Artikel ini bertujuan untuk mengungkap pemaknaan atas gerakan perlawanan atau resistensi tokoh-tokoh perempuan dalam novel Garis Perempuan karya Sanie B. Kuncoro. Tokoh Ranting, Gendhing, Tawangsri, dan Zhang Mey merupakan perempuan dewasa yang hidup di tengah arus modernitas namun memiliki akar budaya yang tidak dapat dilepaskan dari hukum patriarki yang kental. Dibesarkan dengan latar budaya yang berbeda-beda, keempat tokoh tersebut memiliki cara-cara tersendiri dalam meraih kesejahteraan, kebebasan pribadi, dan keadilan sosial yang secara keseluruhan diwujudkan dalam upaya pemaknaan terhadap virginitas. Dengan menggunakan konsep kritik sastra feminis dapat disimpulkan bahwa virginitas adalah sesuatu yang bersifat cair yang digunakan oleh perempuan sebagai bentuk penghargaan atas tubuhnya. Dengan mengapresiasi virginitasnya seorang perempuan telah berkuasa terhadap kepemilikan tubuhnya yang dalam budaya dan hukum patriarki kuasa perempuan atas kepemilikan tubuhnya seringkali tidak diindahkan.