Seorang konservator tidak hanya perlu menguasai ilmu sejarah dan/atau seni untuk memahami konteks informasi dari suatu objek, tetapi ia juga harus mahir di bidang kimia untuk melakukan stabilisasi maupun restorasi terhadap objek kultural tersebut. Mengingat besarnya peran seorang konservator, maka keberadaannya dalam sebuah lembaga informasi seharusnya terlihat pula. Namun, visibilitas dari profesi ini masih rendah, terutama di Indonesia. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengelaborasi atau memberi gambaran lebih jauh mengenai profesi konservator di lembaga informasi DKI Jakarta. Data yang terlampir dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan metode tinjauan literatur dan wawancara mendalam dengan beberapa pihak yang bekerja dalam bidang konservasi di lembaga informasi DKI Jakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab utama dari minimnya visibilitas konservator di DKI Jakarta adalah ketiadaan payung hukum yang mampu mengakomodir profesi tersebut, baik peraturan mengenai kualifikasi pendidikan hingga asosiasi profesi yang seharusnya menjadi wadah perjuangan haknya. Jika isu tersebut tidak segera ditangani, maka secara pelan tapi pasti, warisan budaya Indonesia dapat terancam punah pula.
Abstrak Berbahasa Inggris: Not only do conservators have to be knowledgeable in art and/or history in order to comprehend the contextual information within a cultural object, but they also have to be well-educated in chemistry in order to stabilize and/or restore said object. Considering the importance of their profession, the visibility of conservators should also be very high, especially amongst cultural institutes. Unfortunately in Indonesia, conservators still have a very mediocre visibility rate as a profession. The purpose of this qualitative research is to further elaborate the reality of conservators as a profession in DKI Jakarta’s various cultural institutes. The data in this research is collected through in-depth interviews with relevant informants to the subject as well as a literature review. The findings of this research shows that the main contributor to the mediocre visibility rate of conservators is its lack of governmental regulations and legal basis, including but not limited to policies regulating the standard educational qualification and/or professional competency as well as a professional association meant to accommodate them. If those deeply-rooted issues are not immediately handled by the government, then sooner or later, Indonesia’s cultural heritage might be at risk of vanishing altogether.