Tulisan ini membahas resistensi masyarakat lokal terhadap rencana tambang oleh
perusahaan ekstraktif yang difokuskan pada studi konflik untuk melihat apakah konflik
ini berkembang menjadi sebuah gerakan sosial atau tidak. Tulisan ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan studi kasus di Nagari III Koto, Sumatera Barat. Tulisan
ini menunjukkan terdapat tujuh variabel yang menjadi sebab resistensi. Norma dan
aturan adat menjadi variabel yang sangat penting sebagai sebab resistensi sekaligus
sebagai penentu bentuk resistensi yang dilakukan. Sedikitnya ada tujuh bentuk
resistensi yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat hingga tujuan resistensi itu
dapat tercapai. Selain menjadi sebab dan menentukan bentuk, keberadaan adat dengan
legalitas yang tinggi ternyata juga digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan
resistensi oleh masyarakat. Berdasarkan bentuk-bentuk resistensi yang teridentifikasi,
dapat disimpulkan bahwa perlawanan masyarakat Nagari III Koto terhadap rencana
tambang Bukit Batubasi merupakan suatu gerakan sosial.
This article discusses the resistance in local societies against mining corporate. This
study focuses on conflict approach which is seen if it can be a social movement or not.
This study uses the qualitative approach with case study held in Nagari III Koto, West
Sumatera. This article shows us that there are seven variables which being the cause of
resistance. Norms and custom’s tradition are the most important in determining the
forms of resistance. At least there are seven forms of resistance which did by actors
in the region until it achieved. Highly legal tradition can be used as a tool to reach
the goals of resistance in society. Based on such forms of those resistances, it could be
concluded that the resistances of the people in Nagari III Koto are social movement.