Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113520 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dharma PTR Maluegha
Banjarmasin : UNLAM , 2007
617.95 DHA b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Widiarni Widodo
Jakarta: UI Publishing, 2024
617.95 DIN f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Wigajatri Purnamaningsih
"Telah dilakukan penelitian untuk mengukur bentuk dan dimensi obyek dengan teknik moiré. Pengukuran dilakukan dengan cara mengamati spasi moiré akibat interaksi antara kisi dan bayangan kisi pada permukaan obyek akibat sorotan lampu proyektor dengan kamera CCD (Charge Coupled Device). Selanjutnya data yang diperoleh diolah secara offline. Dengan melakukan pergeseran fasa berturut-turut sebesar π/2, π dan 3π/2 terhadap obyek bola pingpong yang berjarak 48 cm dari sumber cahaya dan kamera CCD, jarak antara sumber cahaya dan kamera CCD 13,5 cm serta spasi kisi 0,5 mm, diperoleh bahwa bentuk permukaan cembung dapat diidentifikasi dengan resolusi sebesar 0,24 mm. Juga ditunjukkan bahwa perbedaan terbesar antar hasil pengukuran teknik moiré dengan pengukuran secara kontak CMM (Coordinate Measuring Machine) sebesar 0,3 mm.

The Use of 2D Plastic Grating for Surface Profile and Dimension Manufacture Product Measurements by Using NDT Moiré Technique. Research of measuring the shape and dimension of object using the moiré technique have been done. Measurement have been made by observing the moiré space as a result of interaction between grating and its shadow casted on the object?s surface caused by the projector lamp with CCD camera. The acquired data was further processed by way of off-line. By successive phase shifts that is π/2, π dan 3π/2 towards the table tennis ball at the distance of 48 cm from the light source and CCD camera, with the distance between CCD Camera and light source 13,5 cm and grating space 0,5 mm. It was obtained that convex shape can be identified by resolution of 0,24 mm. It was also shown that the biggest difference between the results of using moiré technique and the use of CMM contact measurements (Coordinate Measuring Machine) was 0,3 mm."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2002
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Sadwika P.J.
"Latar Belakang: Tujuan dari manajemen luka bakar adalah untuk menginiasi penutupan luka dini atau epitelisasi, dan untuk mencegah komplikasi akibat sepsis. Namun, dari praktik harian kami, diagnosis dini, terutama dalam menentukan kedalaman luka bakar pada fase akut, cukup sulit karena proses luka bakar terus berlangsung. Pengukuran objektif merupakan metode tambahan yang baik untuk membantu dokter mengevaluasi kedalaman luka bakar, misalnya pencitraan termal FLIR ONE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi validitas FLIR ONE termografi sebagai alat untuk menilai kedalaman luka bakar, dan keandalan evaluasi klinis dan FLIR ONE yang dilakukan oleh ahli konsultan ahli luka bakar bedah plastik dan senior residen bedah plastik. Metode: Studi diagnostik yang dilakukan dari November 2019 - April 2020 di pusat kami. Dengan kriteria inklusi disebutkan kami melakukan pengamatan dua kali berdasarkan evaluasi klinis dan juga alat bantu FLIR ONE termografi pada luka bakar superfisial dan mid-dermal dalam waktu 48 jam pascalukabakar, dan hari 3-5 pascalukabakar, dengan outcome yaitu evaluasi klinis yang dilakukan oleh ahli bedah plastik konsultan luka bakar berpengalaman di hari ke 7. Data dikumpulkan dan menganalisis validitas dan realibilitas. Hasil: 43 sampel yang diambil dari laki-laki 15 (53,6%) dan perempuan 13 (46,4%), usia rata-rata 41,82 ± 13,52 tahun. Sebagian besar sampel adalah dari wajah 14 (32,6%), dan ekstremitas atas 11 (25,6%). Realibitas: ICC adalah T1 0,95 dan T3 0,98, menunjukkan angka baik hingga hari ke 7 hari pascalukabar. Kesenjangan evaluasi klinis antara kedua pengamat (konsultan luka bakar bedah plastic berpengalaman dan residen bedah plastik senior) di T1 adalah 6,9% dan di T3 adalah 9,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penilaian klinis baik di T1 (p = 0,82) dan T3 (p = 0,51) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran menggunakan alat FLIR ONE antara dua pengamat baik di T1 (p = 0,25) dan T3 (p = 0,91 ). Validitas: AUC dihitung pada T1 adalah 0,72 (95% CI: 0,563 - 0,880) p = 0,014 dengan titik batas T1 pada -0,8 ° C, menunjukkan diskriminasi moderat antara kategori penyembuhan yang re-epitelisasi <= 7 hari dan > 7 hari (sensitivitas 62,5%; spesifisitas 78,9%). Kami menggabungkan evaluasi klinis dan T1 dalam waktu 48 jam setelah luka bakar, penggunaan Flir ONE sebagai alat tambahan meningkatkan sensitivitas menjadi 58,33%, spesifisitas 98% dari evaluasi klinis saja. Probabilitas re-epitelisasi temuan klinis kedalaman luka superfisial dengan nilai T1 > -0,8 C memiliki probabilitas tertinggi (90,94%) untuk re-epitelisasi dalam waktu kurang dari sama dengan 7 hari. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan validitas dan reliabilitas yang baik dari evaluasi klinis saja dan evaluasi klinis dengan FLIR ONE termografi dalam menilai kedalaman luka bakar. Titik potong kami dalam menentukan kedalaman luka bakar adalah -0,8 ° C, dengan hasil probabilitas yang baik untuk membedakan hasil epitelisasi berulang. Penelitian ini juga memberi tahu kami bahwa program residensi bedah plastik di rumah sakit pendidikan kami telah berhasil membangun kompetensi modul yang baik, dan reisden memiliki paparan yang cukup terhadap kasus luka bakar.

Background: The aim of the management of burn wound is to initiate early wound closure or epithelization, and to prevent sepsis complication. However, from our daily practice, early diagnosis especially in determining the depth of burn wound in acute phase, is quiet difficult as burn wound process is running. Objective measurement may be great adjunct methods to to help clinician evaluating burn wound depth, as an example of FLIR ONE thermal imaging. The objective was to evaluate the validity of FLIR ONE thermal imager as an adjunct tool to assess burn wound depth, and reliability of clinical evaluation and FLIR ONE performed by senior resident of plastic surgery and experienced burn consultant plastic surgeon. Methods: This is a diagnostic study conducted from November 2019 – April 2020 in our center. With inclusion criteria mentioned we did observation twice based on clinical visual and also FLIR ONE thermal imaging on superficial and mid dermal burn within 48 hours post burn, and post burn day 3-5, outcome by clinical evalution done by experienced burn consultant plastic surgeon on day 7. Data were collected and analyze validity and realibility. Result: We had 43 samples taken from male 15 (53,6%) and female 13 (46.4%), average age 41.82 ± 13.52 years. As facial 14(32.6%), and upper extremities 11 (25.6%) as most samples use. Reliability: ICCs were T1 0.95 and T3 0.98, indicating excellent reliability up to 7 days after burn. The gap of clinical evaluation between both observers (experienced burn consultant and senior plastic surgery resident) at T1 is 6.9 percent and at T3 is 9.3 percent. There were no significant difference in clinical assessment both in T1 (p=0.82) and T3 (p=0.51) and no significant difference in measurements using FLIR ONE between two observers both in T1 (p=0.25) and T3 (p=0.91). Validity: the area under the curve was calculated at T1 was 0.72 (95% CI: 0.563 – 0.880) p = 0.014 with a cut-off point of T1 at -0.8°C, shows a moderate discrimination between healing categories re-epithelialization <= 7 days and > 7 days (62.5% sensitivity; 78.9% specificity). We combined clinical evaluation and T1 within 48 hours post burn, the use of Flir One as an adjunct tool increased the sensitivity to 58.33%, specificity 98% of clinical evaluation solely. the probability of re-epithelialization of clinical finding of superficial wound depth with T1 value of >-0.8oC had the highest probability (90.94%) to re-epithelialized in less equal to 7 days. Conclusion: This research showed good validity and reliability of clinical evaluation alone and clinical evaluation adjunct with FLIR ONE thermal imaging in assessment of burn wound depth. Our cut off point in determining the burn wound depth was -0.8° C, with good probability result to differentiate re-epithelialization outcome. This research told us that plastic surgery residency program of our teaching hospital had successfully established a good module competency, and resident had enough exposure to the burn cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Faadhilah
"Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana hukum medis dan etika kedokteran itu berlaku di Indonesia mengatur operasi plastik, rekonstruksi wajah total dan hukum tanggung jawab dokter dan rumah sakit yang melakukan operasi rekonstruksi wajah, dengan menganalisis praktik total rekonstruksi wajah Pasien X yang dilakukan di RSUP dr Rumah Sakit Universitas Airlangga. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif penelitian yuridis dengan penelitian deskriptif. Secara hukum, operasi rekonstruksi wajah diatur dalam beberapa pasal yang tercantum dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dilihat dari kode etik kesehatan yang berlaku di Indonesia, praktik facial Rekonstruksi termasuk dalam pelayanan kesehatan kuratif, yaitu kegiatan dan / atau a
serangkaian kegiatan medis yang bertujuan menyembuhkan penyakit. Dalam praktiknya total wajah rekonstruksi Pasien X, unsur kerusakan yang diderita pasien bukanlah a akibat kelalaian dokter karena dokter telah melaksanakan kewajibannya untuk berjuang untuk mengubah bentuk dan meningkatkan fungsi wajah Pasien X, sehingga menjadi dokter tidak bisa dimintai pertanggungjawaban dalam hukum perdata. Teori sentral paling tepat tanggung jawab digunakan dalam menentukan tanggung jawab rumah sakit atas tindakan rekonstruksi dokter dalam praktek rekonstruksi wajah, karena di operasi rekonstruktif, terutama kasus-kasus sulit memerlukan banyak ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, dan rumah sakit dapat menggunakan konselor dan dokter yang tidak terus berlatih di rumah sakit. Diperlukan peraturan yang memadai untuk mengatur rekonstruksi wajah sebagai diuraikan dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Kesehatan.

This study aims to analyze how the medical law and medical ethics apply in Indonesia regulating plastic surgery, total facial reconstruction and the legal responsibilities of doctors and hospitals that perform facial reconstruction surgery, by analyzing the total practice of facial reconstruction in Patient X which is carried out in RSUP from Hospital Airlangga University. The form of research used in this study is juridical normative research with descriptive research. Legally, facial reconstruction operations are regulated in several articles listed in Law No. 36 of 2009 concerning Health. Judging from the health code of ethics that applies in Indonesia, the practice of facial Reconstruction is included in curative health services, namely activities and / or a a series of medical activities aimed at curing diseases. In practice the total facial reconstruction of Patient X, the element of damage suffered by the patient is not due to the negligence of the doctor because the doctor has carried out his obligation to struggle to change the shape and improve the facial function of Patient X, so that becoming a doctor cannot be held accountable in civil law. The most appropriate central theory of responsibility is used in determining the hospital's responsibility for physician reconstruction actions in the practice of facial reconstruction, because in reconstructive surgery, especially difficult cases require many experts from various disciplines, and hospitals can use counselors and doctors who do not continue to practice in the hospital. Adequate regulations are needed to regulate facial reconstruction as described in Government Regulations and Minister of Health Regulations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Aretnaningtyas Septiani
"Background: Pada program pelatihan residensi bedah Plastik, pengukiran framework untuk telinga luar pada prosedur mikrotia masih terbatas pada sistem magang. Menurut model berbasis simulasi, residen dapat dilatih sebelum menghadapi pasien sebenarnya. Penelitian ini akan menilai efisiensi dari program pelatihan pengukiran framework telinga luar untuk residen Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik.
Materials and Methods: 14 residen bedah plastik masuk dalam penelitian ini, terbagi menjadi dua grup. Grup I, terdiri dari residen yang pernah mengikuti prosedur mikrotia lebih dari 1 kali sebagai asisten atau pengukir sementara grup II beum pernah. Grup II akan mendapat program pelatihan yang terdiri dari kuliah dan video, dilanjutkan dengan pengukiran dengan subtitusi kartilago dalam bimbingan. Hasil akhir akan dinilai oleh 2 orang konsultan ahli bedah Mikrotia dalam hal presisi anatomi dan ukuran serta kecepatan pengukiran.
Result: Penelitian menunjukkan terdapat peningkatan bermakna dalam hal kecepatan pengukiran dengan p=0.003 (p<0.005) antara 2 grup. Sementara dalam presisi anatomi, terdapat peningkatan bermakna pada tinggi tragus dengan p=0.003 (p<0.005) serta penurunann tinggi antitragus dengan p=0.000 (p<0.0005), dan pada nilai lain tidak terdapat perbedaaan yang signifikan diantara 2 grup.
Conclusion: Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kecuali tinggi anti tragus, hasil ini menunjukkan efektivitas program pelatihan antara mereka yang belum pernah mengikuti operasi mikrotia dengan mereka yang sudah berpengalaman.

Background: In Plastic Surgery residency training program, cartilage carving of external ear reconstruction for Microtia's procedure was limited to traditional apprenticeship model. Under simulation based training, resident could be groomed before facing the real patient. This study will be evaluate the efficacy training program for cartilage carving of external ear framework for resident of Aesthetic Reconstructive Plastic Surgery.
Materials and Methods: 14 plastic surgery resident will be enrolled in this study, separated into two group. Group I, consisted of resident had experience in Microtia's procedure more than once asisstant or carver meanwhile group II hadn't. Group II will had training program comprised of lecture and video then carving of cartilage substitute under guidance. A week later, both group would carve external ear cartilage framework without guidance. The final result will be assesed by two consultant of Microtia's surgeon in term of anatomical, size appearance of external ear and speed of carving.
Result: Study showed that there was improvement in term of speed of carving with p = 0.003 (p<0.005) between both group. Meanwhile, in term of anatomical precision, there was improvement in tragal height with p=0.003 (p<0.005) and decline antitragal height with p=0.000 (p<0.0005), though in other points there was no significant differences between both team.
Conclusion: From study, we concluded that except for antitragal height point, this result successfully demonstrated the effectiveness of the training program between those who had never experienced microtia's procedure before than those who had."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hayati
"Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dalarn beberapa dekade belakangan
ini berkembang sangat pesat, terutarna sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2. Diantara
kemajuan di bidang kedokteran yang saat ini banyak diminati orang adalah bidang bedah
plastik (plastic surgery). Menurut Ensiklopedi Indonesia, bedah plastik adalah cabang
ilmu bedah yang mempelajari cara melakukan perbaikan bentuk organ tubuh yang tidak
sempurna (hal.269-270). Oleh sebab itu tujuan dati ilmu yang di Indonesia dikembangkan
pertama kali oleh Prof Moenadjat Wiraatmaja adalah untuk peningkatan fungsi organ
tubuh yang tidak/kurang sempurna serta mengurangi kecacatan yang mengganggu.
Dalam perkembangannya, ternyata ilmu bedah plastik ini juga dipergunakan untuk
mempercantik diri, memperbaiki penampilan fisik yang dirasa kurang sempurna meski
tidak cacat. Melalui pemaduan dengan ilmu kecantikan, maka lahirlah ilmu bedah kosmetik
(cosmetic surgery). Tindakan-tindakan dalam bidang bedah plastik biasanya barn dapat
dikatakan berhasil bila pasien puas setelah tindakan itu dilakukan. Namun hila yang terjadi
sebaliknya, pasien merasa tidak puas akan hasilnya maka besar kemungkinan hal ini akan
menjadi masalah hukum. Narnun mungkinkah hila pasien tidak puas itu berarti ada
kesalahan dokter? Tentu perlu ditelaah lebih jauh lagi, misalnya apakah tindakan dokter
sudah sesuai dengan Standar Profesi? Memang kasus tuntutan terhadap kegagalan operasi
menunjukkan peningkatan bila kita baca di surat kabar belakangan ini. Hal ini karena
dalam tindakan bedah plastik terdapat banyak aspek hukumnya. Salah satu aspek
hukumnya adalah bahwa hubungan dokter dengan pasien dalarn bidang bedah plastik ini
termasuk Inspanningverbintenis dan bukan Resultaatverbintenis. Artinya bahwa dok1er
tidak dapat menjamin hasil dari setiap tindakan bedah plastik tetapi hanya akan berupaya
semaksimal mungkin. Juga perihal kewenangan yakni dokter apa yang berwenang untuk
melakukan tindakan bedah plastik itu? Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
selain Dokter Spesialis Bedah Plastik, yang berwenang juga Dokter Spesialis THT,
Dokter Spesialis Mata dan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Tentunya kewenangan
tersebut tergantung pada bidang spesialisasinya. Juga seorang dokter yang melakukan
tindakan bedah plastik harus tetap memperhatikan hak-hak pasien, khususnya penerapan
hak atas informed consent. Dengan informasi itu diharapkan pasien tidak akan mempunyai
harapan yang berlebihan akan hasilnya, tapi juga tidak merasa takut yang tidak wajar pula.
lni akan banyak memberi manfaat kepada pasien maupun dokternya serta dapat menghindari dati tuntutan malapraktek medis. Hal yang disebutkan di atas hanyalah
sebagian kecil dari masalah-masalah hukum yang timbul dari tindakan bedah plastik
disarnping masalah lain seperti bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit bila
terjadi malapraktek, bagaimana aturan hukum yang ada mengenai penyelenggaraan
bedah plastik yang mempunyai keunikan dan kekhususan dibanding tindakan bedah lain.
Oleh sebab itu menarik penulis untuk mengungkap lebih jauh hal itu dalam skripsi ini.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paras Ayu Cinta Nandhita
"Plastik adalah material serbaguna yang dapat ditemukan dalam kuantitas yang tinggi dalam perekonomian global. Skala produksi plastik yang sangat besar menyebabkan tingginya kuantitas limbah plastik yang bermuara di badan air. Sebagai penyumbang limbah plastik kedua terbesar di dunia, Indonesia terhitung menghasilkan 187,2 juta ton limbah plastik ke badan air pada tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan degradasi limbah plastik dengan menggunakan reaktor skala laboratorium dan air sungai artifisial dengan konsentrasi BOD dan COD berturut-turut sebesar 23,89 mg/L dan 67 mg/L. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel PE, PP dan PET sebagai sampel uji dengan periode perendaman selama 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi degradasi kimiawi, sampel plastik PE merupakan satu-satunya sampel plastik yang mengalami degradasi dalam kurun waktu perendaman 3 bulan. Hal tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya titik puncak pada panjang gelombang 1741,45 cm-1 dengan transmittance 93,2%. Selain itu, dari segi dekomposisi termal, sampel plastik PE mengalami dekomposisi termal paling tinggi dengan selisih Tmax sebesar 11,95°C dalam kurun waktu perendaman 3 bulan. Terakhir, dari segi degradasi mekanis sampel PE merupakan sampel yang mengalami degradasi mekanis paling optimal pada bulan ke-1 perendaman dengan selisih kuat tarik dan regangan saat patah sebesar 4,766 MPa dan 335,8%. Rekomendasi yang diberikan adalah berupa himbauan pemanfaatan sampah plastik badan air sebagai bahan baku sistem pemulihan energi dengan metode termokimia.

Plastic is a versatile material that can be found in high quantities in the global economy. The enormous scale of plastic production causes the high quantity of plastic waste that released into water bodies. As the second largest contributor of plastic waste in the world, Indonesia responsible for 187.2 million tons of plastic waste released to ocean in 2015. This study aims to analyze the ability of plastic waste degradation using laboratory scale reactors and artificial river water with BOD and COD concentrations of 23,89 mg/L and 67 mg/L, respectively. The study was conducted using plastic samples of PE, PP and PET with an immersion period of 3 months. The results showed that in terms of chemical degradation, Polyethylene were the only plastic that experienced degradation within a period of 3 months immersion. This is indicated by the formation of the peak point at a wavelength of 1741,45 cm-1 with transmittance of 93,2%. On the other hand, in terms of thermal decomposition, Polyethylene experienced the highest thermal decomposition with a decreasing Tmax amount by 11.95°C within a period of 3 months. At last, in terms of mechanical degradation Polyethylene were the only plastic which experienced the most optimal mechanical degradation in the first month of immersion with a difference in tensile strength and strain at break at 4,766 MPa and 335,8%, respectively. The recommendation given is for the use of degraded plastic in water bodies as raw materials for waste to energy recovery systems with thermochemical methods.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1995
617.95 IND a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Theddeus Octavianus Hari Prasetyono
Jakarta: Sagung Seto, 2011
617.95 THE f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>