Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16377 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Doxorubicin dan docetaxel masing-masing dikenal sebagai obat sitotoksik yang aktif untuk pengobatan kanker payudara metastatik (KPM). Kombinasi keduanya juga telah memperlihatkan derajat aktivitas yang tinggi sebagai kemoterapi lini kedua untuk KPM. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keampuhan dan keamanan kombinasi docetaxel-doxorubisin sebagai kemoterapi lini pertama untuk penderita KPM di Indonesia. Sebanyak 26 pasien wanita berusia 31-65 tahun dengan KPM diikutsertakan dalam studi. Pasien belum pernah mendapat taxane atau doxorubicin kumulatif sebesar 250 mg/m2 serta tidak menderita penyakit jantung. Terapi terdiri dari doxoubicin 50 mg/m2 sebagai bolus intravena (IV) diikuti satu jam kemudian oleh docetaxel 60 mg/m2 dengan infus IV selama 1 jam, setiap 3 minggu untuk 6 siklus. Premedikasi dengan kortikosteroid oral diberikan sehari sebelum kemoterapi sampai hari kedua setiap siklus. Fraksi ejeksi ventrikel kiri direkam di awal studi dan setelah siklus ke-6. Di akhir studi, secara total telah diberikan 156 siklus kemoterapi. Lima dan 11 orang pasien mengalami respons komplit (RK) dan parsial (RP), berturut-turut, yang menjadikan respons keseluruhan terbaik sebesar 61,54%. Tiga orang pasien dengan metastatis hepar luas tampak hilang sama sekali setelah 6 siklus. Toksisitas derajat 3-4 tersering adalah leukopenia (80,77%) dan febrile neutropenia (5,77%). Leukopenia biasanya singkat, dan terutama terjadi pada siklus pertama dan kedua serta tidak membutuhkan penurunan dosis. Tidak ada pasien yang mengalami gagal jantung. Terdapat satu kematian akibat penyakit yang progresif setelah 6 siklus. Kombinasi doxorubicin 50 mg/m2 dan docetaxel 60 mg/m2 tampak aktif sebagai kemoterapi lini pertama pada KPM, khususnya pada pasien dengan metastatis hepar, dengan profil toksisitas yang dapat ditatalaksana. (Med J Indones 2004; 14: 20-5)

Doxorubicin and docetaxel as a single agent are known as active cytotoxic agents for the treatment of metastatic breast cancer (MBC). Their combination has also shown to be highly active as a second-line chemotherapy of MBC. This study was design to evaluate the efficacy and safety of docetaxel-doxorubicin combination as first line chemotherapy of MBC patients in Indonesia. Twenty-six female patients between 31-65 years old with advanced or MBC was enrolled. No prior taxane or cumulative doxorubicin of 250 mg/m2 was allowed and patients should not have a heart disease. Treatment consisted of doxorubicin 50 mg/m2 as intravenous (IV) bolus followed one hour later by docetaxel 60 mg/m2 by IV infusion over 1 hour every 3 weeks for 6 cycles. Premedication with oral corticosteroid was administered a day prior to chemotherapy until the second day of each cycle. Left ventricular ejection fraction was recorded at baseline and after the 6th cycle. At the end of study, a total of 156 cycles of chemotherapy have been delivered. Five and 11 patients had a complete response (CR) and partial response (PR), respectively, which accounted for a 61.54% best overall response. Three patients with extensive liver metastases showed complete disappearance after 6 cycles. Most frequent grade 3-4 toxicities were leukopenia (80.77%) and febrile neutropenia (5.77%). Leukopenia was usually short in duration, occurred mainly during the first and second cycle and did not require dose reduction. No patient developed heart failure. There was one death due to progressive disease after 6 cycles. Combination of doxorubicin 50 mg/m2 and docetaxel 60 mg/m2 was sufficiently active as first-line chemotherapy of MBC, especially in patients with liver metastases, with a manageable toxicity profile. (Med J Indones 2004; 14: 20-5)"
Medical Journal of Indonesia, 14 (1) January March 2005: 20-25,
MJIN-14-1-JanMar2005-20
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cosphiadi Irawan
"Tujuan: untuk menganalisis penanda biologi CXCR4, IL11-RA, TFF1 dan MLF1P, klinikopatologi dan profil ekspresi genetik mRNA sebagai penanda peningkatan kejadian metastasis tulang pada pasien kanker payudara stadium lanjut.
Metode: studi ini merupakan penelitian potong lintang. Analisis dilakukan pada total 92 pasien kanker payudara, terdiri atas 46 pasien metastasis tulang dan 46 pasien dengan metastasis nontulang. Analisis imunohistokimia dan microarray, dilakukan pada 81 sampel formalin fixed paraffin embedded (FFPE) dari 81 pasien yang didapat. Data dikumpulkan melalui rekam medis, pemeriksaan imunohistokimia (IHK), dan microarray dengan nanoString nCounterTM.
Hasil: artikel ini merupakan bagian satu dari dua tahap pelaporan hasil penelitian. Pada tahap satu diperoleh hasil analisis IHK, IL11-RA dengan cut-off ≥103,5 menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 3,803 (95 % interval kepercayaan [IK], 1,375-10,581), p=0,010, dan MLF1P dengan cut-off ≥83,0 menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 2,784 (95% IK, 1,009-7,681), p=0,048. Status ER+ menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 7,640 (95 % IK, 2,599-22,459), p<0,000. AUC gabungan IL-11RA, MLF1P dan ER+, mempunyai ketepatan hampir 80% (meningkat dibandingkan AUC masing-masing secara terpisah), untuk membedakan dan menjelaskan kejadian metastasis tulang, pada kanker payudara stadium lanjut.
Kesimpulan: IL11-RA, MLF1P dan ER+, merupakan determinan peningkatan kejadian metastasis tulang pasien kanker payudara stadium lanjut.

Aim: to analyze expression of biomarkers CXCR4, IL11-RA, TFF1 and MLF1P, and clinico pathology in advanced breast cancer patients with bone metastatic.
Methods: this is a cross-sectional study. Analysis was done against a total of 92 breast cancer patients, including 46 bone metastatic patients and 46 non-bone metastatic patients. Immunohistochemistry and microarray analysis was performed in 81 formalin fixed paraffin embedded (FFPE) samples from 81 patients were used. Data were collected through medical records, immunohistochemistry (IHC), and microarray with nanoString nCounterTM. Results: this article is part one of a two stage reporting research results. In part one we got the results of the IHC analysis, IL11-RA with cut-off ≥103.5 showed OR 3.803 (95 % confidence interval [CI], 1.375-10.581), p=0.010, MLF1P with cut-off ≥83.0 OR 2.784 (95% CI, 1.009-7.681), p=0.048, and ER+ OR 7.640 (95 % CI, 2.599-22.459), p<0.000, were associated with bone metastastic incidences in advanced breast cancer, and were statistically significantly different. A combination of IL-11RA, MLF1P and ER+, showed an accuracy of approaching 80% to discriminate between bone metastatic and non bone metastatic in advanced breast cancer patients.
Conclusion: IL11-RA, MLF1P, and ER+ were the determinants that were associated with increasing bone metastasis incidence."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
610 IJIM 48:4 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Filipus Dasawala
"Kemoterapi neoajuvan (KNA) merupakan salah satu modalitas terapi pada kanker payudara lanjut lokal (KPD-LL). Beberapa studi telah menunjukkan KNA dapat meningkatan kesintasan keseluruhan bila didapatkan respons patologis komplet, namun efektifitasnya dihambat oleh kemoresistensi yang dapat dimediasi oleh P-glycoprotein (Pgp). Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji hubungan antara ekspresi Pgp dengan respons terhadap KNA pada pasien KPD-LL. Studi kohort prospektif multisentra dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja pada periode September 2018 sampai Mei 2019. Analisis imunohistokimia dilakukan pada sampel biopsi untuk menilai ekspresi Pgp secara semikuantitatif. Respons klinis dinilai pascakemoterapi tiga siklus dengan menggunakan kriteria WHO. Subjek yang dinilai operabel pascaKNA menjalani operasi mastektomi radikal modifikasi. Respons patologis dinilai pada spesimen bedah dengan menggunakan kriteria Miller-Payne. Pgp didapatkan positif pada 21/27 subjek (77,8%) dan lemah/negatif pada 6/27 subjek (22,2%). Respons patologis komplet hanya didapatkan pada satu pasien dengan Pgp negatif. Tidak ada perbedaan secara statistik antara subjek dengan Pgp positif dan Pgp negatif dalam hal respons klinis maupun respons patologis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien KPD-LL mengekspresikan Pgp, namun Pgp tidak dapat digunakan sebagai prediktor respons terhadap KNA, baik klinis maupun patologis.

Neoadjuvant chemotherapy (NACT) is one of the modalities used to treat locally advanced breast cancer (LABC). Studies have shown that it can improve overall survival if pathological complete response is achieved, but it is impeded by chemoresistance of which can be mediated by P-glycoprotein (Pgp). The aim of this study is to explore the association between Pgp expression and response to NACT. A multicenter prospective cohort study was carried out in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Koja General Hospital from September 2018 to May 2019. Immunohistochemical analyses of the biopsy samples were done to semiquantitatively measure Pgp expression. Clinical response was evaluated after three cycles NACT using WHO response criteria. Subjects, who were deemed operable post-NACT, underwent modified radical mastectomy. Afterwards, the surgical specimens were evaluated for pathological response following Miller-Payne criteria. Pgp was strongly expressed in 21/27 subjects (77.8%) and weak/negative in 6/27 subjects (22.2%). pCR was seen only in one Pgp negative subject. There was no difference between Pgp positive and negative subjects in terms of clinical response and pathological response. The results show, Pgp is expressed in the majority of LABC patients, but it cannot be used as a predictor of response to NACT, either clinically or pathologically.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faruly Wijaya S. Limba
"ABSTRAK
Latar Belakang : Tulang adalah situs metastasis utama pada pasien kanker payudara. Berbagai biomarker telah dihubungkan dengan kecenderungan metastasis sel kanker payudara ke tulang, seperti CXCR4 dan RANK. Dickkopf-1 (DKK-1), suatu protein, diketahui sebagai regulator negatif dari jalur sinyal Wnt, yang ditemukan pada osteoblas matur dan osteosit. Bila dibandingkan dengan CXCR4 dan RANK, DKK-1 berada pada hulu / lebih awal dalam kaskade proses metastasis tulang, sehingga dengan mengetahui ekspresinya, diharapkan dapat menjadi prediktor yang lebih baik.
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui apakah ekspresi DKK-1 dapat digunakan sebagai prediktor metastasis tulang pada kanker payudara
Metode Penelitian : Desain studi pada penelitian ini adalah studi kohort retrospektif terhadap data rekam medis pasien Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah RSCM pada bulan Oktober 2018-Juni 2019. Analisis data dilakukan secara bivariat dan menggunakan uji Chi square atau uji Fiscer s exact. Nilai P <0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil Penelitian : Dari 76 sampel penelitian (38 sampel metastasis tulang dan 38 sampel non metastasis tulang), didapatkan nilai cut off untuk H - Score dari keseluruhan sampel yaitu 142,5. Ekspresi DKK-1 tinggi bila nilai H - Score ≥ 142,5, ekspresi DKK-1 rendah bila nilai H - Score < 142,5. Terdapat 29 sampel dengan ekspresi DKK-1 tinggi dan 9 sampel dengan ekspresi DKK-1 rendah pada kelompok metastasis tulang, 8 sampel dengan ekspresi DKK-1 tinggi dan 30 sampel dengan ekspresi DKK-1 rendah pada kelompok non metastasis tulang (OR 95% CI 12,083 (4,101-35,600), p < 0,001).
Kesimpulan : Ekspresi DKK-1 yang tinggi didapatkan pada kanker payudara dengan metastasis tulang.Terdapat hubungan yang signifikan antara ekspresi DKK-1 yang tinggi dengan kejadian metastasis tulang pada kanker payudara sehingga ekspresi DKK-1 dapat dijadikan sebagai faktor prediktor kejadian metastasis tulang pada kanker payudara. Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik dari faktor klinikopatologis terhadap ekspresi DKK-1 pada kanker payudara dengan metastasis tulang pada penelitian ini.
Kata Kunci : Kanker Payudara, Metastasis Tulang, Dickkopf-1 (DKK-1)

ABSTRACT
Background : Bone is the main metastatic site in breast cancer patients. Various biomarkers have been linked to the tendency of metastatic breast cancer cells to bone, such as CXCR4 and RANK. Dickkopf-1 (DKK-1), a protein, is known as a negative regulator of the Wnt signaling pathway, which is found in mature osteoblasts and osteocytes. When compared with CXCR4 and RANK, DKK-1 is upstream / earlier in the cascade of bone metastasis, so that by knowing its expression, it is expected to be a better predictor.
Aim : This study aims to determine whether the expression of DKK-1 can be used as a predictor of bone metastasis in breast cancer.
Methods : The study design was a retrospective cohort study of patient medical record data of the Surgical Oncology Division, Department of Surgery, Cipto Mangunkusumo Hospital in October 2018 - June 2019. Data analysis was carried out bivariately using Chi square test or Fischer s exact test. P value < 0.05 was considered statistically significant.
Result : 76 samples ( 38 with bone metastatic and 38 no bone metastatic), with cut off value for H-Score was 142,5. The expression of DKK-1 is high if the value of H-Score ≥ 142,5, and low expression if the score < 142,5. There were 29 samples with high DKK-1 expression and 9 samples with low DKK-1 expression in bone metastatic group, and 8 samples with high DKK-1 expression and 30 samples with low DKK-1 expression in no bone metastatic group (OR 95% CI 12,083 (4,101-35,600), p < 0,001)
Conclusion : High DKK-1 expression is found in bone metastatic breast cancer. There is a significant relationship between high expression of DKK-1 and the incidence of bone metastatic, so that DKK-1 expression can be used as a predicting factor for bone metastatic. In this study, there is no statistically significant association between clinicopathological factors with DKK-1 expression in bone metastatic breast cancer."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yopi Triputra
"Latar Belakang: Kanker payudara merupakan salah satu kanker terbanyak di dunia dengan angka kematian yang juga tinggi. Kasus kematian pada pasien kanker payudara paling banyak disebabkan oleh metastasis. Salah satu yang berperan pada proses perkembangan tumor primer menjadi metastasis yaitu sel imun tubuh Tumor-infiltrating Lymphocytes (TiLs) yang akan terstimulasi dan menyerang sel kanker. Selain itu, proses Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT) yang ditandai sebagai penurunan regulasi penanda epitel khususnya E-cadherin, juga berkontribusi dalam perkembangan metastasis.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi TiLs dan E-cadherin dengan kejadian kanker payudara metastasis.
Metode: Penelitian ini dilakukan pada 94 sampel dengan metode kohort retrospektif. Pengambilan data melalui rekam medis dan sediaan jaringan payudara yang kemudian dilakukan pulasan imunohistokimia E-cadherin dan pembuatan slide HE untuk pemeriksaan TiLs.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan nilai TiLs yang rendah bermakna signifikan (p=0,047) dengan kejadian metastasis kanker payudara. Sedangkan tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik nilai E-cadherin dengan metastasis pada kanker payudara (p=0,106). Namun, terdapat hubungan klinis yang tampak dari E-cadherin yang rendah terhadap metastasis kanker payudara. Selain itu, terdapat hubungan signifikan antara nilai TiLs dan E-cadherin yang rendah terhadap insiden metastasis (p= 0,011). Penelitian multivariat menunjukkan bahwa LVI, stadium dan E-cadherin memiliki pengaruh independen yang kuat terhadap kanker metastasis (p=0,043, p0,003, p=0,041).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan nilai TiLs mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian metastasis pada kanker payudara, namun LVI, stadium dan E-cadherin merupakan faktor prediktor independen kejadian metastasis pada kanker payudara.

Background: Breast cancer is one of the most abundant cancers in the world with a high mortality rate. Cases of death in breast cancer patients are the most caused by metastasis. One of the role in the process of developing primary a tumor into metastatic is the immune cell body called tumor-Infiltrating lymphocytes (TILs) which will stimulate and attack the cancer cells. In addition, the Epithelial-mesenchymal Transition (EMT) process which marked as a reduction of the regulation of the epithelial marker specifically E-cadherin, also contributes to the development of metastasis.
Aim: This study aims to determine the relationship of TiLs and E-cadherin expression with the incidence of metastatic breast cancer.
Method: The study was conducted on 94 samples with retrospective cohort method. Data retrieval through medical records and breast tissue preparations that were then conducted in the immunohistochemistry E-cadherin staining and slide HE for TiLs examination.
Result: The results showed lower TiLs significantly correlate (p = 0,047) with the incidence of metastatic breast cancer. Whereas there is no statistically significant relationship found between E-cadherin value with metastatic in breast cancer (p = 0,106). However, there are clinically visible relationship between low level E-cadherin with metastatic breast cancer. In addition, there is a significant correlation between low level TiLs and E-cadherin with metastatic incident (p = 0.011). Multivariate studies showed that LVI, staging and E-cadherin had a strong independent effect on metastatic cancer (p = 0.043, p0.003, p = 0.041).
Conclussion: This study shows the value of TiLs has a significant relationship with the incidence of metastasis in breast cancer, but LVI, staging and E-cadherin are independent predictors of metastatic events in breast cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
New Delhi: Vikas Publishing House , 1983
616.994 TEX
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yang, Andrew Jackson
"Pendahuluan: Kanker payudara lokal lanjut merupakan skenario klinis yang amat sering dijumpai di negara berkembang, dimana rekurensi masih menjadi permasalahan. Mastektomi merupakan salah satu terapi utama. Usia, stadium klinis, keterlibatan kelenjar getah bening, tipe histopatologis, grade histopatologis, subtipe tumor merupakan faktor-faktor klinikohistopatologis yang mempengaruhi rekurensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap rekurensi kanker payudara lokal lanjut pasca mastektomi.
Metode: Desain penelitian bersifat analitik potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada semua pasien kanker payudara lokal lanjut yang telah dilakukan mastektomi serta terapi definitif sesuai stadium tumor dan terdapat disease free interval serta dapat diikuti minimal 24 bulan pada periode Januari 2011 - Desember 2012 di RS Dr.Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Didapatkan 39 pasien dengan kanker payudara lokal lanjut yang telah dilakukan mastektomi serta terapi definitif dan terdapat disease free interval dengan median follow up 30 bulan. Jumlah rekurensi adalah 7,6%. Pada analisis bivariat ditemukan hubungan bermakna antara jenis histopatologi (p 0,008) dan keterlibatan kelenjar getah bening (p 0,026) dengan rekurensi. Pada analisis multivariat didapati faktor yang paling berpengaruh terhadap rekurensi adalah keterlibatan kelenjar getah bening (p 0,002).
Konklusi: Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya rekurensi kanker payudara lokal lanjut pasca mastektomi adalah kelenjar getah bening positif tumor dengan jumlah lebih dari tiga.

Introduction: Locally advanced breast cancer is clinical scenario that is very common in developing countries where recurrence is still a problem. Mastectomy is one of the primary teraphy. Age, clinical stage, lymph nodes involvement, histopathlogic type, histopatologic grades, tumor subtypes are clinicohystopatoligic factors affecting recurrence. The purpose of this study was to determine the influence of these factors on the recurrence of locally advanced breast cancer after mastectomy.
Methodology: The study design was analytical cross-sectional. Data collection was performed in all patients with locally advanced breast cancer who had performed mastectomy and appropriate definitive therapy according to tumor stage, had disease free interval and can be followed at least 24 month in the period January 2011 - December 2012 at the Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo.
Result: There were 39 patient with locally advanced breast cancer patient who had performed mastectomy as well as definitive therapy, had disease free interval with a median follow-up interval of 30 months. The number of recurrences was 7,6%. In the bivariate analysis found a significant relationship between the hystopathology type (p 0,008), lymph node involvement (p 0,026) with recurrence. In multivariate analysis found that the most influential factor to reccurrence was lymph node involvement (p 0,002).
Conclusion: The most influential factor on the occurrence of locally advanced breast cancer recurrence after mastectomy is tumor positive lymph nodes in an amount greater than three.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Ramadhana
"Kanker payudara merupakan tumor ganas yang paling sering didiagnosis, serta menjadi salah satu penyumbang kematian pertama akibat kanker pada wanita. Berbagai modalitas pengobatan digunakan dalam menangani kanker payudara salah satunya kemoterapi. Kemoterapi yang dimulai tepat waktu dapat mengurangi risiko penyebaran dan meningkatkan peluang untuk bertahan hidup. Namun, kemoterapi memiliki kekurangan tersendiri terkait efek samping yang dapat bersifat langsung, jangka pendek, ataupun jangka panjang. Proses asuhan keperawatan pada lima kasus pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi telah diterapkan menggunakan integrasi teori Symptom Management Humpreys. Teori Symptom Management menekankan pada tiga dimensi penting dalam menangani gejala atau kelompok gejala secara efektif, ketiga dimensi tersebut yaitu symptom experience, symptom management strategies, dan symptom outcomes. Luaran dari penerapan teori dalam asuhan keperawatan ini menunjukkan pengalaman gejala yang spesifik dari pasien sehingga perawat dapat merencanakan strategi intervensi untuk menangani gejala yang lebih efektif serta dapat memahami faktor yang mempengaruhi hambatan dalam penanganan gejala. Asuhan keperawatan dengan pendekatan teori Symptom Management Humpreys dapat dipromosikan dalam perawatan klinis pada pasien kanker payudara yang mendapatkan terapi kemoterapi maupun terapi kanker lainnya untuk meningkatkan keberlangsungan dan kualitas hidup.

Breast cancer is the most commonly diagnosed malignant tumor, and is one of the first contributors to cancer deaths in women. Various treatment modalities are used in managing breast cancer, one of which is chemotherapy. Chemotherapy started on time can reduce the risk of spread and increase the chances of survival. However, chemotherapy has its own disadvantages related to side effects that can be immediate, short-term, or long-term. The nursing care process in five cases of breast cancer patients undergoing chemotherapy has been applied using the integration of Humphreys' Symptom Management theory. Symptom Management theory emphasizes three important dimensions in dealing with symptoms or groups of symptoms effectively, the three dimensions are symptom experience, symptom management strategies, and symptom outcomes. The outcome of applying this theory in nursing care shows the patient's specific symptom experience so that nurses can plan intervention strategies to deal with symptoms more effectively and can understand the factors that affect barriers to symptom management. Nursing care with the Humphreys Symptom Management theory approach can be promoted in clinical care in breast cancer patients who receive chemotherapy therapy and other cancer therapies to improve survival and quality of life."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
"Pasien dengan kanker payudara banyak yang mengalami gangguan dan hampir seluruhnya mengalami depresi yang dapat memperberat gejala fisik, meningkatkan gangguan fungsional, dan membuat kepatuhan berobat menjadi rendah. Kami melakukan tinjauan pustaka yang tersedia di PubMed tentang prevalensi, besar gangguan, kemampuan coping, dan metode penatalaksanaan depresi berat pada wanita dengan kanker payudara dari tahun 1978 sampai 2010. Diagnosis dan penatalaksanaan episode depresi pada wanita dengan kanker payudara merupakan tantangan karena gejala yang tumpang tindih dan kondisi penyerta. Depresi berat sering disepelekan dan penatalaksanaan tidak adekuat pada pasien kanker payudara. Tinjauan ini menekankan pada masalah dalam identifikasi dan pengelolaan depresi pada pasien kanker payudara dengan latar klinis.

Abstract
Many of breast-cancer patients experience distress and most of them experience depression which may lead to amplification of physical symptoms, increased functional impairment, and poor treatment adherence. We did a review on available literature from PubMed about prevalence, distress magnitudes, coping styles, and treatment methods of major depression in women with breast cancer from 1978 to 2010. Diagnosis and treatment of depressive episodes in women with breast cancer is challenging because of overlapping symptoms and co-morbid conditions. Major depression is often under-recognized and undertreated among breast cancer patients. This review highlighted the issues on identifying and managing depression in breast cancer patients in clinical settings."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Regional Institute of Medical Sciences, Imphal, India. Department of Psychiatry], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>