1) menyediakan lokasi fasilitas pariwisata; (2) mendistribusikan lokasi kios dan kesempatan kerja yang ada; (3) mengatur dan mengawasi kegiatan usaha pariwisata; (4) menerima dan menjaga keamanan tamu; (5) mengelola masukan financial; dan (6) menjaga kelestarian dan kebersihan obyek?"
Depok: Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi
"Latar belakang permasalahan yang mendarong dilakukannya studi penelitian ini ialah perkembangan dunia saat ini yang menampakkan semakin meningkatnya saling ketergantungan antar negara. Berbagai kepentingan atau minat yang mewarnai arus hubungan antar negara, serta perkembangan alat perhubungan dan teknologi, semakin meningkatkan hubungan yang mulanya terkendali oleh waktu maupun jarak ruang. Pertemuan antar manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda menjadi tidak terhindarkan dan setiap saat terjadi proses adaptasi antar budaya, yaitu ketika orang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial budaya yang baru.
Adaptasi antar budaya tercermin pada kesesuaian antara pola komunikasi pendatang ke suatu lingkungan baru dengan pola komunikasi yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Sebaliknya, adaptasi antar budaya juga ditunjang oleh kesesuaian pola komunikasi. Salah satu hakekat komunikasi ialah kegiatan pencaharian dan perolehan informasi dari lingkungan. Informasi dapat diperoleh melalui saluran media massa dan saluran non-media massa. Komunikasi massa dan komunikasi non-media massa merupakan unsur-unsur dari kegiatan komunikasi sosial, yang saling tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi.
Sorotan terhadap hubungan antara komunikasi massa dengan komunikasi non-media massa mengarahkan perhatian pada suatu proposisi dari Miller (1982), yang melihat adanya kemungkinan bahwa 'pengenaan terhadap pesan media massa dalam jumlah banyak dapat menghambat kemampuan orang untuk berkomunikasi secara antar pribadi'. Proposisi Miller tersebut berlandaskan pada pemikirannya tentang adanya tiga jenis informasi, yaitu: informasi kultural, informasi sosiologikal masuk jenis informasi mengenai hasil dari konseptualisasi Miller adalah: bila ramalan dan informasi psikologikal. Masing dapat membantu peramalan seseorang upaya komunikasinya. Inti dari mengenai 'komunikasi antar pribadi' mengenai hasil komunikasi sangat tergantung pada informasi kultural dan/atau sosiologikal, maka para pelaku komunikasi komunikasi terlibat dalam komunikasi 'impersonal'; jika ramalan sangat didasarkan pada informasi psikologika., maka para pelaku komunikasi terlibat dalam komunikasi 'antar pribadi'. Miller menghubungkan ketiga jenis informasi dengan penggunaan saluran komunikasi melalui media massa dan non-media massa. Informasi kultural dan sosiologikal berperan pokok dalam komunikasi melalui media massa, sedangkan informasi psikologikal berperan dalam komunikasi non-media massa.
Proposisi Miller tersebut mendorong pada minat dalam studi ini untuk melihat kemungkinan terjadinya dalam situasi antar budaya, khususnya dalam konteks adaptasi antar budaya. Yang dilihat sebagai permasalahan pokok penelitian ialah: sampai sejauh mana kebenaran bahwa pengenaan media massa dapat menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari komunikasi non-media massa terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya? Bagaimana kemungkinan peranan dari faktor-faktor lain di luar kegiatan komunikasi terhadap kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya?
Penelitian lapangan seluruhnya dilaksanakan di kota Tokyo, Jepang, terhadap warga masyarakat Indonesia yang telah menetap sedikitnya satu tahun, tidak mempunyai pertalian hubungan darah maupun perkawinan dengan orang Jepang dan berusia sedikitnya 18 tahun. Sampel ditentukan secara non-probabilita, karena tidak mungkinnya diperoleh daftar lengkap dan terinci mengenai jumlah populasi. Dari 100 kuesioner yang disebarkan, sejumlah 80 dikembalikan kepada peneliti. Penelitian lapangan keseluruhan, yaitu penjajagan dan survey dilaksanakan antara bulan Juli 1991 sampai dengan bulan Mei 1992.
Untuk analisis data dipergunakan:
(1) Metode analisis deskriptif, yaitu terhadap variabel-variabel pokok dalam studi, serta
(2) Metode analisis diskriminan, yakni untuk menjawab pertanyaan mengenai peranan atau kontribusi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Yang dianggap sebagai variabel-variabel independen adalah aspek-aspek yang tercakup dalam konsep-konsep: 'penggunaan media massa', 'komunikasi non-media massa', 'faktor disposisional' dan 'faktor situasional'. Sedangkan yang dilihat sebagai variabel dependen ialah konsep 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Untuk konsep ini digunakan tiga indikator, yaitu 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang', 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'.
Hasil penelitian menemukan bahwa:
(1) 'Faktor disposisional' merupakan faktor yang terbesar peranannya dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah 'rencana menetap keseluruhan', 'perasaan ketika menghadapi perbedaan', 'lama menetap', 'usaha menggunakan bahasa Jepang' dan 'pekerjaan', 'pengetahuan tentang Jepang sebelum menetap'.
(2) ?Penggunaan media massa' merupakan faktor kedua terbesar yang berperan menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan adalah : 'bahasa pengantar dalam menggunakan televisi', 'pilihan topik televisi secara khusus', 'kegiatan lain selama menggunakan televisi' dan 'pilihan topik televisi secara umum'. Menjawab pertanyaan pokok dalam penelitian ini, maka ternyata proposisi Miller yang menyatakan kemungkinan terdapatnya hubungan antara penggunaan media massa dalam jumlah banyak dengan kemampuan komunikasi antar pribadi, kurang didukung oleh data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun hubungan itu ada, namun termasuk 'lemah' atau 'rendah'. Ternyata aspek penggunaan media massa yang lebih kuat peranannya adalah 'pilihan topik televisi secara khusus'. Artinya, pelaku adaptasi antar budaya yang mempunyai lebih banyak pilihan topik khusus dalam televisi, adalah yang cenderung untuk memandang hubungannya dengan orang Jepang bersifat 'non-antar pribadi'.
(3) 'Komunikasi non media massa', dalam menunjukkan peranannya, hampir sama besarnya dengan 'penggunaan media massa' dalam menentukan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks adaptasi antar budaya. Khususnya aspek-aspek yang berperan ialah . 'penggunaan Bahasa Jepang dalam berkomunikasi antar budaya', 'frekuensi hubungan antar budaya', 'tingkat keakraban dalam hubungan antar budaya' dan 'mayoritas anggota dalam organisasi yang diikuti'.
(4) 'Faktor situasional' adalah yang terkecil peranannya terhadap 'kemampuan komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'. Aspek dari faktor situasional yang menunjukkan peranannya hanyalah 'pengalaman pernah tersinggung atau tidak tersinggung karena perlakuan orang Jepang' dan 'tetangga terdekat dari tempat tinggal'.
Secara keseluruhan, dari hasil studi dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'anggapan tentang hubungan dengan orang Jepang sebagai hubungan antar pribadi' tidak sama dengan kemampuan komunikasi antar pribadi dalam pengertian 'penilaian tentang keefektifan komunikasi' dan 'pengetahuan tentang kelayakan komunikasi'. Data kategorikal atau informasi kultural dan sosiologikal tetap diperlukan bagi berlangsungnya 'komunikasi antar pribadi dalam konteks antar budaya'."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
D345
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aviana Mayudrasari Suhargo Arif
"Salah satu tujuan pendidikan di KWJ adalah agar ilmu yang diperoleh dapat digunakan untuk mempererat hubungan antara Jepang dan Indonesia, dalam segala bidang. Sebagai pendidik di lingkungan industri manufaktur, penulis berkesempatan berkeliling ke berbagai perusahaan di Indonesia, mulai dari perusahaan besar, menengah dan kecil (IKMl/ndustri Kecil dan Menengah). Baik perusahaan PMDN (Penanarnan Modal Dalam Negeri), maupun PMA (Penanaman Modal Asing) dari Jepang, Korea, Amerika, Taiwan dan Singapura.
Dalam pelaksanaan kerja, ketika melakukan konsultasi untuk suatu perusahaan, yang digunakan juga sebagai bahan penelitian, maka masalah yang paling sering muncul adalah mengenai komunikasi internal di dalam perusahaan itu sendiri. Hal menarik yang ditemukan dalam pelaksanaan konsultasi dan penelitan yang dilakukan kemudian adalah bahwa ada perbedaan cars berkomunikasi di antara mereka (baik orang Indonesia yang berbicara kepada orang Jepang, maupun sebaliknya). Salah satu faktor utamanya adalah bahasa dan budaya.. Untuk itu, dalam thesis ini, penulis mengambil topik "Perbedaan Cara Berkomunikasi Antara Pekerja Jepang dan Pekerja Indonesia dalam Penerapan Horenso (Studi Kasus pada perusahaan Jepang di Indonesia)".
Penelitian dilakukan selama 2 tahun terakhir dengan fokus pads perusahaan Jepang di Indonesia, karena faktor kemudahan akses untuk mengetahui tentang aktivitis perusahaan Jepang di Indonesia. Lebih dari 70% pelanggan dari Matsushita Gabel Institute adalah perusahaan yang memiliki afliasi dengan perusahaan di Jepang."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T17577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarsisius Florentinus Sio Sewa
"Interaksi antaretnis dan antarbudaya adalah realitas sosial yang tidak dapat dihindari terlebih di era globalisasi dewasa ini. Interaksi yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan konflik dan ketidakseimbangan relasi. Interaksi yang tidak sehat dapat saja terjadi oleh karena stereotype, prejudice dan sikap etnosentrisme. Padahal interaksi yang baik menuntut adanya saling keterbukaan, saling pengertian dan upaya untuk masuk dan beradaptasi dengan budaya lain.
Hal yang sama dapat saja terjadi dalam interaksi antara etnis Ende dan Lio dengan etnis Cina dan Padang di Kota Ende, yang menjadi subyek penelitian Tesis ini. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan komunikasi antarbudaya, penulis menjelajahi realitas "communicative-style" ke-empat kelompok etnis yang saling berinteraksi, termasuk latarbelakang sosio-budaya, sosio-ekonomi dan sosio-religius yang mempengaruhinya.
Untuk memahami pola komunikasi dari mereka yang berinteraksi, penelitian tersebut secara khusus menyoroti enam ( 6 ) elemen Communicative-style Barnlund yang relevant 1) tema pembicaraan, 2) bentuk interaksi, 3) tatacara berkomunikasi, 4) cara merespons, 5) penyingkapan diri, dan 6) emphaty.
Etnis Ende, dengan karakter ekstrovert: banyak berbicara, bicara dengan suara keras dan emosi yang kadang tak terkendali, tidak sulit berinteraksi terutama dengan etnis Padang dan Lio. Mereka cenderung lebih dekat dengan etnis Padang karena kesamaan agama dan etnis Lio karena hubungan darah dan adat serta bahasa dan budaya yang relatif hampir sama. Berhadapan dengan Etnis Lio dan Padang, mereka dapat berbicara apa saja, mulai dari obrolan santai, obrolan serius, penyingkapan diri dan bahkan dengan etnis Lio sampai kepada tingkat emphaty. Sementara itu, interaksinya dengan etnis Cina masih sebatas tegur-sapa dan transaksi jual-beli. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh medan interaksi yang terbatas antara keduanya.
Dengan karakter yang relatif lebih tenang, santun, ramah dan terbuka, etnis Lio dengan mudah dapat berinteraksi dengan etnis Padang, Cina dan Ende. Dalam interaksi di antara mereka, tampak bahwa etnis Cina cenderung lebih dekat dengan etnis Lio karena kesamaan agama dan karena medan interaksi yang cukup luas. Walaupun jarang ada emphaty dan penyingkapan diri; namun tegur-sapa, basa-basi, obrolan santai dan kadangkala obrolan serius, sering menjadi bagian dari komunikasi dan interaksi di antara mereka.
Meminjam istilah Norton dengan sembilan (9) "Communication characteristic"-nya, etnis Ende lebih banyak memperlihatkan perilaku: dominant, dramatic, contentious dan animated; dibandingkan dengan etnis Lio yang cenderung bersikap: relaxed, attentive, open dan Friendly. Sementara itu, etnis Cina cenderung berperilaku: Relaxed, Friendly, attentive khusus dengan etnis Lio dan dramatic, khusus dalam mempromosi barang dagangannya. Sedangkan etnis Padang sering menunjukkan perilaku yang Relaxed, Friendly dan kadangkala attentive khusus dalam interaksinya dengan etnis Ende.
Pemahaman yang baik tentang communicative-style akan membantu mereka yang berinteraksi untuk dapat "menempatkan diri" sebagai subyek yang trampil dan kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya. Dengan demikian, keanekaan budaya yang tampak dalam keanekaan cara orang berkomunikasi, tidak menjadi halangan bagi terciptanya iklim komunikasi yang baik; tetapi sebaliknya, menyadarkan orang menerima perbedaan yang ada sebagai "kondisi terberi" guna saling melengkapi dan menyempurnakan demi "bonum commune" (kebaikan bersama). Karena kebaikan bersama adalah impian semua manusia, siapapun dia dan dari mana asalnya!

Interethnic and intercultural interaction is a social reality which can not be avoided, especially at the era of globalization, nowadays. Unmanaged interaction will bring conflict and unbalanced relation. Unhealthy interaction would be caused by stereotype, prejudice and ethnocentrism among communication participants. It could be concluded that a pleasant interethnic and intercultural interaction required openness, a deep insight and require effort to put our self in the other culture and also to adapt with that culture.
The same assumption may apply in communication and interaction between Endenese, Lionese and Chinese, Padangnesse in Ende, which is the subject of this Thesis research. By using Constructivism paradigm and intercultural communication approach, the researcher try to explore "communicative-style" of those four ethnics in their interaction including the influence of social-cultural, social-economic and social-religious background.
To understand the behavior of the communication participants, this research reflects six (6) elements of Barnlund's Communicative-Style: The Topics people prefer to discuss, their favorite forms of interaction ritual, repartee, self disclosure and the depth of involvement they demand of each other.
Endenese with their extrovert characters: speaks frequently, interrupts and un-controls conversations, speaks in a loud voice, have no difficulties to interact with the Padangnese and Lionese. They tend go closer with the Padangnese because of similarities in social-religious factor; and with the Lionese because of family and customary relationships, resembling in similar language and culture. With them, Endenese can cover various topics of conversation, beginning with a short conversation, serious-talk, self-disclosure and than empathy. Their interaction with the Chinese still restricted to small-talks and subjects related to trading. This fact is influenced by their restricted interactions-setting.
Lionese with their relaxed character: calm, simple, modest, friendly and open, can interact with Padangnese, Chinese and Endenese, easily. The Chinese tends go closer with the Lionese because of similarities in social religious factors and their interactions-setting is broad enough. Although, in daily interaction they seldom display empathy and self disclosure; but small-talks, a short conversation and serious-talk occasionally, often can be a part of their communication and interaction.
Based on Nortons technical-term and his nine (9) communication-characteristics, Endenese much more display these communication traits: dominant, dramatic, contentious and animated; comparing with Lionese which is relaxed, attentive, open and friendly. The Chinese tend to be relaxed, friendly, attentive, especially with the Lionese and dramatic especially in promoting their trading goods. Padangnese often are relaxed, friendly and sometimes attentive, especially with the Endenese.
A good understanding about communicative-style and its influencing factors would help the communication participants: Endenese, Lionese, Chinese and Padangnese, to "put themselves" as "competent-subject" in intercultural communication and interaction. Therefore, the variety of cultures that appear on the diversity communicative-styles, should not become a constraint to develop a good communication-climate; but on the other hand should make someone more aware of the importance of accepting differences with honesty and sincerity, to reach "bonumcommune". Because "bonum-commune" is a vision of all mankind, whoever and wherever they come!
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
302.2 KOM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Armando
"This article elaborates the concept of 'intercultural dialogue," which is often posed as an alternate solution to ongoing international conflicts. Intercultural dialogue seeks its way to end violence by tracing and deconstructing false perceptions among hostile entities. Bearing in mind that intercultural dialogue is extremely complex, in avoiding the possibility of turning it into mere propaganda, terms of intercultural dialogue need to be defined. Several critical notes are pointed here. Firstly, communication is not a linear process. Secondly, it needs to be conducted in an open system. Thirdly, communication has to be carried out simultaneously on multiple levels to enable participation from various actors. Fourthly, communication should be conducted with the 'right entities,' those who need to be engaged in a dialogue the most but are often neglected (based on the perception that they are hard to communicate with)."
2003
GJPI-5-2-Mei2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Prudensius, Maring
"Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan yang dilakukan di tengah pangaruh berbagai faktor yang melingkupinya. Masyarakat Sumber Agung tinggal di pinggir kawasan hutan dan memanfaatkan lahan kawasan hutan. Praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan meliputi kegiatan berladang, tumpangsari, kebun monokultur dan kebun campuran. Dalam kenyataan, bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan karena banyak aspek yang telah memberikan pengaruh terhadap pilihan bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan tersebut.
Kajian ini menjelaskan hubungan interaktif antara bentuk-bentuk praktek pemanfaatan lahan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga, pasar, pengetahuan lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan kawasan hutan merupakan keputusan yang dilakukan di tengah situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya. Untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan yang dilakukan dan mengungkap pertimbangan yang mendasarinya maka kajian ini mengacu kepaga kerangka teori pengambilan keputusan. Penelitian lapangan dilakukan sejak bulan Oktober 1998 - Oktober 1999. Penelitian dilakukan di kampung Sumber Agung, sebuah kampung berbatasan dengan kawasan hutan yang dihuni masyarakat yang sumber penghidupannya berasal dari pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan gunung Betung.
Kajian ini mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Sumber Agung merupakan keputusan dalam menghadapi berbagai faktor yang saling berkaitan terutama upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, ketersediaan pasar dan kepastian harga, pengalaman dan pengetahuan masyarakat lokal dan penerapan kebijakan pembangunan. Pada setiap praktik pemanfaatan lahan hutan yang dilakukan, pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga selalu menjadi pertimbangan masyarakat. Hal ini tercermin dari berbagai pilihan tanaman pada semua bentuk praktik pemanfaatan lahan yang selalu dipertimbangan untuk dapat memenuhi kebutuban pangan dan uang tunai dalam jangka pendek dan sebagai investasi jangka panjang. Pertimbangan ekonomi dalam pilihan tanaman tahunan selalu diintegrasikan dengan ketersediaan pasar dan harga jual. Pengetahuan teknis budidaya tanaman dan kemampuan memahami kesesuaian agroklimat dengan pilihan tanaman selalu dikembangkan dalam proses belajar dari pengalaman di lingkungan sekitarnya. Tidak konsistennya penerapan kebijakan pembangunan, di satu sisi telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan praktik pemanfaatan lahan hutan. Tetapi di sisi lain telah menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat dan telah mengabaikan kemampuan dan pengalaman masyarakat dalam pengelolaan lahan kawasan hutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T4694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>