Penelitian ini mengkaji pengaruh kebijakan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) terhadap produktivitas Pabrik Gula (PG) Jatiroto dari tahun 1975 hingga 1998. Industri gula memiliki peran penting dalam perekonomian di Indonesia sejak masa kolonial. Meskipun Indonesia pernah menjadi produsen gula terbesar kedua di dunia pada awal abad ke-20, produksi gula menurun sejak krisis ekonomi 1930 hingga Perang Kemerdekaan. Ketergantungan pada impor gula semakin meningkat seiring dengan kurang efektifnya pengelolaan industri gula dan peningkatan konsumsi gula dalam negeri. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9/1975 mengenai sistem TRI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi dengan menggunakan sumber primer seperti dokumen pemerintah, arsip internal PG Jatiroto, wawancara dengan pegawai PG Jatiroto, serta sumber sekunder berupa buku, artikel, dan penelitian terdahulu yang memiliki aspek kajian serupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak 1968, penanaman tebu di PG Jatiroto telah menggunakan lahan rakyat disamping pengusahaan tebu di lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik pabrik gula. Pelaksanaan TRI di PG Jatiroto menemui hambatan yang menimbulkan keraguan petani untuk mengikuti program, namun PG Jatiroto berupaya meningkatkan partisipasi petani dan perluasan lahan dengan menyediakan fasilitas penunjang, membuka kantor wilayah khusus perluasan, menggunakan sistem
glebagan, serta melibatkan Komando Rayon Militer (Koramil) Jatiroto. Penelitian ini menunjukkan bahwa tujuan TRI di PG Jatiroto belum dapat tercapai dengan baik, namun TRI memberi pengaruh signifikan terhadap produktivitas PG Jatiroto meliputi peningkatan kapasitas produksi, perluasan lahan tebu rakyat, peningkatan jumlah tebu giling, serta fluktuasi tingkat rendemen. Perbedaan rendemen tebu rakyat dengan tebu lahan HGU tidak signifikan karena pengelolaan lahan HGU yang lebih teratur, tetapi tingkat rendemen lahan rakyat setelah TRI seringkali lebih tinggi karena memengaruhi besaran penghasilan petani.
This study examines the effect of the Smallholder Sugarcane Intensification (TRI) policy on the productivity of Jatiroto Sugar Factory (PG) from 1975 to 1998. The sugar industry has played an important role in Indonesia's economy since the colonial era. Although Indonesia was once the world’s second-largest sugar producer in the early 20th century, sugar production declined from the 1930 economic crisis until the War of Independence. Dependence on sugar imports increased along with ineffective management of the sugar industry and increased domestic sugar consumption. To overcome this, the government issued Presidential Instruction (Inpres) No. 9/1975 regarding the TRI system. The method used in this research is the historical method, which consists of topic selection, heuristics, verification, interpretation, and historiography using primary sources such as government documents, PG Jatiroto internal archives, interviews with PG Jatiroto employees, as well as secondary sources in the form of books, articles, and previous studies that have similar aspects of study. The results showed that since 1968, sugarcane cultivation in PG Jatiroto has used people's land in addition to sugarcane cultivation on Cultivation Rights (HGU) land owned by the sugar factory. The implementation of TRI in PG Jatiroto encountered obstacles that caused farmers' hesitation to join the program, but PG Jatiroto tried to increase farmers' participation and land expansion by providing supporting facilities, opening a special regional office for expansion, using the glebagan system, and involving the Jatiroto Military Regional Command (Koramil). This study shows that TRI goals in PG Jatiroto has not been achieved well, but TRI has a significant influence on the productivity of PG Jatiroto including an increase in production capacity, expansion of smallholder sugarcane land, increase in the amount of milled sugarcane, and fluctuations in the level of yield. The difference in the yield of smallholder sugarcane with HGU land sugarcane is not significant because of the more organized management of HGU land, but the yield level of smallholder land after TRI is often higher because it affects the amount of farmers' income.