Sistem Koperasi Indonesia mengalami perkembangan signifikan dengan diperkenalkannya Koperasi Multi Pihak (KMP) dalam Permenkop 8/2021. Skripsi ini mengeksplorasi penerapan dan implikasi KMP di Indonesia, dengan fokus pada kategorisasi anggota dan mekanisme pemungutan suara yang unik. Berbeda dengan koperasi konvensional, KMP mengintegrasikan beberapa kategori anggota, sehingga menimbulkan tantangan dalam pengambilan keputusan dan pemungutan suara. Peraturan tersebut mengatur pemungutan suara berjenjang, namun kurang detail, mendorong analisis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Koperasi untuk mengidentifikasi kesenjangan dan mengusulkan solusi. Penelitian ini menjawab dua pertanyaan utama: pertama, apa yang dimaksud dengan KMP di Indonesia, Quebec, Perancis, dan Inggris, dan bagaimana penerapannya? Kedua, bagaimana bentuk KMP dapat diterapkan di Indonesia? Metode penelitian doktrinal digunakan, menekankan pada norma-norma hukum tertulis, asas-asas hukum, dan teori-teori terkait Hukum Koperasi, dikaji melalui berbagai undang-undang dari berbagai yurisdiksi. Penelitian menyimpulkan bahwa konsep KMP di Indonesia, diperkenalkan melalui Permenkop 8/2021 dan menunggu konsolidasi melalui RUU Koperasi, memungkinkan berbagai kelompok membentuk KMP, dengan aspek tata kelola yang diatur internal, menimbulkan pertanyaan implementasi. Meskipun KMP sejalan dengan prinsip kekeluargaan di Indonesia dan mengizinkan kepentingan investor, gagasan ini memerlukan keseimbangan kepentingan kolektif dan pembatasan pengaruh pihak ketiga, menyoroti perlunya sinkronisasi dengan prinsip-prinsip koperasi tradisional. Rekomendasinya mencakup tindakan hukum untuk membatasi pengaruh pihak ketiga melalui pemungutan suara proporsional atau pembagian kursi Pengurus proporsional, dengan persentase tertentu dialokasikan berdasarkan kontribusi pekerjaan dibandingkan investasi modal. Langkah-langkah ini harus memastikan tidak ada satu kelompok yang memegang mayoritas suara dalam Rapat Anggota atau kursi Pengurus. Pemerintah dan Parlemen harus menentukan alokasi kursi dan suara secara spesifik untuk mencegah dominasi oleh kelompok tertentu, mengikuti prinsip di Perancis, Quebec, dan Inggris.
The Indonesian Cooperative System is undergoing significant developments with the introduction of Multi-Stakeholder Cooperatives (MSC) as regulated by Permenkop 8/2021. This thesis explores the applicability and implications of MSCs in Indonesia, focusing on their categorization of members and unique voting mechanisms. Unlike conventional cooperatives that consist of a single category of members, MSCs integrate multiple member categories, posing challenges in decision-making and voting processes. The regulation stipulates tiered voting ("berjenjang"), but lacks detailed provisions, prompting an analysis of the Draft Cooperative Law (RUU Koperasi) to identify gaps and propose solutions. The research addresses two primary questions: first, what is a Multi-Stakeholder Cooperative in Indonesia, Quebec, France, and the United Kingdom, and how are they implemented? Second, how can the Multi-Stakeholder Cooperative form be applicable in Indonesia? To answer these questions, a doctrinal research method is employed, emphasizing the use of written legal norms, legal principles, and theories related to Cooperative Law, examined through various laws from different jurisdictions. The research concludes that the MSC concept in Indonesia, introduced by Ministerial Regulation Permenkop 8/2021 and pending consolidation through a new Cooperative Law (RUU), allows for diverse groups to form MSCs, with crucial governance aspects regulated internally, raising implementation questions. While the MSC idea aligns with the Indonesian principle of familyhood and permits investor interests, it requires balancing collective interests and limiting third-party influence, highlighting the need for synchronization with traditional cooperative principles. Recommendations include that legal measures must ensure that third-party influence is limited through a proportional vote or proportional distribution of Board of Management (BoM) seats, with a specific percentage allocated based on work contribution over capital investment. These measures must ensure no single group holds a majority in either Members’ Meeting votes or BoM seats. The government and legislature should determine the specific allocation of seats and votes to prevent any group from dominating the cooperative, following principles observed in France, Quebec, and the United Kingdom.