Sampyong, seni pertunjukan tradisional, menghadapi ancaman kepunahan akibat konotasi negatif terkait kekerasan. Abah Uu / Ki Anom Aduy Mangkubumi, tokoh budaya Majalengka, berinovasi dengan menambahkan gestur, mimik dan ekspresi jenaka ke dalam Sampyong pada tahun 2017. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami bagaimana unsur jenaka dapat menjadi strategi pemertahanan. Melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus dengan informan kunci, termasuk Abah Uu, pemain Sampyong, tokoh budaya, dan tokoh masyarakat. Hasil dari penelitian ini berupa pengungkapan modifikasi Sampyong dari seni bela diri menjadi seni pertunjukan. Inovasi tersebut mendapatkan respon dari masyarakat yang beragam. Sampyong Jenaka, versi yang lebih modern, berhasil meningkatkan popularitas Sampyong, terutama di kalangan generasi muda dan perempuan. Namun, inovasi ini juga memicu perdebatan antara pendukung modernisasi, tradisionalis, dan moderat. Sebagian besar masyarakat yang tradisionalis merespon sinis terhadap kebaruan Sampyong dan menganggap sebagai upaya pelecehan Sampyong dan akan menghilangkan esensi, nilai nilai dan kesakralan Sampyong. Penamaan Sampyong Jenaka juga sebagai suatu sinisme dari pendukung tradisionalis karena ketidak seriusan dalam permainan Sampyong. Terdapat pergeseran fungsi Sampyong dari adu ketangkasan menjadi hiburan menghadirkan tantangan dalam menjaga keasliannya, meskipun memberikan dampak ekonomi yang positif. Sampyong Jenaka juga digunakan sebagai simbol identitas diri bagi Abah Uu.
Sampyong, a traditional performing art, faces the threat of extinction due to negative connotations associated with violence. Abah Uu/Ki Anom Aduy Mangkubumi, a cultural figure from Majalengka, innovated by adding humorous gestures, facial expressions, and expressions to Sampyong in 2017. This qualitative research uses an ethnographic approach to understand how the element of humor can be a preservation strategy. Through in-depth interviews and focused group discussions with key informants, including Abah Uu, Sampyong players, cultural figures, and community leaders. The results of this research reveal the modification of Sampyong from a martial art to a performing art. The innovation received a variety of responses from the community. Sampyong Jenaka, a more modern version, has succeeded in increasing the popularity of Sampyong, especially among the younger generation and women. However, this innovation also sparked debate between modernists, traditionalists, and moderates. Most traditionalist communities respond cynically to the novelty of Sampyong and consider it an attempt to harass Sampyong and will eliminate the essence, values, and sacredness of Sampyong. The naming of Sampyong Jenaka is also a cynicism from traditionalist supporters due to the lack of seriousness in the Sampyong game. There is a shift in the function of Sampyong from a test of agility to entertainment, presenting challenges in maintaining its authenticity, even though it has a positive economic impact. Sampyong Jenaka is also used as a symbol of self-identity for Abah Uu.