Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusia, tetapi kadang-kadang takdir Ilahi menentukan lain. Sehingga berbagai usaha dilakukan untuk mempunyai anak, antara lain dengan cara mengangkat anak. Pada masa pemerintahan Belanda dahulu, penduduk Indonesia dibagi atas 3 golongan, yang diatur dalam Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling. Pemerintah Belanda memberlakukan Staatsblad 1917 Nomor 129 yang mengatur tentang anak angkat untuk WNI keturunan Tionghoa. Staatsblad tersebut sekarang ini tidak lagi diperhatikan oleh Pengadilan di Indonesia karena tujuan pengangkatan anak adalah demi kepentingan kesejahteraan anak. Penulis ingin mengetahui pengangkatan anak dan kedudukan anak angkat menurut Penetapan Pengadilan Negeri, hak mewaris anak angkat setelah tidak diterapkannya Staatsblad 1917 nomor 129 oleh pengadilan, dan sikap notaris terhadap pengangkatan anak dan hak mewaris anak angkat tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan. Dalam pengumpulan datanya ditunjang dengan wawancara dengan beberapa narasumber yang terkait. Pengangkatan anak untuk WNI keturunan Tionghoa sudah tidak menggunakan Staatsblad 1917 Nomor 129 lagi karena pada saat ini sudah tidak ada penggolongan penduduk dan ketentuan dalam staatsblad tersebut bersifat diskriminasi, hal ini terlihat dalam Penetapan Pengadilan Negeri yang lebih menitikberatkan pengangkatan anak pada kesejahteraan anak tanpa perbedaan anak laki-laki atau perempuan. Kedudukan anak angkat adalah sebagai anak kandung dari orang tua yang mengangkatnya, maka anak angkat berhak mewaris dari orang tua yang mengangkatnya. Terhadap pengangkatan anak, para notaris masih mempunyai perbedaan sikap, yaitu ada yang menggunakan staatsblad tersebut dan ada yang sudah tidak menggunakannya.