Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164171 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rita Triana Budiarti
"Hukum Kepailitan merupakan cara penyelesaian utang piutang yang cepat agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi para kreditur. Hukum Kepailitan di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nornor 87). Menurut undang-undang tersebut, persyaratan untuk dinyatakan pailit adalah apabila debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang harus dapat dibuktikan secara
sederhana. Dengan demikian, harus ada ukuran atau kriteria utang sebagai landasan agar pembuktian utang secara sederhana tersebut dapat dilakukan. Akan tetapi, kriteria tersebut tidak ditemukan dalam undang-undang kepailitan. Di pihak lain, tradisi peradilan di Indonesia menganut sistem civil law. Dalam sistem ini asas precedent tidak berlaku secara mutlak, sehingga pntusan hakim terdahulu dalam perkara yang serupa tidak mengikat hakim kemudian. Para hakim di pengadilan civil law memutuskan perkara berdasarkan pada peraturan perundang-undangan terulis. Apabila peraturan perundang-undangan itu tidak mengatur secara jelas, hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran (interpretasi). Akibat tidak adanya definisi utang, maka kebebasan interpretasi tersebut dapat menimbulkan terjadinya berbagai pengertian utang, yang pada akhirnya
menyebabkan tidak adanya kepastian hukurn. Keadaan ini dapat berdampak terhadap berkurangnya investor asing di Indonesia. Oleh karena itu, dalam upaya memberi kepastian hukum, harus ada rumusan utang dalam hukum kepailitan di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Izmi Deviani
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan teori dan penerapan perdamaian dalam PKPU berdasarkan peraturan kepailitan di Indonesia, Amerika Serikat, dan Brazil. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang bersifat eksplanatoris deskriptif. Pembahasan akan menganalisa perbedaan dan juga persamaan mengenai jalannya suatu perdamaian dalam rangka PKPU dan Kepailitan antara Negara yang menganut Civil Law yaitu Amerika Serikat, dan Common Law, yaitu Indonesia dan Brazil. Dengan adanya studi kasus, diketahui bahwa suatu rencana perdamaian tidak selalu dapat diterima baik oleh kreditor atau Pengadilan Niaga, dan suatu rencana perdamaian yang telah disahkan, tetap dapat diajukan pembatalan jika debitor lalai menjalankan kewajiban yang tercantum dalam rencana perdamaian. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ada perbedaan konsep perdamaian dalam PKPU di Indonesia, Amerika Serikat, dan Brazil.

This thesis discusses the comparison of theory of accord on Suspend of Payment and its application according to Bankruptcy regulation in Indonesia, United States, and Brazil. This thesis uses juridical normative method, descriptive explanatory nature. The discussion will analyze the differences and similarities between accord implementation in country based on civil law, which is United States of America, and in countries based on common law, which are Indonesia and Brazil. In regard to the cases analyzed by the author, noted that not all of accord plan can be approved, either by creditors or court. If the debtor neglects the accord plan which has been approved by the court, it can be applied for cancellation. The result from this research is that there are differences between the accord on Suspend of Payment in Indonesia, United States, and Brazil.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Adlan Adonis
"Perubahan Undang-undang Kepailitan dengan Perpu Kepailitan Nomor 1 Tahun 1998 serta ditetapkannya perubahan tersebut dalam Undang-undang Nomor 4 Tabun 1998, selanjutnya perubahan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab II Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, yaitu Pasal 212 sampai dengan Pasal 279, diharapkan penyelesaian masalah utang-piutang berfungsi pula sebagai filter untuk menyaring atas dunia usaha dari perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Di samping itu, Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak ditujukan kepada eksekusi barang-barang debitur dan pembagian hasil kepada para kreditur. Melainkan Penundaan kewajiban pembayaran utang berakibat untuk selama jangka waktu tertentu tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya. Karena, kewajiban untuk membayar utang ditangguhkan selama ada penundaan. Penundaan kewajiban pembayaran utang adalah untuk mencegah Kepailitan seorang debitur yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat membayar di masa yang akan datang. Dengan demikian Penundaan kewajiban pembayaran utang memberikan kepada debitur keringanan sementara dalam menghadapi para kreditur yang menekan untuk mereorganisasi dan melanjutkan usaha, dan akhirnya memenuhi kewajiban debitur terhadap tagihan-tagihan para kreditur. Dengan adanya keringanan sementara tersebut banyak debitur yang lebih memilih mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih daripada harus dimohonkan untuk dipailitkan oleh para krediturnya. Oleh karena itu debitur boleh mengajukan sebuah permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri. Biasanya, debitur hanya mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai tanggapan atas suatu permohonan kepailitan debitur yang diajukan oleh seorang kreditur, Alasannya Undang-undang Kepailitan menentukan bahwa apabila permohonan permohonan untuk penundaan kewajiban utang dan kepailitan diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada waktu yang bersamaan, maka permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang akan diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Sehingga Penundaan kewajiban pembayaran utang hanya boleh dikabulkan apabila putusan yang menyatakan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T16515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nieke Dewi Sulistiyani
"Pada asasnya Kepailitan merupakan suatu bentuk sita umum yang mencakup seluruh harta kekayaan si debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Melalui sita umum ini, akan dapat dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi yang dilakukan oleh para kreditur secara sendiri-sendiri, kecuali apabila diberikan pengecualian oleh Undang-Undang seperti kreditur Pemegang Hak Tanggungan yang haknya didahulukan. Hak Tanggungan itu ialah suatu hak jaminan istimewa yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi para pemegang Hak Tanggungan tersebut. Jika debitur cidera janji, para kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk mengeksekusi obyek Hak Tanggunggannya berdasarkan kekuatan eksekutorial yang disebut dengan "parate executie" atau menjualdengan kekuasaannya sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 21 UUHT dan Pasal 55 ayat (1) Undang¬undang No.37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kepailitan, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Disini, kreditur pemegang Hak Tanggungan, kedudukannya ialah sebagai kreditur seperatis, yaitu kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan sehingga tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya dinyatakan pailit.
Dengan demikian, maka obyek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Meskipun secara prinsip, kepailitan tidak menghalangi dilaksanakannya eksekusi atas jaminan preferent, akan tetapi demi kepentingan boedel pailit dan selama kurator dapat memberikan jaminan perlindungan yang wajar bagi kreditur, berdasarkan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004, hak eksekusi kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Keberadaan pasal 56 Undang-Undang No.37 tahun 2004 ini merupakan salah satu pilihan hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, maka keberadaan pasal 56 ini tidak serta merta mengikat para kreditur pemegang Hak Tanggungan. Sebab selaku pemegang Hak Tanggungan, mereka tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya, meskipun debiturnya dinyatakan pailit, sebagaimana diatur dalam pasal 21 UUHT jo pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Jika dilihat dari pihak kreditur pemegang Hak Tanggungan, pilihan untuk memailitkan debitur pemberi Hak Tanggungan adalah tidak menguntungkan. Sebab mereka tidak dapat melakukan eksekusi atas tanah agunannya, dikarenakan hak eksekusi mereka ditangguhkan selama 90 hari, sehingga mereka tidak segera memperoleh pengembalian piutangnya dan selain itu sangat beresiko pula pada berkurangnya hasil likuidasi barang jaminan untuk memenuhi klaim dari kreditor lain."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sutan Remy Sjahdeini
"Penulis artikel ini menggarisbawahi pentingnya definisi atau pengertian utang yang harus secara tegas dinyatakan dalam RUU Kepailitan yang baru. Tidak adanya suatu definisi utang dalam Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998, telah menimbulkan silang pendapat yang berakibat pada tiadanya satu kepastian hukum dalam pandangan kreditor, debitor, hakim, maupun pengacara yang terlibat dalam perkara kepailitan...."
[s.l.]: Jurnal Hukum Bisnis, 2002
JHB 17 (2002)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fernandez
"Utang pajak memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan utang niaga. Dimana utang pajak memiliki Hak Istimewa yang pemenuhannya didahulukan di atas pemenuhan pembayaran utang lainnya. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan utang pajak dalam perkara kepailitan dan bagaimana seharusnya penyelesaian utang pajak atas perusahaan yang pailit. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan peraturan di bidang perpajakan dan peraturan di bidang kepailitan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan utang pajak yang memiliki hak mendahulu pada pelunasan utang pajak atas perusahaan yang pailit. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini juga menjelaskan pengaturan utang pajak atas kepailitan yang diterapkan di Jepang dan Singapura. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kitab undang-undang hukum perdata, undang-undang perpajakan, dan undang-undang kepailitan, utang pajak harus didahulukan karena memiliki hak mendahulu dan penyelesaiannya tunduk dengan yang diatur dalam undang-undang perpajakan.

Tax debt has specialties that make it different with commercial debt. Tax debt contains privilege to be fulfilled first than other debts. The main issues that would be discussed in this writing are about the position of tax debt in insolvency case and how it supposed to be settlement by the law. The issues would be analyzed with tax regulations and bankruptcy regulations. The purpose of this research is to know about tax debt position that has privilege in winding up process. Research method that is being used is juridical normative method, which means the research is based on regulation and library research that used secondary data. This research also explain the position of tax claims in Japan and Singapore. Based on the research of civil law, tax regulations, and bankruptcy regulations, tax debt must be fulfilled first because his privilege and winding up procedures based on process in tax regulation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1197
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>