Industri perbankan merupakan industri yang turbulence, terutama sejak pakto 1988. Juralah bank dan kantor bank berkembang dengan pesat, sehingga tingkat persaingan diantara lembaga keuangan kian meningkat. Bank berlomba-lomba untuk menaikkan tingkat bunga simpanan, mengenalkan berbagai produk baru dan menawarkan berbagai kemudahan kepada nasabah guna menarik dana masyarakat. Sehingga perkembangan industri perbankan pada saat itu sangat spektakuler.
Adanya kebijakan uang ketat (tight money policy) menyebabkan tingkat persaingan menjadi semakin ketat, terutama dalam hal perolehan dana. Penarikan dana Badan Usaha Hilik Negara yang ada pada bank pemerintah sebagai aplikasi dari kebijakan uang ketat telah merubah kondisi likuiditas bank, apalagi disertai pula dengan penarikan kredit likuiditas Bank Indonesia.
Bank Rakyat Indonesia sebagai bank pemerintah tentunya merasakan dampak dari kebijakan di atas. Oleh karenanya BRI perlu meninjau kembali strategi pengelolaan asset dan liabilitinya agar diperoleh pricing yang tepat, terutama setelah adanya paket Februari 1991 yang pada paket tersebut disebutkan mengenai prinsip prudent banking, di mana bank dituntut lebih professional lagi di dalam pengelolaan asset dan liabilitinya.
Ada beberapa faktor yang dapat memepengaruhi dalam penentuan harga, seperti cost of loanable fund, overhead cost dan resiko yang disebut sebagai faktor internal. Namun penentuan harga tersebut lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti, kebijakan peraerintah dan keadaan perekonomian seperti, tingkat persaingan bank, tingkat inflasi, kondisi neraca pembayaran dan sebagainya. Sehingga sulit bagi BRI untuk menerapkan metode pricing yang tepat di dalam rangka peningkatan pendapatannya.
Oleh karenanya sebagai bank pemerintah yang telah berubah sebagai pesero BRI dituntut untuk bertindak lebih professional dalam hal pengelolaan asset dan liabilitinya terutama dalam hal pricing, agar dapat bersaing dan melakukan ekspansi secara meluas sesuai dengan agen pembangunan yang diembannya.