Selama lima belas tahun terakhir wilayah Pegunungan Kendeng Utara, Jawa Tengah, menjadi wilayah panas perebutan sumber daya alam antara petani melawan korporasi yang didukung oleh negara. Wilayah ini menjadi sasaran perluasan perusahaan pertambangan semen sebagai akibat setelah Cina menutup separuh pabrik semennya. Otonomi daerah menjadi salah satu alasan yang digunakan daerah dengan potensi cadangan kapur membuka diri untuk investasi pertambangan semen. Perebutan sumber daya antara negara, korporasi dan petani pun tak terhindarkan. Gerakan petani Samin menjadi motor gerakan perlawanan dengan beragam cara. Salah satunya dengan bertransformasi dari kelompok berskala lokal menjadi kelompok petani terbuka dengan ide keadilan lingkungan dengan jejaring lintas negara. Melalui Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), gerakan ini memadukan pengetahuan modern dan tradisional untuk memproduksi pengetahuan alternatif yang berguna untuk kepentingan gerakan. Dengan menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh Stuart Allan, tulisan ini menjelaskan proses produksi pengetahuan melalui dua repertoar yaitu secara in-situ (circuited knowledge) dan ex-situ (networked knowledge). Posisi penulis sebagai aktivis sekaligus etnografer menjadi hal penting untuk melihat relasi antara praktek gerakan dan bagaimana produksi pengetahuan direfleksikan oleh subyek yang terlibat di dalamnya.
Over the last fifteen years the North Kendeng Mountains region, Central Java, has become a field for the struggle for natural resources between farmers and corporations supported by the state. This region was targeted by the expansion of the cement mining company after China closed half its cement factory. Regional autonomy is one of the reasons used by regions with potential limestone reserves opening up for investment in cement mining. The struggle for resources between the state, corporations, and farmers was inevitable. The Samin peasant movement became the motor of the resistance movement in various ways. One of them is by transforming from a local scale group into an open farmer group with the idea of ​​environmental justice with global network support. Through the Kendeng Mountains Concerned Community Network (JM-PPK), this movement combines modern and traditional knowledge to produce alternative knowledge that is useful for the benefit of the movement. Using the approach offered by Stuart Allan, this paper explains the process of co-production of knowledge through repertoire, namely, knowledge produced in-situ (circuited knowledge) and ex-situ (networked knowledge). The position of the writer as an activist as well as ethnographer becomes important to see the relationship between the practice of the movement and how the production of knowledge is reflected by the subjects involved in it.