Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170513 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Rezeki S. Harun Hadinegoro
"Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dengan nyamuk Aedes aegypti sebagai perantara Gejala klinis DBD yang penting adalah demam, manifestasi perdarahan, dan kecenderungan terjadi syok. Demam berdarah dengue bersifat endemis, terutama di daerah yang mempunyai transmisi nyamuk Aedes aegypti tinggi dan terdapat empat jenis serotipe virus dengue bersama-sama, keadaan tersebut dijumpai di Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D197
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Dwiyandari
"Infeksi baik yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau penyebab infeksi dan keadaan non-infeksi lainnya dapat menimbulkan respon inflamasi sistemik tubuh. Respon inflamasi sistemik ini merupakan akibat dari kerusakan endotelial yang luas yang dapat mengakibatkan aktivasi sistem koagulasi baik secara langsung maupun akibat dilepaskannya mediator-mediator inflamasi.
Endotel normal adalah dalam keadaan anti trombotik, profibrinolitik. Kondisi tersebut terjadi akibat produksi penghambat koagulasi dan modulator fibrinolisis. Kerusakan endotel akan mengubah kondisi anti trombotik, profibrinolitik menjadi protrombotik, antifibrinolitik. Aktivasi sistem koagulasi akibat kerusakan endotel terjadi melalui pelepasan faktor jaringan atau tissue factor (TF) dan pembentukan trombus trombosit oleh faktor von willebrand (FvW) kemudian terjadi penghambatan fibrinolisis oleh plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1). Faktor von willebrand disintesis oleh endotel dan trombosit dan bersirkulasi sebagai multimer besar FvW. Bila terjadi kerusakan jaringan, multimer besar FvW akan terpapar dan menarik trombosit untuk membentuk trombus trombosit. Trombosit dan sel endotel kemudian akan mengeluarkan PAI yang menghambat aktivitas fibrinolisis. Aktivitas antikoagulan juga akan terhambat melalui berkurangnya ekspresi trombomodulin, antitrombin III (ATIII), dan sintesis tissue factor pathway inhibitor (TFPD. Kompleks tissue factor-faktor VII teraktivasi (TF-FVIIa) yang terbentuk akibat stimulasi mediator inflamasi kemudian akan mengaktivasi pembentukan trombin dan fibrin. Trombin yang terbentuk dapat menstimulasi kembali adhesi endotel dan agregasi trombosit dan menstimulasi sel endotel untuk melepaskan FvW dan tissue plasminogen activator (tPA).
Pada infeksi virus demam berdarah seperti virus dengue, keterlibatan endotel merupakan faktor yang penting dalam terjadinya manifestasi Minis. lnfeksi virus dengue dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis dengan manifestasi Minis yang terberat adalah demam berdarah dengue (DBD) yang disertai renjatan atau sindrom syok dengue (SSD). Demam berdarah dengue terutama yang bermanifestasi berat menimbulkan masalah kesehatan di kawasan Asia Tenggara termasuk di Indonesia akibat tingginya angka kematian. Pada awal tahun 2004 terjadi kejadian luar biasa di sebagian besar profinsi Indonesia dimana tercatat 52.013 kasus DBD yang dirawat dengan angka kematian pada 603 kasus.
Keterlibatan endotel pada infeksi virus dengue dapat menyebabkan gangguan hemostasis baik secara langsung akibat interaksi mikroorganisme dengan sel endotel maupun secara tidak langsung melalui ekspresi TF pada permukaan sel endotel yang diperantarai oleh pelepasan sitokin.
Penelitian van Gorp, dkk mendapatkan bahwa pada SSD yang bertahan hidup terjadi kondisi prokoagulan pada awal perjalanan penyakit dan menjadi antikoagulan pada face rekonvalesen yang ditandai dengan peningkatan kadar trombin antitrombin (TAT) pada awal perawatan dan semakin menurun sesuai perjalanan penyakit. Trombin antitrombin menunjukkan terdapatnya pembentukan trombin dan konsumsi antitrombin, Sedangkan pada pasien DBD berat yang tidak bertahan hidup tetap terjadi kondisi prokoagulan ditandai dengan kadar TAT yang tetap tinggi. Berkurangnya antikoagulan alamiah seperti ATIII, protein C, dan protein S merupakan salah satu penyebab menetapnya kondisi prokoagulan. Ekspresi antikoagulan alamiah seperti ATIII maupun protein C, protein S merupakan akibat dari terjadinya kerusakan endotel luas pada DBDISSD.
Penelitian Willis mendapatkan adanya penurunan kadar antikoagulan seperti protein C, S, dan ATIII pada pasien SSD yang sebanding dengan beratnya penyakit, demikian juga Van Gorp yang mendapatkan nilai protein C dan S yang lebih rendah pada pasien yang meninggal dibanding pasien yang hidup. Kondisi prokoagulan berupa pembentukan trombin dan penurunan antikoagulan terjadi akibat kerusakan endotel yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskular. Peningkatan permeabilitas vaskular ini berhubungan dengan beratnya perembesan plasma yang dapat dinilai dari terjadinya gejala klinis syok.
Penelitian terdahulu mendapatkan pada DBD derajat II telah terjadi koagulasi intravaskular diseminata (KID) yang juga ditandai oleh penurunan kadar ATIII dan jumlah trombosit. Terjadinya penurunan ATIII pada DBD menimbulkan pertanyaan apakah penurunan ATIII hanya akibat pemakaian antitrombin mengiringi pembentukan trombin atau apakah ada faktor lain yang menyebabkan penurunan kadar ATIII seperti akibat dari pelepasan sitokin, akibat langsung dari kerusakan endotel, ataupun akibat gangguan hati yang menyertai DBD/SSD. Apabila pemakaian antitrombin sebagai penyebab utama penurunan antitrombin diduga akan terdapat hubungan yang kuat antara penurunan antitrombin dengan pembentukan trombin. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kasus yang fatal terjadi akibat menetapnya kondisi prokoagulan yang mengakibatkan terjadinya mikrotrombi pada berbagai organ tubuh dan menyebabkan kegagalan multi organ. Di lain pihak gangguan fungsi organ pada DBD dapat sebagai akibat langsung dari virus ataupun proses imunologis. Apabila didapatkan hubungan antara pembentukan trombin dengan gangguan fungsi organ yang dapat dinilai melalui skor PELOD (pediatric logistic organ dysfunction) maka diduga mikrotrombi sebagai penyebab utama gangguan fungsi organ yang terjadi."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kesehatan , 1999
614.588 52 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fatih Anfasa
"Latar belakang: Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit infeksi terpenting di berbagai negara tropis dan subtropis. Kebocoran plasma merupakan salah satu penanda infeksi dengue berat. Namun, beberapa metode diagnostik kebocoran plasma yang direkomendasikan oleh WHO memiliki berbagai kekurangan untuk digunakan dalam praktik klinis sehari-hari. Endokan merupakan proteoglikan yang diproduksi oleh sel endotel yang teraktivasi. Studi pada pasien sepsis dan Coronavirus Disease-19 (COVID-19) memperlihatkan bahwa kadar protein ini dapat digunakan sebagai penanda disfungsi endotel dan faktor prognostik infeksi berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi endokan sebagai penanda kebocoran plasma pada infeksi DBD. Metode: Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari penelitian International Study on Biomarkers and Gene Expression Patterns in Patients with Dengue Virus Infection (INVEST) yang diambil pada tahun 2010-2011 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Endokan diperiksa menggunakan teknik ELISA. Uji diagnostik kebocoran plasma dilakukan menggunakan ultrasonografi (USG) sebagai baku emas. Nilai titik potong endokan sebagai penanda kebocoran plasma dilakukan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC). Uji korelasi dilakukan terhadap nilai hematokrit, delta hematokrit, dan albumin dengan endokan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan GraphPad Prism versi 5.0 untuk Windows dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 28. Hasil: Terdapat 64 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan terdiri atas 31 pasien demam dengue (DD) dan 33 pasien demam berdarah dengue (DBD). Terdapat perbedaan bermakna untuk parameter endokan, albumin, trombosit dan nilai delta hematokrit antara kelompok DD dan DBD. Didapatkan area under the curve (AUC) 0,83 (95% interval kepercayaan: 0,73-0,93). Endokan dengan nilai titik potong 1,63 ng/mL dapat digunakan sebagai penanda kebocoran plasma, dengan angka sensitivitas 66,7%, spesifisitas 90,3%, nilai prediksi positif (NPP) 88%, dan nilai prediksi negatif (NPN) 71,8%. Terdapat korelasi negatif antara nilai endokan dan albumin pada fase kritis infeksi dengue (r: -0,4; p: 0,001). Tidak terdapat korelasi antara kadar endokan fase kritis dengan hematokrit (r: 0,12; P=0,36) dan delta hematokrit (r: 0,16; P=0,21). Kesimpulan: Endokan dengan nilai titik potong 1,63 ng/mL memberikan angka sensitivitas 66,7%, spesifisitas 90,3%, NPP 88%, dan NPN 71,8 sebagai penanda kebocoran plasma. Terdapat korelasi negatif antara nilai endokan dan albumin pada fase kritis infeksi dengue.

Background: Dengue is one of the most important infectious diseases in tropical and subtropical countries. This disease is caused by dengue virus (DENV). Plasma leakage is one of the most important clinical manifestations of severe dengue. However, there are shortcomings of various diagnostic methods that have been recommended by WHO to be used in daily clinical practice. Endocan is a proteoglycan produced by activated endothelial cells. Studies in patients with sepsis and Coronavirus Disease-19 (COVID-19) showed that endocan levels can be used as a marker of endothelial cell dysfunction and prognostic factors for severe disease. This study aims to evaluate endocan as a marker of plasma leakage in dengue infection. Methods: The design of this study was retrospective cohort. Secondary data from the International Study on Biomarkers and Gene Expression Patterns in Patients with Dengue Virus Infection (INVEST) that was performed from 2010-2011 at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta were used. Endocan levels were determined with ELISA test. Plasma leakage diagnosis was performed with ultrasonography (USG) as the gold standard. Receiver Operating Characteristic (ROC) curve was performed to determine endocan cut-off level to detect plasma leakage. Correlation tests were performed on hematocrit, delta hematocrit, and albumin levels with endocan. Data analyses were performed with GraphPad Prism versi 5.0 for Windows and SPSS version 28. Results: 64 patients fulfilled the inclusion and exclusion criteria. There were 31 patients with dengue fever (DF) and 33 patients with dengue hemorrhagic fever (DHF). We observed significant differences of endocan, thrombocyte, hematocrit, delta hematocrit, and albumin levels between DF and DHF patients. The area under the curve (AUC) was 0.83 ((95% confidence interval (CI): 0.73-0.93). Endocan with a cut off value of 1.63 ng/mL can be used as a marker for plasma leakage with a sensitivity of 66.7%, a specificity of 90.3%, a positive predictive value (PPV) of 88%, and a negative predictive value (NPV) of 71.8%. There was a negative correlation between endocan and albumin levels in the critical phase of dengue (r: -0,4; p: 0,001). There was no significant correlation (r: 0.12; P=0.36) between the endocan and hematocrit values in the critical phase of dengue infection and the critical phase values of endocan with delta hematocrit (r: 0.16; P=0.21). Conclusion: Endocan with a cut point value of 1.63 ng/mL can be used as a marker for plasma leakage with a sensitivity value of 66.7%, a specificity of 90.3%, a PPV of 88%, and a NPV of 71.8%. There was a negative correlation between endocan and albumin values in the critical phase of dengue infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1999
614.571 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Dede Anwar Musadad
"Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, terutama di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Sejak 1968, DBD cenderung meningkat baik daerah yang terjangkit maupun insidensnya, sejalan dengan meningkatnya arus transportasi dan kepadatan penduduk.
DKI Jakarta merupakan daerah yang mempunyai insidens DBD tertinggi di Indonesia. Sedangkan wilayah Kotamadya Jakarta Timur termasuk wilayah yang rawan penyakit DBD, dimana menurut data tahun 1993 dan 1994 wilayah Jakarta Timur merupakan wilayah yang jumlah kasus DBD-nya tertinggi di DKI Jakarta. Hasil analisis data sekunder selama 5 tahun terakhir menunjukkan angka insidens kasar DBD berkisar antara 29,3-73,0 per 100.000 penduduk dengan tingkat kematian antara 0,29%-1,90%. Walaupun demikian angka insidens DBD di wilayah Jakarta Timur bervariasi, di beberapa wilayah (kelurahan) diketahui angka insidensnya rendah dan di sebagian kelurahan lainnya angka insidens DBD-nya tetap tinggi walaupun sudah dilakukan berbagai upaya pemberantasan.
Belum diketahui faktor-faktor apa yang berhubungan dengan insidens DBD di tingkat kelurahan. Untuk itu dirasakan perlu dilakukan penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan insidens DBD di tingkat kelurahan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan faktor-faktor kepadatan penduduk, keberadaan fasilitas umum, angka bebas jentik, dan program pemberantasan DBD dengan insidens DBD di tingkat kelurahan.
Penelitian kroseksional ini dilakukan di wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Sebagai unit analisis adalah wilayah kelurahan, yang jumlah seluruhnya 65 kelurahan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan lingkungan dan wawancara terhadap lurah, kepala puskesmas, dan masyarakat. Khusus untuk pengambilan angka bebas jentik dilakukan pengamatan ke rumah-rumah, masing-masing 100 rumah di setiap kelurahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka insidens rata-rata kelurahan adalah 37 per 100.000 penduduk dan angka bebas jentik 89%. Diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara faktor kepadatan penduduk, keberadaan fasilitas umum dan angka bebas jentik dengan angka insiden DBD, serta faktor penyuluhan DBD dan peran serta masyarakat dalam PSN berhubungan dengan angka bebas jentik. Secara bersama-sama, faktor kepadatan penduduk, keberadaan fasilitas umum, dan angka bebas jentik dapat menerangkan 24,2% terhadap variasi perubahan angka insidens DBD di tingkat kelurahan.
Penelitian ini menyarankan agar dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit DBD memperhatikan aspek kepadatan penduduk dan keberadaan fasilitas umum sebagai salah satu aspek dalam mewaspadai terjadinya wabah DBD, disarnping peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan program.

The Factors which are Related with the Incidence of Dengue Haemorrhagic Fever at the Village Level of East JakartaThe Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is still a serious health problem, especially in large cities such as Jakarta. Since 1968, DHF tends to increase in both the epidemic area and in the incidence area, in line with the increase in transportation and population density.
Jakarta is belongs the highest DHF incidence in Indonesia, While East Jakarta municipality included the region which is susceptible to the DHF case in Jakarta. The results of secondary data analysis for the fast 5 years indicate that the rough DHF incidence rate range from 29.3 to 73.0 per 100,000 population with the CFR of 0.29% to 1.90%. However, the DI-1F incidence rate in East Jakarta varied, in the some villages the incidence rate is low and in some other the DHF incidence rate remain high even though various eradication efforts have been done.
The factors which are related with the DHF incidence are not known at the village level. Therefore, a further research is needed regarding the factors which are related with the DHF incidence rate at the village level.
The purpose of the research is to study the relationship of factors such as population density, avilability of public places, A. aegypti index, and the DHF eradication program with DHF incidence at the village level.
The cross sectional study is done in East Jakarta municipality. The unit of analysis are the villages, the number of which is 65. The data collection was done by observation of the environment and interviews were conducted with the head of villages, head of health centers, and community. Especially for the A. aegypti index it was done by observation to people's houses, 100 houses in each village.
The results of the study indicate that the average incidence rate of the village is 37 per 100,000 population and the A. aegypti larval free rate (1-house index) is 89%. The findings indicate that there is a significant relationship between population density factor, the availability of public places and A. aegypti index with the incidence of the DHF, and health education factor and the community participation in the reduction of breeding containers related with A. aegypti index. Collectively, the population density factor, the availability of the public places, and the A. aegypti index are able to explain 24.2% of the variation of the DHF incidence rate of the village level.
The research suggest that the implementation of the DHF eradication program should consider the population density and the availability of the public places as one aspect of prevention of the epidemie of DHF, in addition to increase the coverage and quality of the program services.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roni Chandra
"Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, bersifat endemik di daerah tropis dan sub tropis, terutama di daerah perkotaan. Virus dengue yang ditransmisikan terutama oleh nyamuk Aedes aegypti juga merupakan penyakit arbovirus yang penting dalam ha[ morbiditas dan mortalitas. Di Indonesia, DBD pertama kali dilaporkan di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968. Tahun-tahun selanjutnya kasus DBD berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cendenung meningkat. Faktor virus seperti variasi stereotipe dan genotipe virus dengue diyakini berperan menentukan derajat keparahan penyakit. Pada penelitian ini dilakukan analisis variasi genetik gen E dan NS I virus DEN-3 yang diisolasi dari pasien dengan manifestasi klinis yang berbeda, yaitu mulai clan yang ringan (DD) sampai yang terberat yaitu DBD dan DSS. Strain DS 002/06 (DD), DS 029/06 (DBD), DSA 02/06 (DSS) dan 17104 (DBD) diisolasi dan kasus dengue di Jakarta tahun 2004 dan 2006. Keempat strain tersebut kemudian dibandingkan dengan 11 strain DEN-3 yang berasal dan Indonesia dan Thailand. Homologi nukleotida gen E ditemukan berkisar antara 92,4 - 99.9%, sedangkan untuk asam amino E antara 96,5-100%. Sementara itu homologi gen NSI berkisar antara 92,1- 99,9% untuk nukleotida dan 97,1-100% untuk asam aminonya. Dijumpai berbagai variasi di sepanjang kedua gen tersebut, tetapi tidak ditemukan perbedaan yang spesifik yang bisa membedakan antara strain penyebab DD, DBD dan DSS. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa semua strain strain DEN-3 Indonesia yang disolasi pada tahun 2004 dan 2006 konsisten berada di subtype I."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58486
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>