Pasal 7 ayat (3) huruf a PP 10/1983 mengatur bahwa Izin untuk bercerai tidak
dapat diberikan oleh Pejabat apabila bertentangan dengan ajaran agama yang
dianut oleh PNS yang bersangkutan. Sebagaimana disabdakan oleh Tuhan
Yesus dalam Injil Markus 10: 6-9, bahwa “apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia”, maka kepada setiap orang yang telah
menikah berdasarkan ajaran agama Katolik, tidak dapat dilakukan perceraian.
Berdasarkan ketetuan tersebut, maka akibat yang seharusnya terjadi terhadap
PNS beragama Katolik adalah tidak dapat dilakukannya perceraian.
Berdasarkan penelitian normatif-empiris yang Penulis lakukan dan analisa
terhadap 5 putusan terkait, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 7
ayat (3) huruf a PP 10/1983 telah tidak efektif diterapkan karena tidak pernah
dijadikan sebagai dasar hukum dalam memecahkan masalah perceraian yang
melibatkan PNS beragama Katolik sebagai Penggugat atau Tergugat di
dalamnya. Hal ini karena Majelis Hakim lebih mengedepankan syarat
perceraian dalam Pasal 19 PP 9/1975 jo. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan.
Article 7 Paragraph (3) (a) of Government Regulation Number 10 of 1983regulates that permission to divorce cannot be granted by the official if it isagainst the religious teaching of the relevant civil servant. As stated by Jesusin the Gospel of Mark 10: 6-9, “what God has united cannot be divorced byhumans”, then anyone who has been married under the Canonic Law cannotbe divorced. The consequence of these provisions is that Catholic CivilServants cannot divorce their spouse. Based on normative-empirical researchthat the Author conducted and the analysis of 5 related court decisions, it canbe concluded that the provision in Art. 7 Par. (3) (a) of GR 10/1983 has notbeen effectively applied because it was never used as a legal basis in solvingdivorce proceedings involving Catholic Civil Servants. This is because thePanel of Judges prioritizes the terms of divorce in Art 19 GR 9/1975 junctoArt 39 Par. (2) Marriage Law.